MAU bilang syndrome histeris, mau bilang ranting-rantingnya
reaksi schizophrenia, mau dibilang apa kek, semau ente deh.
Pokoknya, jika anak Betawi namanya Muhamad Zamroni dan kerja di
bengkel, jangan harap ada kestabilan dalam panggilan. Dia bisa
jadi Mat Dongkrak, jika dongkrak jadi pegangannya. Dia bisa jadi
Mat Busi jika tiap menit bergulat dengan busi. Dan jika suatu
saat--oleh sebab yang kurang begitu jelas - dia pindah bidang
jadi tukang las menjelmalah dia jadi Mat Karbit. Mau lebih keren
pindah ke Balai Pustaka? Jadilah dia Mat Binder, yang dari pagi
hingga petang menjilid buku sampai ubanan.
Muhammad Masykur bisa berubah jadi Mat Dongker kalau saja
dia kelewat hitam seperti orang Zimbabwe. Muhammad Hizbullah
yang amat indah arti maknanya bukannya mokhal dipanggil Mat
Bakul kalau saja makannya tak berkeputusan seperti lazimnya
terjadi pada seekor burung beo. Saya bisa perpanjang daftar ini:
Mat Panjul, Mat Bemper (hanya karena raut mukanya menyerupai
bemper bemo), Mat Dengkul Mat Kikuk, Mat Dop karena
kleptomaninya semata terarah dan terpadu dengan
congkel-mencongkel dop mobil, dan Mat-Mat lain yang ratusan
banyaknya sehingga pembaca bosan dan melempar artikel ini ke
got, atau menuduh saya bikin resah.
Tapi, Haji Syah yang baru saja pulang dari Tanah Suci ikut
rombongan klopter ketiban nikmat ganda. Bukan saja status
sosialnya "tersesuaikan", kalau tadinya tak digubris orang dalam
mahjanah kini dapat tempat di barisan depan tapi dia pun dapat
orok baru, anak lelaki yang tampan dan berair muka seorang
intel. Dapat rahmat namanya, haji baru kita mengundang syukuran
potong kambing walau kambingnya kredit dulu dari tengkulak
tetangganya karena tiap jamaah yang pulang pasti kantungnya
menipis. Tapi, apa salahnya kredit? Bukankah kredit itu termasuk
prestasi? Orang se RW pun berdatangan hampir setengah berlari.
Sekali merangkuh dayung dua pulau terlampau: dapat berkah dan
gigit daging.
Suasana syukuran itu tiba-tiba tertegun agak lima menit
seperti terasa ada gempa ringan tatkala Haji Syah memberitahu
hadirin nama oroknya: Mat Subversip. Ini menyimpang dari tradisi
menahun. Mestinya Pak Haji kita melangkah bertahap, dari nama
dulu Muhammad Ridho atau Muhammad Yusuf, perkara nantinya
dipanggil Mat Subversip, itu soal lain. Buat apa terburu-buru?
Apakah Pak Haji kita tidak paham makna subversip, disangkanya
sama belaka dengan progresip atau kolektip atau Musanip? Oh,
tidak. Haji baru tidak bakalan keliru. Jika mengambil nama
subversip, itu karena dia betul-betul bermaksud subversip.
Bukankah terdengar enak di kuping dan memberi kesan
menggemparkan seperti halnya nama Mat Jampang atau Mat Pitung?
Maka dari itu, sekali Mat Subversip tetap Mat Subversip. Ini
menyangkut ruang lingkup hak asas seorang ayah.
Perkembangan Mat Subversip--si biji mata Pak dan Ibu Haji --
amatlah membesarkan kalbu. Giginya lebih cepaa tumbuh dari
biasanya, anak lain baru tahap makan pisang ambon dia sudah
makan duren, bahkan kadang-kadang jambu klutuk. Anak lain baru
merangkak dia sudah panjat jendela. Anak lain menangis di waktu
malam dia ketawa terbahak-bahak. Anak lain mandi air panas dia
sudah jauh melompat mandi uap. Malah suatu saat dia sudah
mampumencoret-coret dinding menggambar wajah sang ayah yang
menimbulkan rasa geli karena bentuknya lebih menyerupai biawak
daripada muka Pak Haji yang penuh syukur berkat kurnia Tuhan.
Sesudah tiba saatnya Mat Subversip masuk taman kanakkanak,
dia segera jadi bintang kejora kelas sampai Kanwil pun peroleh
laporan terperinci dan tembusannya dikirim ke Bapak Menteri.
Akhlak dan moralnya tinggi, kecerdasarmya mencengangkan, hatinya
pemurah (bukan saja traktir jajan teman-temannya tapi juga
termasuk bu guru dan pengurus yayasan, bakso dua mangkuk
seorang) seperti sultan-sultan zaman dongeng. Semua peraturan
baik yang sudah ada maupun yang baru rencana dipatuhinya belaka.
Bahkan Mat Subversip acung tangan usul tambah aturan-aturan
supaya ketertiban, kestabilan, kelestarian, kesinambungan,
penalaran, keterarahan dan keterpaduan serta kesadaran wawasan
Nusantara lebih diperdalam. Usul-usul ini diucapkan secara
terbuka dan nyaring sehingga lingkungan sekolah dapat
menyimaknya tak habis pikir. Apabila di taman kanak-kanak saja
sudah begitu, apa jadinya si Mat Subversip jika sudah jadi
remaja dan tua bangka? Janganjangan bisa jadi dukun.
Ada sementara pendapat bagaimana supaya Haji Syah lekas-lekas
ganti nama anaknya, nama yang biasa-biasa saja, sebab kalau
orang keberatan nama akibatnya bisa macam-macam. Bagaimana kalau
ganti Mat Amplop saja? Bagaimana kalau ganti Mat Kapling? Atau
Mat Tatar, atau Mat Rata? Semua nama pengganti yang bagus-bagus
itu didengarkan baik-baik oleh Haji Syah, tapi tak digubrisnya
sedikit pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini