Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keberatan Kementerian Polkam
MAJALAH TEMPO Edisi 26 Januari—1 Februari 2004 menurunkan tulisan masing-masing pada rubrik Opini di halaman 23 berjudul ”Angket Polkam Menangguk Curiga”, dan pada rubrik Nasional di halaman 28 berjudul ”Menanti ’Fatsoen’ Yudhoyono”, serta di halaman 29, ”’Polling’ Versi Merdeka Barat”, yang keseluruhannya memuat kegiatan Kementerian Politik dan Keamanan RI. Kami sungguh tidak bisa menerima dan sungguh sangat keberatan atas substansi pada tulisan-tulisan tersebut; yang sungguh sangat tendensius, tidak obyektif, tidak berdasarkan fakta, menyerang harkat dan martabat, bahkan sudah merupakan perbuatan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik.
Pada hari Rabu, 21 Januari 2004, dari pukul 16.00 hingga pukul 18.00 Kementerian Koordinator Bidang Polkam telah dengan sangat welcome dan beritikad baik dalam menerima wartawan TEMPO, Sdr. Ecep, dan kepada yang bersangkutan telah pula diberikan penjelasan oleh Pejabat Deputi I Bidang Politik Dalam Negeri dengan transparan, gamblang, dan sangat jelas, tanpa ada hal-hal yang ditutup-tutupi. Pada intinya, pendataan yang dilakukan oleh Kementerian Koordinator Bidang Polkam adalah untuk melakukan monitoring, evaluasi, dan pengamanan Pemilu 2004, di mana hasilnya akan dipergunakan untuk merumuskan kebijakan dan langkah strategis di bidang Polkam, agar Pemilu 2004 dapat berlangsung aman, damai, dan demokratis.
Dasar keberatan kami, pertama, tulisan opini yang berjudul: ”Angket Polkam Menangguk Curiga” sangat menyimpang dan bahkan bertentangan dengan norma umum yang layak, baik, dan benar dalam sebuah penulisan. Berdasarkan judul, tema pokok yang diangkat adalah angket Polkam, namun pada kenyataannya apabila disimak secara cerdas dan obyektif, tulisan tersebut pada alenia ke-6, 7, dan 8 telah bias menyimpang dari tema pokok. Sebagai contoh, pada alenia ke-6, tulisan tersebut menyatakan bahwa pada Januari 2004 Menteri Koordinator Polkam telah melakukan kunjungan dinas ke Nanggroe Aceh Darussalam (NAD); berkunjung ke pesantren, mengisi acara di Partai Demokrat, dan gampang sedikit-sedikit main panggil ”penguasa daerah”. Pernyataan-pernyataan tersebut merupakan sebuah rekaan tidak berdasar dan tidak berdasarkan fakta yang obyektif.
Agaknya, tulisan tersebut hanya ditarik dari keterangan Sdr. Smita Notosusanto (Cetro), sebagaimana dituliskan pada rubrik Nasional berjudul ”Menanti ’Fatsoen’ Yudhoyono” pada alinea ke-3 dan ke-5. Pada alenia ke-3 ditulis, ”Acara Yudhoyono padat. Ia berdiskusi dengan anggota lembaga penyelenggara pemilu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan kalangan LSM, termasuk Smita. Usai berdialog, Yudhoyono bertemu dengan bupati dan wali kota se-Aceh. Namun betapa kagetnya Smita ketika menyaksikan para pejabat daerah itu ramai-ramai memakai baju seragam biru Partai Demokrat. ’La, ini apa tugas negara? Kok, malah kampanye,’ ujarnya.”
Lalu, pada alenia ke-5, disebutkan, ” Yudhoyono nyaris lengket dengan Partai Demokrat. Saat berkunjung ke berbagai daerah, ia selalu datang dalam kapasitas sebagai menteri. Namun saat itu pula, entah kebetulan, entah dirancang, Partai Demokrat pun menggelar acara temu kader bersama Yudhoyono. Contohnya di Aceh tadi. Karena itu Smita menilai Yudhoyono telah melanggar Undang-Undang Pemilu karena menyalahgunakan kedudukannya sebagai pejabat negara.”
Perlu dijelaskan bahwa kunjungan terakhir Menteri Koordinator Politik dan Keamanan dan rombongan ke Provinsi NAD adalah pada tanggal 16 dan 17 Desember 2003 dalam rangka menyelenggarakan rapat/pertemuan yang dihadiri oleh Ketua Komisi Pemilihan Umum Pusat dan Daerah Aceh, Panwaslu Pusat dan Daerah Aceh, Komnas HAM, Penguasa Darurat Militer Daerah Provinsi NAD, Gubernur NAD, Kapolda NAD, Kajati NAD, Pangkoops, para bupati/wali kota, para ulama, para mahasiswa dari BEM, ormas, orpol, LSM se-Aceh, dan beberapa perwakilan LSM dari Jakarta (dalam hal ini termasuk Sdr. Smita Notosusanto dari Cetro turut hadir). Peserta rapat yang hadir sekitar 300 orang. Pertemuan tersebut adalah suatu forum dialog dalam rangka mendengar secara langsung aspirasi seluruh komponen masyarakat Provinsi NAD tentang Perpanjangan Status Darurat Militer di Provinsi NAD, sekaligus untuk menjawab adanya kekhawatiran dan keraguan beberapa civil society dan atau LSM di Jakarta tentang pelaksanaan Pemilu 2004 yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, aman, damai, serta demokratis dalam keadaan status darurat militer.
Perlu dicatat dan digarisbawahi pula, agenda rapat/pertemuan tersebut adalah agenda tunggal Menko Polkam. Pertemuan tersebut diselenggarakan di Aula Markas Kodam Iskandar Muda. Tidak ada satu pun spanduk Partai Demokrat. Setelah dialog tersebut tidak ada pertemuan khusus dengan para bupati/wali kota. Tidak ada para pejabat daerah yang memakai baju seragam biru Partai Demokrat sebagaimana disebutkan oleh Smita. Tidak ada agenda kunjungan ke pesantren. Tidak ada acara menghadiri temu kader Partai Demokrat.
Perlu diketahui, pada bulan Januari 2004 Menteri Koordinator Polkam tidak memiliki agenda untuk berkunjung ke Provinsi NAD; tidak ada agenda berkunjung ke pesantren di Provinsi NAD; tidak ada agenda mengisi acara Partai Demokrat di NAD; tidak pernah main panggil ”penguasa daerah” NAD; dan selama Menko Polkam berkunjung ke Provinsi NAD tidak pernah ada para pejabat daerah yang memakai baju seragam biru Partai Demokrat.
Sayang sekali, Majalah TEMPO begitu percaya hanya keterangan ”Seorang Smita” yang tidak benar dan tidak berdasarkan fakta obyektif, serta masih perlu diuji kredibilitas dan keakuratannya. Alangkah cerdas dan eloknya apabila saat itu TEMPO melakukan uji silang berkeseimbangan kepada pihak yang berkompeten atau sumber lain di Provinsi NAD, sehingga pemberitaan menjadi cerdas dan obyektif.
Kedua, tulisan pada rubrik Nasional di halaman 29 berjudul ”’Polling’ Versi Merdeka Barat”. Perlu diketahui bahwa Kabupaten Gresik bukan merupakan salah satu kabupaten di Jawa Timur yang didatangi oleh Tim Monitoring, Evaluasi dan Pengamanan Pemilu 2004 Kementerian Koordinator Bidang Polkam. Karena itu keterangan Sdr. Hamim Mubham yang berasal dari Gresik sebagaimana dikutip TEMPO jelas tidak benar dan patut dipertanyakan.
Pada alinea ke-4 tulisan tersebut disebutkan bahwa garis besar kuesioner dua tema, yakni tentang persepsi masyarakat terhadap Pemilu 2004 dan ihwal calon presiden yang ideal. Perlu diketahui dan dicatat bahwa dalam daftar pertanyaan yang dibuat oleh tim dari Kementerian Koordinator Bidang Polkam sama sekali tidak memuat ihwal calon presiden. Daftar pertanyaan tersebut secara keseluruhan sudah dibaca dan dipahami oleh wartawan TEMPO Sdr. Ecep yang datang ke kantor kami, sehingga seharusnya tidak terjadi penulisan yang bias.
Berdasarkan kenyataan-kenyataan di atas, tulisan Majalah TEMPO tersebut tidak beritikad baik, cenderung menyerang harkat dan martabat, bertentangan dengan fakta, tidak obyektif, jumping conclusion, dan sungguh sangat tendensius, serta melanggar hukum. Dan untuk itu pihak kami sedang mempertimbangkan untuk melakukan tuntutan hukum.
ALEX BAMBANG RIATMODJO
Acting Deputi VII Kementerian Koordinator Bidang
Politik dan Keamanan Republik Indonesia
Tanggapan Smita Notosusanto
BERSAMA ini saya ingin menyampaikan ralat terhadap wawancara saya yang dimuat oleh TEMPO Edisi 26 Januari—1 Februari 2004 dalam artikel berjudul ”Menanti ’Fatsoen’ Yudhoyono”. Dalam wawancara saya tidak pernah menyebut bahwa para bupati dan tamu yang hadir dalam pertemuan dengan Bapak Susilo Bambang Yudhoyono mengenakan baju biru Partai Demokrat, melainkan beberapa tamu mengenakan pin Partai Demokrat dengan gambar wajah Bapak Susilo Bambang Yudhoyono. Demikian pula saya tidak pernah mengatakan bahwa pertemuan di Aceh merupakan pertemuan kader Partai Demokrat.
Smita Notosusanto
Centre for Electoral
Sesuai dengan catatan wartawan TEMPO, Smita Notosusanto tidak pernah menyebut kata pin melainkan seragam.—Red.
Penjelasan PT Pupuk Iskandar Muda
SEHUBUNGAN dengan pemberitaan mengenai PT Pupuk Iskandar Muda (PIM) pada Majalah TEMPO 1 Februari 2004, sebelumnya kami ucapkan terima kasih. Di situ diangkat masalah kesulitan gas yang kini sedang dihadapi oleh tiga industri besar di Kabupaten Aceh Utara, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Namun, untuk menghindari gambaran yang keliru kepada masyarakat/pembaca, perkenankan kami menyampaikan klarifikasi sebagai berikut.
- Sangat tidak relevan membandingkan harga jual gas bumi ke pabrik pupuk dengan harga ekspor LNG (liquefied natural gas). Gas bumi yang dijual ke pabrik pupuk sebesar US$ 1,85 per million metric british thermal unit (MMBTU) adalah gas bumi yang belum diolah atau mentah. Sementara LNG yang diekspor dengan harga US$ 3,5- 5 per MMBTU adalah gas bumi yang sudah diolah di pabrik pengilangan, sehingga harus diperhitungkan biaya pengilangannya.
- Sebagai bagian dari BUMN, PT PIM tidak hanya berorientasi pada perolehan laba, tapi bertanggung jawab pula terhadap stabilitas penyediaan pupuk dalam negeri terutama di wilayah Provinsi NAD dan Sumatera Utara. Sehingga, kebutuhan dalam negeri yang diutamakan. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 70 Tahun 2003, PT PIM wajib memasok pupuk urea sampai dengan lini IV (tingkat kecamatan) dengan harga eceren tertinggi yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp 1.050 per kilogram. Adapun biaya produksi dan distribusi rata-rata Rp1.250 per kilogram (sampai lini IV).
- Apabila kita hanya memperhitungkan aspek komersial, dengan HET tersebut sama halnya PT PIM turut menanggung beban subsidi Rp 200 per kilogram. Apalagi bila kita bandingkan dengan harga ekspor pada saat ini, rata-rata US$ 170 per ton (FOB), dengan harga penjualan ke sektor pangan hanya US$ 100 per ton (FOB) berarti PT PIM menggalami opportunity lost 300.000 ton x US$ 70 = US$ 21 juta per tahun. Bayangkan!
- Gas bumi yang dibutuhkan sebagai bahan baku industri pupuk urea di Indonesia hanya sekitar 7 persen (bukan 25 persen) dari total produksinya. Pola penyediaan gas bumi pabrik pupuk selama ini untuk jangka waktu 20 tahun, di mana kontrak pasokan gas bumi pabrik PIM-1 telah berakhir pada 31 Desember 2003. Jauh sebelum berakhirnya kontrak tersebut PT PIM sudah menjajaki perpanjangannya, namun hingga saat ini belum ada kepastiannya. Dari total kebutuhan pabrik PIM-1 dan pabrik PIM-2 sebanyak 110 MSCFD ( million standard cubic feet per day), baru ada konfirmasi 75 MSCFD. Itu pun termasuk penyediaan listrik untuk PT AAF dan hanya untuk empat bulan tahun 2004. Jumlah tersebut hanya memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan satu unit pabrik, dalam hal ini diprioritaskan untuk pupuk PIM-2 (yang lebih efisien), sedangkan pabrik PIM-1 terpaksa dimatikan.
- Perlu diketahui bahwa komponen biaya produksi pupuk tidak hanya gas bumi tapi banyak lagi komponen lainnya. Dalam hal ini komponen gas bumi hanya mengambil porsi 35 persen dari total produksi, sedangkan komponen lainnya seperti bahan kimia penolong, biaya pegawai, pemeliharaan pabrik, biaya umum, asuransi, biaya distribusi, penyusutan dan lain-lain, dengan total biaya produksi sebesar Rp 475 miliar per tahun. Sehingga, cara perhitungan laba/rugi yang dipaparkan TEMPO sungguh tidak besar. Sebagai informasi, investasi yang diperlukan untuk membangun pabrik baru sekitar US$ 350 juta, yang tentunya harus diperhitungkan dalam perhitungan biaya produksi.
- Perlu diketahui pula bahwa kapasitas produksi PT PIM (PIM-1) adalah 570 ribu ton urea dan 330 ribu ton amonia. Namun amonia yang dihasilkan tersebut digunakan sebagai bahan baku untuk memproses urea. Kalaupun terdapat kelebihan dari jumlah yang dijadikan bahan baku hanya sekitar 25 ribu ton per tahun, itulah yang dapat dijual sebagai produk samping.
HASANUDDIN THOYLEB
Sekretaris Perusahaan PT Pupuk Iskandar Muda
Pemilihan Umum
SETIAP menjelang berlangsungnya pemilu seperti sekarang, ketika negara dan masyarakat dihadapkan pada persoalan perubahan kekuasaan ataupun suksesi, kaum marginal hanya akan dimobilisasi. Bila proses kekuasaan telah dianggap selesai, mereka kembali akan dilupakan.
Ketika pemilu akan berlangsung, berbagai partai politik dan organisasi massa berlomba-lomba merangkul kaum marginal tersebut, termasuk dengan cara politik uang, agar turut menyumbangkan suara bagi kepentingan partai politik itu. Setelah pemilu usai, mereka akan kembali kehilangan fungsi dan perannya, bahkan aspirasinya pun kerap tidak dipedulikan dalam struktur kemasyarakatan ataupun dalam struktur kekuasaan yang ada.
Hal demikian sangatlah ironis. Sesudah para calon anggota legislatif terpilih, kaum marginal akan dilupakan begitu saja. Bahkan ada partai politik berkuasa yang kemudian menganggap mereka sebagai pengganggu serta penghambat kemajuan pembangunan sehingga harus disingkirkan jauh-jauh.
Yang memprihatinkan pula, hingga saat ini sangat jarang pemberitaan yang lebih mendetail mengenai pelaksanaan pemilu. Padahal hal ini penting untuk memberikan pengetahuan yang lebih memadai bagi kaum marginal, agar mereka bisa menggunakan hak pilihnya dalam pemilu mendatang secara rasional. Itu sebabnya, seperti sebelumnya, pemilu mendatang pun sangat rawan menjadi ladang politik uang.
ARYO RAHARJO
Perumahan UT
Jabon Mekar, Parung
Bogor, Jawa Barat
[email protected]
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo