Sindikat vonis palsu menggoyang dunia hukum. Advokat kawakan Harjono Tjitrosoebono terseret-seret ke kasus tak terpuji itu. Benarkah Ketua Umum Ikadin itu terlibat? DUNIA advokat bergoyang. Terlebih lagi organisasi advokat Ikadin, yang sampai pekan ini terjepit oleh Pemerintah dan organisasi "tandingannya", Perhimpunan Organisasi Pengacara Indonesia (Poperi), terguncang hebat. Malapetaka bagi organisasi yang selama ini dipuji integritas dan kemandiriannya itu muncul dari sang ketua umum sendiri, Harjono Tjitrosoebono, 69 tahun. Tokoh hukum yang disegani baik di dalam negeri maupun secara internasional itu kini disangka terlibat dalam, sekurangnya tahu -- Harjono sendiri membantah keras -- pemalsuan vonis Mahkamah Agung (MA) dalam perkara penyelundupan rotan di Surabaya. Dalam rekonstruksi yang dilakukan Mabes Polri, pada Kamis dan Jumat pekan lalu, yang direkam video dan kamera, Harjono terlihat jelas menyaksikan kliennya, Tony Goritman, menyerahkan tas berisi uang imbalan Rp 50 juta kepada tersangka utama pemalsu vonis itu, Abdul Nasser. Harjono bagi organisasinya benar-benar ibarat "tongkat yang membawa rebah". Kabar yang ibarat "petir di siang bolong" itu tak hanya meresahkan, tetapi juga membuat kelabakan pengurus pusat Ikadin. Sebab, itu tadi, kasus ini tersingkap persis pada saat-saat organisasi berwibawa itu dalam keadaan kritis akibat pertentangannya dengan Menteri Kehakiman dan Mendagri Rudini dalam kasus lahirnya wadah baru Poperi. Hampir sepekan terakhir ini pimpinan Ikadin sibuk berapat. Namun, sampai Senin pekan ini, Harjono belum menyatakan mundur dari kursi pemimpin Ikadin. Sebaliknya, pimpinan Ikadin belum sampai pada keputusan "mengistirahatkan" pimpinannya itu. Memang, kendati perkara itu cukup spektakuler -- dan sangat serius tentunya karena ancaman hukuman maksimumnya di atas lima tahun penjara -- Harjono masih lebih beruntung daripada tiga tersangka lainnya dalam kasus itu. Ketiga tersangka yang pegawai MA itu sempat ditahan polisi selama 60 hari. Sementara itu, Harjono, kabarnya, berkat permintaan dari seorang pejabat tinggi, tak ditahan. Direktur Reserse Mabes Polri, Brigadir Jenderal (Pol.) Tony Sidharta, yang didampingi Kasubdit Uang dan Dokumen Palsu Kolonel Soedharmanto, mengatakan bahwa Harjono belum perlu ditahan. Sebab, kata Tony, advokat kawakan itu sementara ini dinilai tak menyulitkan penyidikan. Lagi pula, "Berbagai peluangnya untuk menyulitkan pemeriksaan sudah kami cekal. Jadi, buat apa ditahan? Malah menghabiskan anggaran tahanan nanti," kata Tony. Sebagai bos reserse, Tony memang bisa dengan santai berseloroh. Sebaliknya, Harjono, yang pamornya bisa "runtuh", seperti pesakitan pada umumnya, tampak tegang mengikuti perintah penyidik sewaktu rekonstruksi. Berkali-kali ia, yang hari-hari terakhir ini kelihatan semakin tua, menyedot kuatkuat rokok filternya. "Gara-gara membela orang, saya jadi dilibatkan begini. Kapok deh saya," ujarnya. Dilibatkan? Kasus yang mengguncangkan wibawa lembaga peradilan ini boleh dikatakan terungkap secara kebetulan. Pada 21 Juni 1989, terdakwa kasus penyelundupan rotan setengah jadi sebanyak 153,64 ton itu, Tony Goritman, 31 tahun, divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Surabaya. Atas vonis itu tersangka dikeluarkan dari tahanan sementara kejaksaan mengajukan kasasi. Majelis hakim agung yang diketuai Adi Andojo Soetjipto, pada 21 Maret 1990, menerima kasasi jaksa dan membatalkan keputusan bebas tadi. Mahkamah malah memvonis Tony 3 tahun penjara dan denda Rp 10 juta. Pada November silam, Ketua Muda Bidang Pidana Umum MA, Adi Andojo Soetjipto, melakukan kunjungan kerja ke Surabaya. Dalam sebuah pertemuan, Ketua Pengadilan Negeri Surabaya, I.B. Ngurah Adnyana, melaporkan bahwa vonis MA yang menguatkan putusan Pengadilan Surabaya dalam kasus Tony sudah dieksekusi pihaknya. Pernyataan Ngurah itu mengagetkan Adi. Sebab, ia masih ingat vonisnya menghukum Tony dan bukan membebaskan penyelundup tersebut. Sebab itu, sesampainya di Jakarta ia segera mengecek di file MA. Ternyata, benar vonis bebas yang dikabarkan Hakim Ngurah tadi palsu. Adi pun menugasi Direktur Pidana MA, Syafiuddin Kartasasmita, membawa vonis asli ke Surabaya. Ternyata, pada hari pengadilan menerima vonis asli itu, serombongan petugas kejaksaan setempat muncul menggiring Tony. Pada hari itu juga, Direktur Ekspor PT Bali Rotan Mas (BRM), yang sempat menikmati "kebebasan" sejak vonis palsu itu diterimanya dari pengadilan pada Agustus 1990, langsung dimasukkan ke LP Kalisosok. Kasus vonis palsu itu segera diusut Polda Jawa Timur. Waktu itu, sasaran penyelidikan polisi sampai pada seorang swasta, Michael S. Wijaya, yang dikabarkan biasa "mengurus" perkara dan keputusan di Kejaksaan Agung dan MA. Menurut sebuah sumber, Michael menjanjikan kepada Tony untuk mengusahakan dikukuhkannya vonis bebas Tony di MA. Tony setuju dan berjanji akan menyediakan dana Rp 150 juta. Sayangnya, dari seorang petugas MA, kata sumber tadi, Michael memperoleh informasi bahwa kasus Tony sudah diputuskan majelis hakim agung. Isi keputusan yang baru sampai tingkat musyawarah majelis itu menghukum Tony 3 tahun penjara. Namun, kepada Tony, Michael mengatakan masih bisa mengupayakan vonis bebas tadi. Caranya, Michael mengusahakan agar Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus membuat memo, yang isinya memerintahkan bawahannya, Kejaksaan Negeri Surabaya, menarik permohonan kasasi jaksa. Sebetulnya upaya ini tak masuk di akal. Sebab, kasus itu sebetulnya sudah diputuskan MA -- kendati baru tingkat musyawarah majelis, tinggal lagi dibacakan di persidangan yang terbuka untuk umum. Toh memo dari Kejaksaan Agung keluar juga. Namun, pihak kejaksaan negeri, atas "petunjuk" Kejaksaan Tinggi Jawa Timur, tak mau melaksanakan perintah itu. Alasannya, ya, karena kasus itu sudah lebih dahulu diputus MA. Maka, gagallah "proyek" Michael itu. Artinya, pemalsu vonis Tony itu tentu komplotan lain. Sebab itu pula, selain juga karena para pelaku diduga berada di Jakarta, Polda Jawa Timur melimpahkan pengusutan kasus tersebut ke Mabes Polri. Sementara itu, MA, yang juga secara intern mengusut kasus itu, mengarahkan sasarannya pada salah seorang pegawainya, Sugito, yang biasa melakukan tugas pengiriman surat-surat (termasuk keputusan) MA ke Kantor Pos Besar Pasar Baru. Dari pengakuan Sugito di hadapan pemeriksa, Mabes Polri sampai pada nama dan peranan penting seorang pegawai Humas dan Protokol MA, Abdul Nasser. Rupanya, menurut sebuah sumber di Jakarta, setelah proyek Michael tadi nihil, Tony -- entah dari mana tahunya menghubungi Nasser. Hubungan mereka, waktu itu, sering hanya lewat telepon saja. Nasser, yang notabene hanya pegawai golongan II C -- tapi sempat makmur karena "bisnis" perkara di MA, siapa sangka -- punya pesawat telepon di rumahnya, yang terletak di sebuah gang sempit di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur. Dari kontak via telepon itu, kata sumber di atas, Nasser bersedia "menyulap" vonis pidana badan terhadap Tony itu menjadi vonis bebas. Syaratnya, tentu saja Tony harus memberi imbalan. Sayangnya, ihwal hubungan dan rencana Tony bersama Nasser ini tak terungkap dalam rekonstruksi pada Kamis sampai Sabtu pekan lalu. Pada rekostruksi itu, tim penyidik dari Mabes Polri memulai pengambilan gambar dengan adegan dua pegawai MA, Bambang Sukowidodo (pegawai bagian tata usaha) dan Basuki Surya (salah seorang asisten seorang hakim agung), di rumah advokat senior Harjono Tjitrosoebono di Jalan Plaju Nomor 1, Jakarta. Hatta, pada sekitar Mei 1990, di dalam rumah Harjono itu, Bambang dan Basuki membawa ringkasan keputusan (asli) musyawarah majelis hakim agung dalam kasus Tony -- yang seharusnya masih bersifat rahasia. Maksudnya apa lagi kalau bukan mencoba "transaksi". Harjono mengaku menolak tawaran kedua orang itu. Namun, Harjono, yang mengaku sudah sering "dikunjungi" mereka untuk urusan "informasi perkara", memberi mereka sekadar "ongkos jalan" Rp 100 ribu. Bambang dan Suko pun pergi. Namun, keputusan musyawarah tadi mereka tinggalkan di meja kerja Harjono. Sebetulnya, sebelum pergi ke rumah Harjono bersama Basuki, Bambang sempat mengajak Nasser. Waktu itu, di gedung MA Bambang memberitahukan soal keputusan musyawarah itu. "Ser, gua ada berkas bagus (istilah yang biasa digunakan mereka untuk keputusan kasasi terhadap vonis bebas -- Red.)," kata Bambang. Hanya saja, kata sebuah sumber yang tahu banyak tentang kasus itu, ketika itu Nasser tak begitu tertarik. Minat pegawai yang pernah kuliah di Fakultas Hukum Universitas Ibnu Khaldun itu baru menyala-nyala begitu dihubungi Tony Goritman lewat telepon. Sebab itu, sebagaimana terlihat dalam rekonstruksi, sewaktu Nasser berjumpa dengan Sugito, yang baru saja mengeposkan keputusan (asli) MA dalam kasus Tony di Kantor Pos Pasar Baru, pada 14 Mei 1990, Nasser pun meminta rekannya itu mengambil kembali kiriman tersebut di kantor pos. Sugito, yang sudah 25 tahun mengabdi di MA, mau saja menuruti permintaan Nasser. Soalnya, menurut Sugito, Nasser berjanji akan menganggap lunas utangnya Rp 500 ribu, berikut bunga sejak meminjamnya dari Nasser pada 1989. Selain itu, katanya, Nasser mengatakan bahwa berkas keputusan itu sangat diperlukan karena Tony akan mengajukan peninjauan kembali (PK). Dengan menggunakan bajaj, kedua pegawai itu menuju kantor pos. Sugito lalu mengambil kembali berkas yang dimaksud di loket kilat khusus, dan menyerahkannya kepada Nasser. Untuk itu, Nasser menambah imbalan Rp 500 ribu kepada Sugito. Setelah itu, menurut pengakuan Nasser kepada penyidik, ia pun beberapa kali menghubungi Harjono Tjitrosoebono, baik lewat telepon maupun bertemu langsung. Yang dibicarakan, tak lain, soal vonis Tony itu. Kepada Harjono, waktu itu, Nasser menyatakan bahwa ia bisa mengubah keputusan itu menjadi sesuai dengan keputusan Pengadilan Negeri Surabaya, yang membebaskan Tony dulu. Asalkan, kata Nasser, "harga" sesuai. Tak dinyana, sebagaimana terlihat dalam rekonstruksi, ternyata, Harjono menerima tawaran itu. Namun, "negosiasi" mereka belum sampai pada taraf menentukan "harga". Setelah itu, Nasser pun "ngebut" menggarap "vonis pesanan" tersebut. Ia mengaku mengetik naskah keputusan (palsu) dengan menggunakan komputer di rumah ayah angkatnya di daerah Slipi, Jakarta Barat. Pengetikan itu, kata Nasser, dibantu temannya di MA, Heri Rustantiono, dengan imbalan darinya Rp 2,5 juta. Cap/kop dan stempel MA dengan mudah diperolehnya di tempat tugasnya. Belakangan, pada 19 Agustus 1990, Nasser menemui Harjono. Ia memberitahukan bahwa "vonis yang ditawarkan" itu sudah rampung. Lalu ia menagih "imbalannya", yang dipatoknya Rp 75 juta. Akhirnya, tercapai kesepakatan harga Rp 50 juta. Harjono juga menjanjikan akan mempertemukan Nasser dengan Tony Goritman dan bosnya, yang juga pemilik dan Dirut PT BRM, Lukman Haryono. Setelah Nasser pulang, Harjono pun menelepon Lukman agar datang ke Jakarta pada keesokan harinya. Pada 20 Agustus 1990, berlangsunglah pertemuan antara Harjono, Nasser, Tony, dan Lukman di kamar 1258 Hotel Borobudur, Jakarta. Dikisahkan, ketika itu penampilan Nasser sangat dendi. Ayah tiga anak yang sehari-hari pegawai kecil itu mengenakan setelan safari abu-abu. Praktis Tony dan Lukman mengira Nasser adalah salah seorang pejabat MA. Nasser kemudian membacakan diktum keputusan "garapannya" itu. Hanya saja, transaksi tak dilanjutkan. Sebab, Tony hanya membawa cek senilai Rp 50 juta, sementara Nasser meminta uang tunai. Baru keesokan harinya, di tempat yang sama, transaksi itu berlangsung. Waktu itu, Nasser sempat berseloroh, "Wah, kalau ketahuan pimpinan, saya bisa dipecat, nih." Setelah berkas keputusan itu diserahkan Nasser kepada Lukman, Harjono pun membaca halaman terakhir keputusan itu. "Bagus, bagus," ucap Harjono mengomentari "barang haram" itu, seperti diulanginya dalam rekonstruksi polisi. Setelah Nasser menerima uang pembayaran, Tony dan Nasser pun meluncur ke tempat fotokopi. Mereka mengopi vonis itu rangkap tiga. Yang asli (tapi palsu, tentu) mereka kirimkan ke Pengadilan Negeri Surabaya, melalui Kantor Pos Pasar Baru, sementara hasil kopiannya dibagi-bagikan masing-masing sebuah untuk Tony, Lukman, dan Harjono. Sejak itulah, mereka mengaku tidak pernah bertemu lagi satu sama lain. Sementara itu, dari Hotel Borobudur, Nasser pun "meluncur" ke rumahnya dengan taksi, sambil menjinjing tas berisi uang Rp 50 juta. Namun, apa mau dikata, umur "proyek" mereka ternyata hanya sekitar tiga bulan. Sebabnya, ya, karena kebetulan Adi Andojo ke Surabaya itu. Lagi pula, salinan keputusan MA asli, yang sempat ditarik Nasser, hanya keputusan yang akan dikirim ke Pengadilan Negeri Surabaya. Salinan keputusan serupa, yang dikirim MA ke Pengadilan Tinggi Jawa Timur, luput dari " jangkauan" Nasser. Lebih dari itu, untung saja, Tony belum pergi jauh-jauh dari Surabaya sehingga bisa dieksekusi berdasarkan keputusan MA, yang asli. Namun, penyidikan Mabes Polri, yang berlangsung sejak 5 Februari 1991, bukannya tak alot. Soalnya, Nasser, yang sementara ini berstatus tersangka utama, bukan main "licin dan berbelit-belit"-nya (Lihat Nasser: Kopral Seperti Jenderal). Ia bersama Sugito dan Bambang Sukowidodo "dikemas" dalam paket penyidikan gelombang pertama, dengan berkas terpisah ( displit). Selain itu, menginterogasi Tony, yang masih mendekam di LP Kalisosok, juga bukan soal "gampang dan murah". Terlebih untuk "menjamah" Harjono, yang advokat kawakan. Sebab itulah, pada 29 April lalu, Tony pun dipindahkan ke LP Cipinang, Jakarta. "Urusan" Harjono, dan berkas perkaranya, diharapkan polisi bisa tuntas setelah acara rekonstruksi itu. Di sela-sela acara rekonstruksi, mereka yang dituduh sindikat vonis palsu itu seakan-akan sepakat menuding Nasser sebagai biang keladi "bencana" itu. "Dasar bangsat. Kalau sampai dia bikin macam-macam, saya mampusin," ujar Sugito menunjuk ke arah Nasser, yang tampak "cuek" saja. Hal senada juga diungkapkan Tony Goritman, yang mengaku tak tahu-menahu soal vonis palsu itu. Ia juga mengaku tak pernah berhubungan dengan Nasser kendati lewat telepon. Nama Nasser dan kemudian perkenalan dengan Nasser, kata Tony, baru diketahuinya setelah diperkenalkan Lukman dan Harjono. Itu pun, katanya lagi, untuk mempercepat proses pemeriksaan keputusan kasusnya di tingkat kasasi. Bukan untuk merencanakan, apalagi membuat, vonis palsu. Sebab itu, Tony sangat berang terhadap Nasser. "Gara-gara dia, saya jadi korban. Dia menipu. Saya akan tuntut nanti," kata Tony, yang berbadan agak kurus dan berkumis tipis. Selain itu, Tony pun bersikeras menolak tuduhan penyelundupan rotan itu. Karena itu pula, pekan-pekan ini ia mengajukan PK di Pengadilan Negeri Surabaya. Harjono sendiri mengaku menerima tawaran berkas keputusan (asli) dari Nasser, pada 19 Agustus 1990 itu, semata-mata hanya karena Tony menginginkan agar perkaranya cepat diproses. Namun, Harjono membantah tuduhan bahwa dirinya mengetahui, apalagi menyetujui dan membantu, pembuatan vonis palsu itu. Pertemuan di Hotel Borobudur itu, katanya, juga menyangkut vonis yang asli. Bukan vonis palsu. Sebab itu, Harjono menganggap dirinya dijebak dalam kasus tersebut. (Lihat Siapa Menjebak Harjono). Toh pernyataan itu hanya dianggap dalih belaka oleh Dirserse Mabes Polri, Brigadir Jenderal Tony Sidharta. "Mestinya dia malu. Dia kan pengacara senior. Masa nggak bisa memperkirakan bakal terlibat kasus ini. Masa dia bisa dikerjain sama pegawai kecil seperti Nasser," kata Tony. "Perang" dalih itu, mungkin, tak akan pernah selesai. Begitu pula soal benar tidaknya dugaan bahwa Nasserlah, yang hanya "cecere", si perencana dan pembuat vonis palsu itu -- termasuk kemungkinan Harjono "dijebak" sehingga terlibat kasus itu. Memang hanya pengadilanlah yang berwenang memutuskan: mana kambing hitam, dan mana kambing putih. Happy S., Reza Rohadian, Ivan Haris, dan Wahyu Muryadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini