Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alarm bahaya itu datang dari Kadek Herry Dharma Putra. Bocah tiga setengah tahun yang tinggal di Desa Senganan Kangin, Tabanan, Bali, ini diduga terkena flu burung. Inilah penyakit yang empasan badainya masih mengguncang kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Pada mulanya adalah demam seperti yang jamak terjadi pada siapa pun. Tapi hari beranjak hari, hingga dua pekan kemudian, demam di tubuh si kecil Kadek tak kunjung turun. Badannya seperti membara. Suhu tubuhnya menanjak hingga angka 39 derajat Celsius. Kerisauan pun mulai menyergap Ni Wayan Sumiati, ibu Kadek. Ia makin cemas karena dalam beberapa bulan terakhir ribuan ayam mati di peternakan tempatnya bekerja. Jangan-jangan kematian ayam-ayam itu ada hubungannya dengan makin panasnya tubuh Kadek?
Syukurlah, teriakan alarm segera terhenti. Hasil tes darah, Selasa pekan lalu, menunjukkan tubuh si buyung menderita pneumonia (radang paru) akibat infeksi bakteri yang lazim dijumpai. Tidak ada tanda darah Kadek dicemari virus avian influenza jenis H5N1. "Kondisinya juga membaik dan kami terus memantau sampai Kadek sembuh total," kata Dokter Maulin Yudiasa, yang merawat Kadek.
Tapi kabar baik tentang Kadek terlalu lemah untuk meredam gelombang histeria yang telanjur meledak di tengah masyarakat. Dari berbagai kota dilaporkan penjualan daging ayam merosot drastis. Ibu-ibu tiba-tiba melengos melihat segala masakan yang berunsur ayam; peminum jamu tak lagi menenggak telur ayam kampung setengah matang; sate ayam yang menggiurkan juga tak laku. Para peternak dan pedagang ayam pun dibuat menjerit.
Ratmi, pedagang di Pasar Ayam Semanggi, Solo, Jawa Tengah, di hari-hari biasa mengirim 100 keranjang ayam tiap hari ke berbagai pasar di Jakarta. "Sekarang, bisa kirim 40 keranjang sudah bagus," kata dia masygul. Tidak sedikit rekan Ratmi yang sudah mulai menunjukkan tanda kebangkrutan karena dagangannya tidak terserap pasar. Ratmi sendiri sudah menguras Rp 10 juta tabungannya untuk menutup kerugian. "Remuk, Mas," katanya.
Bukan hanya Ratmi yang remuk. Di negeri ini ada 2 juta peternak, mayoritas peternak skala kecil, dengan populasi unggas 800 juta ekor dan nilai peredaran uang Rp 60 triliun per tahun. Ternak inilah yang berjasa memenuhi kebutuhan konsumsi 3,4 kilogram per kapita per tahun atau 748 juta kilogram daging ayam untuk 220 juta penduduk.
Kini, akibat wabah flu burung yang menewaskan 4,7 juta ayam di 10 provinsi, kelangsungan hidup industri peternakan terancam. Anton J. Supit, Ketua Gabungan Pengusaha Perunggasan Indonesia, punya angka lebih seram: ayam yang mati mencapai 16-20 juta sejak pertengahan tahun lalu. "Kematian ayam terus terjadi sampai hari ini," kata Anton—meskipun memang angka kematian sudah jauh menurun dibandingkan dengan masa paling kelabu bagi kaum ayam pada November lalu.
Andai kita paham bahasa unggas, mungkin wabah flu burung bisa diketahui jauh sebelum masa paling kelabu pada November itu. Apa daya, ketidakpahaman dan keteledoran telah membuat wabah ini terlambat dilacak.
Dua pekan lalu, flu burung seolah hanya berita di negeri antah-berantah. Penyakit yang bisa berdampak fatal ini memang menggebrak kawasan Asia, menewaskan jutaan ayam di Thailand, Vietnam, dan Jepang, serta menyebabkan 11 orang sakit dan 6 di antaranya meninggal. Namun kita masih mencoba menipu diri bahwa flu burung belum terbang ke Indonesia. Banyak yang berharap Indonesia lolos dari wabah ini, sama seperti halnya kita secara menakjubkan lolos dari terkaman virus sindrom pernapasan akut parah (SARS) yang melanda dunia tahun lalu.
Harapan tinggal harapan. Rabu pekan lalu, pemerintah akhirnya secara resmi mengumumkan mewabahnya flu burung sebagai situasi darurat. Menurut Bungaran Saragih, Menteri Pertanian, status ini ditetapkan karena virus flu burung telah memicu kerugian material Rp 7,7 triliun dan mengancam hilangnya penghidupan jutaan keluarga. "Keadaan bisa memburuk bila wabah tidak segera ditangani," kata Bungaran. Salah satu langkah penanganan adalah pengucuran dana Rp 212 miliar untuk ganti rugi bagi peternak kecil yang terpaksa membunuh hewan ternaknya yang sakit.
Tapi mengapa harus menunggu jutaan ayam mati untuk bertindak? Apa boleh buat, agaknya memang ada unsur sikap abai yang berperan. Sumber TEMPO mengungkapkan, sesungguhnya kehadiran flu burung sudah tercium lama. Pada Agustus 2003, sekelompok pengusaha menyambangi pejabat tinggi di Direktorat Jenderal Peternakan Departemen Pertanian. Mereka melaporkan adanya penyakit aneh yang menjangkiti unggas di berbagai peternakan. Para pengusaha ini yakin penyakit mematikan ini ulah virus avian influenza dan bukan sekadar virus penyebab tetelo (Newcastle disease—ND).
Laporan tadi, kata sumber itu, punya dasar kuat. Memang ada kemiripan antara gejala tetelo dan flu burung karena kedua penyakit ini sama-sama memicu perdarahan di bawah kulit. Indikasinya adalah jengger dan tapak kaki ayam berwarna kebiruan dengan tungkai memerah seperti habis dikerok. Tapi, pada kasus ND, sistem saraf pusat ikut terserang sehingga kepala ayam yang gering terus menggelengkan kepala (tetelo) dengan masa inkubasi 2-12 hari.
Pada kasus flu burung, masa inkubasi lebih singkat (hanya beberapa jam sampai 3 hari) dan perdarahan terjadi lebih hebat dengan tingkat kematian lebih cepat—begitu cepatnya sehingga kerap kali peternak tidak bisa menandai ada yang tidak normal pada peliharaannya. Ini misalnya terjadi di Kecamatan Gondanglegi, Malang. Di sini, ratusan ayam mati hanya beberapa jam setelah makan pagi. "Lehernya bengkak dengan liur banyak. Tapi jenggernya normal saja," kata Mian, peternak di Gondanglegi.
Sayangnya, sumber TEMPO melanjutkan, laporan para pengusaha tadi tidak digubris serius. Permintaan mendatangkan vaksin khusus untuk menangkal avian influenza pun tidak ditanggapi. Pejabat yang dilapori bahkan melontarkan tanggapan enteng. "Ah, itu kan cuma tetelo. Jangan khawatir," kata sumber TEMPO menirukan komentar sang pejabat. Belakangan, pekan lalu, secara terpisah Bungaran mengakui pemerintah memang lamban mengatasi serbuan flu burung. "Ya, memang sangat lamban. Karena ini baru pertama kali terjadi, kita tidak mau gegabah. Lebih baik lamban daripada membuat keputusan salah."
Tak sabar melihat lambannya pemerintah, sejumlah pengusaha besar berinisiatif mengirimkan sampel darah ayam yang mati ke laboratorium di luar negeri. Hasilnya, seperti yang mereka duga, ternak mereka memang positif terinfeksi avian influenza.
Kisah serupa muncul dari Asosiasi Peternak Ayam Yogyakarta (Apayo). Drh. Heri Wibowo, Ketua Umum Apayo, menyebutkan kecurigaan adanya flu burung sudah muncul sejak Oktober 2003. Para pengusaha pun sudah berupaya mengimpor vaksin penangkal avian influenza. Sialnya, pemerintah menilai impor vaksin ini tindakan ilegal. Barulah setelah histeria menyebar, pemerintah kelabakan mengusahakan impor vaksin.
Sikap abai, untuk sesuatu yang menyangkut kepentingan orang banyak, jelas sebuah skandal yang harus dibayar begitu mahal. Para peternak harus menanggung kerugian begitu besar. Bukan mustahil pula mimpi buruk dunia pariwisata—yang bersandar pada citra—akan datang kembali seperti yang terjadi menyusul heboh SARS.
Lepas dari babak-belur industri peternakan, ada satu hal yang layak membuat kita sedikit merasa tenteram. Bahaya yang diusung flu burung relatif tidak sedahsyat SARS. "Paling tidak untuk saat ini dan dalam waktu dekat," kata Dr. Tjandra Yoga Aditama, ahli pernapasan yang juga Wakil Direktur Rumah Sakit Persahabatan, Jakarta.
Tahun lalu, menurut kajian terbaru oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO), wabah SARS menyebar pada 8.422 warga yang terpencar di 29 negara dan 908 di antaranya meninggal. Situasinya sangat mencekam karena penularan penyakit yang disebabkan oleh virus keluarga Coronaviridae ini terjadi begitu cepat. Kawan satu apartemen, mereka yang bersinggungan di eskalator, bahkan orang yang tak saling kenal yang duduk berdekatan di pesawat bisa tertulari SARS. Petugas kesehatan pun banyak tersambar SARS dari pasien yang mereka tangani. Dr. Carlo Urbani, ahli parasit WHO, yang pertama kali menemukan kasus SARS di Hanoi, Vietnam, juga termasuk dalam jajaran pengabdi kesehatan yang tewas akibat SARS.
Sekarang, bandingkan dengan flu burung. Setelah hampir setengah tahun berjalan, wabah ini telah menewaskan puluhan juta unggas di sembilan negara, yakni Kamboja, Cina, Jepang, Laos, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Tapi, pada saat yang sama, korban manusia "hanya" 11 orang sakit dan 6 di antaranya meninggal. Artinya, "Penyakit ini tidak gampang menular, minimal tidak seseram SARS," kata Tjandra.
Khusus untuk Indonesia, hasil tes darah acak yang digelar Departemen Kesehatan untuk masyarakat yang tinggal di wilayah berisiko (Bali dan Jawa Timur) menunjukkan bahwa flu burung belum hinggap pada manusia. Rencananya, tes acak akan terus dilanjutkan sampai ke 10 provinsi yang unggasnya positif terjangkit influenza. Provinsi itu antara lain semua provinsi di Jawa, Provinsi Sumatera Utara, Riau, dan Kalimantan Barat.
Hal lain yang cukup menenangkan, sejauh ini, belum terbukti adanya penularan flu burung dari manusia pengidapnya ke manusia lain. Buktinya, menurut siaran pers WHO, belum ada petugas kesehatan yang dilaporkan terinfeksi virus itu.
Dengan berbagai kondisi tersebut, WHO merilis panduan umum untuk menghindari flu burung. Penularan dari unggas ke manusia terjadi terutama melalui kotoran (feses) dan air liur (saliva) unggas yang terinfeksi. Jadi, sepanjang stamina terjaga dan tidak sembrono berurusan dengan unggas—termasuk perkutut, bebek, angsa, ayam kate, dan ayam jago aduan—kita tak perlu khawatir. Petugas peternakan pun tak perlu risau sepanjang menerapkan aturan pencegahan, yakni sering mencuci tangan, bersarung tangan, dan bermasker setiap kali memasuki wilayah kandang.
Penularan melalui makanan pun bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Soalnya, virus influenza pasti sudah tumpas habis jika daging dikenai suhu 80 derajat Celsius selama satu menit. Jadi, seperti yang dua pekan lalu didemonstrasikan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra, kita tak perlu takut menyantap daging ayam yang dimasak lezat.
"Kita jangan panik," kata Profesor Umar Fahmi Achmadi, Direktur Jenderal Pencegahan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Departemen Kesehatan. Apalagi, Umar Fahmi menekankan, peluang kesembuhan pasien flu burung relatif besar. Ini setidaknya berkaca pada pengalaman Belanda, yang terkena wabah yang sama pada 1997. Kala itu, dari 80 orang yang tersambar flu burung, hanya satu kasus yang berujung kematian. Artinya, flu burung bisa diusir tuntas jika ditangani sejak dini. Maka, jika hari-hari ini Anda demam, pilek, batuk, dan pegal otot, yang memburuk dengan cepat dalam 2-3 hari, apalagi punya riwayat bersentuhan dengan unggas, segeralah memeriksakan diri ke dokter.
Tentu saja kewaspadaan tak boleh kendur karena selalu ada risiko terburuk. Profesor Agus Syahrurahman, ahli virologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, menyebutkan sifat alamiah virus untuk bertukar protein materi genetik (ribonucleic acid—RNA) di antara sesama virus. Percampuran protein itu bisa terjadi jika seseorang yang sudah terkena flu (jenis virus H3N2) kemudian terinfeksi virus avian (jenis H5N1). Walhasil, terciptalah spesies baru yang lebih ganas dan menyebar cepat.
Nah, andai spesies virus tadi telah bermutasi lebih ganas, dunia harus segera bersiap menghadapi wabah flu yang serius. Dampaknya bukan mustahil sama seramnya dengan wabah flu Hong Kong, 1968, yang menyebar ke lima benua dalam tempo lima bulan dan menewaskan 45 ribu warga dunia.
Untungnya, sampai kini, kekhawatiran adanya mutasi virus flu burung baru sebatas teori di atas kertas. Biarpun begitu, kita juga harus bersiap-siap. Keterbukaan dan kerja sama antar-instansi menjadi kunci dalam soal ini. "Jika bersikap abai," kata Tjandra, "bukan mustahil risiko yang terburuk akan datang."
Mardiyah Chamim, Herry Gunawan, Martha, Faisal, M. Nafi (TNR-Jakarta), Rofiqi Hasan dan Made Mustika (Bali), Bibin B. (Malang), Anas Syahirul (Solo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo