Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Satu milyar wajah di belahan utara

Wajah cina menurut laporan a.m rosenthal, editor eksekutif the new york times, yang mengadakan perjalanan di negeri cina selama sebulan. (sel)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK Deng Xiaoping menyingkapkan tirai bambu Cina, dan menawarkan senyum ramah ke mana-mana, berbondong-bondong orang menjenguk benua kuna itu. Ada rombongan turis biasa, turis politik, kelompok profesi dan hobi, dan, tentu saja, wartawan. Di antara wartawan itu terdapat A.M. Rosenthal, editor eksekutif The New York Times. Dan ada yang istimewa pada Rosenthal. "Selama bertahun-tahun, saya selalu mengelak bila mendapat kesempatan berkunjung ke negeri itu," katanya. Ia sendiri mengaku, "keengganan ini terasa aneh". Tak kurang enam tahun Rosenthal bertugas sebagai koresponden asing di India dan Jepang. "Timur" sudah menjadi perhatiannya sejak lama. "Pada masa mudaku sebagai reporter," katanya, "mengunjungi Cina merupakan suatu idam-idaman." Tapi ketika awal 1970-an negeri itu membuka pintu bagi wartawan Amerika, Rosenthal ogah. Mengapa? "Karena aku muak setengah mati pada basa-basi Marxis-Leninis-liberasionis!" Bisa dipaham, ketika tiba-tiba ia menyatakan siap ke sana, Mei tahun kemarin, ia sudah memasang kuda-kuda. "Aku sadar tidak akan berhadapan dengan sekelompok libertian Cina. Melainkan dengan para setiawan komunis--mungkin dari jenis yang tak lagi terlalu galak." Hampir sebulan Rosenthal berada di negeri itu. "Sungguh menyesal aku bukan seorang penyair," katanya. Penyair, menurut wartawarl ini, adalah 'reporter terbaik'. Mereka "menceritakan segala-galanya hanya dalam beberapa kata." Kesan pertama yang diperolehnya, datang dari air muka para penduduk yang dijumpainya di mana-mana. Kesan ini, katanya, begitu kuat--mendahului sekalian catatan dan rekaman yang dibuatnya selama di sana. Ambillah misalnya air muka yang jernih dan penuh perasaan kemenangan, dari seorang pemimpin komune rakyat peternakan yang ditemui Rosenthal di Mongolia Dalam. Ketika itu Kelompok Empat yang dipimpin janda mendiang Mao sedang dicaci-maki habis-habisan. Semua malapetaka dipersalahkan pada mereka. Termasuk bencana banjir, kebakaran, di samping segala salah urus. Nah. Di situ sang pemimpin komune berkenan memberikan sedikit ceramah kepada Rosenthal--terutama yang berkenaan dengan peternakan. Ia, katanya, mengeluh menghadapi gangguan serigala. Dataran tinggi memang menjadi rumah anjing buas ini --dan para gembala setempat sedang diorganisasikan dalam kelompok-kelompok berburu. "Apakah selama kekuasaan Kelompok Empat lebih banyak serigala di Mongolia Dalam?" tanya Rosenthal sedikit menggoda. Sang pemimpin terdiam sejenak. Kemudian menjawab santun: "Ya, karena pada masa Kelompok Empat, perburuan serigala tidak diorganisasikan secara baik" . . . Kesan lain bisadiperoleh dari air muka Walikota Shanghai yang lincah dan keras, tidak keresmi-resmian. Pejabat ini berterus terang tidak begitu menghargai kebebasan menyatakan pendapat Baginya lebih penting mencegah berulangnya pengalaman masa lampau yang penuh duka. Rosenthal mengenangkan pula air muka gadis yang dijumpainya di Panti Rehabilitasi Anak Nakal. Wajah yang menyiratkan penderitaan batin, dan topeng 'resmi' yang tiba-tiba terlepas ketika sang gadis mengaku, "saya di sini karena kedapatan ada main dengan para cowok." Ada pula wajah terkagum-kagum orang yang dijumpainya dekat sebuah pasar di Xian, yang memandangi sang wartawan lewat jendela mobil sedan Hongqi (Bendera Merah) yang ditumpanginya. Mobil itu buatan dalam negeri, khusus disediakan bagi pejabat dan tamu penting. Tapi Cina tak hanya negeri penuh wajah. Ia juga penuh tangan, kaki, dan punggung. Di seluruh kawasan, pekerjaan tangan memegang peranan utama. Orang memikul dan berjalan kaki di mana-mana. "Inilah negeri yang mengandalkan otot dan yang bergerak dengan bahan bakar keringat," kata Rosenthal. Selama berada di negeri itu, suasana resmi hampir selalu menyertainya. Ada "sambutan rcsmi", "pemandu resmi", "pertemuan resmi", "wawancara resmi". "Tapi saya tidak merasa terganggu, ditunggui atau dipaksapaksa," katanya. "Saya sadar sedang berada di tengah masyarakat terkontrol." Para pejabatnya memang berusaha seterbuka mungkin--dengan hasil yang tak begitu memadai. Cina tampaknya sedang membutuhkan sahabat. Di mana-mana ada poster: "Kami mempunyai sahabat di seluruh dunia " Tapi para pejabatnya serba tak pasti akan nasib mereka di masa depan. Gambaran masa lalu yang pahit bisa saja tiba-tiba berada kembali di depan pintu. Bagi Rosenthal sulit menjatuhkan pilihan, kota-kota mana akan dikunjungi dalam suatu peninjauan empat minggu. Tapi berbekal bacaan, Beijing tentu masuk hitungan. Kemudian, mungkin, kota tambang Datong yang penuh gua Budhis, hanya semalam perjalanan kereta api dari Ibukota. Agaknya perlu juga ke Mongolia Dalam, yang bagai menjanjikan petualangan. Kemudian ke Xian, menghiruP suasana pedalaman dan melihat beberapa penggalian arkeologi. Chongqing (baca: Cunking) juga penting. Ini terletak di Provinsi Sichuan yang luas, dengan penduduk tak kurang dari 100 juta. Menarik pula berlayar di Sungai Yangtze yang penuh riwayat, sambil melihat-lihat cadas. Kemudian ke Yichang menengok waduk, ke Wuhan menyaksikan bekas bencana banjir dan kemarau. Akhirnya, tentu saja, Shanhai dan Canton. Setiap peninjau Cina tak boleh mengharapkan perjalanan pribadi. Ia harus merelakan dirinya menjadi bagian sebuah "unit". Jangan coba-coba membeli tiket sepur atau pesawat terbang seenaknya. Urus dulu izin bepergian dari kota ke kota, baru merencanakan angkutan dan akomodasi. Dan semua tetek-bengek ini diselenggarakan per "unit". Tak semua "unit" mempunyai kemampuan seimbang. Konon lebih baik tergabung dengan "unit" yang punya sangkut-paut dengan kotapraja. "Mereka menguasai hotel terbaik," kata Rosenthal. Hmm. Wartawan akan dibikin kenyang dengan sejuta pertemuan. Di tiap kota ada pertemuan khusus membicarakan "apa yang akan dilihat dan siapa yang bakal dijumpai." Ingin ketemu politikus? Orangnya sudah siap. Mau berkenalan dengan "pekerja teladan"? Tunggu saja beberapa menit. Mau melihat pabrik, museum? Puh, tinggal ngomong. Tapi jangan coba-coba nyelonong sendiri. Sistem politik Cina tak mengizinkan hal ini. Tak ada hotel yang menyediakan kamar untuk seorang asing yang gentayangan seenak perutnya. Juga tak ada tempat di pesawat terbang atau alat angkutan apa pun. Semuanya "terkontrol", baik untuk anak negeri maupun pendatang. Untuk yang senang bersendiri, Cina bukan tujuan yang tepat. Penduduk sana paling tertarik melihat orang asing. Lantaran bosan tiap kalimakan di hotel, suatu hari Rosenthal ingin makan di luar. Tuan rumah segera tampak sibuk, telepon sana telepon sini. Ketika akhirnya dia dibawa ke sebuah restoran, di sana sudah menunggu meja makan dengan tirai putih sekeliling. Tirai itu konon dimaksudkan melindungi sang tamu dari pandangan pengunjung lain yang kepingin tahu. Rosenthal menjelaskan kepada tuan rumah, betapa tidak enaknya makan ditudungi tabir. Penjelasan itu didengarkan dengan takzim, tapi tirai tetap terpasang. Salah satu kesulitan ialah mencari bahan untuk memperbandingkan negeri ini. Dengar apa ia bisa dibandingkan? Mungkin dengan permainan angka--yang kadangkala sangat menakjubkan. Apa artinya satu milyar, misalnya, sebagai angka jumlah penduduk di sana? "Artinya anda dapat berada di sebuah taman seluas Lincoln Center (tidak luas red) pada suatu lari libur, bersama ratusan ribu pengunjung lainnya," kata Rosenthal. Jalanan hiruk-pikuk. Jumlah orang di taman menyaingi jumlah batang rumput. Dengan penduduk 80% petani, penghuni kota mungkin sama banyaknya dengan jumlah penduduk Amerika Serikat. Bila ada sensus, sudah tentu tak semua orang bisa dicatat dengan cermat. Mao Zedong sendiri pernah menjawab wartawan asing: "Saya tak begitu percaya angka sensus kami." Ada negeri-negeri tertentu--anggota PBB--yang jumlah penduduknya seimbang dengan pengunjung Toserba di Shanghai pada hari belanja yang ramai. Dan tak banyak negara yang jumlah penduduknya menyamai penghuni Provihsi Sichuan--seratus juta. "Jangan tercengang,' kata Rosenthal, "satu dari empat penghuni bumi adalah orang Cina!" Maka bila nnemtdrakan segala sesuatu mengenai i/haj jangan lupakan angka. Ma Zedong pernah berkata, "hanya lima persen rakyat tak menyenangi saya." Artinya, Pak Tua itu tak disenangi 50 juta orang. Dari segi efisiensi, angka ini masih bisa dipertanyakan. Sepuluh orang karyawan bertugas di bagian penukaran mata uang asing di sebuah bank. Yang seorang bekerja tekun. Yang lain membaca koran, atau menyimak kamus. "Pemandangan seperti ini tampak di mana-mana." Untuk kepentingan pasar, angka pun tak kalah penting. Cina adalah satu milyar mulut yang siap mengunyah permen karet. Dua milyar kaki yang siap mengenakan sepatu. Tujuh milyar tubuh dalam seminggu yang siap menelan vitamin. Sekian milyar, milyar, milyar .... Tersebutlah konon, suatu ketika, seorang menteri mengajukan usul kepada Mao Zedong. "Kiranya anda sudi menambah pembagian pakaian kerja untuk kaum buruh, dari satu setel menjadi dua setel setahun," kata sang menteri. "Setuju," sahut Mao spontan, "Anda hitunglah dulu berapa pab-ik tekstil yang harus kita dirikan untuk menunjang keputusan itu . . . " JIKA tak ada pembatasan kelahiran, mungkin setiap orang harus berjuang untuk mendapat tempat berdiri," kata Rosenthal. Di sana, alat kontrasepsi dan pengguguran kandungan sama sahnya. Pasangan suami istri didesak dan dirayu untuk beranak tak lebih dari satu. Pemerintah memberi hadiah khusus bagi pasangan beranak tunggal. Bila anak kedua tiba-tiba nongol, hadiah dicabut. Di samping itu, keadaan sudah diatur demikian rupa sehingga tak ada tempat untuk keluarga beranak lebih dari dua. Misalnya dalam hal catu sandang pangan maupun perumahan. Bila anak ketiga datang, anggota keluarga yang lain harus ikhlas berbagi makanan dan ruang. . Mungkin karena itu pula anak Cina sangat dicintai lingkungannya. terutamaayah-ibu. Mereka ditimang, dibelai, dicium. "Ada semacam keharuan menyaksikan seorang ibu Cina mengecup putranya," kata Rosenthal. Sebab "mungkin sekali, anak itu akan menjadi anak satu-satunya." Satu hal segera terasa bila orang berada di salah satu kota Cina. Yaitu banyaknya manusia berkeliaran di luar rumah. "Siapa pula yang betah terkurung dalam apartemen seluas jamban?" kata Rosenthal. Semua orang berebutan ke jalanan, hilir-mudik, mengalir bagai pasang-surut segara. Seorang asing bisa mcrasa seperti setitik airdi tengah samudra manusia itu. Namun rupanya ada hikmah yang bisa ditarik. Kehidupan perol-angan yang paling terbuka justru bisa diserap di tengah 'masyarakat jalanan' itu. Baik di Mongolia Dalam, mau?un di Canton atau Sichuan, orang makan di udard terbuka--kadang sambil bertengger di sebuah truk yang sedang diperbaiki. Di Shanghai, seperti halnya di seluruh Cina, terdapat "perpustakaan udara terbuka". Selalu ramai pengunjung. Dengan uang seketip bisa disewa sebuah buku atau selembar koran. Di Xian, seperti halnya di manamana para kenalan bercengkerama di jalan-jalan. Bertutur dan bergunjing, tertawa terkekeh-kekeh. Jalan raya yang tidak hanya berfungsi sebagai penghubung lalulintas. "Pergilah ke jalanan, dan anda akan merasa berada di pedalanan Cina." Ada beberapa mobil dan truk -- semuanya milik pemerintah. Tapi kendaraan sebenarnya tak begitu penting. Orang lebih banyak mengandalkan kaki Jalanan juga digunakan sebagai tempat berjual-beli, potong rambut, dan--tentu saja--latihan militer. Tak jarang seorang komandan memberi pengarahan anah buahnya di tepi jalan, seraya dijadikan tontonan oleh sekawanan anak-anak. Sejak beberapa tahun terakhir ini, Cina menggalakkan pariwisata. Pemerintah 'orde baru' di bawah Deng Xiaoping tampaknya mengerti betul keuntungan yang bisa ditarik dari kegiatan ini. Mutu makanan dan hotel diperhatikan--tapi harga tak menentu. Harga di satu kota dengan kota lainnya bisa berbeda seratus persen. Untuk wartawan asing yang hendak berkunjung ke sana, Rosenthal menitipkan pesan Biasanya, seorang wartawan membekali diri dengan kamera, radio gelombang pendek, mesin ketik, dan alat perekam ukuran saku. "Tapi kalau ke Cina, jangan lupa membawa walkman," katanya. Itu, pita perekam yang digantung di leher dan disambungkan ke kuping. Sebab akan banyak waktu menunggu yang harus dilewatkan di sana. Misalnya menunggu berjam-jam akibat kekisruhan jadwal penerbangan. Nah, pada saat seperti itulah dibutuhkan walkman. Mei 1981 itu, pemerintah Cina sedang menangani "persoalan Mao". Saban hari potretnya diturunkan dari pelbagai dinding, kecuali hari Minggu. Namun secara rcsmi, ia sebenarnya masih pahlawan. Dan meski sudah jadi mummi, Mao Zedong rupanya masih menimbulkan soal. Cepat atau lambat Partai Komunis Cina (PKC) pasti mengeluarkan keputusan mengenai mendiang. Sebab rupanya masih banyak perkara yang harus jelas. Misalnya, sejauh mana Mao bertanggungjawab atas "tragedi Cina". Bagaimana tempatnya dalam sejarah. Atau pantaskah ia dipatungkan. Deng Xiaoping sendiri sampai saat ini tak lebih dari Wakil Perdana Menteri. Tapi secara praktis, tangannyalah yang menggenggam pucuk kekuasaan. Tokoh ini memang istimewa. Cepat berbicara, gesit bergerak--dan agaknya juga berpikir. Dua kali ia disingkirkan para Maois--toh bangkit kembali, hampir gilang-gemilang. "Selama dua dasawarsa, Cina terjerembab ke dalam kesalahan besar," kata Rosenthal. Dimulai pada penghujung 1950-an. Tak perlu disangsikan, Mao dan PKC ambil bagian dalam kekeliruan ini--setelah mereka mengambil alih kekuasaan pada 1 Oktober 1949. Tapi selama ini tak ada yang berani bicara. Sebab ini melibatkan sisi yang sangat mendasar dari masyarakat komunis Cina. Lompatan Besar Ke Depan, yang dilakukan 1958-1960, telah meajadi lompatan jauh ke belakang. Tujuan tak tercapai, gagasan komune rakyat yang indah itu centang-perenang, negeri kacau, rakyat terengah-cngah, dan Cina hanyut dalam pertumpahan darah. Kemudian meletuslah Revolusi Kebudayaan (1966-1976), yang hakikatnya sebuah amuk gila-gilaan. Perguruan tinggi ditutup, belajar dan bersolek dianggap pekerjaan setan, jutaan orang disingkirkan ke pedalaman. Cina bagai terputus dari dunia luar. Kehidupan masyarakat dan keluarga remuk redam. "Dan kita tak tahu berapa banyak jiwa tcrbunuh," kata Rosenthal. ADA suatu hari di Beijing, Rosenthal diberitahu akan -- berjumpa dengan seorang pejabat penting. Namanya masih dirahasiakan. Sang wartawan diminta melmbuat daftar soal yang akan dibirakan. Malah sebelum berhadapan dengan sang pejabat, ada semacam Femuari pemanasan - dengan Wakil Menteri Luar Negeri. Ketika harinya tiba, pejabat penting itu ternyata Huang Hua, Menteri Luar Negeri. Huang tokoh yang banyak berada di luar Cina. Bahkan pada tahun-tahun yang paling gawat, para Maois membiarkan ia bertugas di luar tanah air. Rosenthal sudah berjumpa dengan Huang di New York. Dan kini posisinya bertambah kuat. Selesai basa-basi, Rosenthal melemparkan sebuah pertanyaan. Huang memandang sejenak--ken7udian mulai berbicara. Dan ia berbicara, terus-menerus selama 15 menit, menguraikan panjang lebar "Sejarah Modern Cina", dimulai dari hari-hari pertama kemenangan PKC. Tak ada yang boleh bertanya. "Mula-mula saya bingung," kata Rosenthal. Tampaknya, pertanyaan apa pun yang diajukan, jawabannya adalah ceramah itu. Rosenthal bertambah jengkel ketika melihat para wartawan Cina yang menemaninya mulai mengantuk. Akhirnya pidato itu berhenti juga. Barulah Huang menyinggung "daftar persoalan" yang diajukan sang wartawan. Ia membicarakannya satu per satu, di luar kepala. Dan itu makan waktu satu jam. Tiba saatnya menyinggung Mao, Huang tampak hati-hati. Tapi ia mengaku, PKC sudah mencapai semacam konsensus Mao memang melakukan beberapa kesalahan serius. Namun ia tetap seorang pemimpin besar dan pemikir. Buah pikirannya masih dipelajari, dianalisa, direnungkan. PADA 30 Juni 1981, konsensus resmi mengenai Mao Zedong diumumkan. Selurya membutuhkan 35 ribu kata. "Dan Huang menjelaskannya dalam beberapa menit saja," kata Rosenthal. "Dan, ketika sampai pada bagian penjelasan itu, para wartawan Cina yang tertidur tadi segera bangun." Selama berabad-abad, negeri ini menjadi korban yang empuk Mulamula korban dinasti dalam negeri yang congkak. Kemudian datanglah kekuatan Eropa dengan kapal-kapal meriam, yang menghiasi Kota Shanghai dengan pengumuman: "Terlarang untuk anjing dan orang Cina." Lalu dang Jepang. Sementara itu para bandit dan para jawara bersimaharajalela. Harapan Sun Yat Sen remuk di tengah kacau-balaunya rezim nasionalis Perang sipil berkecamuk, Mao dan PKC berhasil merebut kekuasaan. Setelah itu, menurut keyakinan mereka, Cina "dicurangi Uni Soviet". "Permusuhan Cina dengan Amerika Serikat sebetulnya tidak begitu besar," kata Rosenthal. Kedua kekuatan ini memang berhadapan dalam Perang Korea. J uga dalam Perang Vietnam secara tidak langsung. Tapi "kini, ti daklah terlalu sentimental mengatakan bahwa berada di sana seperti berada di kawasan yang bersahabat." Menurut kelompok Deng, "dosa" dinasti terdahulu--termasuk Mao-ialah kegagalan mercka membawa Cina ke pentas pengetahuan masa kini. Cina Kuna memang disemangati hasrat untuk maju--tapi mereka membiarkan pengetahuan menjadi milik segelintir orang. Deng membuka pintu, tapi ia tetap canggung. Selamat datang, teknologi. Silakan masuk, modal asing, tapi jangan terlalu kapitalistis. Kami ingin tahu kebudayaan asing, tapi ingat, sastra dan seni harus selalu mengabdi rakyat Dan para pengarang itu, mereka selalu muncul dengan pclbagai gagasan gila. Langkah baru ini mengandung banyak risiko. Industri berat dikurangi. Pertanian dan produksi bahan konsumsi ditingkatkan. Tcrutama sepeda, radio, sandang, pangan, bahkan pesawat televisi pribadi. Pada zaman Mao, langkah ini bisa dituding kapitalistis. Beberapa pabrik besar ditutup. Untuk pertama kalinya pengangguran diakui di Cina. Sebagai jalan keluar, Deng memberi kesempatan rakyat berwiraswasta. Lalu melihat peluang ini, banyak usaha partikelir muncul. Karena mengupah orang merupakan pekerjaan terlarang di Cina, timbullah pcrkongsian. Ada yang membuka warung, ada yang mengusahakan bengkel sepeda. Boleh pula mengambil kemeja ke pabrik, kemudian menjualnya di "pasar bebas". Dulu pabrik hanya bertujuan meningkatkan produksi. Kini mereka harus mencari laba. Para petani menjual hasil buminya langsung kepada pembeli Anehnya, mereka memasang harga yang sedikit lebih tinggi dari harga toko pemerintah Tapi tetap laku. Soalnya pembeli boleh memilih yang terbaik. Suatu hari, Rosenthal mengunjungi panti rehabilitasi anak nakal di Shanghai, agak di luar kota. Terdapat 200 anak lelaki di satu sekolah, dan 50 anak perempuan di tempat lain yang terpisah satu mil. Mereka terlibat "kejahatan ringan" seperti mencuri, melakukan kebiasaan buruk, atau kejahatan seks. Bagaimana mcreka sampai ke sana? Bila remaja itu membuat onar di sekolah, guru mengirim surat kcpada orangtua, mengusulkan anak bersangkutan dikirim ke panti setahun dua--untuk "pendidikan dan latihan". Bila orang tua tak setuju, si anak menjadi urusan ' polisi. Di panti ini remaja diingatkan akan kekeliruannya--melalui kritik dan diskusi. Ia dilatih mencintai kegemaran yang sehat, diselamatkan sebelum terjerumus ke dalam kesulitan yang lebih besar. "Tempat itu memang tidak seperti surga," kata Rosenthal. "Tapi sebagai warga sebuah negara tempat panti yang sama menjadi pusat latihan kriminal, dan para penghuninya saling memperkosa, saya tak bisa mengejek konsep Cina ini." Berjumpa dengan Walikota Shanghai, Wang Daohan, mungkin tak sama dengan berjumpa walikota lain. Ia orang penting PKC. Seorang ekonom yang "diturunkan" ke lapangan untuk membenahi Shanghai, kota dengan 11 juta penduduk. Shanghai adalah jantung eksporimpor Cina. Dan meski jabatannya walikota, Wang seperti tak ambil peduli dengan urusan jalan berlubang atau kebersihan kota. Ia lebih memusatkan perhatian kepada produksi, pertukaran internasional, perdagangan antarbangsa. Kepada tamunya, Wang mengaku seorang Marxis-Leninis seumur hidup. BILA orang Cina berbicara mengenai "pembebasan", yang dimaksud adalah Revolusi Komunis 1949. "Memang ada benarnya," kata Rosenthal. Setidak-tidaknya bebas dari perang sipil, dan dari suatu periode runyam, menuju masa depan penuh harapan. Kini, setiap orang tak bisa meremehkan jalan raya yang bersih, sekalipun di kota tepi sungai. Pengemis tak tampak. Lalat hilang. Orang sakit tak berkeliaran di jalanan. Mungkin saja prestasi itu dicapai dengan cara kekerasan. Siapa tahu? Pada 1950, sesaat setelah kemenangan Partai Komunis, umur rata-rata penduduk negeri itu 4,5 tahun. Pada periode 1975-1980 meningkat menjadi 62,1. Memang selama itu umur rata-rata di bet bagai negeri Asia meningkat. Tapi secara faktual, sampai di pedalaman Mongolia Dalam terdapat unit paramedis. Dan semangat merawat diri mendapat perhatian. Kehidupan remaja terhitung asyik. Terutama yang berkisar antara umur 15 sampai 18 tahun. Mereka terlalu muda untuk sempat terlibat huru-hara Pengawal Merah, dan terlalu tua untuk politik buka pintu Deng. Mereka tangkas, cerah, bersemangat. Mereka biasa tampak di bar hotel, mempraktekkan bahasa Inggris dan Prancis. Seorang wartawan Swiss mendekati remaja yang berbahasa Prancis, mengacungkan mikrofon, meminta pesan sang remaja untuk rakyat Swiss. "Tak ada apa-apa, hanya segala keinginan baik," katanya. "Mereka tak memandang kami sebagai orang asing yang berbahaya," kata Rosenthal. "Hanya sebagai penggemar bir yang bisa dijadikan sasaran praktek." Sampai sekarang totalitarianisme selalu dikaitkan dengan kamp tahanan. Konon, jutaan orang lenyap dalam kamp tahanan selama kekuasaan Mao. Tak ada yang tahu angka pasti. Seorang pejabat Mongolia Dalam berhasil dipancing dan mengatakan 10 ribu orang tewas di sana. Dan provinsi itu termasuk berpenduduk tipis. Banyak orang yang mempunyai pengalaman dipenjarakan, dibuang, dipekerjakan di lapangan bertahun-tahun, dipermalukan di hadapan umum. Tapi biasanya tak ada yang mau bercerita terus terang. Siapa tahu, rezim yang dicacinya tiba-tiba kembali berkuasa? Rosenthal agak beruntung. Dr Chongqing, ia mendengar cerita tentang Ren Baige, bekas walikota sana. Ia mengunjungi balaikota berbentuk pagoda, tempat Ren pada 1967 dipaksa berdiri di atas kepala--sementara empat ribu rakyat menyorakinya dan mengumumkan "kejahatan"nya. Ia kemudian dibuang--dan baru direhabilitasikan sepuluh tahun kemudian. Tapi sampai sekarang pun rakyat masih bimbang. Kalau kelompok "kiri" berhasil mendongkel Deng, mereka percaya Cina akan tenggelam dalam perang sipil. "Kiri" adalah julukan yang diberikan kepada kelompok garis keras ajaran Mao. "Kanan" adalah kelompok pintu terbuka yang menyetujui sejumlah kebebasan, kaum pragmatis yang menjadi pendukung Deng. Sejarah Cina memang penuh penderitaan. Menderita di bawah para jagoan perang, menderita di bawah kekuatan asing, menderita di bawah tirani bangsa sendiri yang korup. Pemberontakan dan huru-hara sangat lumrah. Penguasa yang satu dapat tampil kembali setelah dikalahkan bertahuntahun. Apalagi melihat kenyataan Partai Komunis. Pahlawan kemarin bisa saja menjadi kutu busuk hari ini. Tapi salah satu realitas setelah "pembebasan", ialah surutnya kelaparan secara drasis. Toko-toko memang tak memajang barang mewah melimpah, tapi ada kalanya lebih baik dari persediaan barang di sementara toko Eropa Timur. Buruh Cina tak menerima upah besar. Tapi ia tak mengeluarkan uang untuk menyewa rumah. Ia bisa menabung sisa keperluan pangan untuk membeli sepeda, radio, barangkali juga pesawat televisi. Di Beijing ada pasar berlorong banyak--tempat ratusan ribu orang berkeliaran pada akhir mirggu. Mereka membeli mainan anak-anak, manisan, lampu, sepatu, radio, jambangan, buku, kamera, koper, kemeja, minuman keras. Bagaimana Cina memberi makan satu milyar orang setiap hari? 800 juta penduduk bekerja di sektor pertanian. Celakanya, hanya 105 dari luas daratan terhitung baik untuk bercocok tanam. Karena itu masalah pokok adalah pertanian. Tegasnya: mencukupi kebutuhan pangan. Soal lain boleh men jadi nomor dua. DAN tanah menjadi penting bukan main. Kecuali di kota besar, suasana pertanian terasa di mana-mana. 1anah subur dihemat luar biasa. Tiap bukit di sepanjang Sungai Yangtze ditanami. Di Xian, banyak sekolah yang dibangun seperti gua-dengan memahat bukit batu. Bukan untuk persiapan perang--melainkan sekedar usaha memanfaatkan tanah untuk pertanian. Selama 20 tahun terakhir, jumlah penduduk berkembang dari 640 juta menjadi 940 juta. Tapi luas tanah subur berkurang. Pada 1957 masih terdapat 264,397 juta ha tanah subur. Dua puluh tahun kemudian jumlah itu susut menjadi 244,629. Mau apa? Mao Zedong pernah kiprah dengan sistem komune rakyat, yang akhirnya menambah penyakit. Ia memaksa tanah patuh padanya. Padang rumput ingin disulapnya menjadi ladang gandum. Padahal, ada tanah yang menang hanya subur untuk ditanami rumput, bukan gandum. Buktinya: di dekat Mongolia Dalam terdapat dataran yang kini tandus berdebu. Dulu di situ rumput membentang hijau. Mao tak berkenan--dan memerintahkan penanaman gandum. Tapi kondisi tanah tak mengizinkan. Akibatnya, rumput hilang gandum pun mati. Tinggal gurun kuning berdebu. Musuh pokok Cina sekarang ini adalah Uni Soviet. Dahulu "saudara tua", "mercusuar dunia komunis", tapi kini sama busuknya dengan "setan imperialis". Seluruh politik luar negeri Cina sendiri sekarang berpusat di sekitar Soviet. Sering orang Cina ditanya tentang kemungkinan persahabatan kembali dengan Soviet, di bawah pemerintahan Cina yang baru dan pemerintahan Soviet yang baru. Tak mungkin, kata mereka. Orang Rusia sudah disamaratakan dengan imperialis. Sepanjang perjalanannya dari Beijing sampai Canton, Rosenthal selalu bermain jebakjebakan. "Siapakah sesungguhnya yang berhak atas Mongolia Luar?" tanyanya kepada pejabat setempat. "Secara historis pemiliknya adalah kami," sahut sang pejabat. "Tapi dalam perundingan Yalta, imperialis Rusia menekan Chiang Kaishek, melalui Inggris dan Amerika Serikat, untuk mengakui Mongolia Luar yang merdeka di bawah pengaruh Soviet." "Baiklah. Siapa yang memerintah Rusia ketika itu?" Stalin! "Lha, mengapa kalian memdsang gambar Stalin, sang imperialis itu, sejajar dengan gambar Marx, Engels dan Lenin di Tian An Men?' Biasanya sampal di sini tuan rumah terbengong-bengong. Perantau Cina yang datang sebagai turis, mendapat perlakuan istimewa. Bukan saja karena bahasa yang sama, yang menyingkirkan sejumlah penghalang. Tapi mereka juga diizinkan pergi hampir ke mana saja. BiasanYa mereka datang menengok sanak-saudara. Datang dalam jumlah ribuan, mereka mengangkut berbagai tetek-bengek. Jam tangan, pesawat televisi, ruparupa barang kelontong. Pemerintah tampaknya tak khawatir rakyatnya tergiur melihat kemewahan yang dipamerkan para Hoakiau itu. "Mencari kebenaran melalui fakta," demikianlah semboyan Deng Xiaoping. Tapi sampai di mana keinginan ini bisa dipercaya? Bagi pengunjung asing, Cina modern terasa terlalu santun, nyaris tak menawarkan kegairahan. "Kegairahan satu-satunya ada pada kenikmatan makanan," kata Rosenthal. Kesahajaan yang ditanamkan Mao membekas dalam. Hampir semua pria dan wanita mengenakan pakaian biru, hijau atau kelabu. Kesimpulan memang tak begitu penting. Dengan latar belakang apa kesimpulan harus dibuat? Dengan perbandingan apa, logika apa? Betulkah Deng lebih baik ketimbang Mao, atau sebaliknya, untuk menentukan hidup satu milyar manusia? "Saya sendiri masih ingin mengunjungi negeri itu lagi suatu ketika," ujar Rosenthal. "Saya ingin melihat provinsi jauh di bagian barat dan selatan yang tak sempat saya datangi. Saya juga ingin kembali menengok Beijing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus