Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Galeri Seni Para Leluhur

Lukisan purba bertebaran di guagua Indonesia. Warisan kebudayaan kuno yang dipenuhi simbol.

12 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Guratan garis tak lurus tapi beraturan masih tampak jelas di dinding Gua Harimau. Coretan lukisan berwarna merah batu bata itu letaknya berdekatan. Ada beberapa gambar lain di sekitar goresan bergelombang mirip sungai itu. Namun motif dan warnanya sulit dikenali akibat sudah luntur dimakan usia. Gua di Desa Padang Bindu, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan, itu seperti sebuah galeri yang menampilkan karya seni manusia di atas cadas.

Untuk ketiga kalinya Tempo berkunjung ke gua bersejarah itu, akhir Oktober tahun lalu. Perlu waktu enam jam bermobil dari Palembang ke lokasi gua. Perjalanan dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak dan menyeberangi Sungai Aman. Dibanding tiga bulan lalu, jalur ke gua sudah lebih bersih dari rumput liar dan genangan air. Batubatu karang tempat berpijak tak lagi licin. Gua itu terletak di ketinggian. Ada 105 anak tangga yang harus dilalui dari tepi Sungai Aman sebelum mencapai mulut gua. Di sana, beberapa pekerja tengah membangun jembatan yang akan menghubungkan pengunjung dengan sebuah ceruk berisi lukisan dan replika manusia purba di dalam gua.

Ceruk besar itu menyimpan koleksi lukisan berharga ciptaan manusia purba. Goresan itu disapukan di dinding dan langitlangit gua. Ada berbagai motif memanjang seperti sungai, tulang ikan, dan lingkaranlingkaran. Warnanya juga beragam, merah terang hingga hijau kekuningan. Di gua itu sebelumnya ditemukan puluhan kerangka manusia purba. Ada 78 kerangka manusia purba yang telah digali dan dipindahkan sepanjang penelitian sejak 2009 hingga 2014. Sebagian besar kerangka disimpan di Museum Si Pahit Lida, tiga kilometer dari Gua Harimau.

Lukisan kuno ternyata tersebar di seantero gua. "Bukan hanya satu, di beberapa tempat lain juga ditemukan lukisan," kata Chandra, pemandu dari Desa Padang Bindu. Dia menunjukkan sebuah lukisan yang terpampang di dinding sebelah timur laut Gua Harimau. Belakangan para arkeolog menamai lokasi tersebut Galeri Wahyu. Nama itu merujuk pada arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional, Wahyu Saptomo, yang pertama kali menemukan lukisan di dinding gua tersebut.

Para peneliti Pusat Arkeologi telah mengidentifikasi 47 gambar cadas atau rock art. Mereka mempelajari lukisan itu sejak 2009. Gambar berbentuk geometris itu dibuat menggunakan sapuan jari dan benda runcing. Temuan itu mengejutkan karena sebelumnya karya lukisan cadas disebutkan hanya ada di Indonesia bagian timur. Rully Fauzi, peneliti dari Balai Arkeologi Palembang, mengatakan karya di Gua Harimau adalah lukisan gua pertama yang ditemukan di Sumatera. "Motif dan umurnya belum dapat dipastikan, tetapi di lukisan ini sudah tampak nilai estetikanya," kata Ruly Fauzi kepada Tempo.

Ruly mengatakan temuan di Gua Harimau membuka pintu riset arkeologi untuk lukisan cadas di Sumatera. Meski belum ada kesimpulan akhir, menurut Ruly, para arkeologi meyakini lukisan Gua Harimau memiliki simbol yang dapat dipahami­ masyarakat di masa itu. Peneliti juga yakin bahwa pelukis Gua Harimau dan pelukis di tembikar kuno adalah masyarakat yang sama. Hal itu didasari adanya kesamaan pola lukisan dinding dan penghias tembikar di Gua Harimau. "Dilukis menggunakan mineral batuan hematit yang banyak terdapat di sekitar Gua Harimau," tutur Ruly.

Sebagian ahli arkeologi, menurut Ruly, menduga lukisan di Galeri Wahyu merupakan simbol aliran sungai. Perkiraan itu didasari fakta sederhana bahwa pada lukisan itu terdapat garis tak lurus tapi beraturan seperti layaknya penggambaran sebuah sungai. Namun alumnus Universita degli Studi di Ferrara, Italia, ini menambahkan, kesepakatan mengenai makna asli lukisan itu tampaknya masih memerlukan proses panjang.

Ratusan lukisan kuno di atas cadas juga ditemukan di sejumlah gua di pedalaman Kalimantan. Peneliti Prancis, JeanMichel Chazine, dalam Asian Perspectives pada 2005 menulis riset lukisan purba diawali oleh temuan ahli arkeologi LucHenri Fage dan tim penjelajah gua pada 1988. Mereka menemukan banyak lukisan gua di Kalimantan. Lukisan yang terbuat dari goresan arang itu tersebar dari Pontianak hingga Samarinda. Sejak saat itu, survei gua di Kalimantan dikerjakan lebih ekstensif.

Sejak 1992, tim peneliti gabungan PrancisIndonesia melakukan survei gua dan ceruk tempat berlindung manusia di Kalimantan Timur. Temuan goresan dinding, tembikar, dan tulang ikan di beberapa lokasi sekitar kawasan Pegunungan Muller mengindikasikan lokasi terpencil itu sudah ditempati manusia sekitar 3.000 tahun lalu.

Rangkaian pemetaan gua dilakukan sejak 1998 di area sekitar Sungai Banga­lon sebelah timur laut Samarinda. Banyak gua, terutama yang terletak di daerah tinggi dan terpencil, dihiasi oleh lukisan tapak tangan. Liang Tam, namanya diambil dari pemandu lokal tim survei, adalah satu dari 27 gua baru yang dipetakan. Gambar tapak tangan, motif, dan desain di sana mirip dengan di Gua Ilas Kenceng, yang letaknya di sisi lain Gunung Marang.

Menurut laporan Chazine, ada juga penggambaran manusia dan hewan. Beberapa figur itu dibuat dengan metode yang sama di bagian dinding gua yang sama. Para ahli menduga lukisan itu hasil karya orangorang yang awal sekali menggunakan gua. Analisis yang dikerjakan Laboratorium Riset CNRSCEA Prancis pada aliran stalaktit yang menutupi gambar tapak tangan menunjukkan usianya sekitar 10 ribu tahun. Ini jelas lebih tua dari asumsi masa migrasi masyarakat Austronesia atau Neolitik ke Asia Tenggara 5.0004.000 tahun lalu.

Gua Bloyot di Kampung Merabu, Kecamatan Kelay, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur, juga berisi karya seni manusia purba. Di dalam gua terdapat lukisan tapak tangan dan gambar yang menyerupai hewan buruan, seperti babi dan rusa, serta serangga. Lukisan menjadi penanda pernah ada kebudayaan di tempat itu pada masa lampau.

Tempo sempat menyambangi Gua Bloyot pada Januari tahun lalu. Ceruk itu membentang seperti lorong dengan lebar 10 meter dan panjang 50 meter. Dindingnya berwarna putih kekuningan. Stalaktit dan stalagmit menjulur kukuh menghiasi gua. Tumpukan kotoran kelelawar di tengah lantai ruangan menunjukkan gua itu tak ditempati manusia dalam waktu lama. Hanya ada lukisan cadas dan cerita para orang tua yang menunjukkan dulu pernah ada manusia di Gua Bloyot.

Gua Bloyot terletak di ketinggian, terlindung dalam rimbunnya belantara Hutan Lindung Nyapa. Konon, posisi gua yang tinggi membuat penghuninya aman dari serangan musuh. "Menurut cerita orang tua kampung, sesama suku Dayak dulu tak pernah akur dan sering berperang, jadibersembunyi di dalam gua lebih aman," kata Franly Aprilano Olley, Kepala Kampung Merabu. Franly adalah warga pendatang yang diterima dan menjadi kepala kampung di tengah komunitas Dayak Lebo. Dia mendapat banyak cerita tentang kehidupan suku Dayak Lebo dari para tetua kampung.

Suku Dayak terdekat dari Kampung Merabu adalah Dayak Wehea. Mereka tinggal di dalam Hutan Wahau yang terletak di perbatasan Kabupaten Kutai Timur dan Kabupaten Berau. Berkelana di hutan adalah kehidupan seharihari suku Dayak. Konon, tinggal di gua yang sulit terjangkau adalah syarat untuk bertahan hidup. Anggota suku aman dari serangan musuh. Menyergap lawan lebih mudah dilakukan dari ketinggian. "Dulu sering terjadi saling serang, memenggal kepala," kata Franly.

Keberadaan lukisan menunjukkan masyarakat purba di Kalimantan sudah memiliki budaya. Penelitian dan ekspedisi beberapa kali dilakukan untuk menyusuri kisah di balik lukisan tua itu. Pada 2006, tim peneliti dari Prancis datang menyelidiki gambar di dinding Gua Bloyot. Jejak manusia purba di gua juga ditemukan di kawasan pegunungan kapur di Kutai Timur. Tiga tahun berselang, giliran tim peneliti dari Balai Arkeologi Wilayah Kalimantan datang dari Banjarmasin ke Bloyot. Mereka juga mampir ke Liang Abu, gua berlorong pendek, artefak manusia purba.

Bambang Sugiyanto, peneliti dari Balai Arkeologi Banjarmasin yang pernah ikut ekspedisi, mengatakan tapak tangan itu adalah jejak manusia prasejarah. Hal serupa pernah ditemukan di Australia dan Afrika. Bambang menyatakan usia tapak tangan itu belum diketahui secara pasti. Dibandingkan dengan gambar tapak tangan yang ditemukan di beberapa negara, gambar di gua Kalimantan diperkirakan dibuat 10 ribu tahun lalu.

Prediksi itu, menurut Bambang, masih relevan dengan aktivitas migrasi manusia kuno akibat perubahan iklim dan mencairnya es. Manusia gua yang ada di daratan Kalimantan Timur terisolasi karena pulau itu akhirnya terpisah dengan Jawa dan Sumatera sekitar 11 ribu tahun lampau. "Ada sekitar seribu tahun mereka berevolusi termasuk membangun budaya," kata Bambang.

Gambar tapak tangan di Gua Bloyot terbagi tiga: telapak anakanak, lakilaki, dan perempuan dewasa. Ada 86 tapak yang tercetak di Gua Bloyot. Lukisan binatang seperti rusa, kurakura, dan hewan buruan melengkapi gambar di batuan gua. Hasil penelitian menunjukkan lukisan yang berwarna kemerahan lebih tua ketimbang gambar dengan urna hitam dari arang. Namun, kata Bambang, keduanya mirip dengan rock art jika ditinjau dari sisi kebudayaan.

Bahan lukisan berwarna merah hati itu mirip cat air, dibuat dari campuran tanah liat, dedaunan, dan getah pohon. Lukisan dibuat dengan menyemprotkan cairan di sekitar telapak tangan. "Zaman dulu tidak ada semprotan, jadi mereka menyemburkan cairan olahan itu dengan mulut," kata Bambang. Dia meyakini Gua Bloyot sebagai lokasi pemujaan manusia zaman prasejarah. Kondisi gua yang dipenuhi gambar, menurut Bambang, sama seperti tempat peribadatan modern yang dindingnya dipenuhi lukisan.

Adapun Liang Abu adalah gua yang dulu dipakai beristirahat atau berteduh. Jaraknya sekitar 500 meter di belakang Gua Bloyot. Lokasinya strategis sebagai tempat istirahat karena dekat dengan sumber air, kondisi gua terang, dan lantainya kering.

Di Liang Abu, peneliti menemukan sejumlah peralatan dapur dari batu. Ada pula serpihan batu yang diduga sebagai pengganti pisau. Juga sisa pembakaran, arang, dan kulit kerang dengan ukuran besar. Pada zaman prasejarah, cara memasak yang dipakai adalah membakar. "Bisa saja itu bekas manusia modern, tapi secara konteks di sekitar sisa pembakaran tak ada ciri manusia modern. Misalnya, orang sekarang jika makan pasti ada bungkus rokok atau lainnya," katanya.

Parliza Hendrawan (Palembang), Firman Hidayat (Samarinda), Gabriel Wahyu Titiyoga

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus