DALAM lima puluh tahun terakhir, Arab Saudi telah berkembang
menjadi kerajaan yang kaya dan berpengaruh. Tapi belakangan,
setelah kejatuhan Syah Iran dan pembantaian Anwar Sadat di
Mesir, orang di Barat bertanya-tanya: benarkah Dinasti Saud di
Jazirah Arab cukup tangguh?
"Pengalaman terakhir Amerika di dunia Islam memang tidak seperti
diharapkan", tulis Robert Lacey dalam bukunya The Kingdom, yang
akhir tahun kemarin diterbitkan Hutchinson Co.
Pada 1979, setahun setelah Presiden AS Jimmy Carter menjuluki
Iran "negeri stabilitas", revolusi anti-AS meletup di negeri
tersebut. Dan beberapa bulan lalu, salah seorang sahabat AS,
Presiden Mesir Anwar Sadat, diberondong sampai tewas tatkala
menonton parade militer. Nasib apa pula yang bakal menimpa
negeri Islam lainnya--terutama Arab Saudi?
Beberapa persamaan memang bisa ditarik. Seperti Iran zaman Syah,
Arab Saudi merupakan monarki absolut dengan minyak sebagai
sumber kekayaan utama. Dan sebagaimana Iran dan Mesi r, Saudi
adalah negeri sedang berkembang yang melompati tradisi untuk
memasuki abad ke-20. Kemudian--dan mungkin yang paling
penting-ketiganya adalah negeri dengan perasaan keagamaan yang
pekat, tecermin dalam kehidupan sosial dan politik, dan kadang
sulit dimengerti Barat.
"Kejatuhan Syah dan pembunuhan Sadat merupakan kejutan yang
sukar dilupakan Amerika," kata Robert Lacey. Dan, bila "transisi
radikal" serupa itu terjadi pula di Arab Saudi, Barat konon akan
lebih terperangah lagi. Tak heran: Saudi, yang menguasai
seperempat kebutuhan minyak dunia, juga sekarang memiliki
seperangkat senjata perang mutakhir buatan Amerika.
Kecemasan terutama mcnghinggapi kalangan bisnis Barat. Sebab
seperti halnya Iran zaman Syah, Arab Saudi adalah pasar yang
menguntungkan bagi mereka. Di sinilah mereka memasang 'umpan'
yang selalu mcngena apalagi setelah kenaikan harga minyak 1973.
Tapi menanam:modal di negeri ini ada mlnganduko. Tatkala
huru-hara anti-Syah becamuk, berbagai perusahah asing
kehilangan duit antara US$ 40 juta npai US$ 50 juta di Iran.
Kini para pengusaha itu harus berpikir berulang-ulang sebelum
kehilangan tongkat kedua kalinya.
TAK heran bila ketika gerombolan bersenjata menguasai Masjidil
Haram diMekah, 1979--tahun yang sama dengan keiatuhan Syah
Iran--Barat pada deg-degan: mereka bersiap-siap menyaksikan
pementasan skenario dengan garis besar yang sama. Kekerasan dan
chaos diperkirakan akan segera melanda seluruh Jazirah.
Tapi tidak. Krisis itu ternyata tak sampai meruntuhkan Bani
Saud, keluarga empat ribu bangsawan yang bertahta dan memerintah
Arab Saudi. Kerajaan itu melalui masa uji-cobanya dan tak begitu
saja bisa disejajarkan dengan negeri Tahta Merak Iran yang
ternyata rapuh itu.
Memang politik tidak begitu mudah bernapas di kerajaan ini.
Namun di luar negeri toh masih hidup dan berkeliaran sejumlah
pembangkang--yang kadang menyelenggarakan pertemuan di antara
mahasiswa Saudi di berbagai perguruan tinggi Amerika. Juga
menerbitkan majalah Shautut Taliah (Suara Pelopor).
Mereka berkeluh-kesah akan sempitnya kebebasan di tanah air.
Mereka mengumumkan korupsi dalam tubuh pemerintah Saudi. Toh,
anehnya, mereka kemudian pulang ke kampung halaman secara
diam-diam.
Di pihak lain, Arab Saudi memiliki mekanisme yang unik
menghadapi perbedaan pendapat. "Tak perlu bermanis-manis
mengatakan masyarakat sana bebas dan terbuka, khususnya dalam
pengertian Barat," kata Robert Lacey. "Semua orang asing di
sana, terutama wartawan Barat, mengalami perasaan tertekan.
Kewaspadaan sangat tinggi mewarnai pembicaraan. Tapi bila anda
beroleh kepercayaan dari seorang Saudi yang tak puas, ia akan
melampiaskan kekecewaannya dengan menggebu-gebu."
Empat tahun lamanya Robert Lacey mengamat-amati Arab Saudi,
termasuk 18 bulan bermukim di situ. Ia melakukan ratusan
wawancara dengan segala pihak yang mewakili kehidupan negeri
itu--dan, di sinilah yang penting, menemukan perbedaan para
penguasa Saudi dengan para pejabat rezim Syah Iran.
"Pemerintah As-Saud tidak membunuh lawan dan pencercanya," kata
Lacey. "Mereka juga tidak melakukan penyiksaan." Di sana konon
tak ada penjara politik. Para pemuka kerusuhan November 1979 di
Qatif, Arab Selatan, hanya setahun mendekam dalam bui. Tahun
kemarin para pembangkang Syi'ah yang ketularan pengaruh Khomeini
itu dilepas ke tengah masyarakat.
Tapi publikasi asing mengalami sensur berat. Majalah Amerika
yang terpajang di kedai buku sudah disunat -- terutama bagian
iklan arak, pakaian renang, bahlcan sekedar foto siti hawa,
dengan bahu terbuka.
"Koran lokal laksana buletin sekolah," kata Lacey. Memang ada
keluhan kecil-kecilan, "tapi sama sekali tak ada pertanyaan yang
mendasar tentang sistem yang berlaku."
Sementara itu, di segi lain bukan tak ada cara yang bisa
ditempuh seorang kawula Saudi yang ingin berkeluh-kesah. Bahkan
kritik paling tajam boleh disampaikan kepada Raja,para pangeran
dan menteri--tetapi hanya dalam satu kesempatan bertemu muka.
Cara itu merupakan hak seorang kawula, yang dijamin penuh dan
100% sah.
Bila kritik atau kecaman dilemparkan di depan umum, perkaranya
jadi lain. Itu menunjukkan sikap tak hormat, memberi aib orang
lain dan tidak urung menumbuhkan sakit hati. Memberi aib secara
tak perlu memang ber tentangan dengan ajaran agama.
"Arab Saudi adalah masyarakat dengan tata-krama yang tertib,"
kata Robert Lacey. Anak menghormati ayah, yang muda menghormati
yang tua. Seorang anak, betapa pun tuanya, tak diperkenankan
merokok di depan ayah bundanya.
Juga para pangeran muda segera menutup mulut bila pangeran
senior masuk ruangan. Segala sesuatu bagai mengandung hirarki,
yang diterima dengan semacam perasaan wajib. Boleh jadi disiplin
sosial ini salah satu tiang penyangga monarki itu--hingga
sanggup bertahan sampai sekarang. Dalam hal ini pula Robert
Lacey melihat perbedaan Saudi dengan Iran zaman Syah.
Para remaja Saudi berlumba-lumba ke luar negeri. Mercka mereguk
kehidupan college Amerika sepuas-puasnya, merasakan atau
mencium-cium mulai dari obat bius sampai aksi demonstrasi. Tapi
setelah tamat, mereka pulang kampung -- mengenakan tsaub, baju
panjang dalam jubah, dan terjun dalam bisnis keluarga.
Keluarga tampaknya merupakan pusat hal-ihwal. Seorang Saudi
memang bisa saja bercerita tentang "way of life Islam" yang
telah menyelamatkan mereka dari segala bencanadan pengaruh busuk
abad ke-20. "Tapi sangat mudah dibuktikan, ikatan tradisional
kekeluargaanlah yang menyumbangkan kepada kerajaan ini
keterpaduan sosidl yang jarang dijumpai di dunia," menurut si
pengarang.
Banyak kawula Saudi menerima penghasilan US$ 200 seminggu alias
lebih Rp 0,5 juta sebulan. Tapi lebih penting, tiap orang yakin
bahwa d irinya terpaut pada keluarga, klan atau pun puak. Nama
baik dan kekayaan kaum menandai harga diri seseorang.
Melalui pemimpin kaum pula seorang kawula Saudi bisa berhubungan
dengan Raja--termasuk untuk mendukung maupun mengambil dana
kerajaan bagi puak pengembara Badui yang masih berkeliaran di
padang gurun, sama seperti berabad-abad yang silam. Karena itu
seorang Saudi yang papa--masih ada, memang--tak perlu khawatir
bila misalnya ibunya sakit. Atau anaknya sudah cukup umur untuk
sekolah. Atau bahkan bila ia membutuhkan sebuah sedan Buick
tahun terakhir untuk berlebaran. Tepat pada waktunya, semua
keperluan itu "bisa d iatur ".
Mekanisme kekeluargaan inilah hakikatnya yang melicinkan roda
pemerintahan Arab Saudi. Alkisah, pada 1981 sekawanan pengusaha
cabang atas Amerika berkunjung kc Riyadh. Mereka ingin ambil
bagian dalam Repelita Saudi. Mereka tak lupa menunjukkan daftar
agen Saudi seperti J uffali, Alireza, Kashoggi, Ben Laden,
Olayan -- semua nama gemerlapa,n dalam blantika usaha.
"Mereka memang melakukan banyak hal untuk Kerajaan," ujar
Pangeran Sultan ibn Abdul Aziz, Menteri Pertahanan dan
Penerbangan, tanpa rasa kagum terlalu besar. "Tapi kami ingin
anda melihat nama lain," katanya menambahkan. Maka, menurut
salah seorang pengusaha itu, sang pangeran menyerahkan kepada
tamunya sebuah daftar yang berisi nama "para singa muda
Kerajaan"--yang akan memegang peranan pemerintahan di masa
depan. Mereka itulah yang harus dihubungi.
"Syah Iran tidak mengikuti gaya ini," kata Robert Lacey.
Keluarganya memang mengambil bagian lebih banyak dari hak mereka
sesungguhnya.
Tapi hubungan elite Iran yang memerintah dengan rakyatnya tak
pernah akrab. Di Saudi, ada banyak cara yang memungkinkan
keluarga Istana-yang berjumlah 4000 orang itu--bersilaturahmi
langsung dengan empat atau lima juta penduduk Kerajaan. Di Iran,
mendiang Syah dan kerabatnya cuma terdiri dari beberapa lusin
-dan terpulau di tengah 37 juta rakyat.
Buruh pabrik dan orang upahan di Iran gampang berkembang menjadi
proletar sejati. Di Arab Saudi, seorang marxis boleh meratap
lantaran bingung mencari tempat hinggap. Syah Iran hanya
mengeluarkan US$ S untuk setiap kepala rakyatnya per hari, dari
empat juta barrel minyak yang ditambangnya setiap hari. Dengan
kalkulasi yang sama, Saudi mengeluarkan US$ 75 untuk tiap kepala
per hari--tak peduli lelaki, wanita, bahkan anak-anak. Robert
Lacey lidak mencantumkan hadis Nabi yang jadi semboyan para
penguasa Saudi: "Dekat sekali jarak bagi kemiskinan untuk
menjadi kekafiran."
Toh ada yang masih dirasa perlu disempurnakan. Hingga 1981,
mereka masih sibuk menikmati rezeki yang melimpah. Tak ada
tempat untuk urusan politik. Tapi setelah peristiwa Masjidil
Haram, pemerintah menjanjikan sejumlah pembaruan. Antara lain
pembentukan Majlis Syllro, semacam dewan konsultatif, bagi
keikutsertaan politik rakyat. Tapi masih sulit meramalkan
langkah yang mungkin di ayunkan dewan semacam itu.
Demokrasi Barat, kita tahu, menciptakan sebuah masyarakat tempat
adik bersaingan dengan kakak dalam pemilihan umum--dan tempat
anak membantah sang ayah. "Cara ini belum masuk hitungan Saudi,"
kata si pengarang.
Satu-satunya lapisan penduduk yang bisa diibaratkan dengan kaum
proletar ialah pekerja (mungkin lebih tepat: kuli) asing, yang
mencari makan di negeri itu dengan menjual otot. Jumlah mereka
antara dua sampai tiga juta. Sekitar satu juta di antaranya
datang dari Yaman, Utara maupun Selatan.
Beberapa pengamat khawatir, dalam suatu pergolakan atau konflik
di Arab Saudi, para perantau inilah yang akan membentuk semacam
kolone kelima. Namun sampai saat terakhir tak ada tanda yang
mempertautkan mereka dengan kegiatan politik.
Yang pasti, keberadaan para perantau itu di Arab Saudi secara
tidak langsung membantu keadaan ekonomi negeri kampung halaman
mereka masing-masing--sambil, menurut orang Saudi sendiri,
kadang-kadang "menelurkan penyakit buruk" pada penduduk
setempat.
Dan di tengah segala persoalan itu ' bersemayamlah keluarga
besar AsSaud--dengan segala kekuatannya. Mereka adalah pendiri
kerajaan ini. Mereka menniliki latar belakangsejarah yang
perwira. Dengan beberapa pucuk bedil, unta, dan iman yang
berapi-api, mereka mempersalukan para syeikh Arabia pada
tahun-tahun pertama abad ini--dan menegakkan sebuah kerajaan
yang bermeteraikan nama mereka sendiri. "Arab Saudi adalah
satu-satunya bisnis keluarga yang mempunyai perwakilan di PBB,"
kata Lacey sedikit bergurau.
Sebagian besar legenda Saudi berpusat di sekitar Abdul Aziz Ibnu
Saud, ayahanda Raja Khalid, Pangeran Fahd dan almarhum Faisal.
Abdul Aziz menaklukkan Riyadh melalui serangan malam yang nekat,
Januari 1902.
Hatta dalam pertempuran itu, salah seorang sepupunya membunuh
gubernur Turki yang memerintah Riyadh. Untuk membalaskan dendam
dengan cara istimewa, maupun sekedar selingan, konon ia
mengambil ginjal gubernur itu, dan melemparkannya melewati
tembok benteng.
Pada saat yang sama, Abdul Aziz melintas di seberang tembok
tersebut. Ginjal itu terhempas di pasir--hampir menyentuh
kakinya Seorang budak yang mengiringinya segera meratap.
"Aduhai, Baginda," serunya, "sepupu Baginda sudah terbunuh."
Abdul Aziz terkesima--memperhatikan ginjal yang berpalut lemak
itu. Kemudian ia membentak. "Omong kosong! Tak ada pangeran Bani
Saud yang mempunyai ginjal berlemak seperti itu!". . .
Puluhan tahun kemudian, generasi harimau gurun inilah yang masih
memerintah dari Riyadh. Dan merekatampaknya tetap kompak. Dari
588 rang Saudi yang terbunuh dan tertangkap luka pada peristiwa
Masjidil Haram, tak seorang pun berasal dari keluarga besar
Saud. Padahal di antara 4000 anggota keluarga besar itu, banyak
juga pangeran yang pemalas dan loba, kata Robert Lacey.
Tapi rupanya sangat mudah menjinakkan anggota kaum yang punya
ambisi besar. Dia diberi tanah, plus uang cukup untuk membangun
istana di tanah itu. Rekening listrik dan teleponnya ditanggung.
Pokoknya dia tak perlu pusing tujuh keliling memikirkan nafkah.
Anaknya bahkan digaji sejak berusia 3 (baca: tiga) tahun.
Nah. Selama ia tak mengusik orang lain, tidak akan ada yang
berani merepotkannya. Tapi kalau ia mencoba mencari gara-gara,
bukan tak ada risiko menunggu. "Ada beberapa pangeran mendekam
di dalam penjara saya saat ini," ujar Pangeran Salman, Gubernur
Riyadh, menjawab seorang tamu yang ingin tahu tentang hak-hak
istimewa kepangeranan.
Penguasa Kerajaan memang tak sudi melihat salah seorang sanak
dipermalukan di depan umum. Para pangeran tak boleh 'diamankan'
dalam penjara biasa. Tapi bila mereka melanggar peraturan, atau
berbuat onar--misalnya skandal mengenai wanita, berikut bukti
cukup--hukum keluarga akan dijatuhkan dengan keras. Saat ini,
setiap warga Saudi dapat bepergian ke seluruh penjuru tanah air
tanpa kesulitan ongkos. Pajak pendapatan tak dipungut. Begitu
pula pajak penjualan bagi warga negara. Kecuali zakat, yang
memang diwajibkan agama. Sekolah gratis--bahkan para pelajar
mendapat uang saku, putra maupun putri.
Dalam memperhitungkan biaya hidup, yang dipersoalkan bukan lagi
bagaimana mencari uang lebih banyak. Melainkan bagaimana
membelanjakannya. Pertambahan rumah sakit, sekolah dan jalan
raya, selama tahun-tahun terakhir ini, pesat luar biasa. Secara
berlebihan Bani Saud ingin melimpahi rakyanya dengan barang
terbaik yang bisa dibeli dengan uang.
TAK ada negeri sosialis yang dapat berbuat lebih baik - dari
kerajaan ini," ujar Robert Lacey. Setiap orang asing yang
berkunjung ke sana secara tetap, selalu terperanjat melihat
perubahan besar yang terjadi setelah kunjungannya terakhir
--meski kunjungan tersebut itu baru beberapa bulan sebelumnya.
Tapi, menurut si pengarang, langkah maju iRi tak akan
berlangsung abadi. Bila langkah itu berhenti, tibalah saat ujian
bagi para penerus Dinasti Saud yang memegang kendali. Bila
produksi minyak dunia--antara lain dengan ditemukannya ladang
minyak di negeri-negeri lain--terus berlimpah, agaknya tiba
saatnya Arab Saudi berpikir untuk mulai mengetatkan ikat
pinggang. Dan saat itu bisa tiba lebih cepat dari yang
dibayangkan orang.
Pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan tertentu akan bertambah
besar. Kerabat kerajaan yang sekarang berjumlah 4000 orang itu
mungkin akan tampil sebagai penentang hukum sejarah, politik,
logika. Tapi siapa yang berani muncul sebagai otak penggerak,
untuk mencoba menggulingkan mereka ?
Misalkan ada sekelompok serdadu pembangkang yang mencoba nekat
membunuh Raja Khalid dan setengah lusin saudaranya. Toh masih
ada beberapa lusin pangeran, dengan kemampuan dan latar belakang
pendidikan yang sama, siap tampil seketika.
Tatkala, Raja Faisal dibunuh oleh seorang kemanakan yang
bingung, Maret 195, pemerintahan berlanjut tanpa sempat
mengalami keadaan vakum. Bani Saud memang sudah berjuang
mati-matian membuat kerajaan itu milik mereka--kadang harus
berhadapan dengan kekuatan asing dan Barat. Bahkan dalam bencana
yang paling buruk, sulit membayangkan keempat ribu bangsawan itu
berbondong-bondong menaiki pesawat jet untuk hengkang ke
Mesir--seperti yang dilakukan Syah Iran.
Beberapa kritikus Arab percaya, tanpa Bani Saud kerajaan itu
akan ambruk berkeping-keping. Hanya keluarga besar itulah yang
mampu mempersatukan bagian timur, barat dan tengah negeri itu di
bawah satu kekuasaan. Merekalah yang mafhum meredakan konflik
pelbagai aspirasi --badui, pemuka agama, para saudagar,
teknokrat, dan kaum militer. Dan masing-masing kelompok ini
menyadari kelebihan Kerajaan dalam hal itu.
Ada kalanya para pengamat asing menyimpulkan, bertambahnya
angkatan muda Arab yang terdidik dan mengalami
westernisasi--para teknokrat -baru--merupakan sumber
potensialisasi yang akan melawan. Tapi mereka lupa, pada
akhirnya bukanlah kaum teknokrat yang menggulingkan Syah Iran
atau membunuh Anwar Sadat -- kata Robert Lacey.
Perbedaan pendapat di antara anggota keluarga Kerajaan, memang,
bukan tak ada. Mustahillah kiranya 4000 orang itu sama bersetuju
menghadapi pelbagai persoalan --misalnya mengenai hubungan Saudi
dengan Israel, atau seberapa dekat mereka boleh bersahabat
dengan Amerika Serikat. Tapi dalam menghadapi seteru yang
mengancam sendi kekuasaan, mereka senantiasa kompak.
Dan elite inti yang kini memerintahsudah berpengalaman hampir 20
tahun. Ambillah umpamanya Putra Mahkota Fahd. Atau Pangeran
Abdullah, yang hampir sejajar martabatnya dengan Fahd dan
mengepalai Pasukan Keamanan Nasional. Atau Pangeran Sultan,
Menteri Pertahanan dan Pener-, bangan. Atau Pangeran Salman,
Gubernur Riyadh. Atau Pangeran Nayif, Menteri Dalam Negeri.
Mereka ini tampil sejak awal 1960-an, dan senantiasa serasi
menangani bersama berbagai masalah. Sebagai anggota lembaga
kekuasaan, masa jabatan mereka hanya bisa dibandingkan dengan
para anggota Politbiro Partai Komunis Uni Soviet di bawah Leonid
Brezhnev.
Sebetulnya sulit sekali membandingkan Arab Saudi dengan
pemerintahan manapun di dunia Sebab "Raja Khalid bukan raja yang
biasa," kata Robert Lacey. Di negeri yang ditegakkan atas nama
dan melalui mekanisme agama, ia adalah imam. Di tengah
masyarakat dengan hubungan keluarga demikian ketat, ia adalah
orang tua. Dan di antara pelbagai suku dan puak yang selama
berabad-abad menghuni dan mengembara di seantero semenanjung
itu, kaumnya kebetulan paling unggul.
Dialah amirul umara dan syaikhul masyayikh, ketua di antara
semua ketua dan syeikh dari sekalian syeikh-mata rantai sebuah
ikatan kekeluargaan tradisional yang berakar sangat dalam di
tengah budaya asli Arab. Dalam hal ini sungguh tak adil
membandingkan kekuasaannya dengan posisi yang pernah dipegang
Syah Iran.
Apa lagi bila seseorang mendapat kesempatan menyaksikan Raja
Khalid menerima tamu-tamunya--sebelum shalat dhuhur, di Istana
al-Ma'atsir. Segala macam insan ada di sana. Baik penduduk kota
yang mengenakan jubah berenda emas, maupun lelaki Badui yang
datang bertelanjang kaki. Si buta, si lumpuh, bahkan kuli Mesir
yang masih terbungkus pakaian kerja yang berlepotan.
Mereka berkerumun di sekitar majelis, kadang sampai 80 atau 90
orang. Ketika waktu sowan tiba, mereka menjabat tangan Baginda
tanpa ragu. Ada yang mencium bahu Sang Raja, beberapa
merangkulnya atau berjingkat untuk mencium hidungnya.
Tapi bila ada yang berlutut seraya mencium tangannya, Raja
Khalid biasanya terkejut. Beliau segera berucap:
"Astaghfirullah, mohon ampun kepada Allah." "Penyembah" itu akan
disuruh berdiri, dan belajar bagaimana bersalaman secara wajar
atau berpelukan dengan akrab.
Sebagian besar tamu itu memanggil Baginda "Thawwil 'umrak".
Teriemahan lurusnya bisa berbunyi "semoga panjang usiamu". Namun
istilah ini tak bisa diterjemahkan begitu saja. Ia mengandung
rasa menyingkirkan jarak tanpa mencampakkan rasa hormat.
Sebagian tamu itu menyapa Sang Raja, "Ya Khalid." Ada yang
sekedar mengatakan "Oh, Khalid"--seraya menyelipkan secarik
kertas yang kusut (biasanya berisi pengaduan atau keluhan) ke
tangan Baginda.
'Petisi' itu kadang-kadang hanya terdiri beberapa baris. Ditulis
di selembar kertas yang disobek dari buku tulis anak sekolah,
semuanya dalam aksara Arab tentu saja. Khalid biasanya
menyerahkan kertas itu kepada seorang pembantu yang berdiri di
samping Baginda.
"Aku tak punya uang! Aku tak punya uang! " keluh seorang tua
dengan janggut merah kelabu, mengadukan peruntungannya.
"Mengapa?" tanya Khalid. Maka Badui itupun berceloteh tentang
istrinya yang sakit, dan ongkos rumah sakit, sampai Khalid
memotong: " Kami sudah menerima suratmu barusan. Nama anda
siapa? Saya akan mempelajarinya. Sekarang pulanglah 'di bawah
perlindungan Allah' ".
Majelis semacam ini sungguh istimewa. Ia sangat dibutuhkan di
tengah birokrasi, keangkuhan plus ketakberdayaan mesin
pemerintahan. Mungkin ia bisa dinamakan semacam "demokrasi
Arab". Tempat seorang pemimpin benar-benar 'bertemu rakyat'
lembaga yang mendemonstrasikan keakraban penguasa dengan
kawula--yang sudah tentu tak pernah terlintas dalam pikiran
mendiang Syah Iran.
"Mengenai satu hal, Barat selalu keliru," ujar Rober Lacey.
"Karena mereka tak berkenan kepada monarki Islam otokratis,
mereka menganggap semua orang di dunia juga berperasaan
demikian." Padahal bagi kaum tertentu, bentuk yang tak disukai
Barat itu merupakan tatanan yang bahkan dijunjung tinggi.
Keluarga besar Saud mencapai kekuasaan melalui keringat dan
darah. Mereka sepenuhnya berakar pada kekuatan yang tumbuh di
dalam negeri. Berbeda dengan umpamanya mendiang Syah, yang
memerintah dengar dukungan Barat. Tajuk rencana Shqutut Taliah
memang sering mencela As-Saud yang mencatumkan nama mereka
sebagai nama resmi kerajaan. Namun di bawah tangan bes
keiuarga besar inilah, menurut Robert Lacey, Arab bangkit dari
negeri yang paling barbar dan anarkis di Timur Tengah menjadi
kerajaan yang dilirik para tetangganya dengan rasa cemburu.
"Islam adalah alat yang dipakai untuk menyatakan chauvinisme
Saudi dengan tegas," kata Lacey lebih lanjut. "Dan Islam pulalah
yang menyeret hanyut mendiang Syah Iran."
Tapi di Iran dan Saudi, Islam memainkan peranan yang berbeda.
Para imam Wahhabi Arab--dari kelompok Sunni, mayoritas umat
Islam minum teh setiap hari Senin bersama raja mereka. Sangat
berbeda dengan ulama Syi'ah--baik dalam hirarki, hak-hak
istimewa maupun kekuasaan.
"Acara setelah siaran berita Kamis yang lalu sungguh memalukan,"
kata Syeikh Abdul Aziz Bin Baz kepada Raja Khalid suatu hari,
dalam kesempatan jamuan teh itu. Ulama tua berjanggut ini salah
seorang tokoh terkemuka dalam Kerajaan. Ia sedang berbicara
tentang program siaran televisi.
Ia pernah dijuluki "Khomeini Saudi". Dan sebagaimana Ayatullah
Rohullah Khomeini, ia menentang westernisasi kehidupan di
negeri-negeri Islam terutama melalui siaran televisi. "Perempuan
dalam siaran itu," katanya melanjutkan, "sungguh-sungguh
menggoda."
"Menurut pendapat saya tak sampai begitu benar," sahut Raja
Khalid dengan kalem. Dan biasanya diskusi putus sampai di sir
Tradisi Sunni sebenarnya selalu mghormati penguasa, asal sekali
mereka sudah dianggap betkenan menurut syarat-syarat agama. Dan
para imam Saudi senantiasa menempatkan diri di sisi Bani Saud.
Tatkala Juhayman bin Mohammad bin Seif altaibi mengambil alih
Masjidil Haram, November 1979, tak seorang imam berpihak
kepadanya.
Kesalahan Juhayman terbesar ialah: memilih Masjid Suci sebagai
pentas. "Jika ia menyerbu istana saya," kata Raja Khalid setelah
peristiwa itu, di hadapan beberapa tamu asing, "boleh jadi ia
beroleh sedikit sukses."
Peristiwa itu juga membuktikan betapa lemahnya dukungan terhadap
pembangkangan melalui kekerasan di Saudi sekarang ini. Bahkan
kaum radikal Shautut Taliah tak menyokong penyerangan Masjidil
Haram. Awal Januari 1980 J uhayman dan para pegikutnya
menjalani hukuman mati.
"Bani Saud sudah siap memasuki abad ke-21," kata Robert Lacey
akhirnya. Beberapa penyanyi tv Saudi sekarang ini masih ingat
masa dulu, ketika harus menyanyi sembunyl-sembunyi. Dua puluh
tahun yang lalu orang bahkan tak boleh merokok di jalan. Harap
diingat, bagi aliran Wahhabi yang masih asli rokok adalah haram,
setidak-tidaknya makruh--"tak disukai agama" --lantaran
pertimbangan kesehatan.
April 1981, sebuah komite hukum Islam menetapkan: seorang
perempuan Saudi dibenarkan menjumpai Qlon suaminya tanpa cadar.
"Barang siapa melarang anak perempuannya, atau saudara
perempuannya, menemui calon suami mereka, akan diadili sebagai
orang berdosa," hardik komite itu,
Menurut ukuran Barat, langkah itu mungkin sangat tak memadai.
Syah Iran pun dulu berpendapat begitu: ia sering menyindir
"konservatisme" Raja Faisal. Bahkan Anwar Sadat kerap
menggunjingkan "keterbelakangan" para penguasa Ryadh.
"Tapi para anggota Bani Saudlah yang ternyata ketawa paling
akhir," kata Robert Lacey. Mereka tetap memerintah kerajaan yang
luas itu, dan tetap menerima pengabdian bagian terbesar
rakyatnya.
Orang Saudi sendiri murka bila Barat terus-menerus
mempertanyakan stabilitas mereka--seolah mereka tak lebih dari
sebuah "republik pisang". Pada hemat mereka, kecemasan Barat tak
lain akibat ketidaktahuan terhadap sejarah agama dan kebudayaan
mereka. Apa lagi kecemasan Barat bertolak dari kepentingan Barat
sendiri--bukan karena memikirkan keselamatan Saudi.
Toh mereka menganggap Barat sahabat mereka. Ke mana lagi mereka
harus menjual minyak? Di mana mereka dapat menanamkan
petrodollar? Tapi mereka menolak diperlakukan sebagai "klien"
Barat. Mereka pertama-tama, dan terutama, memandang diri sebagai
pengawal Rumah Suci Islam. Bukankah ratusan juta umat IsIam di
seluruh bumi memandang Mekah dan Medinah sebagai pusat
keagamaan? Bukankah Nabi Besar Muhammad lahir di sini?
Dari segi hankam pun, para penguasa Saudi mengambil sikap dengan
jurus yang agak lain. Raja Khalid, atau Putra Mahkota Fahd,
misalnya, bisa membaca keuntungan yang mereka peroleh dari
mempersenjatai diri dengan pesawat-pesawat Awacs. Tapi
sebenarnya mereka tak begitu ambil pusing mengenai senjata itu.
"Kita bisa meramalkan keruntuhan Saudi setelah kejatuhan Syah
dan terbunuhnya Sadat," kata Robert Lacey.
"Tapi para anggota kerajaan itu memandang hal ikhwal dengan cara
berbeda."
Mereka sangat pandai belajar dari masa lampau. Pelajaran ini
membuahkan keyakinan--haqqul yaqin--bahwa keselamatan mereka
terpulang ke tangan mereka sendiri, setelah iradat Tuhan. Bukan
pada perhitungan dan 'ramalan' para pengamat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini