DI Amerika Serikat, senigrafis tak saja berkembang dalam ragam
kreasinya, tapi juga dalam bisnisnya.
Di Taman Ismail Marzuki, 14 - 21 Januari ini, sebuah pameran
karya grafis dari bengkel bisnis grafis yang ternama di AS,
Landfall Press, berlangsung. Sekitar 50 karya dari 19 seniman,
kebanyakan denan teknik lithografi, menunjukkan bengkel yang
berdiri di Chicago, 1970, ini tak main-main.
Beberapa nama mereka telah populer di sini. Christo, yang pernah
menutup sebuah bukit dengan sejenis kain dan menyebut itu karya
seni. Robert Cottingham, salah seorang yang menonjol dalam
aliran superrealisme. Claes 01denburg, salah seorang tokoh
pop-art yang menjadikan obyek dalam karyakaryanya menjadi
semacam bungkusan. Gambar mesin tulis misalnya, digambar
sedemikian rupa, hingga mesin tulis itu seperti dibuat dari
karung dan teronggok melipat-lipat.
Agaknya sifat karya grafis yang jamak dan teknik pembuatannya
yang tak efisien bila ditangani oleh sennannya sendiri (kecuali
menyita waktu, pun senimannya belum tentu trampil dalam teknik
cetak-mencetak, memungkinkan seni ini tak dimonopoli
penciptanya sendiri. Di tahun 60-an muncullah berbagai bcngkel
senigrafis di AS. Mereka mengundang para seniman grafis untuk
berkarya di bengkelnya, dan sebagai imbalan bengkel itu berhak
menjual sejumlah karya yang dibikin di bengkel itu.
Sudah jelas, bengkel ini memang bukan semacam maecerlas
kesenian. Penyelenggaranya, para tukang cetak, memang hidup dari
bengkel itu. Maka, perhitungan laku atau tidaknya sebuah karya
grafis sedikit banyak akhirnya menjadi perhitungan untung-rugi
bagi para pemilik bengkel. Mungkin karena ini tak satu bengkel
besar muncul yan mengesankan. Adapun bila bengkel seni grafis
Tamarind bisa hidup terus, dan melahirkan kader-kader pencetak,
karena dibantu Ford Foundation.
Usaha Sia-Sia
Tahun 1970 salah seorang alumnus Tamarind, Jack Lemon,
mendirikan Landfall Press di Chicago. Dengan yakin ia yang
semula belajar di akademi senilukis ini, membuka bengkelnya bagi
seniman grafis yang telah mempunyai nama atau belum. Dan yang
sangat penting: ia memberikan kebebasan sepenuhnya kepada para
seniman untuk berkarya menurut selera masing-masing. Juga,
apapunteknik yang diminta, jenis kertas apa yang diinginkan,
tinta kualitas bagaimana yang dibutuhkan, dipenuhi Si Lemon.
Agaknya Lemon, 42 tahun, bapak dari dua orang anak itu telah
menemukan hidupnya. "Berusaha menemukan seniman-seniman besar,
dan membantu mereka, bukanlah usaha yang sia-sia," katanya suatu
saat.
Dan dengarlah kesan seorang seniman grafis yang kini tersohor di
negeri Reagan itu: "Saya belum pernah bekerja di tempat yang
begitu menghargai seniman," kata Terry Allen. "Di Landfall
Press, mereka mengerjakan semua yang saya inginkan, tak peduli
mereka memahaminya atau tidak."
Bukannya seniman grafis di AS tak suka aneh-aneh. Jack Lemon dan
para tukang cetaknya pun suka puyeng. Tapi demi menjaga
"kemurnian proses kreatif para seniman itu, meski mereka membuat
saya setengah sinting, tetap saja permintaan mereka saya
layani," tutur Lemol. Betapa tidak, seorang seniman bisa saja
minta karyanya dicetak pada kertas kayu. Yang lain minta
karyanya harus dicetak pada kulit.
Tapi entah kesabaran Jack Lemon, atau memang seniman yang
bekerja di bengkelnya disukai masyarakat, dalam waktu lima
tahun, Landfall Press yang semula tak dihiraukan muncul dalam
dunia kesenian sebagai nama besar. Jack Lemon pun kemudian
mengadakan pameran karyagrafis di Prancis dan Timur Tengah.
Pamerannya di Indonesia kini, adalah yang pertama kali di Asia.
Lemon yang pernah bekerja di Angkatan Laut AS ini (karena itu
nama bengkelnya Landfall Press, sebuah istilah navigasi yang
artinya pandangan pertama atas daratan) mengharuskan senimannya
menunggu sendiri proses pencetakan dari awal sampai akhir. Ia
tak mau bekerja dengan seniman yang "gampangan". Misalnya
seniman yang menyerahkan pencetakan disain grafis sepenuhnya
kepada bengkelnya. "Anda bisa mencetak barang cetakan hanya
dengan perintah," katanya kepada majalah Artnews. "Tapi itu
tidak mungkin menghasilkan seni."
Pilihan Lemon untuk memprioritaskan lithografi mempunyai alasan
sendiri. Di bengkel Tamarind ia memang belajar lithografi.
Sebab, cetak litho adalah teknik senigrafis paling jujur. Hasil
karyalithografi mencerminkan proses penciptaannya. Disain yang
dikerjakan dengan cat air, dengan pensil, pada karyagrafisnya
tetap mengesankan itu cat air atau itu karya pensil. Hal ini tak
mungkin dicapai dengan teknik grafis yang lain.
Dari 50 karya yang dipamerkan di TIM kini, terdapat karya Martha
Mayer Erlebacher, 45 tahun, yang karya superrealisnya begitu
"dingin" tanpa emosi. Hampir semua detail di situ, bayangan
telapak meja pada botol, atau pantulan sinar pada gelas dibuat
cermat sekali. Pun karya Robert Cottingham yang sejenis, yang
menampilkan lampu-lampu reklame itu.
Lantas ada karya Pat Steir, 44 tahun, yang semi abstrak. Sebuah
alam yang gelap, ada sesosok tumbuhan tak jelas, dan lelehan
cat. Pun ada karya Chuck Close, 42 tahun, yang suka menggambar
potret wajah. Lantas karya Christo, yang digolongkan sebagai
karya seni konseptual.
Yang mungkin paling menarik, adalah karya Terry Allen, 49 tahun.
Allen suka bercerita lewat karyanya. Yang dipamerkan ini
merupakan satu ceritarterdiri dari enam karya. Sebuah tragedi
antara seorang pelaut dan Alice, pelayan rumah minum, ceritanya.
Dua sejoli itu bertengkar, berkelahi dan mati.
Tapi jangan mengharap karya Allen yang satu ini seperti komik.
Yang digambarnya adalah lokasinya saja. Hanya ada gambar sebuah
kamar dengan tempat tidur yang miring dan sebuah sekop
menghunjam kasur. Lalu bercak-bercak merah di lantai, juga di
tempat tidur dan di dinding. Begitu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini