Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Prasejarah Laut Bertabur Pulau

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

dr Pindi Setiawan*

Tim peneliti menyimpulkan bahwa tradisi membuat gambarcadas berwarna merah di Maros berada pada zaman es Pleitosen Akhir—40.000 tahun lalu. Yang tertua adalah imaji captangan tertua di Leang Timpuseng, 39.900 tahun lalu. Sedangkan imaji binatang tertua terdapat di Leang Barugayya, yang menunjuk tarikh 35.700 tahun lalu.

Gambargambar bertarikh zaman es ini menimbulkan beri­bu pertanyaan baru. Jelas, kisahkisah prasejarah dunia mengenai asalmuasal kebudayaan gambarcadas dan siapa manusia penggambar 40.000 tahun itu, serta hidup pada iklimmedan seperti apa, menggambar apa, dan seperti apa.

Sudah lama peneliti gambarcadas bermimpi menemukan gambarcadas dari zaman Pleitosen Akhir di wilayah Nusantara. Karena tradisi gambarcadas Aborigin Australia juga memiliki imaji bertarikh Pleitosen Akhir, seperti yang ditemukan pada situs di Queensland, di Kimberley, atau di Olalry (Chaloupka, 1993).

Manusia Aborigin berjalan menelusuri pantai pesisir Benua Eropasia, dan menyeberangi laut beberapa kali di wilayah Nusantara Tengah, untuk sampai ke Benua Sahul (Papua dan Australia masih bersatu). Salah satu rute migrasinya adalah melalui Kalimantan (yang pantainya dulu sangat dekat dengan Sulawesi Selatan) ke arah Sulawesi, Maluku, dan sampai di dataran Sahul, yang sekarang Kepulauan Aru (Morwood, 2012).

Kini mimpi itu "tibatiba" muncul di Maros (Sulawesi), Indonesia, suatu tempat yang sangat jauh dari Eropa Barat. Hal ini tentu sangat menggembirakan karena ruangwaktu gambarcadas pada zaman Pleitosen Akhir telah lama merupakan "monopoli" prasejarah Eropa Barat. Teori bahwa tradisi menggambar dinding batuan dibesarkan di Eropa Barat luntur dengan sendirinya.

Temuan tarikh 39.900 tahun lalu juga memberi pengetahuan baru bahwa tradisi menggambar di Nusantara tidak hanya dilakukan oleh kaum Austronesian. Manusia Austronesian dulu dipercaya sebagai satusatunya masyarakat pendukung tradisi gambarcadas Nusantara. Artinya, tradisi gambarcadas tidak akan lebih tua dari migrasi kedatangan Austronesian ke Nusantara, yaitu 4.000 tahun lalu, pada zaman Holosen.

Namun sekarang sudah terdapat beberapa tarikh gambarcadas yang diperkirakan jauh lebih tua dari masa kedatangan Austronesian itu, misalnya pada situs bergambar di Thailand, Kalimantan Timur, dan Timor Leste. Maka kisah gambarcadas prasejarah Nusantara perlu memilah lagi imaji apa yang digambar pada zaman Pleitosen Akhir; imaji apa yang digambar pada masa Holosen.

Perlu dituliskan ulang kembali siapa masyarakat pendukung tradisi gambarcadas Nusantara yang bertarikh 40.000 tahun lalu itu. Apakah manusia Wajak yang berumur 40.000 tahunan? Ataukah manusia Kalimantan? Manusia Maros? Seperti apa kehidupannya? Bagaimana iklim dan medan ketika gambar dibuat 40.000 tahun lalu, dan seterusnya?

Telah diketahui bahwa pada zaman es di Eropa, manusia (Homo sapiens) adalah pembuat gambarcadas, dan ketika itu dipercaya masih bersinggungan dengan kehidupan makhluk hominid lain, yaitu HomoNeanderthal. Pada zaman es di Nusantara, secara teori manusia Homo sapiens masih berbagi ruang hidup dengan Pithecanthropus. Tampaknya (walau belum ada buktinya), ketika itu, di Sulawesi juga terjadi persentuhan manusia penggambar Maros dengan hominid lain, mungkin berjenis Pithecanthropus, atau sejenis Floriensis. Bagaimana sejarah (baru) akan mengisahkan pembagian ruang hidupnya? Toh, keduanya samasama punya tradisi berburumeramu dan tinggal di gua.

Iklim dan medan juga menarik. Eropa Barat dan Australia merupakan benua subtropis yang dingin, sedangkan Maros berada di suatu tempat yang sudah sejak jutaan tahun lalu dikelilingi laut, yaitu Pulau Sulawesi. Walaupun di zaman es tetap cenderung hangat, karena berada di tropis. Iklim ketika itu memang 23 derajat lebih sejuk daripada masa kini (Sémah, dkk, 2006), tidak begitu lembap, dan mempunyai musim kemarau yang lebih panjang.

Tidak mengherankan bila pada zaman itu mamalia berkaki empat mendominasi ladang savana di daerah perburuan, khususnya di kawasan yang berbatu karst di Nusantara. Pada masa itu, mode mata pencariannya adalah pemburuperamu. Kaum pemburu sangat senang menggambarkan imaji cit­ra atau ideografi (menggambarkan apa yang ada di benak) umumnya berupa cap tangan atau lirfauna (zoomorfik). Mereka juga sangat terampil menggambarkan imaji wimba atau piktografi (menggambarkan seperti yang dilihat mata), yaitu biasanya imaji mamalia.

Mereka tidak begitu sering menggambarkan sosok manusia. Sosok manusia yang digambar biasanya adalah sosok penting, yaitu saman (dukun penghubung dunia nyata dengan dunia gaib). Pada gambargambar kaum pemburu, walaupun ada, tidak banyak ditemukan imaji jenis gerigis–ragam geometrik, garisgaris, titiktitik—atau psikografi (imaji yang spontan dan bersifat psikologis).

Gambar zaman es Eropa dan Australia lebih banyak dibuat di dinding, sedangkan di Maros terlihat banyak di langitlangit. Pada latar Indonesia, situs Kalimantan juga banyak menggambar pada langitlangit, sedangkan situs di MalukuPapua lebih banyak di dinding. Gambar di Sumatera umumnya di dinding.

Melihat gambarcadas yang bertarikh 40.000 tahun lalu di Maros, kecenderungan "gayagambar" di atas juga terjadi. Mamalia Maros digambarkan dengan indahnya, sama seperti indahnya mamalia yang digambar di Chauvet, Altamira, Lauscaux, Cap Blank, atau Niaux (Eropa Barat). Citra cap tangan banyak pula berserakan di situs Maros, seperti situssitus di Eropa. Sayangnya, imaji gerigis seperti pada gambar di situs Par Noir Pair (Eropa Barat) belum ditemukan di Maros. Hal ini memang demikian, sulit menemukan situs berimaji gerigis dari masa Pleitosen di Indonesia.

Di Kalimantan Timur, misalnya, dari 35 situs bergambar, baru ditemukan empat situs berimaji gerigis. Jadi, dari uraian di atas, tampaknya masyarakat Maros merupakan masyarakat pemburu yang sangat pandai mengolah rupa, seperti para pembuat gambarcadas di Eropa dan di Australia. Hal inilah yang perlu ditulis ulang: jenis gambar yang dibuat pada zaman pemburu, lalu apa bedanya gambar zaman es di subtropis dan gambar di tropis. Mengapa gambar zaman es di Maros banyak terdapat di langitlangit? Apakah karena masalah ketersediaan media gambar di lapangan? Atau ada motivasi khusus?

Apakah perbedaan struggle of life (Eropa dingin, Nusantara kering) antara Eropa Barat dan Nusantara akan membedakan motivasi pembuatan gambar? Apakah ada perbedaan duniakreasi manusia benua, dengan duniakreasi manusia pulau? Seperti apa budaya penyeberangan ketika itu? Sejauh apa pengaruh garis sekat fauna Wallace dan Weber pada kehidupan manusia ketika itu?

Pertanyaan itu penting karena gambarcadas sebagai bagian kebudayaan, berarti mengandung pedomanpedoman yang perlu dikomunikasikan di antara sesama masyarakat pendukungnya. Jadi gambarcadas adalah peristiwa kebudayaan yang mengandung pengetahuan dan model kehidupan yang dipercayai oleh masyarakat prasejarah. Pengetahuan dan model kehidupan yang tecermin pada gambarcadas menjadi satuan yang terintegrasi, sehingga perilaku, nilai estetik, tatanan sosial, dan kepercayan itu berkaitan (lihat Parsudi, 1986; Nurhadi, 2005; Mulyana dan Rakhmat, 2001; Rohidi, 2000).

Gambar dalam sudut pandang alihinformasi sebenarnya tidak terkait dengan gaya penggambaran (misalnya gaya romantik, naturalis, atau realis seperti halnya banyak dilakukan pada pendekatan pertama). Gambar dapat dilihat sebagai bagian dari unsur kerja dalam mengalihkan dan menangkap pengetahuan melalui simbol informasi. Gambargambar di Gua Chauvet, Prancis, (33.000 tahun lalu) adalah bukti utama dalam menerangkan bahwa kemampuan simbolik manusia berkembang semakin efektif dan efisien (Bahn, 1998 dalam Hodgson, 2006). Artinya kemampuan menggambar yang hebat pada sekitar 40.000 tahun lalu tampaknya bukanlah suatu revolusi ledakan, melainkan suatu gejala bertahap dari proses kreasi manusia (lihat LewisWilliams, 2002; Tabrani, 2006).

Inilah yang perlu ditulis ulang pada prasejarah Nusantara, khususnya Maros, jangan puas pada gambargambar "indah" seperti babirusa dan anoa saja. Para peneliti perlu memperhatikan juga pola perupaan lain yang ada, baik yang sezaman maupun tahapan perupaan sebelum dan sesudah Pleitosen Akhir. Sulawesi (dan kemudian Nusantara) adalah suatu pulau, sedikitbanyak ia akan berbeda dengan pola perupaan benua, seperti di Eropasia atau Australia.

Nusantara bagaimanapun adalah wilayah prasejarah yang berupa laut bertabur pulau, bukan prasejarah daratan seperti halnya Afrika, Eropasia, atau Australia. Mudahmudahan di masa depan prasejarah dunia akan diperkaya kisah prasejarah versi Nusantara, yaitu kisah prasejarah pada latar laut bertabur pulau.

Peneliti gambarcadas Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus