Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Negeri empat ribu bangsawan.

Pemerintahan kerajaan arab saudi dibawah kekuasaan dinasti saud, menurut pengamatan robert lacey dalam bukunya "the kingdom". berkembang menjadi kerajaan yang kaya & berpengaruh.(sel)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM lima puluh tahun terakhir, Arab Saudi telah berkembang menjadi kerajaan yang kaya dan berpengaruh. Tapi belakangan, setelah kejatuhan Syah Iran dan pembantaian Anwar Sadat di Mesir, orang di Barat bertanya-tanya: benarkah Dinasti Saud di Jazirah Arab cukup tangguh? "Pengalaman terakhir Amerika di dunia Islam memang tidak seperti diharapkan", tulis Robert Lacey dalam bukunya The Kingdom, yang akhir tahun kemarin diterbitkan Hutchinson Co. Pada 1979, setahun setelah Presiden AS Jimmy Carter menjuluki Iran "negeri stabilitas", revolusi anti-AS meletup di negeri tersebut. Dan beberapa bulan lalu, salah seorang sahabat AS, Presiden Mesir Anwar Sadat, diberondong sampai tewas tatkala menonton parade militer. Nasib apa pula yang bakal menimpa negeri Islam lainnya--terutama Arab Saudi? Beberapa persamaan memang bisa ditarik. Seperti Iran zaman Syah, Arab Saudi merupakan monarki absolut dengan minyak sebagai sumber kekayaan utama. Dan sebagaimana Iran dan Mesi r, Saudi adalah negeri sedang berkembang yang melompati tradisi untuk memasuki abad ke-20. Kemudian--dan mungkin yang paling penting-ketiganya adalah negeri dengan perasaan keagamaan yang pekat, tecermin dalam kehidupan sosial dan politik, dan kadang sulit dimengerti Barat. "Kejatuhan Syah dan pembunuhan Sadat merupakan kejutan yang sukar dilupakan Amerika," kata Robert Lacey. Dan, bila "transisi radikal" serupa itu terjadi pula di Arab Saudi, Barat konon akan lebih terperangah lagi. Tak heran: Saudi, yang menguasai seperempat kebutuhan minyak dunia, juga sekarang memiliki seperangkat senjata perang mutakhir buatan Amerika. Kecemasan terutama mcnghinggapi kalangan bisnis Barat. Sebab seperti halnya Iran zaman Syah, Arab Saudi adalah pasar yang menguntungkan bagi mereka. Di sinilah mereka memasang 'umpan' yang selalu mcngena apalagi setelah kenaikan harga minyak 1973. Tapi menanam:modal di negeri ini ada mlnganduko. Tatkala huru-hara anti-Syah becamuk, berbagai perusahah asing kehilangan duit antara US$ 40 juta npai US$ 50 juta di Iran. Kini para pengusaha itu harus berpikir berulang-ulang sebelum kehilangan tongkat kedua kalinya. TAK heran bila ketika gerombolan bersenjata menguasai Masjidil Haram diMekah, 1979--tahun yang sama dengan keiatuhan Syah Iran--Barat pada deg-degan: mereka bersiap-siap menyaksikan pementasan skenario dengan garis besar yang sama. Kekerasan dan chaos diperkirakan akan segera melanda seluruh Jazirah. Tapi tidak. Krisis itu ternyata tak sampai meruntuhkan Bani Saud, keluarga empat ribu bangsawan yang bertahta dan memerintah Arab Saudi. Kerajaan itu melalui masa uji-cobanya dan tak begitu saja bisa disejajarkan dengan negeri Tahta Merak Iran yang ternyata rapuh itu. Memang politik tidak begitu mudah bernapas di kerajaan ini. Namun di luar negeri toh masih hidup dan berkeliaran sejumlah pembangkang--yang kadang menyelenggarakan pertemuan di antara mahasiswa Saudi di berbagai perguruan tinggi Amerika. Juga menerbitkan majalah Shautut Taliah (Suara Pelopor). Mereka berkeluh-kesah akan sempitnya kebebasan di tanah air. Mereka mengumumkan korupsi dalam tubuh pemerintah Saudi. Toh, anehnya, mereka kemudian pulang ke kampung halaman secara diam-diam. Di pihak lain, Arab Saudi memiliki mekanisme yang unik menghadapi perbedaan pendapat. "Tak perlu bermanis-manis mengatakan masyarakat sana bebas dan terbuka, khususnya dalam pengertian Barat," kata Robert Lacey. "Semua orang asing di sana, terutama wartawan Barat, mengalami perasaan tertekan. Kewaspadaan sangat tinggi mewarnai pembicaraan. Tapi bila anda beroleh kepercayaan dari seorang Saudi yang tak puas, ia akan melampiaskan kekecewaannya dengan menggebu-gebu." Empat tahun lamanya Robert Lacey mengamat-amati Arab Saudi, termasuk 18 bulan bermukim di situ. Ia melakukan ratusan wawancara dengan segala pihak yang mewakili kehidupan negeri itu--dan, di sinilah yang penting, menemukan perbedaan para penguasa Saudi dengan para pejabat rezim Syah Iran. "Pemerintah As-Saud tidak membunuh lawan dan pencercanya," kata Lacey. "Mereka juga tidak melakukan penyiksaan." Di sana konon tak ada penjara politik. Para pemuka kerusuhan November 1979 di Qatif, Arab Selatan, hanya setahun mendekam dalam bui. Tahun kemarin para pembangkang Syi'ah yang ketularan pengaruh Khomeini itu dilepas ke tengah masyarakat. Tapi publikasi asing mengalami sensur berat. Majalah Amerika yang terpajang di kedai buku sudah disunat -- terutama bagian iklan arak, pakaian renang, bahlcan sekedar foto siti hawa, dengan bahu terbuka. "Koran lokal laksana buletin sekolah," kata Lacey. Memang ada keluhan kecil-kecilan, "tapi sama sekali tak ada pertanyaan yang mendasar tentang sistem yang berlaku." Sementara itu, di segi lain bukan tak ada cara yang bisa ditempuh seorang kawula Saudi yang ingin berkeluh-kesah. Bahkan kritik paling tajam boleh disampaikan kepada Raja,para pangeran dan menteri--tetapi hanya dalam satu kesempatan bertemu muka. Cara itu merupakan hak seorang kawula, yang dijamin penuh dan 100% sah. Bila kritik atau kecaman dilemparkan di depan umum, perkaranya jadi lain. Itu menunjukkan sikap tak hormat, memberi aib orang lain dan tidak urung menumbuhkan sakit hati. Memberi aib secara tak perlu memang ber tentangan dengan ajaran agama. "Arab Saudi adalah masyarakat dengan tata-krama yang tertib," kata Robert Lacey. Anak menghormati ayah, yang muda menghormati yang tua. Seorang anak, betapa pun tuanya, tak diperkenankan merokok di depan ayah bundanya. Juga para pangeran muda segera menutup mulut bila pangeran senior masuk ruangan. Segala sesuatu bagai mengandung hirarki, yang diterima dengan semacam perasaan wajib. Boleh jadi disiplin sosial ini salah satu tiang penyangga monarki itu--hingga sanggup bertahan sampai sekarang. Dalam hal ini pula Robert Lacey melihat perbedaan Saudi dengan Iran zaman Syah. Para remaja Saudi berlumba-lumba ke luar negeri. Mercka mereguk kehidupan college Amerika sepuas-puasnya, merasakan atau mencium-cium mulai dari obat bius sampai aksi demonstrasi. Tapi setelah tamat, mereka pulang kampung -- mengenakan tsaub, baju panjang dalam jubah, dan terjun dalam bisnis keluarga. Keluarga tampaknya merupakan pusat hal-ihwal. Seorang Saudi memang bisa saja bercerita tentang "way of life Islam" yang telah menyelamatkan mereka dari segala bencanadan pengaruh busuk abad ke-20. "Tapi sangat mudah dibuktikan, ikatan tradisional kekeluargaanlah yang menyumbangkan kepada kerajaan ini keterpaduan sosidl yang jarang dijumpai di dunia," menurut si pengarang. Banyak kawula Saudi menerima penghasilan US$ 200 seminggu alias lebih Rp 0,5 juta sebulan. Tapi lebih penting, tiap orang yakin bahwa d irinya terpaut pada keluarga, klan atau pun puak. Nama baik dan kekayaan kaum menandai harga diri seseorang. Melalui pemimpin kaum pula seorang kawula Saudi bisa berhubungan dengan Raja--termasuk untuk mendukung maupun mengambil dana kerajaan bagi puak pengembara Badui yang masih berkeliaran di padang gurun, sama seperti berabad-abad yang silam. Karena itu seorang Saudi yang papa--masih ada, memang--tak perlu khawatir bila misalnya ibunya sakit. Atau anaknya sudah cukup umur untuk sekolah. Atau bahkan bila ia membutuhkan sebuah sedan Buick tahun terakhir untuk berlebaran. Tepat pada waktunya, semua keperluan itu "bisa d iatur ". Mekanisme kekeluargaan inilah hakikatnya yang melicinkan roda pemerintahan Arab Saudi. Alkisah, pada 1981 sekawanan pengusaha cabang atas Amerika berkunjung kc Riyadh. Mereka ingin ambil bagian dalam Repelita Saudi. Mereka tak lupa menunjukkan daftar agen Saudi seperti J uffali, Alireza, Kashoggi, Ben Laden, Olayan -- semua nama gemerlapa,n dalam blantika usaha. "Mereka memang melakukan banyak hal untuk Kerajaan," ujar Pangeran Sultan ibn Abdul Aziz, Menteri Pertahanan dan Penerbangan, tanpa rasa kagum terlalu besar. "Tapi kami ingin anda melihat nama lain," katanya menambahkan. Maka, menurut salah seorang pengusaha itu, sang pangeran menyerahkan kepada tamunya sebuah daftar yang berisi nama "para singa muda Kerajaan"--yang akan memegang peranan pemerintahan di masa depan. Mereka itulah yang harus dihubungi. "Syah Iran tidak mengikuti gaya ini," kata Robert Lacey. Keluarganya memang mengambil bagian lebih banyak dari hak mereka sesungguhnya. Tapi hubungan elite Iran yang memerintah dengan rakyatnya tak pernah akrab. Di Saudi, ada banyak cara yang memungkinkan keluarga Istana-yang berjumlah 4000 orang itu--bersilaturahmi langsung dengan empat atau lima juta penduduk Kerajaan. Di Iran, mendiang Syah dan kerabatnya cuma terdiri dari beberapa lusin -dan terpulau di tengah 37 juta rakyat. Buruh pabrik dan orang upahan di Iran gampang berkembang menjadi proletar sejati. Di Arab Saudi, seorang marxis boleh meratap lantaran bingung mencari tempat hinggap. Syah Iran hanya mengeluarkan US$ S untuk setiap kepala rakyatnya per hari, dari empat juta barrel minyak yang ditambangnya setiap hari. Dengan kalkulasi yang sama, Saudi mengeluarkan US$ 75 untuk tiap kepala per hari--tak peduli lelaki, wanita, bahkan anak-anak. Robert Lacey lidak mencantumkan hadis Nabi yang jadi semboyan para penguasa Saudi: "Dekat sekali jarak bagi kemiskinan untuk menjadi kekafiran." Toh ada yang masih dirasa perlu disempurnakan. Hingga 1981, mereka masih sibuk menikmati rezeki yang melimpah. Tak ada tempat untuk urusan politik. Tapi setelah peristiwa Masjidil Haram, pemerintah menjanjikan sejumlah pembaruan. Antara lain pembentukan Majlis Syllro, semacam dewan konsultatif, bagi keikutsertaan politik rakyat. Tapi masih sulit meramalkan langkah yang mungkin di ayunkan dewan semacam itu. Demokrasi Barat, kita tahu, menciptakan sebuah masyarakat tempat adik bersaingan dengan kakak dalam pemilihan umum--dan tempat anak membantah sang ayah. "Cara ini belum masuk hitungan Saudi," kata si pengarang. Satu-satunya lapisan penduduk yang bisa diibaratkan dengan kaum proletar ialah pekerja (mungkin lebih tepat: kuli) asing, yang mencari makan di negeri itu dengan menjual otot. Jumlah mereka antara dua sampai tiga juta. Sekitar satu juta di antaranya datang dari Yaman, Utara maupun Selatan. Beberapa pengamat khawatir, dalam suatu pergolakan atau konflik di Arab Saudi, para perantau inilah yang akan membentuk semacam kolone kelima. Namun sampai saat terakhir tak ada tanda yang mempertautkan mereka dengan kegiatan politik. Yang pasti, keberadaan para perantau itu di Arab Saudi secara tidak langsung membantu keadaan ekonomi negeri kampung halaman mereka masing-masing--sambil, menurut orang Saudi sendiri, kadang-kadang "menelurkan penyakit buruk" pada penduduk setempat. Dan di tengah segala persoalan itu ' bersemayamlah keluarga besar AsSaud--dengan segala kekuatannya. Mereka adalah pendiri kerajaan ini. Mereka menniliki latar belakangsejarah yang perwira. Dengan beberapa pucuk bedil, unta, dan iman yang berapi-api, mereka mempersalukan para syeikh Arabia pada tahun-tahun pertama abad ini--dan menegakkan sebuah kerajaan yang bermeteraikan nama mereka sendiri. "Arab Saudi adalah satu-satunya bisnis keluarga yang mempunyai perwakilan di PBB," kata Lacey sedikit bergurau. Sebagian besar legenda Saudi berpusat di sekitar Abdul Aziz Ibnu Saud, ayahanda Raja Khalid, Pangeran Fahd dan almarhum Faisal. Abdul Aziz menaklukkan Riyadh melalui serangan malam yang nekat, Januari 1902. Hatta dalam pertempuran itu, salah seorang sepupunya membunuh gubernur Turki yang memerintah Riyadh. Untuk membalaskan dendam dengan cara istimewa, maupun sekedar selingan, konon ia mengambil ginjal gubernur itu, dan melemparkannya melewati tembok benteng. Pada saat yang sama, Abdul Aziz melintas di seberang tembok tersebut. Ginjal itu terhempas di pasir--hampir menyentuh kakinya Seorang budak yang mengiringinya segera meratap. "Aduhai, Baginda," serunya, "sepupu Baginda sudah terbunuh." Abdul Aziz terkesima--memperhatikan ginjal yang berpalut lemak itu. Kemudian ia membentak. "Omong kosong! Tak ada pangeran Bani Saud yang mempunyai ginjal berlemak seperti itu!". . . Puluhan tahun kemudian, generasi harimau gurun inilah yang masih memerintah dari Riyadh. Dan merekatampaknya tetap kompak. Dari 588 rang Saudi yang terbunuh dan tertangkap luka pada peristiwa Masjidil Haram, tak seorang pun berasal dari keluarga besar Saud. Padahal di antara 4000 anggota keluarga besar itu, banyak juga pangeran yang pemalas dan loba, kata Robert Lacey. Tapi rupanya sangat mudah menjinakkan anggota kaum yang punya ambisi besar. Dia diberi tanah, plus uang cukup untuk membangun istana di tanah itu. Rekening listrik dan teleponnya ditanggung. Pokoknya dia tak perlu pusing tujuh keliling memikirkan nafkah. Anaknya bahkan digaji sejak berusia 3 (baca: tiga) tahun. Nah. Selama ia tak mengusik orang lain, tidak akan ada yang berani merepotkannya. Tapi kalau ia mencoba mencari gara-gara, bukan tak ada risiko menunggu. "Ada beberapa pangeran mendekam di dalam penjara saya saat ini," ujar Pangeran Salman, Gubernur Riyadh, menjawab seorang tamu yang ingin tahu tentang hak-hak istimewa kepangeranan. Penguasa Kerajaan memang tak sudi melihat salah seorang sanak dipermalukan di depan umum. Para pangeran tak boleh 'diamankan' dalam penjara biasa. Tapi bila mereka melanggar peraturan, atau berbuat onar--misalnya skandal mengenai wanita, berikut bukti cukup--hukum keluarga akan dijatuhkan dengan keras. Saat ini, setiap warga Saudi dapat bepergian ke seluruh penjuru tanah air tanpa kesulitan ongkos. Pajak pendapatan tak dipungut. Begitu pula pajak penjualan bagi warga negara. Kecuali zakat, yang memang diwajibkan agama. Sekolah gratis--bahkan para pelajar mendapat uang saku, putra maupun putri. Dalam memperhitungkan biaya hidup, yang dipersoalkan bukan lagi bagaimana mencari uang lebih banyak. Melainkan bagaimana membelanjakannya. Pertambahan rumah sakit, sekolah dan jalan raya, selama tahun-tahun terakhir ini, pesat luar biasa. Secara berlebihan Bani Saud ingin melimpahi rakyanya dengan barang terbaik yang bisa dibeli dengan uang. TAK ada negeri sosialis yang dapat berbuat lebih baik - dari kerajaan ini," ujar Robert Lacey. Setiap orang asing yang berkunjung ke sana secara tetap, selalu terperanjat melihat perubahan besar yang terjadi setelah kunjungannya terakhir --meski kunjungan tersebut itu baru beberapa bulan sebelumnya. Tapi, menurut si pengarang, langkah maju iRi tak akan berlangsung abadi. Bila langkah itu berhenti, tibalah saat ujian bagi para penerus Dinasti Saud yang memegang kendali. Bila produksi minyak dunia--antara lain dengan ditemukannya ladang minyak di negeri-negeri lain--terus berlimpah, agaknya tiba saatnya Arab Saudi berpikir untuk mulai mengetatkan ikat pinggang. Dan saat itu bisa tiba lebih cepat dari yang dibayangkan orang. Pada saat yang sama, kekuatan-kekuatan tertentu akan bertambah besar. Kerabat kerajaan yang sekarang berjumlah 4000 orang itu mungkin akan tampil sebagai penentang hukum sejarah, politik, logika. Tapi siapa yang berani muncul sebagai otak penggerak, untuk mencoba menggulingkan mereka ? Misalkan ada sekelompok serdadu pembangkang yang mencoba nekat membunuh Raja Khalid dan setengah lusin saudaranya. Toh masih ada beberapa lusin pangeran, dengan kemampuan dan latar belakang pendidikan yang sama, siap tampil seketika. Tatkala, Raja Faisal dibunuh oleh seorang kemanakan yang bingung, Maret 195, pemerintahan berlanjut tanpa sempat mengalami keadaan vakum. Bani Saud memang sudah berjuang mati-matian membuat kerajaan itu milik mereka--kadang harus berhadapan dengan kekuatan asing dan Barat. Bahkan dalam bencana yang paling buruk, sulit membayangkan keempat ribu bangsawan itu berbondong-bondong menaiki pesawat jet untuk hengkang ke Mesir--seperti yang dilakukan Syah Iran. Beberapa kritikus Arab percaya, tanpa Bani Saud kerajaan itu akan ambruk berkeping-keping. Hanya keluarga besar itulah yang mampu mempersatukan bagian timur, barat dan tengah negeri itu di bawah satu kekuasaan. Merekalah yang mafhum meredakan konflik pelbagai aspirasi --badui, pemuka agama, para saudagar, teknokrat, dan kaum militer. Dan masing-masing kelompok ini menyadari kelebihan Kerajaan dalam hal itu. Ada kalanya para pengamat asing menyimpulkan, bertambahnya angkatan muda Arab yang terdidik dan mengalami westernisasi--para teknokrat -baru--merupakan sumber potensialisasi yang akan melawan. Tapi mereka lupa, pada akhirnya bukanlah kaum teknokrat yang menggulingkan Syah Iran atau membunuh Anwar Sadat -- kata Robert Lacey. Perbedaan pendapat di antara anggota keluarga Kerajaan, memang, bukan tak ada. Mustahillah kiranya 4000 orang itu sama bersetuju menghadapi pelbagai persoalan --misalnya mengenai hubungan Saudi dengan Israel, atau seberapa dekat mereka boleh bersahabat dengan Amerika Serikat. Tapi dalam menghadapi seteru yang mengancam sendi kekuasaan, mereka senantiasa kompak. Dan elite inti yang kini memerintahsudah berpengalaman hampir 20 tahun. Ambillah umpamanya Putra Mahkota Fahd. Atau Pangeran Abdullah, yang hampir sejajar martabatnya dengan Fahd dan mengepalai Pasukan Keamanan Nasional. Atau Pangeran Sultan, Menteri Pertahanan dan Pener-, bangan. Atau Pangeran Salman, Gubernur Riyadh. Atau Pangeran Nayif, Menteri Dalam Negeri. Mereka ini tampil sejak awal 1960-an, dan senantiasa serasi menangani bersama berbagai masalah. Sebagai anggota lembaga kekuasaan, masa jabatan mereka hanya bisa dibandingkan dengan para anggota Politbiro Partai Komunis Uni Soviet di bawah Leonid Brezhnev. Sebetulnya sulit sekali membandingkan Arab Saudi dengan pemerintahan manapun di dunia Sebab "Raja Khalid bukan raja yang biasa," kata Robert Lacey. Di negeri yang ditegakkan atas nama dan melalui mekanisme agama, ia adalah imam. Di tengah masyarakat dengan hubungan keluarga demikian ketat, ia adalah orang tua. Dan di antara pelbagai suku dan puak yang selama berabad-abad menghuni dan mengembara di seantero semenanjung itu, kaumnya kebetulan paling unggul. Dialah amirul umara dan syaikhul masyayikh, ketua di antara semua ketua dan syeikh dari sekalian syeikh-mata rantai sebuah ikatan kekeluargaan tradisional yang berakar sangat dalam di tengah budaya asli Arab. Dalam hal ini sungguh tak adil membandingkan kekuasaannya dengan posisi yang pernah dipegang Syah Iran. Apa lagi bila seseorang mendapat kesempatan menyaksikan Raja Khalid menerima tamu-tamunya--sebelum shalat dhuhur, di Istana al-Ma'atsir. Segala macam insan ada di sana. Baik penduduk kota yang mengenakan jubah berenda emas, maupun lelaki Badui yang datang bertelanjang kaki. Si buta, si lumpuh, bahkan kuli Mesir yang masih terbungkus pakaian kerja yang berlepotan. Mereka berkerumun di sekitar majelis, kadang sampai 80 atau 90 orang. Ketika waktu sowan tiba, mereka menjabat tangan Baginda tanpa ragu. Ada yang mencium bahu Sang Raja, beberapa merangkulnya atau berjingkat untuk mencium hidungnya. Tapi bila ada yang berlutut seraya mencium tangannya, Raja Khalid biasanya terkejut. Beliau segera berucap: "Astaghfirullah, mohon ampun kepada Allah." "Penyembah" itu akan disuruh berdiri, dan belajar bagaimana bersalaman secara wajar atau berpelukan dengan akrab. Sebagian besar tamu itu memanggil Baginda "Thawwil 'umrak". Teriemahan lurusnya bisa berbunyi "semoga panjang usiamu". Namun istilah ini tak bisa diterjemahkan begitu saja. Ia mengandung rasa menyingkirkan jarak tanpa mencampakkan rasa hormat. Sebagian tamu itu menyapa Sang Raja, "Ya Khalid." Ada yang sekedar mengatakan "Oh, Khalid"--seraya menyelipkan secarik kertas yang kusut (biasanya berisi pengaduan atau keluhan) ke tangan Baginda. 'Petisi' itu kadang-kadang hanya terdiri beberapa baris. Ditulis di selembar kertas yang disobek dari buku tulis anak sekolah, semuanya dalam aksara Arab tentu saja. Khalid biasanya menyerahkan kertas itu kepada seorang pembantu yang berdiri di samping Baginda. "Aku tak punya uang! Aku tak punya uang! " keluh seorang tua dengan janggut merah kelabu, mengadukan peruntungannya. "Mengapa?" tanya Khalid. Maka Badui itupun berceloteh tentang istrinya yang sakit, dan ongkos rumah sakit, sampai Khalid memotong: " Kami sudah menerima suratmu barusan. Nama anda siapa? Saya akan mempelajarinya. Sekarang pulanglah 'di bawah perlindungan Allah' ". Majelis semacam ini sungguh istimewa. Ia sangat dibutuhkan di tengah birokrasi, keangkuhan plus ketakberdayaan mesin pemerintahan. Mungkin ia bisa dinamakan semacam "demokrasi Arab". Tempat seorang pemimpin benar-benar 'bertemu rakyat' lembaga yang mendemonstrasikan keakraban penguasa dengan kawula--yang sudah tentu tak pernah terlintas dalam pikiran mendiang Syah Iran. "Mengenai satu hal, Barat selalu keliru," ujar Rober Lacey. "Karena mereka tak berkenan kepada monarki Islam otokratis, mereka menganggap semua orang di dunia juga berperasaan demikian." Padahal bagi kaum tertentu, bentuk yang tak disukai Barat itu merupakan tatanan yang bahkan dijunjung tinggi. Keluarga besar Saud mencapai kekuasaan melalui keringat dan darah. Mereka sepenuhnya berakar pada kekuatan yang tumbuh di dalam negeri. Berbeda dengan umpamanya mendiang Syah, yang memerintah dengar dukungan Barat. Tajuk rencana Shqutut Taliah memang sering mencela As-Saud yang mencatumkan nama mereka sebagai nama resmi kerajaan. Namun di bawah tangan bes keiuarga besar inilah, menurut Robert Lacey, Arab bangkit dari negeri yang paling barbar dan anarkis di Timur Tengah menjadi kerajaan yang dilirik para tetangganya dengan rasa cemburu. "Islam adalah alat yang dipakai untuk menyatakan chauvinisme Saudi dengan tegas," kata Lacey lebih lanjut. "Dan Islam pulalah yang menyeret hanyut mendiang Syah Iran." Tapi di Iran dan Saudi, Islam memainkan peranan yang berbeda. Para imam Wahhabi Arab--dari kelompok Sunni, mayoritas umat Islam minum teh setiap hari Senin bersama raja mereka. Sangat berbeda dengan ulama Syi'ah--baik dalam hirarki, hak-hak istimewa maupun kekuasaan. "Acara setelah siaran berita Kamis yang lalu sungguh memalukan," kata Syeikh Abdul Aziz Bin Baz kepada Raja Khalid suatu hari, dalam kesempatan jamuan teh itu. Ulama tua berjanggut ini salah seorang tokoh terkemuka dalam Kerajaan. Ia sedang berbicara tentang program siaran televisi. Ia pernah dijuluki "Khomeini Saudi". Dan sebagaimana Ayatullah Rohullah Khomeini, ia menentang westernisasi kehidupan di negeri-negeri Islam terutama melalui siaran televisi. "Perempuan dalam siaran itu," katanya melanjutkan, "sungguh-sungguh menggoda." "Menurut pendapat saya tak sampai begitu benar," sahut Raja Khalid dengan kalem. Dan biasanya diskusi putus sampai di sir Tradisi Sunni sebenarnya selalu mghormati penguasa, asal sekali mereka sudah dianggap betkenan menurut syarat-syarat agama. Dan para imam Saudi senantiasa menempatkan diri di sisi Bani Saud. Tatkala Juhayman bin Mohammad bin Seif altaibi mengambil alih Masjidil Haram, November 1979, tak seorang imam berpihak kepadanya. Kesalahan Juhayman terbesar ialah: memilih Masjid Suci sebagai pentas. "Jika ia menyerbu istana saya," kata Raja Khalid setelah peristiwa itu, di hadapan beberapa tamu asing, "boleh jadi ia beroleh sedikit sukses." Peristiwa itu juga membuktikan betapa lemahnya dukungan terhadap pembangkangan melalui kekerasan di Saudi sekarang ini. Bahkan kaum radikal Shautut Taliah tak menyokong penyerangan Masjidil Haram. Awal Januari 1980 J uhayman dan para pegikutnya menjalani hukuman mati. "Bani Saud sudah siap memasuki abad ke-21," kata Robert Lacey akhirnya. Beberapa penyanyi tv Saudi sekarang ini masih ingat masa dulu, ketika harus menyanyi sembunyl-sembunyi. Dua puluh tahun yang lalu orang bahkan tak boleh merokok di jalan. Harap diingat, bagi aliran Wahhabi yang masih asli rokok adalah haram, setidak-tidaknya makruh--"tak disukai agama" --lantaran pertimbangan kesehatan. April 1981, sebuah komite hukum Islam menetapkan: seorang perempuan Saudi dibenarkan menjumpai Qlon suaminya tanpa cadar. "Barang siapa melarang anak perempuannya, atau saudara perempuannya, menemui calon suami mereka, akan diadili sebagai orang berdosa," hardik komite itu, Menurut ukuran Barat, langkah itu mungkin sangat tak memadai. Syah Iran pun dulu berpendapat begitu: ia sering menyindir "konservatisme" Raja Faisal. Bahkan Anwar Sadat kerap menggunjingkan "keterbelakangan" para penguasa Ryadh. "Tapi para anggota Bani Saudlah yang ternyata ketawa paling akhir," kata Robert Lacey. Mereka tetap memerintah kerajaan yang luas itu, dan tetap menerima pengabdian bagian terbesar rakyatnya. Orang Saudi sendiri murka bila Barat terus-menerus mempertanyakan stabilitas mereka--seolah mereka tak lebih dari sebuah "republik pisang". Pada hemat mereka, kecemasan Barat tak lain akibat ketidaktahuan terhadap sejarah agama dan kebudayaan mereka. Apa lagi kecemasan Barat bertolak dari kepentingan Barat sendiri--bukan karena memikirkan keselamatan Saudi. Toh mereka menganggap Barat sahabat mereka. Ke mana lagi mereka harus menjual minyak? Di mana mereka dapat menanamkan petrodollar? Tapi mereka menolak diperlakukan sebagai "klien" Barat. Mereka pertama-tama, dan terutama, memandang diri sebagai pengawal Rumah Suci Islam. Bukankah ratusan juta umat IsIam di seluruh bumi memandang Mekah dan Medinah sebagai pusat keagamaan? Bukankah Nabi Besar Muhammad lahir di sini? Dari segi hankam pun, para penguasa Saudi mengambil sikap dengan jurus yang agak lain. Raja Khalid, atau Putra Mahkota Fahd, misalnya, bisa membaca keuntungan yang mereka peroleh dari mempersenjatai diri dengan pesawat-pesawat Awacs. Tapi sebenarnya mereka tak begitu ambil pusing mengenai senjata itu. "Kita bisa meramalkan keruntuhan Saudi setelah kejatuhan Syah dan terbunuhnya Sadat," kata Robert Lacey. "Tapi para anggota kerajaan itu memandang hal ikhwal dengan cara berbeda." Mereka sangat pandai belajar dari masa lampau. Pelajaran ini membuahkan keyakinan--haqqul yaqin--bahwa keselamatan mereka terpulang ke tangan mereka sendiri, setelah iradat Tuhan. Bukan pada perhitungan dan 'ramalan' para pengamat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus