Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ada kesamaan antara Pramoedya Ananta Toer dan Han Kang.
Keduanya sama-sama berbicara tentang kemanusiaan melalui karya sastra.
Karya Pramoedya menggugah semangat kritis kaum muda pasca-Reformasi terhadap kondisi sosial-politik.
ADA kesamaan antara Pramoedya Ananta Toer dan Han Kang. Keduanya berbicara tentang kemanusiaan. Tema kemanusiaan pula yang membuat generasi muda Indonesia dengan penuh semangat merayakan 100 tahun kelahiran Pramoedya pada 6 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 7 Desember 2024, Han Kang, sastrawan Korea Selatan yang menerima Hadiah Nobel Sastra, memberikan ceramah di Akademi Swedia berjudul “Cahaya dan Benang”. Salah satu poin utama dalam ceramahnya adalah penjelasan bahwa novel-novelnya selalu berpusat pada cinta, yakni cinta terhadap manusia. Han Kang mengajukan pertanyaan: apakah masa lampau dapat membantu masa kini? Dapatkah orang yang telah tiada menyelamatkan yang masih hidup? Jawabannya adalah ya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa novelnya yang berlatar peristiwa sejarah menjadi bukti nyata akan hal ini. Human Acts (2014) mengangkat peristiwa demokratisasi Gwangju pada Mei 1980. Novel We Do Not Part (2021) mengisahkan tragedi 3 April 1948 di Jeju yang menewaskan sekitar 30 ribu warga sipil yang dicap berpaham komunis. Han Kang menyiratkan bahwa pengalaman sejarah dapat menjadi fondasi bagi masa depan Korea. Pemikiran ini lahir dari kecintaannya kepada manusia, sebuah kemanusiaan yang melampaui batas generasi.
Pandangan itu sejalan dengan pemikiran Pramoedya dalam menciptakan karya sastra. Sejak awal perhatian Pramoedya adalah manusia sebagai akar dan dasar kemajuan suatu bangsa. Hans Bague Jassin pernah menyatakan bahwa Pramoedya tidak pernah kehilangan kepercayaannya terhadap manusia.
Menurut Pramoedya, manusia bisa menjadi sumber kejahatan sekaligus kebaikan. Pandangan inilah yang melatarbelakangi perjuangannya melawan keganasan, ketidakadilan, dan kebodohan yang dilakukan manusia. Karena itu, gagasan utama dalam karya-karyanya adalah kebenaran, keadilan sosial, dan kemanusiaan bagi rakyat jelata. Hal ini terlihat jelas dalam Bumi Manusia, tempat tokoh-tokohnya memainkan peran sentral dalam pembangunan kesadaran kemanusiaan.
Sastra, bagi Pramoedya, adalah medium yang dapat menghadirkan kenyataan secara lebih bermakna dan mudah dipahami. Dalam dunia ini, dia menawarkan suatu tatanan baru yang berlandaskan kemanusiaan, bukan ideologi tertentu.
Tokoh-tokoh dalam karya Pramoedya selalu memiliki perhatian khusus terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Dalam Perburuan, misalnya, Hardo justru menghalangi orang-orang yang hendak membunuh Karmin, pengkhianat yang telah mencelakainya. Bagi Hardo, pengkhianatan Karmin lahir dari ketidaktahuannya. Demikian pula dalam Keluarga Gerilya, Saaman dan adik-adiknya membunuh ayah angkat mereka, Kasdan, yang berpihak kepada Belanda. Belakangan, Saaman menyesali perbuatannya, meskipun ia tahu hal itu adalah keharusan.
Dalam Bumi Manusia, Pramoedya secara lebih luas mengangkat persoalan kemanusiaan. Ia menyoroti bagaimana manusia sejati harus membebaskan diri dari segala bentuk belenggu. Salah satu kritik tajamnya tertuju pada golongan priayi yang tega menjual anak kandung mereka demi kepentingan pribadi.
Sastrotomo menyerahkan putrinya, Sanikem (Nyai Ontosoroh) yang baru berusia 14 tahun, kepada seorang Belanda demi kenaikan pangkat. Sastro Kassier, anak Sastrotomo, kemudian juga menjual putrinya, Surati, kepada seorang pria Belanda demi mempertahankan kedudukannya. Pramoedya menunjukkan bahwa budaya patriarki yang tidak manusiawi menjadi akar penderitaan perempuan.
Namun Pramoedya menolak citra perempuan yang pasrah pada nasib dan justru menghadirkan tokoh-tokoh perempuan yang kuat dan mandiri. Dalam Midah: Simanis Bergigi Emas (1955), Midah digambarkan sebagai sosok yang tidak menyerah pada keadaan. Dalam situasi sulit sekalipun ia tetap berjuang dan akhirnya berhasil menjadi penyanyi keroncong terkenal. Lewat Midah, Pramoedya ingin menunjukkan bahwa perempuan mampu bangkit dari keterpurukan.
Hal yang sama terlihat pada Nyai Ontosoroh dalam Bumi Manusia. Meskipun awalnya hanyalah seorang gundik, Nyai Ontosoroh mendapat pendidikan dari tuannya dan berhasil mengangkat derajatnya. Berkat kegigihannya, ia menjadi pengusaha sukses. Bersama putrinya, Annelies, Nyai Ontosoroh menjadi pilar utama dalam bisnis pertanian yang diwarisinya. Ia digambarkan sebagai perempuan yang kuat, cerdas, tegas, dan berharga diri tinggi.
Pada November 1973, dalam sepucuk surat kepada Presiden Soeharto, Pramoedya menulis, “Orang tua saya mendidik saya untuk selalu mencintai kebenaran, keadilan, keindahan, ilmu pengetahuan, nusa, dan bangsa. Dengan pesangon itu saya memasuki dunia dan meninggalkan jejak yang dapat dinilai oleh siapa pun.” Pernyataan ini mencerminkan karakter Pramoedya yang lugas dan jujur. Ia menulis bukan untuk menyenangkan pihak tertentu, tapi demi mengungkapkan hal yang diyakininya sebagai kebenaran.
Namun peredaran karyanya sering kali dihambat. Pada 29 Mei 1981, Jaksa Agung melarang peredaran Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa dengan alasan menyebarkan ajaran Marxisme-Leninisme. Tuduhan ini tentu saja tidak berdasar. Tidak ada unsur Marxisme-Leninisme dalam novel-novel tersebut dan Pramoedya sendiri tidak pernah punya niat membangun negara komunis.
Umar Junus-lah yang memberikan dalih untuk pelarangan novel itu. Dosen Malaysia yang lahir di Silungkang, Sawahlunto, Sumatera Barat, itu menulis artikel “Terperangkap dalam Pertentangan Kelas” di majalah Dewan Sastera terbitan Dewan Bahasa dan Sastera Malaysia pada Maret 1981.
Artikel itu kemudian langsung dimuat lagi di majalah Persepsi (Tahun 3 Nomor 1, April, Mei, Juni 1981) di Indonesia. Dalam artikelnya, Umar menganggap perjuangan pribumi di zaman Belanda sebagai pertentangan kelas antara penjajah dan dijajah. Dia menafsirkan “sekepal dan celurit” (kumis) sebagai “palu dan arit” (lambang komunisme). Analisis dan patokan kritik sastranya memihak dan tidak waras.
Pembahasan seorang kritikus yang tidak waras bisa menjatuhkan seorang sastrawan atau karya-karya ke dalam neraka. Pramoedya diterima Ibu Tien Soeharto saat menghadiahkan Bumi Manusia begitu novel itu terbit, tapi sepuluh bulan kemudian Jaksa Agung melarang buku tersebut. Padahal Wakil Presiden Adam Malik malah menilai Bumi Manusia perlu difilmkan supaya generasi sekarang dapat mengetahui perjuangan nenek moyangnya.
Pramoedya mengembara dari dunia kekecewaan ke dunia harapan. Bagi dia, dunia kekecewaan adalah dunia nyata yang menjadi halangan. Sedangkan dunia harapan adalah dunia impian yang memberikan hasrat atau semangat rakyat dan bangsanya.
Kedua dunia yang bertentangan ini membuat Pramoedya merasa sengsara sekaligus memberinya semangat untuk melawan kesengsaraan. Pramoedya rindu akan sejarah bangsa Indonesia yang pernah cemerlang, bangsa yang pernah menyatukan seluruh kepulauan Nusantara, bangsa yang sudah membangun Candi Borobudur.
Pada 1986, Pramoedya menjadi finalis Hadiah Nobel Sastra. Pembaca di luar Indonesia iri Indonesia punya sastrawan seperti Pramoedya. Penghargaan di luar Indonesia seperti ini sudah membuktikan keunggulan karya sastranya.
Pramoedya menarik perhatian kalangan pembaca global karena dia memberi perhatian khusus kepada kemanusiaan dan keadilan yang dikejar seluruh umat manusia. Maka hasil-hasil karya Pramoedya sudah menjadi aset berharga baik di dalam maupun luar Indonesia. Dalam konteks ini, kita perlu mendekati dan menghayati dunia pemikiran Pramoedya.
Setelah Reformasi, generasi muda Indonesia makin jatuh cinta pada karya Pramoedya, yang tidak hanya menawarkan kedalaman nilai kemanusiaan dan kebangsaan, tapi juga keunikan dalam gaya dan struktur sastranya. Novel-novel Pramoedya, terutama Tetralogi Pulau Buru, menjadi jendela bagi anak muda untuk memahami sejarah dan perjuangan bangsa sekaligus menggugah kesadaran akan pentingnya kebebasan berpikir dan keberanian bersuara.
Lewat karakter-karakternya yang penuh daya juang dan narasi yang tajam, Pramoedya menghadirkan kisah yang relevan lintas generasi, memperkaya wawasan literasi, dan menggugah semangat kritis kaum muda terhadap kondisi sosial-politik di Indonesia. Di balik semua narasi yang ia ciptakan, benang merah yang menghubungkan semuanya tetaplah satu: kemanusiaan. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo