Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR buruk datang dari Jenewa, Swiss, akhir November 2019. Uni Eropa bakal menggugat pemerintah Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Satu dari tiga pemicunya adalah kebijakan pembatasan ekspor produk mineral mentah, terutama nikel, bijih besi, dan kromium, yang merupakan bahan baku industri baja antikarat (stainless steel). “Uni Eropa juga meminta konsultasi,” kata Wakil Tetap Indonesia untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, WTO, dan organisasi internasional lain di Jenewa, Duta Besar Hasan Kleib, di Jakarta, Kamis, 28 November lalu. Konsultasi, menurut dia, merupakan langkah awal dalam suatu proses penyelesaian sengketa di WTO.
Pemerintah Indonesia memang melarang ekspor nikel berkadar rendah mulai 1 Januari 2020. Ketentuan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2019. Aturan baru ini merevisi Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Berdasarkan aturan anyar, izin pengiriman nikel berkadar kurang dari 1,7 persen ke luar negeri hanya dapat dilakukan sampai 31 Desember 2019.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral beralasan kebijakan pelarangan itu mempertimbangkan beberapa hal. Pertama, nikel berkadar rendah bisa diolah di dalam negeri seiring dengan kemajuan teknologi. Pertimbangan lain: pembangunan smelter di dalam negeri yang pesat dalam beberapa tahun terakhir juga membutuhkan pasokan nikel yang cukup.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi Bambang Gatot Ariyono menyebutkan setidaknya ada 25 unit smelter yang sedang dibangun. Bila fasilitas pengolahan itu rampung, total akan ada 41 unit smelter nikel pada 2021. “Karena smelter nikel sudah banyak, pemerintah ingin mempercepat dan bergerak mengambil inisiatif menghentikan ekspor nikel,” ujar Bambang.
Komisaris PT Vale Indonesia Tbk, Raden Sukhyar, mengatakan kebijakan pelarangan ekspor Indonesia akan menurunkan pasokan dunia. Sejak 2016, industri global kekurangan suplai nikel, dengan shortage mencapai 88 ribu ton. Defisit pada neraca pasar nikel di antaranya dipicu oleh pertumbuhan permintaan pabrik baja antikarat. “Permintaan industri stainless steel naik 1-2 persen,” ucap mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara ini, Rabu, 4 Desember lalu.
Belakangan, defisit terus melebar. Komoditas tambang ini tidak hanya digunakan sebagai bahan baku industri stainless steel, tapi juga dibutuhkan sebagai bahan campuran komponen dalam pembuatan baterai kendaraan listrik. “Karena itu, nikel kini menjadi salah satu komoditas yang diprioritaskan,” kata Direktur Eksekutif Mining and Minerals Industry Institute Ratih Amri.
Kebijakan pelarangan ekspor bijih nikel diyakini akan makin mengerek harga di pasar dunia. Hingga Selasa, 3 Desember lalu, komoditas nikel diperdagangkan tunai di London Metal Exchange rata-rata US$ 13.600 per ton. Peningkatan sudah tampak pada Juni lalu ketika harga menyentuh US$ 11.500. Tren ini diperkirakan berlanjut di masa mendatang.
Walhasil, menurut Ratih, banyak negara kini berlomba menguasai mineral jenis ini hingga ke hulu dan hilir tambang nikel. Menguasai 23,7 persen cadangan nikel dunia, Indonesia dianggap sebagai salah satu ladang potensial.
λ λ λ
Besarnya potensi tersebut menjadikan industri hulu dan hilir nikel sebagai sektor yang diprediksi bakal moncer dalam beberapa tahun ke depan. Komoditas nikel menjadi harapan untuk menggenjot pertumbuhan industri logam dasar, yang belakangan ikut melambat seiring dengan pelemahan ekonomi dunia.
Pada triwulan III 2019, produk domestik industri logam dasar tumbuh 4,62 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Kendati meningkat tipis dibanding triwulan sebelumnya, angka tersebut masih jauh di bawah pencapaian sepanjang 2018, yang tumbuh hingga 8,99 persen.
Peluang pertumbuhan makin besar di sektor hilir tambang berbasis nikel. Pada 2020-2021, produksi bijih nikel yang diolah di smelter dalam negeri ditargetkan mencapai 96 juta ton per tahun, naik lebih dari tiga kali dibandingkan dengan saat ini yang hanya 26 juta ton.
Belakangan, dukungan pemerintah pada industri ini juga bertambah. Pada 8 Agustus lalu, Presiden Joko Widodo meneken Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai untuk Transportasi Jalan. Kebijakan ini digulirkan untuk mendorong tumbuhnya industri komponen kendaraan listrik di dalam negeri, terutama baterai, yang membutuhkan bahan baku nikel.
Sukhyar memproyeksikan perubahan ke depan akan diwarnai dengan dimulainya konstruksi pabrik bahan baku baterai kendaraan listrik di dalam negeri. Yang terbaru, di Jakarta, mulai marak pendirian stasiun pengisian kendaraan listrik umum (charging) untuk mobil bertenaga setrum. Selain Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, dua perusahaan swasta telah masuk ke bisnis ini, yaitu PT ABB Sakti Industri, yang diusung pengusaha Murdaya Widyawimarta Poo, dan Delta Indonesia, yang bekerja sama dengan Delta Electronics Thailand Plc.
Pemeriksaan biji feronikel siap ekspor di Pelabuhan Pomala, Kolaka, Sulawesi Tenggara, Mei 2017. ANTARA/Asep Fathulrahman
Geliat industri baterai dalam negeri akan mendorong permintaan nikel di pasar. Lembaga konsultan dan riset komoditas di Inggris, Roskill, memperkirakan permintaan nikel dari industri baterai mencapai 258 ribu ton pada 2022 seiring dengan tren pertumbuhan penjualan kendaraan listrik. Angka ini setara dengan 10 persen dari total kebutuhan nikel global berdasarkan penggunaan. Sejauh ini, industri baterai baru menyerap 3 persen dari total permintaan nikel dunia.
Toh, potensi tersebut bukannya tanpa persoalan. Cadangan terbukti nikel di Indonesia, yang diperkirakan mencapai 698 juta ton, bakal habis dalam waktu kurang dari 10 tahun jika tak ada penemuan cadangan baru. Menarik investasi baru, terutama untuk kegiatan eksplorasi, menjadi pekerjaan rumah yang dianggap perlu segera diwujudkan pemerintah dalam beberapa waktu ke depan.
Kementerian Energi mencatat, pada 2017, ada empat produsen olahan nikel terbesar di Indonesia. Keempatnya adalah PT Sulawesi Mining Investment, yang menghasilkan 194.570 ton feronikel; PT Aneka Tambang (Persero) Tbk, yang memproduksi 85.539 ton feronikel; PT Megah Surya Pertiwi, yang menghasilkan 84.537 ton feronikel; dan PT Vale Indonesia Tbk dengan produksi 64.244 ton nikel matte. Pada 2019, Vale menargetkan produksi nikel matte sekitar 72 kiloton, turun dibanding realisasi tahun sebelumnya sebanyak 74 kiloton. Sedangkan Antam memproyeksikan produksi feronikel sekitar 30 kiloton, naik dibandingkan dengan 2018 yang hanya 24,6 kiloton.
Masalahnya, Menurut Chief Exe-cutive Officer PT Indonesia Morowali Industrial Park Alexander Barus, masuk ke ladang nikel bukan perkara mudah saat ini. Sebab, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membatasi izin usaha pertambangan. “Agak sulit mendapatkan konsesi baru. Sudah tight,” tutur Alex kepada Tempo.
Alex mengatakan, yang paling memungkinkan bagi calon pemain baru untuk masuk ke Indonesia adalah bergabung dengan perusahaan tambang nikel existing. Ia mencontohkan PT Sulawesi Mining Investment, yang merupakan perusahaan patungan antara Bintang Delapan Group dan Tsingshan—anak perusahaan Dingxin Group asal Cina—sejak 2010. Mereka mengelola tambang di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah, dan Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara. Mereka juga membangun pabrik pengolah bijih nikel berkapasitas sekitar 30 kiloton per tahun.
Menurut Alex, secara keseluruhan kawasan industri Morowali menghasilkan 2,5 juta ton nikel pig iron, yakni besi mentah yang mengandung nikel. Kawa-san ini menaungi belasan perusahaan asal Cina, seperti PT Indonesia Guan Ching -Nickel and Stainless Steel Industry, PT Decent Stainless Stell, PT Indonesia Tsingsang Stainless Steel, dan PT Broly Nickel -Industry.
Sukhyar mengatakan Cina memang negara pengguna sekaligus produsen nikel terbesar di dunia. Maka tak aneh bila sejumlah perusahaan asal negara itu merambah ladang-ladang nikel dunia, termasuk Indonesia. Ia optimistis Indonesia, sebagai salah satu pemilik cadangan bijih nikel yang besar, bakal berpengaruh pada pergerakan neraca pasokan dan permintaan nikel dunia. “Sekaligus memberikan pengaruh pada harga nikel dunia,” kata Sukhyar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo