SEJAK Deng Xiaoping menyingkapkan tirai bambu Cina, dan
menawarkan senyum ramah ke mana-mana, berbondong-bondong orang
menjenguk benua kuna itu. Ada rombongan turis biasa, turis
politik, kelompok profesi dan hobi, dan, tentu saja, wartawan.
Di antara wartawan itu terdapat A.M. Rosenthal, editor eksekutif
The New York Times. Dan ada yang istimewa pada Rosenthal.
"Selama bertahun-tahun, saya selalu mengelak bila mendapat
kesempatan berkunjung ke negeri itu," katanya.
Ia sendiri mengaku, "keengganan ini terasa aneh". Tak kurang
enam tahun Rosenthal bertugas sebagai koresponden asing di India
dan Jepang. "Timur" sudah menjadi perhatiannya sejak lama. "Pada
masa mudaku sebagai reporter," katanya, "mengunjungi Cina
merupakan suatu idam-idaman."
Tapi ketika awal 1970-an negeri itu membuka pintu bagi wartawan
Amerika, Rosenthal ogah. Mengapa? "Karena aku muak setengah mati
pada basa-basi Marxis-Leninis-liberasionis!"
Bisa dipaham, ketika tiba-tiba ia menyatakan siap ke sana, Mei
tahun kemarin, ia sudah memasang kuda-kuda. "Aku sadar tidak
akan berhadapan dengan sekelompok libertian Cina. Melainkan
dengan para setiawan komunis--mungkin dari jenis yang tak lagi
terlalu galak."
Hampir sebulan Rosenthal berada di negeri itu. "Sungguh menyesal
aku bukan seorang penyair," katanya. Penyair, menurut wartawarl
ini, adalah 'reporter terbaik'. Mereka "menceritakan
segala-galanya hanya dalam beberapa kata."
Kesan pertama yang diperolehnya, datang dari air muka para
penduduk yang dijumpainya di mana-mana. Kesan ini, katanya,
begitu kuat--mendahului sekalian catatan dan rekaman yang
dibuatnya selama di sana.
Ambillah misalnya air muka yang jernih dan penuh perasaan
kemenangan, dari seorang pemimpin komune rakyat peternakan yang
ditemui Rosenthal di Mongolia Dalam. Ketika itu Kelompok Empat
yang dipimpin janda mendiang Mao sedang dicaci-maki
habis-habisan. Semua malapetaka dipersalahkan pada mereka.
Termasuk bencana banjir, kebakaran, di samping segala salah
urus.
Nah. Di situ sang pemimpin komune berkenan memberikan sedikit
ceramah kepada Rosenthal--terutama yang berkenaan dengan
peternakan. Ia, katanya, mengeluh menghadapi gangguan serigala.
Dataran tinggi memang menjadi rumah anjing buas ini --dan para
gembala setempat sedang diorganisasikan dalam kelompok-kelompok
berburu.
"Apakah selama kekuasaan Kelompok Empat lebih banyak serigala di
Mongolia Dalam?" tanya Rosenthal sedikit menggoda. Sang pemimpin
terdiam sejenak. Kemudian menjawab santun: "Ya, karena pada masa
Kelompok Empat, perburuan serigala tidak diorganisasikan secara
baik" . . .
Kesan lain bisadiperoleh dari air muka Walikota Shanghai yang
lincah dan keras, tidak keresmi-resmian. Pejabat ini berterus
terang tidak begitu menghargai kebebasan menyatakan pendapat
Baginya lebih penting mencegah berulangnya pengalaman masa
lampau yang penuh duka.
Rosenthal mengenangkan pula air muka gadis yang dijumpainya di
Panti Rehabilitasi Anak Nakal. Wajah yang menyiratkan
penderitaan batin, dan topeng 'resmi' yang tiba-tiba terlepas
ketika sang gadis mengaku, "saya di sini karena kedapatan ada
main dengan para cowok."
Ada pula wajah terkagum-kagum orang yang dijumpainya dekat
sebuah pasar di Xian, yang memandangi sang wartawan lewat
jendela mobil sedan Hongqi (Bendera Merah) yang ditumpanginya.
Mobil itu buatan dalam negeri, khusus disediakan bagi pejabat
dan tamu penting.
Tapi Cina tak hanya negeri penuh wajah. Ia juga penuh tangan,
kaki, dan punggung. Di seluruh kawasan, pekerjaan tangan
memegang peranan utama. Orang memikul dan berjalan kaki di
mana-mana. "Inilah negeri yang mengandalkan otot dan yang
bergerak dengan bahan bakar keringat," kata Rosenthal.
Selama berada di negeri itu, suasana resmi hampir selalu
menyertainya. Ada "sambutan rcsmi", "pemandu resmi", "pertemuan
resmi", "wawancara resmi". "Tapi saya tidak merasa terganggu,
ditunggui atau dipaksapaksa," katanya. "Saya sadar sedang berada
di tengah masyarakat terkontrol." Para pejabatnya memang
berusaha seterbuka mungkin--dengan hasil yang tak begitu
memadai.
Cina tampaknya sedang membutuhkan sahabat. Di mana-mana ada
poster: "Kami mempunyai sahabat di seluruh dunia " Tapi para
pejabatnya serba tak pasti akan nasib mereka di masa depan.
Gambaran masa lalu yang pahit bisa saja tiba-tiba berada kembali
di depan pintu.
Bagi Rosenthal sulit menjatuhkan pilihan, kota-kota mana akan
dikunjungi dalam suatu peninjauan empat minggu. Tapi berbekal
bacaan, Beijing tentu masuk hitungan. Kemudian, mungkin, kota
tambang Datong yang penuh gua Budhis, hanya semalam perjalanan
kereta api dari Ibukota.
Agaknya perlu juga ke Mongolia Dalam, yang bagai menjanjikan
petualangan. Kemudian ke Xian, menghiruP suasana pedalaman dan
melihat beberapa penggalian arkeologi. Chongqing (baca: Cunking)
juga penting. Ini terletak di Provinsi Sichuan yang luas, dengan
penduduk tak kurang dari 100 juta.
Menarik pula berlayar di Sungai Yangtze yang penuh riwayat,
sambil melihat-lihat cadas. Kemudian ke Yichang menengok waduk,
ke Wuhan menyaksikan bekas bencana banjir dan kemarau. Akhirnya,
tentu saja, Shanhai dan Canton.
Setiap peninjau Cina tak boleh mengharapkan perjalanan pribadi.
Ia harus merelakan dirinya menjadi bagian sebuah "unit". Jangan
coba-coba membeli tiket sepur atau pesawat terbang seenaknya.
Urus dulu izin bepergian dari kota ke kota, baru merencanakan
angkutan dan akomodasi. Dan semua tetek-bengek ini
diselenggarakan per "unit".
Tak semua "unit" mempunyai kemampuan seimbang. Konon lebih baik
tergabung dengan "unit" yang punya sangkut-paut dengan
kotapraja. "Mereka menguasai hotel terbaik," kata Rosenthal.
Hmm.
Wartawan akan dibikin kenyang dengan sejuta pertemuan. Di tiap
kota ada pertemuan khusus membicarakan "apa yang akan dilihat
dan siapa yang bakal dijumpai." Ingin ketemu politikus? Orangnya
sudah siap. Mau berkenalan dengan "pekerja teladan"? Tunggu saja
beberapa menit. Mau melihat pabrik, museum? Puh, tinggal
ngomong.
Tapi jangan coba-coba nyelonong sendiri. Sistem politik Cina tak
mengizinkan hal ini. Tak ada hotel yang menyediakan kamar untuk
seorang asing yang gentayangan seenak perutnya. Juga tak ada
tempat di pesawat terbang atau alat angkutan apa pun. Semuanya
"terkontrol", baik untuk anak negeri maupun pendatang. Untuk
yang senang bersendiri, Cina bukan tujuan yang tepat.
Penduduk sana paling tertarik melihat orang asing. Lantaran
bosan tiap kalimakan di hotel, suatu hari Rosenthal ingin makan
di luar. Tuan rumah segera tampak sibuk, telepon sana telepon
sini.
Ketika akhirnya dia dibawa ke sebuah restoran, di sana sudah
menunggu meja makan dengan tirai putih sekeliling. Tirai itu
konon dimaksudkan melindungi sang tamu dari pandangan pengunjung
lain yang kepingin tahu. Rosenthal menjelaskan kepada tuan
rumah, betapa tidak enaknya makan ditudungi tabir. Penjelasan
itu didengarkan dengan takzim, tapi tirai tetap terpasang.
Salah satu kesulitan ialah mencari bahan untuk memperbandingkan
negeri ini. Dengar apa ia bisa dibandingkan? Mungkin dengan
permainan angka--yang kadangkala sangat menakjubkan.
Apa artinya satu milyar, misalnya, sebagai angka jumlah penduduk
di sana? "Artinya anda dapat berada di sebuah taman seluas
Lincoln Center (tidak luas red) pada suatu lari libur, bersama
ratusan ribu pengunjung lainnya," kata Rosenthal.
Jalanan hiruk-pikuk. Jumlah orang di taman menyaingi jumlah
batang rumput. Dengan penduduk 80% petani, penghuni kota mungkin
sama banyaknya dengan jumlah penduduk Amerika Serikat.
Bila ada sensus, sudah tentu tak semua orang bisa dicatat dengan
cermat. Mao Zedong sendiri pernah menjawab wartawan asing: "Saya
tak begitu percaya angka sensus kami."
Ada negeri-negeri tertentu--anggota PBB--yang jumlah penduduknya
seimbang dengan pengunjung Toserba di Shanghai pada hari belanja
yang ramai. Dan tak banyak negara yang jumlah penduduknya
menyamai penghuni Provihsi Sichuan--seratus juta. "Jangan
tercengang,' kata Rosenthal, "satu dari empat penghuni bumi
adalah orang Cina!"
Maka bila nnemtdrakan segala sesuatu mengenai i/haj jangan
lupakan angka. Ma Zedong pernah berkata, "hanya lima persen
rakyat tak menyenangi saya." Artinya, Pak Tua itu tak disenangi
50 juta orang.
Dari segi efisiensi, angka ini masih bisa dipertanyakan. Sepuluh
orang karyawan bertugas di bagian penukaran mata uang asing di
sebuah bank. Yang seorang bekerja tekun. Yang lain membaca
koran, atau menyimak kamus. "Pemandangan seperti ini tampak di
mana-mana."
Untuk kepentingan pasar, angka pun tak kalah penting. Cina
adalah satu milyar mulut yang siap mengunyah permen karet. Dua
milyar kaki yang siap mengenakan sepatu. Tujuh milyar tubuh
dalam seminggu yang siap menelan vitamin. Sekian milyar, milyar,
milyar ....
Tersebutlah konon, suatu ketika, seorang menteri mengajukan usul
kepada Mao Zedong. "Kiranya anda sudi menambah pembagian pakaian
kerja untuk kaum buruh, dari satu setel menjadi dua setel
setahun," kata sang menteri. "Setuju," sahut Mao spontan, "Anda
hitunglah dulu berapa pab-ik tekstil yang harus kita dirikan
untuk menunjang keputusan itu . . . "
JIKA tak ada pembatasan kelahiran, mungkin setiap orang harus
berjuang untuk mendapat tempat berdiri," kata Rosenthal. Di
sana, alat kontrasepsi dan pengguguran kandungan sama sahnya.
Pasangan suami istri didesak dan dirayu untuk beranak tak lebih
dari satu. Pemerintah memberi hadiah khusus bagi pasangan
beranak tunggal. Bila anak kedua tiba-tiba nongol, hadiah
dicabut.
Di samping itu, keadaan sudah diatur demikian rupa sehingga tak
ada tempat untuk keluarga beranak lebih dari dua. Misalnya dalam
hal catu sandang pangan maupun perumahan. Bila anak ketiga
datang, anggota keluarga yang lain harus ikhlas berbagi makanan
dan ruang. . Mungkin karena itu pula anak Cina sangat dicintai
lingkungannya. terutamaayah-ibu. Mereka ditimang, dibelai,
dicium. "Ada semacam keharuan menyaksikan seorang ibu Cina
mengecup putranya," kata Rosenthal. Sebab "mungkin sekali, anak
itu akan menjadi anak satu-satunya."
Satu hal segera terasa bila orang berada di salah satu kota
Cina. Yaitu banyaknya manusia berkeliaran di luar rumah. "Siapa
pula yang betah terkurung dalam apartemen seluas jamban?" kata
Rosenthal. Semua orang berebutan ke jalanan, hilir-mudik,
mengalir bagai pasang-surut segara.
Seorang asing bisa mcrasa seperti setitik airdi tengah samudra
manusia itu. Namun rupanya ada hikmah yang bisa ditarik.
Kehidupan perol-angan yang paling terbuka justru bisa diserap di
tengah 'masyarakat jalanan' itu.
Baik di Mongolia Dalam, mau?un di Canton atau Sichuan, orang
makan di udard terbuka--kadang sambil bertengger di sebuah truk
yang sedang diperbaiki. Di Shanghai, seperti halnya di seluruh
Cina, terdapat "perpustakaan udara terbuka". Selalu ramai
pengunjung. Dengan uang seketip bisa disewa sebuah buku atau
selembar koran.
Di Xian, seperti halnya di manamana para kenalan bercengkerama
di jalan-jalan. Bertutur dan bergunjing, tertawa terkekeh-kekeh.
Jalan raya yang tidak hanya berfungsi sebagai penghubung
lalulintas. "Pergilah ke jalanan, dan anda akan merasa berada di
pedalanan Cina."
Ada beberapa mobil dan truk -- semuanya milik pemerintah. Tapi
kendaraan sebenarnya tak begitu penting. Orang lebih banyak
mengandalkan kaki Jalanan juga digunakan sebagai tempat
berjual-beli, potong rambut, dan--tentu saja--latihan militer.
Tak jarang seorang komandan memberi pengarahan anah buahnya di
tepi jalan, seraya dijadikan tontonan oleh sekawanan anak-anak.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, Cina menggalakkan pariwisata.
Pemerintah 'orde baru' di bawah Deng Xiaoping tampaknya mengerti
betul keuntungan yang bisa ditarik dari kegiatan ini. Mutu
makanan dan hotel diperhatikan--tapi harga tak menentu. Harga di
satu kota dengan kota lainnya bisa berbeda seratus persen.
Untuk wartawan asing yang hendak berkunjung ke sana, Rosenthal
menitipkan pesan Biasanya, seorang wartawan membekali diri
dengan kamera, radio gelombang pendek, mesin ketik, dan alat
perekam ukuran saku. "Tapi kalau ke Cina, jangan lupa membawa
walkman," katanya. Itu, pita perekam yang digantung di leher dan
disambungkan ke kuping. Sebab akan banyak waktu menunggu yang
harus dilewatkan di sana. Misalnya menunggu berjam-jam akibat
kekisruhan jadwal penerbangan. Nah, pada saat seperti itulah
dibutuhkan walkman.
Mei 1981 itu, pemerintah Cina sedang menangani "persoalan Mao".
Saban hari potretnya diturunkan dari pelbagai dinding, kecuali
hari Minggu. Namun secara rcsmi, ia sebenarnya masih pahlawan.
Dan meski sudah jadi mummi, Mao Zedong rupanya masih menimbulkan
soal. Cepat atau lambat Partai Komunis Cina (PKC) pasti
mengeluarkan keputusan mengenai mendiang. Sebab rupanya masih
banyak perkara yang harus jelas. Misalnya, sejauh mana Mao
bertanggungjawab atas "tragedi Cina". Bagaimana tempatnya dalam
sejarah. Atau pantaskah ia dipatungkan.
Deng Xiaoping sendiri sampai saat ini tak lebih dari Wakil
Perdana Menteri. Tapi secara praktis, tangannyalah yang
menggenggam pucuk kekuasaan. Tokoh ini memang istimewa. Cepat
berbicara, gesit bergerak--dan agaknya juga berpikir. Dua kali
ia disingkirkan para Maois--toh bangkit kembali, hampir
gilang-gemilang.
"Selama dua dasawarsa, Cina terjerembab ke dalam kesalahan
besar," kata Rosenthal. Dimulai pada penghujung 1950-an. Tak
perlu disangsikan, Mao dan PKC ambil bagian dalam kekeliruan
ini--setelah mereka mengambil alih kekuasaan pada 1 Oktober
1949. Tapi selama ini tak ada yang berani bicara. Sebab ini
melibatkan sisi yang sangat mendasar dari masyarakat komunis
Cina.
Lompatan Besar Ke Depan, yang dilakukan 1958-1960, telah meajadi
lompatan jauh ke belakang. Tujuan tak tercapai, gagasan komune
rakyat yang indah itu centang-perenang, negeri kacau, rakyat
terengah-cngah, dan Cina hanyut dalam pertumpahan darah.
Kemudian meletuslah Revolusi Kebudayaan (1966-1976), yang
hakikatnya sebuah amuk gila-gilaan. Perguruan tinggi ditutup,
belajar dan bersolek dianggap pekerjaan setan, jutaan orang
disingkirkan ke pedalaman. Cina bagai terputus dari dunia luar.
Kehidupan masyarakat dan keluarga remuk redam. "Dan kita tak
tahu berapa banyak jiwa tcrbunuh," kata Rosenthal. ADA suatu
hari di Beijing, Rosenthal diberitahu akan -- berjumpa dengan
seorang pejabat penting. Namanya masih dirahasiakan. Sang
wartawan diminta melmbuat daftar soal yang akan dibirakan.
Malah sebelum berhadapan dengan sang pejabat, ada semacam
Femuari pemanasan - dengan Wakil Menteri Luar Negeri. Ketika
harinya tiba, pejabat penting itu ternyata Huang Hua, Menteri
Luar Negeri.
Huang tokoh yang banyak berada di luar Cina. Bahkan pada
tahun-tahun yang paling gawat, para Maois membiarkan ia bertugas
di luar tanah air. Rosenthal sudah berjumpa dengan Huang di New
York. Dan kini posisinya bertambah kuat.
Selesai basa-basi, Rosenthal melemparkan sebuah pertanyaan.
Huang memandang sejenak--ken7udian mulai berbicara. Dan ia
berbicara, terus-menerus selama 15 menit, menguraikan panjang
lebar "Sejarah Modern Cina", dimulai dari hari-hari pertama
kemenangan PKC. Tak ada yang boleh bertanya.
"Mula-mula saya bingung," kata Rosenthal. Tampaknya, pertanyaan
apa pun yang diajukan, jawabannya adalah ceramah itu. Rosenthal
bertambah jengkel ketika melihat para wartawan Cina yang
menemaninya mulai mengantuk.
Akhirnya pidato itu berhenti juga. Barulah Huang menyinggung
"daftar persoalan" yang diajukan sang wartawan. Ia
membicarakannya satu per satu, di luar kepala. Dan itu makan
waktu satu jam.
Tiba saatnya menyinggung Mao, Huang tampak hati-hati. Tapi ia
mengaku, PKC sudah mencapai semacam konsensus Mao memang
melakukan beberapa kesalahan serius. Namun ia tetap seorang
pemimpin besar dan pemikir. Buah pikirannya masih dipelajari,
dianalisa, direnungkan.
PADA 30 Juni 1981, konsensus resmi mengenai Mao Zedong
diumumkan. Selurya membutuhkan 35 ribu kata. "Dan Huang
menjelaskannya dalam beberapa menit saja," kata Rosenthal. "Dan,
ketika sampai pada bagian penjelasan itu, para wartawan Cina
yang tertidur tadi segera bangun."
Selama berabad-abad, negeri ini menjadi korban yang empuk
Mulamula korban dinasti dalam negeri yang congkak. Kemudian
datanglah kekuatan Eropa dengan kapal-kapal meriam, yang
menghiasi Kota Shanghai dengan pengumuman: "Terlarang untuk
anjing dan orang Cina."
Lalu dang Jepang. Sementara itu para bandit dan para jawara
bersimaharajalela. Harapan Sun Yat Sen remuk di tengah
kacau-balaunya rezim nasionalis Perang sipil berkecamuk, Mao dan
PKC berhasil merebut kekuasaan.
Setelah itu, menurut keyakinan mereka, Cina "dicurangi Uni
Soviet". "Permusuhan Cina dengan Amerika Serikat sebetulnya
tidak begitu besar," kata Rosenthal. Kedua kekuatan ini memang
berhadapan dalam Perang Korea. J uga dalam Perang Vietnam secara
tidak langsung. Tapi "kini, ti daklah terlalu sentimental
mengatakan bahwa berada di sana seperti berada di kawasan yang
bersahabat."
Menurut kelompok Deng, "dosa" dinasti terdahulu--termasuk
Mao-ialah kegagalan mercka membawa Cina ke pentas pengetahuan
masa kini. Cina Kuna memang disemangati hasrat untuk maju--tapi
mereka membiarkan pengetahuan menjadi milik segelintir orang.
Deng membuka pintu, tapi ia tetap canggung. Selamat datang,
teknologi. Silakan masuk, modal asing, tapi jangan terlalu
kapitalistis. Kami ingin tahu kebudayaan asing, tapi ingat,
sastra dan seni harus selalu mengabdi rakyat Dan para pengarang
itu, mereka selalu muncul dengan pclbagai gagasan gila.
Langkah baru ini mengandung banyak risiko. Industri berat
dikurangi. Pertanian dan produksi bahan konsumsi ditingkatkan.
Tcrutama sepeda, radio, sandang, pangan, bahkan pesawat televisi
pribadi. Pada zaman Mao, langkah ini bisa dituding kapitalistis.
Beberapa pabrik besar ditutup. Untuk pertama kalinya
pengangguran diakui di Cina. Sebagai jalan keluar, Deng memberi
kesempatan rakyat berwiraswasta.
Lalu melihat peluang ini, banyak usaha partikelir muncul. Karena
mengupah orang merupakan pekerjaan terlarang di Cina, timbullah
pcrkongsian. Ada yang membuka warung, ada yang mengusahakan
bengkel sepeda. Boleh pula mengambil kemeja ke pabrik, kemudian
menjualnya di "pasar bebas". Dulu pabrik hanya bertujuan
meningkatkan produksi. Kini mereka harus mencari laba.
Para petani menjual hasil buminya langsung kepada pembeli
Anehnya, mereka memasang harga yang sedikit lebih tinggi dari
harga toko pemerintah Tapi tetap laku. Soalnya pembeli boleh
memilih yang terbaik.
Suatu hari, Rosenthal mengunjungi panti rehabilitasi anak nakal
di Shanghai, agak di luar kota. Terdapat 200 anak lelaki di satu
sekolah, dan 50 anak perempuan di tempat lain yang terpisah satu
mil. Mereka terlibat "kejahatan ringan" seperti mencuri,
melakukan kebiasaan buruk, atau kejahatan seks.
Bagaimana mcreka sampai ke sana? Bila remaja itu membuat onar di
sekolah, guru mengirim surat kcpada orangtua, mengusulkan anak
bersangkutan dikirim ke panti setahun dua--untuk "pendidikan dan
latihan". Bila orang tua tak setuju, si anak menjadi urusan '
polisi.
Di panti ini remaja diingatkan akan kekeliruannya--melalui
kritik dan diskusi. Ia dilatih mencintai kegemaran yang sehat,
diselamatkan sebelum terjerumus ke dalam kesulitan yang lebih
besar. "Tempat itu memang tidak seperti surga," kata Rosenthal.
"Tapi sebagai warga sebuah negara tempat panti yang sama menjadi
pusat latihan kriminal, dan para penghuninya saling memperkosa,
saya tak bisa mengejek konsep Cina ini."
Berjumpa dengan Walikota Shanghai, Wang Daohan, mungkin tak sama
dengan berjumpa walikota lain. Ia orang penting PKC. Seorang
ekonom yang "diturunkan" ke lapangan untuk membenahi Shanghai,
kota dengan 11 juta penduduk.
Shanghai adalah jantung eksporimpor Cina. Dan meski jabatannya
walikota, Wang seperti tak ambil peduli dengan urusan jalan
berlubang atau kebersihan kota. Ia lebih memusatkan perhatian
kepada produksi, pertukaran internasional, perdagangan
antarbangsa. Kepada tamunya, Wang mengaku seorang Marxis-Leninis
seumur hidup.
BILA orang Cina berbicara mengenai "pembebasan", yang dimaksud
adalah Revolusi Komunis 1949. "Memang ada benarnya," kata
Rosenthal. Setidak-tidaknya bebas dari perang sipil, dan dari
suatu periode runyam, menuju masa depan penuh harapan.
Kini, setiap orang tak bisa meremehkan jalan raya yang bersih,
sekalipun di kota tepi sungai. Pengemis tak tampak. Lalat
hilang. Orang sakit tak berkeliaran di jalanan. Mungkin saja
prestasi itu dicapai dengan cara kekerasan. Siapa tahu?
Pada 1950, sesaat setelah kemenangan Partai Komunis, umur
rata-rata penduduk negeri itu 4,5 tahun. Pada periode 1975-1980
meningkat menjadi 62,1. Memang selama itu umur rata-rata di bet
bagai negeri Asia meningkat. Tapi secara faktual, sampai di
pedalaman Mongolia Dalam terdapat unit paramedis. Dan semangat
merawat diri mendapat perhatian.
Kehidupan remaja terhitung asyik. Terutama yang berkisar antara
umur 15 sampai 18 tahun. Mereka terlalu muda untuk sempat
terlibat huru-hara Pengawal Merah, dan terlalu tua untuk politik
buka pintu Deng. Mereka tangkas, cerah, bersemangat.
Mereka biasa tampak di bar hotel, mempraktekkan bahasa Inggris
dan Prancis. Seorang wartawan Swiss mendekati remaja yang
berbahasa Prancis, mengacungkan mikrofon, meminta pesan sang
remaja untuk rakyat Swiss. "Tak ada apa-apa, hanya segala
keinginan baik," katanya. "Mereka tak memandang kami sebagai
orang asing yang berbahaya," kata Rosenthal. "Hanya sebagai
penggemar bir yang bisa dijadikan sasaran praktek."
Sampai sekarang totalitarianisme selalu dikaitkan dengan kamp
tahanan. Konon, jutaan orang lenyap dalam kamp tahanan selama
kekuasaan Mao. Tak ada yang tahu angka pasti. Seorang pejabat
Mongolia Dalam berhasil dipancing dan mengatakan 10 ribu orang
tewas di sana. Dan provinsi itu termasuk berpenduduk tipis.
Banyak orang yang mempunyai pengalaman dipenjarakan, dibuang,
dipekerjakan di lapangan bertahun-tahun, dipermalukan di hadapan
umum.
Tapi biasanya tak ada yang mau bercerita terus terang. Siapa
tahu, rezim yang dicacinya tiba-tiba kembali berkuasa?
Rosenthal agak beruntung. Dr Chongqing, ia mendengar cerita
tentang Ren Baige, bekas walikota sana.
Ia mengunjungi balaikota berbentuk pagoda, tempat Ren pada 1967
dipaksa berdiri di atas kepala--sementara empat ribu rakyat
menyorakinya dan mengumumkan "kejahatan"nya. Ia kemudian
dibuang--dan baru direhabilitasikan sepuluh tahun kemudian.
Tapi sampai sekarang pun rakyat masih bimbang. Kalau kelompok
"kiri" berhasil mendongkel Deng, mereka percaya Cina akan
tenggelam dalam perang sipil. "Kiri" adalah julukan yang
diberikan kepada kelompok garis keras ajaran Mao. "Kanan" adalah
kelompok pintu terbuka yang menyetujui sejumlah kebebasan, kaum
pragmatis yang menjadi pendukung Deng.
Sejarah Cina memang penuh penderitaan. Menderita di bawah para
jagoan perang, menderita di bawah kekuatan asing, menderita di
bawah tirani bangsa sendiri yang korup. Pemberontakan dan
huru-hara sangat lumrah. Penguasa yang satu dapat tampil kembali
setelah dikalahkan bertahuntahun. Apalagi melihat kenyataan
Partai Komunis. Pahlawan kemarin bisa saja menjadi kutu busuk
hari ini.
Tapi salah satu realitas setelah "pembebasan", ialah surutnya
kelaparan secara drasis. Toko-toko memang tak memajang barang
mewah melimpah, tapi ada kalanya lebih baik dari persediaan
barang di sementara toko Eropa Timur.
Buruh Cina tak menerima upah besar. Tapi ia tak mengeluarkan
uang untuk menyewa rumah. Ia bisa menabung sisa keperluan pangan
untuk membeli sepeda, radio, barangkali juga pesawat televisi.
Di Beijing ada pasar berlorong banyak--tempat ratusan ribu orang
berkeliaran pada akhir mirggu. Mereka membeli mainan anak-anak,
manisan, lampu, sepatu, radio, jambangan, buku, kamera, koper,
kemeja, minuman keras.
Bagaimana Cina memberi makan satu milyar orang setiap hari? 800
juta penduduk bekerja di sektor pertanian. Celakanya, hanya 105
dari luas daratan terhitung baik untuk bercocok tanam. Karena
itu masalah pokok adalah pertanian. Tegasnya: mencukupi
kebutuhan pangan. Soal lain boleh men jadi nomor dua.
DAN tanah menjadi penting bukan main. Kecuali di kota besar,
suasana pertanian terasa di mana-mana. 1anah subur dihemat luar
biasa. Tiap bukit di sepanjang Sungai Yangtze ditanami. Di Xian,
banyak sekolah yang dibangun seperti gua-dengan memahat bukit
batu. Bukan untuk persiapan perang--melainkan sekedar usaha
memanfaatkan tanah untuk pertanian. Selama 20 tahun terakhir,
jumlah penduduk berkembang dari 640 juta menjadi 940 juta. Tapi
luas tanah subur berkurang. Pada 1957 masih terdapat 264,397
juta ha tanah subur. Dua puluh tahun kemudian jumlah itu susut
menjadi 244,629. Mau apa?
Mao Zedong pernah kiprah dengan sistem komune rakyat, yang
akhirnya menambah penyakit. Ia memaksa tanah patuh padanya.
Padang rumput ingin disulapnya menjadi ladang gandum. Padahal,
ada tanah yang menang hanya subur untuk ditanami rumput, bukan
gandum.
Buktinya: di dekat Mongolia Dalam terdapat dataran yang kini
tandus berdebu. Dulu di situ rumput membentang hijau. Mao tak
berkenan--dan memerintahkan penanaman gandum. Tapi kondisi tanah
tak mengizinkan. Akibatnya, rumput hilang gandum pun mati.
Tinggal gurun kuning berdebu.
Musuh pokok Cina sekarang ini adalah Uni Soviet. Dahulu "saudara
tua", "mercusuar dunia komunis", tapi kini sama busuknya dengan
"setan imperialis". Seluruh politik luar negeri Cina sendiri
sekarang berpusat di sekitar Soviet.
Sering orang Cina ditanya tentang kemungkinan persahabatan
kembali dengan Soviet, di bawah pemerintahan Cina yang baru dan
pemerintahan Soviet yang baru. Tak mungkin, kata mereka. Orang
Rusia sudah disamaratakan dengan imperialis.
Sepanjang perjalanannya dari Beijing sampai Canton, Rosenthal
selalu bermain jebakjebakan. "Siapakah sesungguhnya yang berhak
atas Mongolia Luar?" tanyanya kepada pejabat setempat. "Secara
historis pemiliknya adalah kami," sahut sang pejabat. "Tapi
dalam perundingan Yalta, imperialis Rusia menekan Chiang
Kaishek, melalui Inggris dan Amerika Serikat, untuk mengakui
Mongolia Luar yang merdeka di bawah pengaruh Soviet."
"Baiklah. Siapa yang memerintah Rusia ketika itu?" Stalin! "Lha,
mengapa kalian memdsang gambar Stalin, sang imperialis itu,
sejajar dengan gambar Marx, Engels dan Lenin di Tian An Men?'
Biasanya sampal di sini tuan rumah terbengong-bengong.
Perantau Cina yang datang sebagai turis, mendapat perlakuan
istimewa. Bukan saja karena bahasa yang sama, yang menyingkirkan
sejumlah penghalang. Tapi mereka juga diizinkan pergi hampir ke
mana saja. BiasanYa mereka datang menengok sanak-saudara.
Datang dalam jumlah ribuan, mereka mengangkut berbagai
tetek-bengek. Jam tangan, pesawat televisi, ruparupa barang
kelontong. Pemerintah tampaknya tak khawatir rakyatnya tergiur
melihat kemewahan yang dipamerkan para Hoakiau itu. "Mencari
kebenaran melalui fakta," demikianlah semboyan Deng Xiaoping.
Tapi sampai di mana keinginan ini bisa dipercaya?
Bagi pengunjung asing, Cina modern terasa terlalu santun, nyaris
tak menawarkan kegairahan. "Kegairahan satu-satunya ada pada
kenikmatan makanan," kata Rosenthal. Kesahajaan yang ditanamkan
Mao membekas dalam. Hampir semua pria dan wanita mengenakan
pakaian biru, hijau atau kelabu.
Kesimpulan memang tak begitu penting. Dengan latar belakang apa
kesimpulan harus dibuat? Dengan perbandingan apa, logika apa?
Betulkah Deng lebih baik ketimbang Mao, atau sebaliknya, untuk
menentukan hidup satu milyar manusia?
"Saya sendiri masih ingin mengunjungi negeri itu lagi suatu
ketika," ujar Rosenthal. "Saya ingin melihat provinsi jauh di
bagian barat dan selatan yang tak sempat saya datangi. Saya juga
ingin kembali menengok Beijing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini