Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Lilie Suratminto membukukan penelitian ratusan nisan dan prasasti Belanda.
Menemukan sejumlah fakta tentang siapa yang dimakamkan.
Banyak nisan tak terpelihara.
PASANGAN suami-istri muda dan seorang anak mereka yang masih kecil terlihat berpose, mengabadikan kenangan mengunjungi Museum Wayang di kawasan Kota Tua, Jakarta, siang itu. Sang istri memperhatikan beberapa prasasti yang terpajang di bidang dinding di area Taman J.P. Coen di dalam Museum Wayang. Ia tak memahami tulisan berbahasa Belanda yang tertera di dinding. Di prasasti itu terdapat beberapa nama tokoh dan jabatan mereka. Nama-nama itu antara lain Gubernur Jenderal Batavia Gustaaf Willem Baron van Imhoff (berkuasa pada 1750), Abraham Patras (berkuasa pada 1737), dan Willem van Outhoorn (1704). Taman itu sejatinya bekas makam Jan Pieterszoon Coen, pendiri Batavia, tapi batu nisannya tak ditemukan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sayang, tak ada keterangannya lebih lengkap apa ini,” ujar perempuan itu kepada suaminya. Setelah berfoto sejenak, mereka melihat dinding di seberangnya. Tulisan di dinding menerangkan bahwa tempat tersebut pernah menjadi makam Gubernur Jenderal Batavia J.P. Coen. Mereka kemudian berlalu menuju obyek pamer lain. Tak lama setelah itu, datang serombongan turis asing dari berbagai negara. Pemandunya juga orang asing. Dia menjelaskan kepada anggota rombongannya tentang nisan dan prasasti. Salah satunya nisan Gustaaf Willem Baron van Imhoff. Ia menerangkan bahwa Imhoff adalah gubernur jenderal yang dituduh membantai warga etnis Cina di Batavia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengunjung berswafoto di depan penutup makam JP Coen di Museum Wayang, Jakarta, 27 Juni 2023. Tempo/Magang/Andre Lasarus Benny
Dalam buku karya Lilie Suratminto yang baru terbit dijelaskan bahwa Museum Wayang semula adalah Gereja Salib yang kemudian direnovasi menjadi Gereja Kubah (Nieuwe Hollandsche Kerk). Area itu juga menjadi tempat peristirahatan terakhir 18 gubernur jenderal Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC), para pejabat, dan anggota keluarga mereka. Pada 1937, lokasi bekas gereja itu dijadikan Gedung Seni dan Ilmu Pengetahuan (Het Bataviaasch Genootschap). Menurut Lilie, nisan Baron van Imhoff tadinya akan dipasang di permakaman Tanah Abang. Tapi menjelang peresmian Gedung Seni dan Ilmu Pengetahuan, atas permintaan pemerintah Kerajaan Belanda, batu nisan itu dikembalikan ke gedung semula.
Sebagian besar nisan memang dipindahkan ke Museum Taman Prasasti, Tanah Abang, Jakarta. Di batu nisannya kemudian dipahatkan huruf “HK”, singkatan dari Hollandsche Kerk. Di Museum Taman Prasasti, di kawasan Jalan Tanah Abang I, kini tersimpan lebih dari 993 nisan dan prasasti. Dari keterangan Eko Wahyudi, pemandu di Museum Taman Prasasti, di museum terdapat 32 makam in situ. “Beberapa di antaranya nama pejabat VOC, J.J. Perrie; istri Gubernur Raffles, Olivia Mariamne Raffles; pastor; dan lainnya,” ujar Eko.
•••
BUKU Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda bukanlah hasil studi pertama Lilie Suratminto tentang makam-makam Belanda. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora Universitas Buddhi Dharma, Tangerang, Banten, ini sebelumnya menulis buku Makna Sosio-Historis Batu Nisan VOC di Batavia (2008). Adapun disertasinya yang dipertahankan pada 2006 di Universitas Indonesia berjudul “Komunitas Kristen Masa VOC di Batavia Dilihat dari Batu Nisannya: Kajian Wacana dan Semiotik” (2006). Dalam buku terbarunya ini, Lilie mengulik lebih jauh nisan-nisan Belanda dari asal dan lokasi serta panduan untuk menguak tabir nisan dari inskripsi atau lambang yang terpahat di permukaan nisan. Dia juga menjabarkan nisan Belanda yang tersebar di Semenanjung Malaka, Malaysia, hingga Sri Lanka dan India.
Lilie Suratminto saat pemaparan materi dalam acara "Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda dan Belajar dari Pengelolaan Makam Suster Ursulin" di Galeri Ursulin, Malang, 2 Juni 2023. Tempo/Abdi Purmono
Belanda datang ke Nusantara pada awal abad ke-17 untuk mencari rempah, yang sangat laku di Eropa. Dari berdagang, mereka lalu menyebarkan agama Kristen Protestan untuk menghancurkan pengaruh Portugis, yang beragama Katolik. Sejak itu mulai dibangun gereja-gereja Kristen Protestan, yang tujuan utamanya menampung warga jemaat Belanda dan Eropa lain. Di berbagai daerah Nusantara, banyak orang Belanda meninggal karena penyakit, peperangan, atau sebab lain.
Dari sinilah kemudian dibuat permakaman. Di beberapa tempat, makam terdapat di dalam benteng seperti di Benteng Speelwijk, Banten, atau di permakaman LCC Depok, Jawa Barat, dengan tombenya atau makam dalam bentuk bangunan ruang di atas permukaan tanah. Di tempat lain, makam ditempatkan di dalam gereja atau halaman gereja, seperti di Gereja Salib (Gereja Kubah/Museum Wayang), Gereja Sion, dan Pulau Onrust. Makam-makam Belanda tersebar di berbagai kota di Indonesia, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Ambon, dan Banda Aceh.
Di Museum Taman Prasasti, sejak di pelataran, pengunjung bisa melihat nisan berukuran sedikit lebih besar daripada pintu-pintu kuno. Nisan itu dipasang di tembok luar setengah lingkaran, di tembok-tembok teras yang dipenuhi pilar besar, dan di tembok luar setelah pintu masuk. Di atas pintu masuk tertera tulisan berbahasa Belanda yang artinya “Monumen-Renovasi Rumah Kuburan Kuno Batavia Tahun 1844”.
Pengunjung juga bisa menemukan nisan yang masih lengkap dengan cincin besi di keempat ujungnya pada makam gubernur jenderal VOC terakhir, Pieter Gerardus van Overstraten (1756-1801), di bagian pojok kanan halaman belakang museum. Yang unik, ada batu nisan makam berbentuk corak simbol agama Hindu, lingga-yoni, dari batu andesit milik J.L.A. Brandes. Kedua makam ini, menurut Lilie Suratminto, adalah makam in situ—pada saat meninggal mereka dimakamkan di tempat itu, bukan dipindahkan dari tempat lain. Di museum ini juga terlihat tumpukan kepingan nisan yang hancur saat revitalisasi museum pada 2006. Kepingan nisan itu tertumpuk begitu saja di bagian halaman dekat musala dan toilet pengunjung.
Tugu peringatan dalam moseleum istri Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne, di Kebun Raya Bogor, 27 Juni 2023. Tempo/Ratih Purnama
Selain di Tanah Abang, permakaman khusus orang Belanda terdapat di kawasan hutan bambu yang sangat rindang di tengah Kebun Raya Bogor, Jawa Barat. Di sana ada puluhan nisan makam Belanda. Umumnya nisan bertarikh 1800 dengan beragam bentuk, seperti lingga, obelisk, dan kelopak bunga. Yang paling menonjol di kompleks permakaman kecil itu adalah tugu nisan Mr. A. Prins (28 Agustus 1816-28 Januari 1867). Di tugu nisan tersebut ada tulisan “In Leven Vice President van den Raad van Nederlandsch Indie”. Tugu peringatan dalam mausoleum tentang istri Letnan Gubernur Jawa Thomas Stamford Raffles, Olivia Mariamne, yang meninggal di Buitenzorg (Bogor) pada 26 November 1814 adalah hal yang paling terlihat. Yang menarik, dari prasasti yang terpasang di tembok, selain tulisan, terdapat lambang heraldik yang penuh dengan simbol dan makna.
•••
LILIE Suratminto penasaran mengulik ragam nisan makam Belanda sejak bekerja sebagai komentator di Radio Nederland Siaran Indonesia (Ranesi) di Hilversum, Belanda. Di sana ia mendampingi jurnalis Jean van de Kok selama 1995-2008. Dalam rangka tugas jurnalisme, Lilie sering berkeliling Indonesia melihat makam Belanda yang rusak. Sejak itu, dia mulai meneliti batu nisan makam Belanda. Ia menemukan banyak nisan Belanda yang memiliki inskripsi dan lambang heraldik unik.
Bagi sebagian orang Indonesia, keberadaan batu nisan Belanda sering dianggap tak berguna dan tak bernilai. Banyak makam Belanda dirusak. Ada permakaman Belanda yang diratakan atas nama proyek pembangunan. Ada pula yang dijadikan lokasi tempat tinggal. “Ketidaktahuan orang menyebabkan banyak terjadi penghancuran situs makam Belanda,” ujar Lilie kepada Tempo. Menurut dia, makam Belanda penting bagi studi sejarah. Keutuhan batu nisan Belanda dapat memberi info asal-usul orang yang dimakamkan.
Lilie menyebutkan jumlah batu nisan yang ditelitinya sangat banyak. Namun batu nisan yang ia masukkan ke buku Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda berjumlah 264 buah. Dari hasil riset Lilie terhadap makam Belanda bisa diketahui struktur dan budaya komunitas Kristen di Batavia pada era VOC. Hierarki struktur sosial komunitas Kristen dan penemuan jabatan formal, dari gubernur jenderal sebagai jabatan tertinggi hingga vaandrig atau perwira muda sebagai jabatan paling rendah, dapat diketahui dari analisis nisan.
Dari nisan pula bisa diketahui sebutan penghormatan yang hanya ditujukan kepada pejabat tinggi VOC. Misalnya “Zyn Excellentie en Hoog Edelen Heere, Wel Edele Heer”. Bagi kaum perempuan, khususnya yang bersuamikan pejabat penting, berlaku sebutan khusus semisal juffrouw, de eerbare juffrouw. Dari inskripsi dan simbol yang terpahat di batu nisan pula dapat diketahui beragam profesi dan jabatan dalam masyarakat pada era VOC dan Negara Kolonial Hindia Belanda, seperti leerar der gemeynte Gods-dominee alias pendeta; opperkoopman (saudagar kepala); mardijker atau saudagar bebas, pabean, dan penjaga gudang; drost atau hakim; serta protocollist alias notaris.
Lilie juga menjelaskan bahwa perseteruan dua aliran Protestan—dogmatis dan liberal—ternyata mempengaruhi tampilan nisan makam penganutnya. Batu nisan penganut yang beraliran dogmatis polos tanpa simbol. Contohnya pada nisan Jeroon Barendsz Moerbeeck di Museum Taman Prasasti. Sedangkan nisan yang beraliran liberal atau fleksibel dipahat indah berlambang heraldik, kaya simbol, atau kadang disertai ayat dari Injil.
Deretan batu nisan di Museum Wayang, Jakarta, 27 Juni 2023. Tempo/Magang/Andre Lasarus Benny
Lambang heraldik pada batu nisan juga dapat menggambarkan “kasta” atau derajat sosial seseorang. Ternyata simbol lebih banyak digunakan pejabat tinggi. Sedangkan rakyat biasa lebih banyak menggunakan ungkapan verbal. “Makin tinggi makin sedikit tulisan, lebih banyak simbol,” tutur Lilie. Nisan Baron van Imhoff di Museum Wayang, misalnya, terdapat 13 lambang heraldik, yakni burung elang berkepala dua, seekor naga, gelang dengan ranting terdiri atas tujuh daun, tiga helm perang terbalik, tiga baju zirah, perisai, dua ekor naga berseberangan, dua gelang, burung elang berkepala dua, genderang perang, moncong kanon tiga buah, peluru kanon, pemantik api, tambur, tombak-pedang-sangkur, keris-tiga buah umbul-umbul VOC, kerang dengan sebuah mutiara (dari jauh terlihat seperti lonceng), lonceng gereja, serta bendera panji-panji VOC.
Bandingkan dengan lambang heraldik yang sederhana pada nisan Cornelius Lindius (1683) di Museum Taman Prasasti, yakni sebatang pohon, helm berterali, kalung liontin salib, baju zirah, perisai maskulin, lambang pohon, daun akantus yang distilir, dan lambang bulat sempurna. Lilie menemukan lambang heraldik yang sangat sederhana dari nisan Adam Andries, yang dekat dengan nama keluarga Kreol Portugis di Kampung Tugu, Jakarta Utara. Lambangnya hanya berupa tiga buah bulan sabit di atas tutup kepala (semacam caping Cina) dan perisai. Andries, yang keturunan Kreol, bertugas menjaga keamanan Kota Batavia. Dia diasumsikan bertugas menjaga keamanan pada malam hari.
Lilie menemukan bahwa bunga mawar adalah ikon paling digemari orang Belanda pada masa itu. Menurut dia, ikon tersebut sampai “mengalahkan” lambang salib. Setelah itu, ikon paling populer di nisan adalah kalung dengan liontin bentuk salib, simpul tali, tanda salib, dan bintang. Lilie menjelaskan, batu yang digunakan untuk nisan jelas bukan batu sembarangan. Umumnya nisan Belanda dibuat dari batu gunung biru (arduin atau blauwsteen) atau batu pantai yang keras yang didatangkan dari Sandras, India selatan. Di sana batu-batu itu ditambang di punggung Bukit Tamil Nadu, Pantai Coromandel, wilayah yang dulu dikuasai VOC. Namun pengiriman batu gunung biru ke Batavia dihentikan setelah VOC bubar. Inggris dan Belanda menandatangani kesepakatan pada 17 Maret 1824 bahwa Belanda harus menyerahkan daerah Tamil Nadu kepada Inggris. Walhasil, batu arduin diganti dengan batu marmer.
•••
NISAN-NISAN Belanda tak hanya ada di Jakarta dan Bogor. Di Malang, Jawa Timur, terdapat permakaman khusus suster-suster Belanda. Karena itulah buku Membuka Tabir Makna Batu Nisan Belanda didiskusikan di Cor Jesu, Malang, yang memiliki permakaman suster Belanda, pada Jumat, 2 Juni lalu. Suster Lucia Anggraini dalam diskusi menjelaskan nama-nama suster Ursulin yang terukir di nisan makam di kompleks Biara Ursulin Cor Jesu.
Suster Lucia Anggraini menjelaskan makam suster-suster Ursulin di kampus Cor Jesu, Malang, 2 Juni 2023. Tempo/Abdi Purmono
Lucia mengatakan Ursulin (Ordo Santa Ursula) adalah biarawati pertama di Indonesia yang diawali kedatangan tujuh misionaris Ursulin dari Sittard, Belanda, ke Batavia pada 7 Februari 1865. Saat ini keanggotaan Suster Ursulin Indonesia menyebar di 36 biara, seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya, Kota Malang, dan Kabupaten Ende di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Pendirian Ursulin Malang pada 6 Februari 1900 dipelopori Suster Angele Flecken, Pemimpin Biara Kepanjen, Surabaya. Di era sekarang, Biara Ursulin Malang lebih populer dengan sebutan Sekolah Cor Jesu, yang mencakup jenjang pendidikan taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas Katolik.
Di Indonesia, peninggalan para suster Ursulin sepanjang 1856-2023 antara lain berupa makam dan prasastinya, menologium (riwayat hidup singkat) yang dibuat dan biasanya dibacakan saat misa rekuiem alias misa arwah, kartu religius, kronik atau jurnal harian yang biasanya ditulis sekretaris komunitas dalam bahasa Prancis dan Belanda, serta foto. Lucia menjelaskan, jasad suster-suster Ursulin dikubur di tujuh lokasi, masing-masing di tiga permakaman umum atau permakaman di luar biara serta di tiga permakaman di dalam area biara. Tiga permakaman umum berada di Selapajang, Kota Tangerang, Banten; Pemakaman Belanda Peneleh dan Ereveld, Kembang Kuning, Surabaya; serta Ereveld Pandu di Bandung.
Pada 2016, makam Ursulin yang terletak di area belakang Kampus Cor Jesu direnovasi. Taman ditata ulang sehingga lebih rapi. Bahkan Yayasan Dhira Bakti membangun dua bangunan kolumbarium sebagai makam baru suster Ursulin. Bangunannya mirip rumah panjang berwarna pastel dengan banyak kotak atau kolom di tiap sisi bangunan yang berhadapan. Fungsinya mirip laci lemari. Apabila suster Ursulin wafat, peti matinya tidak lagi dikubur di dalam tanah, tapi dimasukkan ke kotak kolumbarium. Namun dinding kotak harus dibongkar dulu sebelum peti dimasukkan. Dinding dicor lagi setelah peti masuk. Sedangkan makam-makam tua suster Ursulin digali untuk diambil kerangka atau tulang jenazahnya, lalu semua tulangnya disatukan ke dalam peti mati buat dimakamkan ulang di kolumbarium Cor Jesu.
Patung wanita di atas nisan, Museum Taman Prasasti di Jakarta, 27 Juni 2023. Tempo/Magang/Andre Lasarus Benny
Pada Mei lalu, 34 makam lama suster Ursulin periode 1936-2000 di Jawa Timur digali. Dari semua makam, 25 makam di Kembang Kuning, Surabaya, yang digali. Semua kerangka di 34 makam disimpan di tiga peti mati dan kemudian ditempatkan dari atas ke bawah kotak kolumbarium Cor Jesu. Tiap peti diberi nomor 16, 12, dan 6. Tiap angka menandakan jumlah makam yang digabung. Apa yang dilakukan para suster di Cor Jesu adalah salah satu upaya mengelola dan menjaga warisan sejarah.
Lilie Suratminto, yang juga salah satu anggota Tim Ahli Cagar Budaya Nasional, berharap masyarakat dan pemerintah bisa mengapresiasi dan memaknai pentingnya makam Belanda sebagai warisan budaya bernilai tinggi. Batu-batu nisan Belanda dapat digunakan sebagai bahan untuk studi arkeologi, antropologi, linguistik, dan sejarah. “Batu-batu nisan Belanda seperti makam-makam suster Ursulin ini sebenarnya dapat dilestarikan dan diajukan sebagai cagar budaya atau warisan budaya benda (tangible cultural heritage) Indonesia,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Abdi Purmono dari Malang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "‘Menghidupkan’ Mereka yang Terkubur di Bawah Nisan Belanda"