Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Mat subversip

Mat subversip anak pak haji syah menjadi bintang kelas. akhlaknya tinggi, sangat cerdas dan hatinya pemurah. ia amat memperhatikan semua tata tertib sekolah. tapi ada yang usul agar ia ganti nama.

15 November 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAU bilang syndrome histeris, mau bilang ranting-rantingnya reaksi schizophrenia, mau dibilang apa kek, semau ente deh. Pokoknya, jika anak Betawi namanya Muhamad Zamroni dan kerja di bengkel, jangan harap ada kestabilan dalam panggilan. Dia bisa jadi Mat Dongkrak, jika dongkrak jadi pegangannya. Dia bisa jadi Mat Busi jika tiap menit bergulat dengan busi. Dan jika suatu saat--oleh sebab yang kurang begitu jelas - dia pindah bidang jadi tukang las menjelmalah dia jadi Mat Karbit. Mau lebih keren pindah ke Balai Pustaka? Jadilah dia Mat Binder, yang dari pagi hingga petang menjilid buku sampai ubanan. Muhammad Masykur bisa berubah jadi Mat Dongker kalau saja dia kelewat hitam seperti orang Zimbabwe. Muhammad Hizbullah yang amat indah arti maknanya bukannya mokhal dipanggil Mat Bakul kalau saja makannya tak berkeputusan seperti lazimnya terjadi pada seekor burung beo. Saya bisa perpanjang daftar ini: Mat Panjul, Mat Bemper (hanya karena raut mukanya menyerupai bemper bemo), Mat Dengkul Mat Kikuk, Mat Dop karena kleptomaninya semata terarah dan terpadu dengan congkel-mencongkel dop mobil, dan Mat-Mat lain yang ratusan banyaknya sehingga pembaca bosan dan melempar artikel ini ke got, atau menuduh saya bikin resah. Tapi, Haji Syah yang baru saja pulang dari Tanah Suci ikut rombongan klopter ketiban nikmat ganda. Bukan saja status sosialnya "tersesuaikan", kalau tadinya tak digubris orang dalam mahjanah kini dapat tempat di barisan depan tapi dia pun dapat orok baru, anak lelaki yang tampan dan berair muka seorang intel. Dapat rahmat namanya, haji baru kita mengundang syukuran potong kambing walau kambingnya kredit dulu dari tengkulak tetangganya karena tiap jamaah yang pulang pasti kantungnya menipis. Tapi, apa salahnya kredit? Bukankah kredit itu termasuk prestasi? Orang se RW pun berdatangan hampir setengah berlari. Sekali merangkuh dayung dua pulau terlampau: dapat berkah dan gigit daging. Suasana syukuran itu tiba-tiba tertegun agak lima menit seperti terasa ada gempa ringan tatkala Haji Syah memberitahu hadirin nama oroknya: Mat Subversip. Ini menyimpang dari tradisi menahun. Mestinya Pak Haji kita melangkah bertahap, dari nama dulu Muhammad Ridho atau Muhammad Yusuf, perkara nantinya dipanggil Mat Subversip, itu soal lain. Buat apa terburu-buru? Apakah Pak Haji kita tidak paham makna subversip, disangkanya sama belaka dengan progresip atau kolektip atau Musanip? Oh, tidak. Haji baru tidak bakalan keliru. Jika mengambil nama subversip, itu karena dia betul-betul bermaksud subversip. Bukankah terdengar enak di kuping dan memberi kesan menggemparkan seperti halnya nama Mat Jampang atau Mat Pitung? Maka dari itu, sekali Mat Subversip tetap Mat Subversip. Ini menyangkut ruang lingkup hak asas seorang ayah. Perkembangan Mat Subversip--si biji mata Pak dan Ibu Haji -- amatlah membesarkan kalbu. Giginya lebih cepaa tumbuh dari biasanya, anak lain baru tahap makan pisang ambon dia sudah makan duren, bahkan kadang-kadang jambu klutuk. Anak lain baru merangkak dia sudah panjat jendela. Anak lain menangis di waktu malam dia ketawa terbahak-bahak. Anak lain mandi air panas dia sudah jauh melompat mandi uap. Malah suatu saat dia sudah mampumencoret-coret dinding menggambar wajah sang ayah yang menimbulkan rasa geli karena bentuknya lebih menyerupai biawak daripada muka Pak Haji yang penuh syukur berkat kurnia Tuhan. Sesudah tiba saatnya Mat Subversip masuk taman kanakkanak, dia segera jadi bintang kejora kelas sampai Kanwil pun peroleh laporan terperinci dan tembusannya dikirim ke Bapak Menteri. Akhlak dan moralnya tinggi, kecerdasarmya mencengangkan, hatinya pemurah (bukan saja traktir jajan teman-temannya tapi juga termasuk bu guru dan pengurus yayasan, bakso dua mangkuk seorang) seperti sultan-sultan zaman dongeng. Semua peraturan baik yang sudah ada maupun yang baru rencana dipatuhinya belaka. Bahkan Mat Subversip acung tangan usul tambah aturan-aturan supaya ketertiban, kestabilan, kelestarian, kesinambungan, penalaran, keterarahan dan keterpaduan serta kesadaran wawasan Nusantara lebih diperdalam. Usul-usul ini diucapkan secara terbuka dan nyaring sehingga lingkungan sekolah dapat menyimaknya tak habis pikir. Apabila di taman kanak-kanak saja sudah begitu, apa jadinya si Mat Subversip jika sudah jadi remaja dan tua bangka? Janganjangan bisa jadi dukun. Ada sementara pendapat bagaimana supaya Haji Syah lekas-lekas ganti nama anaknya, nama yang biasa-biasa saja, sebab kalau orang keberatan nama akibatnya bisa macam-macam. Bagaimana kalau ganti Mat Amplop saja? Bagaimana kalau ganti Mat Kapling? Atau Mat Tatar, atau Mat Rata? Semua nama pengganti yang bagus-bagus itu didengarkan baik-baik oleh Haji Syah, tapi tak digubrisnya sedikit pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus