Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NYOMAN Muliartha sudah 16 tahun jadi peternak ayam. Tapi baru kali ini lelaki berumur 39 tahun ini harus melakukan pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Setiap pagi, sejak akhir Desember lalu, ia harus menjejalkan puluhan bangkai ayam tumpuan hidupnya itu ke karung demi karung.
Bila sudah penuh, dengan dua pembantunya, dia akan beristirahat sebentar. Lalu, sore hari, pekerjaan yang sama harus dia ulangi. Kali ini, bangkai yang harus dia bungkus adalah ayam-ayam yang mati di siang hari. Beranjak menjelang malam, mereka bertiga harus mengubur atau membakar tumpukan bangkai itu. Begitu seterusnya. Ketika bau hangus ayam yang dibakar merebak, Nyoman hanya bisa tercenung. Hancurlah sudah peternakan yang dia bangun dengan susah payah.
Semula, Nyoman tergolong pengusaha ternak ayam yang lumayan sukses. Dari 13.500 ekor ayam petelur yang dia pelihara, Nyoman bisa meraup untung bersih Rp 2,5 hingga 3,5 juta per bulan. Cukup besar, sehingga dia memberanikan diri berutang Rp 100 juta untuk menambah modal ke Bank Pembangunan Daerah Bali.
Namun, sejak wabah flu burung mendera, ayamnya tinggal 1.500 ekor dan terus berkurang. Dari hitungan kasar, ia sudah merugi Rp 36 juta. "Sekarang bagaimana saya harus melunasi utang? Membayar bunga 1,5 persen sebulan saja tiang (saya) tidak sanggup," keluhnya.
Nyoman hanya satu dari 80 peternak ayam di Desa Senganan, Tabanan, lokasi terparah di Bali yang dihajar flu burung. Sebelum wabah datang pada akhir Desember lalu, di desa peternak ini hidup sedikitnya 175 ribu ekor ayam. Sekarang, yang tersisa tinggal sepertiganya. Kini, tak terdengar lagi senandung para peternak yang dengan ceria memunguti satu demi satu telur dari kandang. Praktis, urat ekonomi desa itu setengah lumpuh. "Ini musibah terbesar sejak peternakan ayam petelur berkembang di sini," ujar I Made Kuasa, Kepala Desa Senganan.
Penderitaan serupa juga dialami wilayah sentra peternakan ayam lainnya. Menurut Anton J. Supit, Ketua Gabungan Perusahaan Perunggasan Indonesia (GPPI), kepada Tempo News Room, sedikitnya sudah 16 juta ekor ayam tewas akibat flu burung. Dengan miris Anton memperkirakan ancaman kerugian yang diderita industri peternakan unggas di Indonesia akan mencapai triliunan rupiah kalau pemerintah tak segera bertindak.
Tak hanya matinya ayam yang membuat cemas. Menurut Anton, seiring dengan mencuatnya wabah, orang-orang mendadak melihat daging ayam dengan mimik ketakutan. Akibatnya, ayam montok nan sehat walafiat pun tak laku dijual.
Lihat apa yang dialami Tanto, pedagang di Pasar Kota Klaten, Jawa Tengah. Setengah mati dia meyakinkan calon pembeli bahwa daging ayam yang dia jual bebas virus, toh tak ada yang melirik. "Waduh, remuk kabeh (semua), Mas, pelanggan takut terserang penyakit itu," katanya lesu. Jadilah ia dan beberapa pedagang lain sering harus pulang menggotong ayam-ayam yang tak terjamah pembeli. "Kalau begini terus, saya mau berhenti dulu jualan, daripada rugi," kata Tanto.
Tanto masih beruntung karena ayam yang dia jual tak terlalu banyak. Di Pasar Semanggi, Solo, Jawa Tengah, ratusan ayam berjejal di kurungan, menatap kosong menunggu pembeli yang tak kunjung tiba. Para pedagang mengaku, pesanan ayam dari Jakarta yang biasanya mencapai 12 ribu ekor per hari sudah berkurang separuhnya.
Efek domino wabah laknat itu memang mengerikan. Menurut Anton, industri peternakan jalin-menjalin dengan sektor lain. Sebut saja industri pembibitan (breeder), pengolah pakan, para petani jagung, jasa tenaga kerja, pedagang, restoran, hingga warung-warung tegal di pinggir jalan.
Yang segera tergerus efek domino adalah usaha pembibitan ayam. Di Purwakarta, Jawa Barat, PT Melindo pada pertengahan Desember lalu sudah kehilangan sekitar 180 ribu induk ayam senilai Rp 36 miliar. Usut punya usut, menurut Kepala Dinas Peternakan Kabupaten Purwakarta, Yossy Sukmayasa, kematian ini positif akibat flu burung.
Khawatir penyakit merebak ke perusahaan lain—harap maklum, di lokasi yang sama ada empat perusahaan breeder lain—Yossy memerintahkan pemusnahan 20 ribu bibit ayam Melindo yang tersisa. Manajemen Melindo pun, menurut Ike, salah seorang staf di sana, patuh. Tak hanya itu, Melindo juga mesti berhenti beroperasi paling tidak untuk tiga bulan ke depan sambil mensterilkan tempat penampungan ayamnya.
Rantai penderitaan itu tampaknya terus bersambung. Beberapa wilayah di luar Jawa yang masih bebas flu burung sekarang telah menyetop impor bibit ayam (day old chick, DOC) dari Jawa. Jelas ini sangat memukul perusahaan pembibitan. Sebab, menurut Wakil Kepala Dinas Pertanian, Perkebunan, dan Peternakan Sulawesi Tengah, Drh. Sudjanarto, kepada wartawan termasuk Darlis Muhammad dari TEMPO, 80 persen pasokan DOC untuk wilayah ini diambil dari Jawa Timur. "Kita khawatir DOC yang dikirim telah tertular flu burung," kata Sudjanarto. Sebagai pengganti, provinsi itu memilih impor bibit dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan Timur. "Apa boleh buat, meski jumlahnya tak cukup untuk kebutuhan peternak di sini," kata Sudjanarto lagi.
Toh, di tengah semua kesuraman itu masih ada yang bisa tersenyum. Di Jember, Jawa Timur, ayam tetap bisa terjual. "Alhamdulillah, flu burung belum sampai ke sini," kata Haji Anas, 38 tahun, peternak dari Desa Kaliwining, Kecamatan Rambipuji. Darjo, 37 tahun, dan Sunhin, 40 tahun, juga peternak ayam, membenarkan Anas. Kalaupun ada kematian ayam, menurut mereka, jumlahnya hanya 5-10 persen. "Bukan karena flu, tapi memang biasa mati sejumlah itu di kalangan peternak," kata Haji Anas.
Tentu saja mereka tak mau lengah. Kini mereka jadi rajin mengguyur kandang ayamnya dengan desinfektan pembasmi hama. "Sejauh ini cukup manjur," kata Haji Anas lagi.
Para peternak di sini memang mengeluhkan turunnya harga daging ayam sejak kemunculan wabah. Pada zaman normal, ayam bisa mereka jual Rp 9.000 per kilogram. Sekarang, harga itu terpangkas menjadi Rp 6.000. Namun mereka yakin, menjelang Idul Adha lalu, harga bakal terkerek naik. Bahkan Muhammad Ersyad, peternak besar di Kecamatan Patrang, Jember, sudah kebanjiran order. "Tapi saya masih tahan, agar harganya bisa naik," katanya. Dia yakin, paling sedikit ayam yang dia jual bisa seharga Rp 7.500 per kilogram.
Di luar industri perayaman, dampak langsung wabah ini memang belum terlihat. Tapi Presiden ASITA (Association of the Indonesian Tours & Travel Agencies), Ben Sukma, mengingatkan jika pemerintah tidak bertindak cepat, industri pariwisata pun akan terimbas. "Padahal industri ini belum pulih benar. Pelaku bisnis pariwisata baru bisa menjalankan 30 persen dari keseluruhan modal produksinya," kata Ben kepada Djajang Jamaludin dari TEMPO.
Ben tidak membesar-besarkan. Korea Selatan, misalnya, sudah mengingatkan warganya agar berhati-hati bila mengunjungi negara yang terkena wabah. Karena itu, Ben berharap pemerintah bertindak cepat. "Pemerintah harus gencar berkampanye bahwa flu burung bukan momok yang tak bisa diatasi," katanya.
Agus Hidayat, Rofiqi Hasan (Bali), Anas Syahirul (Solo, Klaten), Mahbub Djunaidy (Jember), Nanang Sutisna (Purwakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo