Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, kabar itu disebarkan. Golkar akan menjadi pemenang Pemilu 2004 dengan meraup 21 persen suara. Di bawahnya bertengger si "Moncong Putih" PDI Perjuangan dengan perolehan 15 persen. Kemudian berturut-turut terdapat Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Lalu menyusul Partai Keadilan Sejahtera dan pendatang baru, Partai Demokrat. Dalam format delapan besar, yang berada di urutan paling buncit adalah Partai Bulan Bintang, dengan suara 1,3 persen.
Pemilu bayangan? Bukan. Itu adalah hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dilansir di Jakarta, Jumat, 2 April lalu—tiga hari sebelum Pemilu 2004 dilaksanakan. Survei yang menelan biaya sedikitnya Rp 700 juta itu menjaring 2.695 responden dari 32 provinsi di seluruh Indonesia. Sampel ditarik secara random dan penelitian dilakukan pada 20 Maret 2004 atau sepuluh hari setelah masa kampanye dimulai.
Kalau hasil penelitian ini bisa dipercaya, lanskap politik Indonesia tak bakal berubah banyak. Golkar dan PDI Perjuangan masih berada pada posisi papan atas. Partai-partai baru—dari pengusung ideologi Marhaen hingga Islam, dari pembela kepentingan daerah sampai partai antek Soeharto—hanya akan menjadi partai desimal alias mendapat sedikit suara. Publik tampaknya harus legawa: "Untuk sementara, Golkar di atas angin," ujar Saiful Mujani, doktor politik yang menekuni ilmu jajak pendapat dan salah seorang peneliti LSI.
Rasanya baru kemarin semuanya terjadi. Lima tahun lalu, kutukan gawat mendera Golongan Karya. Begitu kediktatoran Soeharto tumbang, partai tunggangan rezim Orde Baru itu rontok di mana-mana. Di Solo, rumah milik Harmoko, Ketua Umum Golkar waktu itu, hangus dibakar massa. Mahasiswa menuntut partai itu bubar. "Dulu kita betul-betul mendapat hukuman dari rakyat," ujar Rully Chairul Azwar, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar.
Kini semuanya berakhir: sang pecundang berbalik menjadi pemenang. Bahkan Ketua Umum Golkar, Akbar Tandjung, yang baru dibebaskan Mahkamah Agung dari tudingan korupsi dana nonbujeter Bulog, kini bisa berteriak, "Golkar antikorupsi. Yang anti-korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) adalah Golkar baru."
Perolehan suara Golkar yang diproyeksikan LSI memang masih jauh di bawah target pendapatan suara "Pohon Beringin". "Target kami menang 28-32 persen suara," ujar Rully.
Tak aneh kalau Rully ekstra-optimistis. Ia sesumbar punya banyak kiat menarik pemilih. "Kita punya segudang pengalaman," ujar Sekretaris Badan Pemenangan Pemilu Golkar itu. Sejak awal, mereka mencitrakan partainya sebagai kekuatan lama yang reformis. Termasuk, kata Rully, menggelar konvensi terbuka bagi publik dalam memilih kandidat presiden dari "Partai Beringin".
Mungkin itu sebabnya Golkar dalam masa kampanye kemarin tak begitu jorjoran adu program. Di Jawa Timur, Minggu pekan silam, misalnya, Akbar Tandjung cukup mengingatkan satu hal: Golkar pernah membawa rakyat Indonesia hidup senang. "Golkar akan membawa Indonesia kembali jaya," ujarnya di Lapangan Karangan, Trenggalek. Setelah itu, massa pun riuh-rendah dibenam musik dangdut dan pertunjukan komedi.
Rully mengatakan, partainya sejak awal menekankan program jangka pendek ketimbang jangka panjang. Isu ekonomi rakyat dan lapangan kerja menjadi program utama. Partai itu juga melontarkan program ekonomi berbasis sumber daya alam untuk membuka lapangan kerja. Adapun soal korupsi, Rully mengelak. "Korupsi terjadi sampai pemerintahan sekarang, jadi bukan dosa Golkar semata," katanya.
Semua partai memang menjual "kecap" dalam masa kampanye lalu (lihat Tinggi Gunung Seribu Janji...). Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum PDI Perjuangan, sangat percaya rakyat masih mencintai "Partai Moncong Putih". Ukurannya gampang: massa kampanye PDI Perjuangan selalu padat. Artinya, kata Mega, masyarakat Indonesia masih mendukung PDI Perjuangan. Megawati justru menagih 80 juta suara dari pendukung setianya itu. "Jangan hanya ngomong, buktikan memilih saya dalam pemilihan presiden nanti," ujarnya di Semarang, Selasa pekan silam.
Di Solo, Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN), Amien Rais, berkampanye dengan cara yang berbeda. Dia tak henti mengingatkan orang pada bobroknya keadaan sekarang. "Pemerintahan kini kurang mengerti makna reformasi," ujarnya di Stadion Sriwedari, Solo, Rabu pekan silam. Tentu saja, jika nanti menang, dia berjanji meluruskan jalannya reformasi itu. Ada satu hal yang menggelitik. Amien memperkirakan semua suara partai besar bakal merosot. Tapi posisi partainya justru akan melambung. "PAN pasti menembus tiga besar," ujarnya.
Apakah pemilih menggubris semua janji partai politik itu? Tampaknya tidak. Bila dibandingkan dengan survei yang dilakukan sebelumnya, survei LSI terakhir—dilakukan di tengah masa kampanye—tidak menunjukkan perubahan yang signifikan dalam urutan "pemenang pemilu". Survei International Foundation for Electoral System (IFES), lembaga penelitian independen yang berpusat di Washington, DC, Amerika Serikat, mencatat Golkar memperoleh 19 persen suara, sementara PDI Perjuangan 12 persen. PAN sempat naik ke angka 9 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 7,5 persen, dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 6,5 persen. Dengan tingkat kesalahan (margin of error) LSI sekitar 2 persen, angka yang disajikan LSI sebetulnya hampir sama dengan penelitian IFES.
Dengan kata lain, sepuluh hari pertama kampanye tak terlalu penting untuk mendongkrak suara. "Kampanye hanya menjaga suara yang sudah ada," kata Saiful. Jadi, itu hanya semacam konsolidasi basis dukungan yang sudah dimiliki partai sebelumnya. Kalaupun mau dipandang lebih positif, kampanye sedikit berhasil dalam memperkecil jumlah pemilih yang belum mengambil keputusan akan memilih apa dalam pemilu kelak (undecided voters). Dalam penelitian LSI, jumlah pemilih ragu ini 17,2 persen atau jauh di bawah penelitian sebelumnya yang dilakukan IFES atau Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial/LP3ES (lihat Nyanyi Sunyi Si Peragu).
Mengapa kampanye tak bergema? Saiful berpendapat, seperti dalam pemilu-pemilu sebelumnya, partai masih mengandalkan aksi dan hiburan untuk mengumpulkan massa. Platform politik seperti yang dijual sejumlah partai baru tidak langsung bisa dicerna publik, yang umumnya memang berpendidikan tak tinggi.
Tak banyak partai membedah program mereka dalam kampanye. "Kampanye sekarang sepi. Rakyat rupanya bosan dengan janji-janji partai," kata Jeffrey Winters, pengamat politik Indonesia dari Northwestern University, Amerika Serikat, kepada Sita Planasari dari Tempo News Room.
Partai seperti PDIP tampaknya cukup jeli melihat situasi. Di tengah kritik keras kepada pemerintah Megawati, partai banteng itu memilih tema kampanye yang ringan dan sederhana: "Pilih Moncong Putih." Seperti diakui oleh pembuatnya, Triawan Munaf, iklan itu diharapkan bisa memaku publik pada pilihan kepada PDIP. Tiga pekan kampanye membuktikan bahwa umumnya publik mengingat pesan iklan moncong putih.
Di luar itu, platform dan janji-janji kampanye tampaknya telah dilupakan. Apalagi tak semua janji disampaikan secara konsisten dan bisa dibuktikan. Lihatlah misalnya PAN. Partai ini pernah berjanji memperjuangkan federalisme ketika menghadapi pergolakan di daerah lima tahun silam. Meskipun menolak pendekatan militer sebagai solusi buat Aceh dan Papua, partai itu kini angkat tangan soal isu federalisme. Ketua Dewan Pimpinan Pusat PAN, Abdillah Toha, mengakui kelemahan itu. "Banyak kekuatan politik lainnya," kata Abdillah, "menentang gagasan itu." Akhirnya, partainya pun mengalah. "Kami sudah melupakan wacana itu," katanya.
Isu korupsi yang diangkat dalam kampanye PPP seperti mentah di tengah jalan. Kata Sekretaris Pengurus Harian PPP, Lukman Hakim Saifuddin, partainya sejak dulu peduli dengan pemberantasan korupsi. Tapi, kenyataannya, menurut Lukman, penegakan hukum masih lemah. "Kita butuh pemimpin teladan," katanya. Padahal, patut dicatat, Hamzah Haz, Wakil Presiden RI, adalah ketua umum partai itu.
Bahkan Partai Bulan Bintang (PBB), yang dulu getol bicara pemberantasan korupsi, kini pesimistis dengan agenda itu. Ketua PBB Ahmad Sumargono menuding partai-partai besar yang berorientasi duit menyulitkan pemberantasan korupsi. "Mereka menganggap uang sebagai panglima," katanya. Dia mengatakan, kalau ada kader partai besar menjadi menteri, tujuannya adalah menggunakan jabatan untuk berbisnis. Sumargono jujur mengakui, bahkan Menteri Kehakiman Yusril Ihza Mahendra dari PBB juga gagal dalam tugas penting itu.
Di tengah ketidakpercayaan publik kepada partai politik, perolehan suara seperti yang diprediksi oleh hasil survei LSI mungkin merupakan hasil maksimal. Partai-partai lama bertahan bukan karena janji dan kinerja mereka selama ini, tapi lebih karena kesetiaan lama yang sulit diubah.
Hampir separuh (47,2 persen) responden menyatakan persoalan bangsa ini yang paling utama adalah soal lapangan pekerjaan, tapi mereka memilih Golkar dan PDI Perjuangan—dua partai yang selama memerintah lima tahun terakhir tak berhasil menciptakan lapangan kerja.
Pemilu memang baru akan dilaksakan pada Senin, 5 April. Tapi tanda-tanda tak bakal terjadinya perubahan sudah terlihat beberapa hari sebelumnya.
Nezar Patria, Adek M. Rosa, Nunuy Nurhayati (TNR)
Profil Pemilih (dalam%) | ||
---|---|---|
 | Desa | Kota |
PDI Perjuangan | 15,7 | 14,4 |
Golkar | 23,8 | 17 |
PPP | 5,2 | 4,7 |
PKB | 9,6 | 7,6 |
PAN | 5 | 8 |
PKS | 3 | 7,3 |
Partai Demokrat | 3 | 5 |
Pendidikan Pemilih (dalam%) | ||
---|---|---|
 | SD | PT |
PDI Perjuangan | 17,7 | 6 |
Golkar | 23 | 16 |
PPP | 6,2 | 0,9 |
PKB | 11,2 | 4 |
PAN | 4,2 | 14,7 |
PKS | 2,5 | 15,2 |
Partai Demokrat | 2,1 | 7,4 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo