Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kriminal

Pengawalan Polisi, Jalan Darurat

Himbauan polisi agar masyarakat memakai jasa pengawalan polisi bila mengambil uang di bank. Beberapa kasus perampokan nasabah bank yang menjadi mode. (krim)

23 Januari 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAMPOKAN-perampokan terhadap nasabah bank yang membawa uang kontan masih kerap terjadi--dan cukup memusingkan polisi. Lebih-lebih lagi karena himbauan polisi agar masyarakat memakai jasa pengawalan polisi bila mengambil uang di bank, agaknya tidak diacuhkan. "Sampai saat ini belum ada nasabah yang meminta pengawalan polisi Kodak Metro Jaya," kata Letkol. Z. Bazar, Kepala Dinas Penerangan Kodak Metro Jaya. Padahal dari berapa kali perampokan diketahui penyebabnya. "Selain masyarakat malas meminta pengawalan, juga karena kurang pengamanan bank, dan petugas Satpam bank tidak teliti," ujar Bazar. Tahun lalu, Kodak Metro Jaya memang telah menatar petugas Satpam bank yang ada di Jakarta. Dengan penataran itu diharapkan setiap orang yang keluar masuk suatu bank dapat diawasi lebih teliti. Terutama pengawasan terhadap tamu bank yang nongkrong berlama-lama, tanpa tujuan yang jelas. Satpam bank juga diminta agar waspada terhadap pengendara sepeda motor atau mobil yang menghidupkan mesinnya di depan bank. Namun yang paling penting menurut Bazar, adalah pengawalan polisi terhadap orang-orang yang mau mengambil uang dari bank. Selain polisi, sebenarnya beberapa badan swasta juga menawarkan jasa pengawalan. Salah satu di antaranya, adalah Prems, sebuah organisasi yang menghimpun bekas narapidana yang "sadar". Selain menawarkan petugaspetugas pengaman, Prems juga menawarkan jasa pengawalan. "Saya sering mengawal orang mengambil uang di bank, tanpa senjata, "ujar Leo Bardo, Ketua Bidang Penertiban Prems. Istimewanya, badan swasta ini menjamin tidak akan dirampok bila dikawal anggota Prems. Sebab, katanya, para penjahat umumnya sudah mengenal tokoh-tokoh Prems. "Mereka bukannya takut, tapi mungkin sungkan," ujar Leo. Untuk jasa pengamanan itu, Prems tidak memasang tarif. "Terserah kepada yang memberi," tambah Leo Bardo. "Tidak semua orang merasa perlu meminta pengawalan, walau pernah kena rampok. "Kalau mengambil uang tidak begitu banyak, malah bikin repot bila harus dikawal segala", kata Liu U. Min, pemilik Toko "Manis", Bandung. Alasannya, untuk minta pengawalan tentu saja harus melapor lebih dulu. Selain itu, harus menyediakan kendaraan untuk antar jemput. Dan, "sebagai orang Timur, tentu saja kita harus mengeluarkan uang ekstra, minimal untuk rokok polisi," kata Liu U. Min lagi. Adiknya, Liu Lie Min, pernah diran,pok ketika membawa uang Rp 2,5 juta dari bank dengan sepeda motor, Desember lalu. "Lebih baik mengambil uang sendiri saja, asal pengamanan di bank lebih ditingkatkan," saran Liu U. Min. Menurut dia umumnya perampok sudah mengincar korbannya semenjak kasir bank menyerahkan uang kepada nasabah. Mudah. Tapi apakah memang perlu pengawalan -- oleh polisi atau badan-badan swasta? Melihat perampokan yang semakin meningkat akhir-akhir ini, polisi belum bisa berbuat banyak, pengawalan agaknya memang penting sebagai "langkah darurat" Sekurang-kurangnya perusahaan-perusahaan yang pernah dirampok, tidak melihat jalan lain, kecuali menerima tawaran pengawalan dari polisi. Misalnya, pengalaman Rusli Tjahjadidari PT Alas Kusuma, di Jalan Balikpapan, Jakarta Pusat. Pada mulanya ia selalu merasa aman mengambil uang dari bank, tanpa perlu pengawalan polisi. Tetapi Oktober yang lalu, nasib buruk menimpanya. Ia dihadang kawanan perampok bersenjata api di depan kantornya, sekembali mengambil uang Rp 10 juta dari BNI 46, Jakarta Kota. Tanpa bisa berbuat banyak, Rusli terpaksa menyerahkan uang itu kepada perampok. Nasib Rusli ternyata masih lebih baik. Dua bulan kemudian, Denly, Kasir PT Berca di Jalan Pangeran Jayakarta, Jakarta, tewas ditembak perampok. Hari itu, Denly baru saja mengambil uang Rp 13 juta dari Bank Bumi Daya, Kali Besar Selatan, bersama sopir perusahaan. Seperti juga pengalaman Rusli, penjahat mengikuti Denly sampai ke kantor korban. Perasaan aman juga yang membuat korban-korban perampokan di berbagai daerah merasa tidak perlu meminta pengawalan polisi. Di Yogyakarta, korban pertama yang jatuh adalah Wahono, sopir PT Margorejo. Ia tewas akibat peluru penjahat di depan kantornya, selesai mengambil uang di BNI 46 kota itu, bersama Kepala Keuangan Perusahaan, Hernowo tahun 1979 yang lalu. Hernowo sendiri menderita luka-luka terkena peluru ketika mempertahankan uang perusahaan, Rp 10 juta. "Ketika itu tidak ada pikiran untuk minta pengawalan, sebab kota Yogya terkenal aman dan tenteram," ujar Hernowo. Setelah terbukti Yogya tidak aman lagi, nasabah bank masih enggan meminta pengawalan polisi. Contohnya, Habib Pramuharjono, pengusaha batik Asmara, yang tewas Juli tahun lalu, di depan Bapindo Yogyakarta. Ketika itu Habib hendak menyetorkan uang Rp 8 juta ke Bapindo. "Bapak seorang pejuang dan berjiwa militer, karena itu tidak terpikirkan meminta pengawalan polisi," ujar janda Habib, Nyony Rukayah. Tidak Bayar Pengalaman pahit serupa itu tentu membuat kapok para bekas korban. Karena itu Rusli Tjahjadi misalnya kini selalu meminta pengawalan polisi setiap kali hendak mengambil atau menyetorkan uang ke bank. Menurut Rusli prosedur pengawalan polisi cukup mudah. "Setelah kami telepon, petugas itu kami jemput tanpa membayar," ujar Rusli. Hal ini dibenarkan Ibnu Nasution dari PT Berca. "Selain minta pengawalan mengambil uang, kami juga merekrut dua orang tenaga polisi setiap hari untuk pengamanan di perusahaan," kata Ibnu. Sumantri berpendapat sebaliknya. Pagawai PT Mayorindo Surabaya yang ditembak perampok untuk merebut belasan juta uang yang baru diambilnya dari bank Oktober 1981, tetap merasa enggan menggunakan jasa pengawalan polisi. "Minta pengawalan polisi itu tidak praktis," kata Sumantri. Ia tak menyebutkan alasan. Tapi, tambahnya, "jika sudah terbiasa dikawal, akan menimbulkan perasaan tidak aman bila suatu ketika tanpa pengawalan." Seruan pihak kepolisian Surabaya agar menggunakan pengawalan tampaknya memang tak begitu berhasil. Meskipun seruan itu dipasang juga di bank-bank, "sehari rata-rata hanya ada tiga permintaan pengawalan -- kadang-kadang juga tak ada sama sekali dalam waktu satu hari," ungkap Dan Sabhara Kowiltabes 101 Surabaya, Maypol. Miswan. Pihak Satpam Bank di Surabaya agaknya juga tak dapat berbuat banyak. Dari 9 peristiwa perampokan terhadap nasabah bank di kota itu sepanjang tahun lalu, semua berlangsung di luar bank. "Padahal tugas kami hanya mengamankan nasabah di sekitar bank," kata seorang anggota Satpam Bank di bilangan Jembang Jepun, Surabaya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus