Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Nenek Moyangku orang Seniman

Pada dinding gua Leang Timpuseng, Sulawesi Selatan, terpampang sebuah "karya mural" bersejarahdibuat 39.990 tahun silam. Terpaut tipis dengan lukisan gua paling purba di situs El Castillo Cantabria di Spanyol, yang diperkirakan berusia 40.080 tahun.

Cerita lukisan di Gua Maros tak berhenti di bidang estetika. Selama 150 tahun para peneliti Eropa menyatakan manusia modern pertama hanya menyebar dari Afrika ke Benua Biru. Namun lukisan gua di situs arkeologi Maros membuktikan, dalam waktu relatif sama, manusia modern juga menyebar ke timur, hingga kemudian mendiami tanah Sulawesi itu.

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gua prasejarah yang berjarak sekitar 13 kilometer di arah timur Maros itu kini beralih fungsi jadi kandang ternak. Lantainya dipenuhi jerami yang telah mengering. Kotoran sapi juga berserakan di manamana. "Sapi aman dari hujan dan panas, begitu pula pakan yang disimpan tidak cepat mengering," kata Muslimin, 45 tahun, warga setempat, menjelaskan "keistimewaan" kandang ternak yang satu ini kepada Tempo, Oktober tahun lalu.

Leang Timpuseng adalah gua di Situs Arkeologi Maros di kawasan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Bentangan pagar besi berbentuk setengah lingkaran membatasi mulut gua dengan dunia luar—sekaligus menandakan kawasan situs arkeologi yang belakangan ini menyedot perhatian dunia itu. Panjangnya sekitar 50 meter dengan ketinggian pagar berfondasi beton 130 sentimeter. Pintu pagarnya terbuka bebas, sebagian jalinan kawatnya sudah terlepas sehingga mudah dilintasi siapa saja.

Dari Jalan Poros LeangLeang, Leang Timpuseng hanya bisa dijangkau dengan jalan kaki sepanjang 250 meter—sekitar dua kilometer, sebelum masuk kawasan Taman Prasejarah LeangLeang. Tak ada jalan setapak, jalur yang bisa dilewati hanyalah pematang. Begitu tiba di lokasi, terdapat beberapa rumah kebun berbahan kayu milik warga.

Nasib Leang Samongkeng juga tidak lebih baik. Gua bersejarah itu juga menjadi kandang ternak, dengan jerami berserak­an di lantainya. Menurut Saharuddin, 45 tahun, hampir semua gua di wilayah Maros yang berdekatan dengan kebun atau rumah penduduk kerap dijadikan kandang sapi. Jadi, "Peternak tak perlu lagi repot membuat kandang," kata warga LeangLeang ini.

Leang Timpuseng dan Leang Samongkeng adalah dua dari tujuh leang—sebutan warga Makassar untuk gua—yang dijadikan sampel riset tim gabungan peneliti dari Badan Arkeologi Nasional Indonesia, Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar, Balai Arkeologi Makassar, bersama Universitas Wollongong dan Universitas Griffith, Australia. Dari leangleang inilah para arkeolog menemukan sisa peradaban manusia prasejarah berumur 40 ribu tahun berupa lukisan dinding gua.

Di Leang Timpuseng, lukisan dua telapak tangan manusia dan babi tampak pada dinding dan atap gua. Sayang, kondisinya mulai memudar. Satu lukisan tangan terlihat hitam kecokelatan karena ditumbuhi gumpalan kapur (stalaktit atau stalagmit). Lukisan tangan lainnya tampak kemerahan. Adapun lukisan babi hanya menyisakan garisgaris di pinggirnya, dengan warna hitam kemerahan. Sebagian besar bagian badan pada lukisan itu telah tertutup gumpalan kapur yang membatu.

Lukisan telapak tangan dan babi juga dijumpai di Leang Samongkeng. Hanya, gua di kawasan Gunung Samongkeng yang tinggi dindingnya lima meter dan diapit pertambangan marmer ini memiliki lukisan obyek mirip perahu. Kondisi lukisan itu juga memudar. Namun, "Tampak jelas jika dilihat menggunakan teleskop," kata peneliti dari Balai Arkeologi Makassar, Budianto Hakim.

Leang Timpuseng, yang terletak di kaki bukit karst yang menjulang tegak lurus dengan ketinggian 75 meter dan terbentang dari selatan ke utara, memiliki sebuah sumur. Sumber mata airnya cukup jernih. Dari keberadaan sumur ini pula warga setempat menamani gua itu Timpuseng, dalam bahasa Bugis berarti "mata air yang tidak pernah kering".

Muslimin mengatakan dulu warga sering memanfaatkan air dari dalam Leang Timpuseng untuk kebutuhan seharihari. Kini mereka tak lagi mengambil air dari sana karena gua itu telah menjadi tempat angon sapi. "Banyak tahi sapi, maka kondisinya kotor, sehingga airnya digunakan untuk kebutuhan ternak saja," karyawan swasta ini menuturkan.

* * * *

Leang Timpuseng pertama kali ditemukan pada 1902. Adalah dua peneliti asal Swiss, Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, yang menguak situs purbakala itu ketika melakukan penggalian untuk mencari artefak. Ketika itu, menurut peneliti dari Balai Peninggalan Cagar Budaya Makassar dan Balai Arkeologi Makassar, Muhammad Ramli, mereka belum menemukan lukisan dinding gua di dalamnya.

Jejak lukisan dinding gua atau rock art pertama diketahui oleh C.H.M. HeerenPalm pada 1905 di situs Leang Pattae. Sejak itu, penelitian gencar dilakukan hingga pada 1950 jumlah leang yang dapat diinventarisasi di kawasan Bentangan Karst MarosPangkep mencapai 138 gua. Dari angka itu, hanya 93 leang yang memiliki lukisan telapak tangan manusia dan gambar hewan yang telah memudar.

Riset untuk menentukan umur lukisan baru dimulai pada 2011. Usia jejak estetika leluhur manusia di Indonesia ini ditentukan menggunakan metode penanggalan uranium series. Teknik penghitungan ini dipilih karena menghasilkan angka yang lebih akurat dibanding sistem carbon dating. Metode uranium series juga digunakan dalam penelitian untuk menentukan usia bumi.

Budianto Hakim menyatakan selama ini umur lukisan gua ditentukan dengan metode pembandingan. Lukisan dicocokkan dengan karakter lukisan yang ditemukan sebelumnya, dengan perkiraan usia yang sama, yakni 5.0007.000 tahun. Namun keadaan berbalik drastis tatkala metode uranium series mengungkap usia sebenarnya lukisan gua di Maros. Peradaban manusia purba di Nusantara rupanya terbilang sangat tua.

Tim riset gabungan terdiri atas enam peneliti inti dan sepuluh asisten peneliti. Mengambil 14 sampel lukisan dari tujuh leang, mereka mengasah tonjolan kapur yang menutupi permukaan lukisan gua untuk diteliti usia kandungan uraniumnya. Hasilnya, umur minimum unsur uranium sekitar 39.990 tahun. Angka ini hanya terpaut tipis dengan temuan lukisan gua di situs El Castillo Cantabria di Spanyol, yang berusia maksimal 40.080 tahun.

Temuan ini cukup mencengangkan. Sebab, menurut Budianto, selama 150 tahun para peneliti Eropa menyatakan manusia modern pertama hanya menyebar dari Afrika ke Benua Biru. Namun lukisan gua di Situs Arkeologi Maros membuktikan bahwa dalam waktu relatif sama manusia modern juga menyebar ke timur, hingga mendiami tanah Sulawesi. "Jika memakai penanggalan maksimal, usianya bisa jauh lebih tua dibanding lukisan di Spanyol," katanya.

Sampel lukisan gua diambil dari Leang Jaria, Leang Lompoa, Leang Timpuseng, Leang Barugaiya, Leang Sampeang, Leang Jing, dan Leang Samongkeng. Dari tujuh gua itu, hanya Leang Jaria dan Leang Sampeang yang masuk kawasan Taman Nasional Bantimurung Bulu Saraung. Sedangkan lima situs lain terletak di kawa­san publik, dikelilingi lahan dan kebun, sehingga ancaman kerusakannya sangat besar.

Budianto mengatakan lukisan gua di situs purbakala Maros dan Spanyol berkaitan dengan jejak persebaran manusia modern 200 ribu tahun lalu. Sementara mayoritas lukisan di Maros berupa tapak tangan dan babi, lukisan di Spanyol didominasi gambar kawanan bison, rusa, dan mamalia besar lain. "Secara teori, kami masih mencari apakah manusia modern, misalnya, tiba di Maros dari Spanyol atau Jerman melalui Kamboja atau negara lain," katanya.

Penelitian kini berfokus menelu­suri asalusul manusia modern di Maros. Para arkeolog berusaha memetakan kawasan yang menjadi jembatan penyebaran untuk mengetahui jalur migrasi manusia ke Tanah Air. "Apakah mereka menggunakan perahu kayu atau hanyut terbawa arus dengan batangan kayu yang terapung di permukaan laut, semua belum bisa kami pastikan," ujar Budianto.

Yang tak kalah sulit adalah mengendus langsung jejak manusia gua. Apalagi penggalian belum menemukan sisa tulangbelulang manusia purba. Ramli mengatakan jejak manusia gua benarbenar terputus. Tidak ada kaitan antara jejak peradaban purba berupa lukisan gua, kerang sisa makanan serta sejumlah senjata tajam berbahan batu dan kehidupan masyarakat yang kini menghuni sekitar situs. "Kami belum menemukan petunjuk seperti apa kehidupan mereka di masa lampau," katanya.

Sisa kulit kerang yang berserakan, misalnya, dijumpai di lantai Leang Timpuseng. Menurut Budianto, kulitkulit kerang itu diduga kuat adalah sampah dapur peninggalan manusia yang dulu mendiami leang. Bahkan para peneliti menemukan tempat bekas pembakaran kayu di dalam gua. "Manusia purba menggunakan api untuk membakar kerang dan hewan lain sebelum dimakan," Ramli menambahkan. Dugaan ini didukung dengan penemuan tulangbelulang hewan yang saat ini sedang diteliti jenisnya.

* * * *

Kenangan empat tahun lalu tentang lukisan di Leang Jaria masih lekat dalam ingatan Adam Brumm, pakar arkeologi dari Universitas Griffith, Australia. Saat itu hari Ahad, Brumm menyempatkan diri mengunjungi gua di dekat Air Terjun Bantimurung ini di sela aktivitas penggalian di sebuah gua lokal. Ia begitu terkesima tatkala melihat dinding dan langitlangit gua kapur itu dipenuhi lukisan telapak tangan atau stensil tangan.

Manusia prasejarah membuat lukisan dengan cara menekankan tangan ke permukaan batu dan menyemprotkan cat merah di sekitarnya untuk meninggalkan jejak warna. "Beberapa stensil tangan sangat mencolok dengan jarijari yang disusun untuk menghasilkan bentuk aneh," kata Brumm melalui surat elektronik. Bermacam lukisan tapak tangan inilah yang membuat gua itu disebut Leang Jaria, yang berarti "gua jari".

Ketika sedang mengamati langitlangit rendah gua, mata Brumm terpaut pada benjolanbenjolan atau nodul yang menutupi sebagian stensil tangan. Nodul kecil berwarna keputihan itu sekilas mirip speleothem, yaitu stalaktit atau stalagmit. Saking banyaknya benjolan yang menutupi stensil tangan, para ilmuwan sempat menjulukinya sebagai berondong jagung gua alias "cave popcorn."

Namun keberadaan nodul itu justru memancing rasa penasaran Brumm. "Saya mulai berpikir bahwa nodul itu mungkin menyediakan cara untuk menghitung umur lukisan gua itu sendiri," dia mengatakan. Dari situlah terlintas ide untuk mengukur usia lukisan gua di Maros. Sebab, umur seni cadas kuno yang pertama kali dilaporkan pada 1950 ini telah lama menjadi misteri.

Brumm mengatakan speleothem di guagua mengandung jumlah jejak uranium yang meluruh dalam elemen lain, torium. Dengan mengukur rasio peluruhan uranium dan torium dalam speleothem, ilmuwan dapat menentukan usia mereka dengan akurasi yang luar biasa. Nah, nodul gua terbentuk setelah stensil tangan diciptakan. Dengan menakar umur nodul, usia minimum untuk karya seni yang mendasarinya dapat diukur. Inilah yang disebut teknik penanggalan uranium series.

Rekan Brumm, Max Aubert, pernah memakai penanggalan uranium series untuk menghitung umur lukisan gua di Australia dan Kanada. Begitu Brumm menunjukkan fotofoto stensil tangan berselimutkan nodul di Leang Jaria, Aubert langsung antusias. Ia pun bergegas terbang ke Sulawesi untuk mengambil sampel di beberapa gua dan kemudian dianalisis di laboratorium di Australia. Beberapa tahun kemudian, Brumm menerima kabar dari Aubert yang menyebutkan nodul dari stensil tangan Maros berusia hingga 40 ribu tahun. "Ini termasuk seni batu tertua di dunia!"

Mahardika Satria Hadi, Amri Mahbub (Jakarta), Jumadi (Maros)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus