DI antara sekian banyak kekusutan, rupanya soal nomor-nomor
rumah warga Ibukota ini perlu menjadi urusan tersendiri bagi
Pemda DKI Jaya. Rumah pragawati terkenal, Sumi Hakim di Jalan
Prapanca Raya Nomor 1 Kebayoran Baru, misalnya, tak dengan
sendirinya berada di sudut atau ujung jalan. Sebab di kiri
kanannya masih ada sejumlah rumah lainnya. Atau rumah nomor 80
di Jalan Otto Iskandar Dinata, juga melekat untuk nomor beberapa
rumah lainnya. Kabarnya nomor-nomor tersebut dulunya merupakan
nomor kapling. Maka Pemda DKI pun berazam benar menertibkan
nomor-nomor itu sejak akhir tahun lalu.
Tapi usaha penertiban itu dengan cepat dan lihainya mulai
dimanfaatkan orang-orang yang suka mengadu untung. Perseorangan
maupun atas nama badan usaha buru-buru menyodorkan jasa-jasa
baiknya untuk diberi kuasa membuat dan memasang itu nomor-nomor.
Dan dengan setengah kaget pula sebagian penduduk di kawasan
Jakarta Selatan, Pusat dan Barat, mulai menyaksikan plat-plat
nomor dari seng itu sudah menempel di rumah mereka. Tapi warga
kota tampaknya tak ingin berpanjang lebar, sebab di sementara
tempat para pengurus RT maupun RW turun tangan langsung.
Walaupun untuk semua itu pemilik-pemilik rumah terpaksa harus
mengeluarkan uang Rp 250 hingga Rp 1.000. Namun ketika rumah
Syariful Alam. Kepala Humas DKI. juga terkena penggantian nomor
itu, beberapa orang warga kota mulai bertanya: "Benarkah ini
instruksi Gubernur?"
Tak ada instruksi Gubernur, jawab Syariful Alam. Hanya
diakuinya, suatu waktu pernah Gubernur Ali Sadikin
menginstruksikan lurah-lurah menertibkan nomor-nomor rumah. Tapi
bukan dalam rangka penertiban bangunan, semata-mata dalam
hubungan kesiagaan sewaktu ada latihan Jaya Siaga. Menurut
Syariful, pernah ada laporan RT/RW melakukan penomoran, tapi
karena alasan "belum ada nomor sama sekali". Dan ini dapat
dibenarkan. Tapi, tambahnya, karena ada laporan bahwa soal itu
sudah merembet ke rumah-rumah yang sudah bernomor, "seluruh
kegiatan tersebut tak dapat dibenarkan". Sebab, "itu bukan
kebijaksanaan Pemda DKI".
Camat & Lurah
Lantas kebijaksanaan siapa? "Setelah dicek ke walikota-walikota
dan camat-camat, mereka mengaku tak tahu menahu!", tukas
Syariful. Tapi sempat dike tahui CV Morina, satu badan usaha
swasta yang bergerak dalam kegiatan satu ini. Dengan bekal surat
seorang walikota nomor 1649/30/JP/Kesra/1976, 13 Agustus 1976,
CV ini leluasa bergerak di kawasan suatu walikota. Sebab isi
surat tadi menyatakan, "Walikota tidak berkeberatan CV Morina
mengadakan penggantian plang nomor rumah". Berdasar surat itu
camat membuat surat serupa ke Lurah. "Kami merupakan pelaksana
pemerintahan atasan", tutur salah seorang camat. Dan harap
dimaklumi, CV yang beralamat Gang Kraan No. 8 dan bertelepon
257063 itu, tak dapat dengan tangan kosong mengusahakan
surat-surat tadi. "Yah, pelicin sih perlu", kata AM Rangkuti,
pimpinan itu CV. Meski janji akan memberi hadiah kepada camat
yang bersangkutan, katanya "sampai sekarang belum dipenuhi".
Karena usahanya katanya macet.
Tambah Rangkuti pula, usahanya sudah macet. Karena rencana
semula memasang sendiri dengan harga Rp 250, atas dasar
perundingan harus dilakukan oleh kelurahan masing-masing dengan
harga Rp 175 dari Rangkuti. Tambahnya lagi, "banyak lurah yang
setorannya seret sampai sekarang", katanya Padahal, kabarnya
orang kelurahan me mungut bayaran rata-rata Rp 500. Bahkan tak
jarang Rp 1000. Bagaimana komentar Syariful Alam tentang
keterlibatan para camat dan lurah itu? "Itu salah". tukasnya.
Lantas? Syariful diam. Tapi bab penertiban nomor-nomor itu
"sedang disiapkan peraturan Gubernur yang sekarang masih dalam
penggodogan". Itu saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini