NGARAI Sianok di tepi barat Kota Bukittinggi itu nampak masih
molek, meski di musim hujan sekarang ini juga mencemaskan.
Tebingnya kian banyak yang longsor. Tak cuma lembah yang
terkenal itu yang teraniaya, melainkan juga tampang Kota
Bukittinggi sendiri ikut terancam.
Longsoran di seantero ngarai itu terjadi karena bawaan
alamiah, di samping juga kemungkinan akibat penambangan pasir di
dasar lembah. Pengerukan pasir di Sungai Batang Sianok yang
meliuk liuk itu bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pembangunan
di Bukittinggi dan Kabupaten Agam. Tapi juga untuk keperluan
Kabupaten Pasaman dan sebagian Kabupaten 50-Kota.
Walhasil, seperti diakui Sekwilda Bukittinggi, Drs. Hawari
Sidik "Penduduk dirangsang karena meningkatnya kebutuhan pasir."
Lagipula penghasilan dari bermain pasir ini terbilang basah.
Nian, 50 tahun, penduduk Atas Ngarai yang sudah seperempat abad
bergelimang pasir mengungkapkan penghasilannya sehari bisa
sekitar Rp 2.000. Jumlah itu lebih lumayan ketimbang memburuh di
bangunan pasar.
"Dulu kami cuma 10 orang, kini 5 kali lipat," kata Nian. Di
antara mereka kini ada beberapa tenaga anak-anak yang berusia 13
tahun. Mereka ini bekerja selepas jam sekolah. "Bisa beli
pakaian dan jajan hari-hari," tutur Ismail yang rupanya menjadi
pimpinan kelompok anak-anak itu.
Penambangan pasir ini dilakukan di areal seluas sekitar 5
ha. Tiap hari ada 25 truk yang menggotong pasir dengan muatan
masing-masing 4 m3. Ini berarti tiap tahun sekirar 36.000 m3
dasar sungai yang terkuras. Narnun para pengeruk pasir itu
menampik dakwaan kalau mereka ikut menyumbang keruntuhan tebing
di Ngarai Sianok itu. "Ini soal hidup mati kami," jawab salah
seorang dari mereka. Dikatakannya bahwa kegiatan penambangan
pasir ini toh sudah berlangsung sejak 50 tahun yang lampau.
Kalangan DPU Sumatera sarat kini sedang melakukan survei
untuk mengkaji kemungkinan meluruskan aliran air di Batang
Sianok itu. Seperti diungkapkan Ir Martin Ars, Kepala DPU
Bukittinggi "Kali yang berlikuliku itu juga mendorong keruntuhan
ngarai dengan cepat." Akan halnya para penambang pasir itu,
tentu tak mudah melarangnya karena menyangkut urusan sekian
puluh periuk pasi. Namun menurut Martin perlu membatasi jumlah
penambang serta pembatasan lokasinya.
Di samping itu perlu dibuat sejumlah empang untuk menjaga
agar reruntuhan tebing tidak hanyut, sehingga bisa menjadi
penahan runtuhan tebing berikutnya. Langkah lain adalah di tiap
tikungan air dilengkapi dengan empangan batu, yang diperkirakan
bakal menghentikan hanyutnya pasir. Dan itu semua baru rencana.
Akibat erosi yang panjang itu runtuh pula satu-satunya
jembatan yang biasa dilalui penduduk Desa Kotagedang -desa asal
Menteri PPLH Emil Salim. Jembatan itu kini diganti dalam
bentuknya yang darurat, hanya sekedar orang bisa melintasi
Batang Sianok tanpa harus basah kuyup.
Di sudut lain Kota Bukittinggi keadaannya lain lagi. Stadion
Gelora Atas Ngarai tinggal 20 meter lagi dari bibir ngarai.
Untuk main bola di sini perlu berpikir dua kali, sebab sekali
salah tendang, bola bakal nyelonong ke jurang dan tak bisa
dipungut lagi. Ini berarti kebutuhan bola tak bakal bisa
dipenuhi kesebelasan mana pun di Bukittinggi, sebab sebap kali
salah tendang harus diheli bola baru.
Padahal selama ini Ngarai Sianok sudah "terjual" sebagai
umpan bagi kaum wisatawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini