Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
YUDDY Chrisnandi merasa kebanggaan hidupnya lengkap setelah diangkat sebagai guru besar. Menurut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi ini, menjadi profesor adalah obsesinya sejak kecil. Berharap bisa mengikuti jejak kakeknya, Doddy Achdiat Tisna Amidjaja, Rektor Institut Teknologi Bandung 1969-1976, merupakan pendorong utamanya.
Itulah sebabnya Yuddy tak mempedulikan omongan miring orang ihwal jabatan akademis barunya itu. "Saya tidak pernah bermimpi jadi menteri, tapi memang ingin sekali jadi profesor," katanya Jumat pekan lalu.
Yuddy dikukuhkan sebagai guru besar dalam bidang pembangunan ekonomi industri dan kebijakan publik di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta, pada Sabtu pekan ketiga Mei lalu. Acara pengukuhan yang berlangsung di kampus Universitas Nasional itu dihadiri Wakil Presiden Jusuf Kalla, mantan wakil presiden Try Sutrisno, dan sejumlah pejabat tinggi negara.
Jabatan guru besar Yuddy disorot Sekretaris Dewan Pendidikan Tinggi Didit Nugroho dari sisi asas kepatutan. Guru besar adalah kepangkatan akademis, bukan gelar seperti doktor yang harus diraih dengan cara menempuh sekolah. Sebagai guru besar, Yuddy dituntut bekerja penuh di kampusnya.
Jabatan guru besar berkonsekuensi pada gaji dan tunjangan yang dibiayai negara. "Sebaiknya ditunda dulu, hingga tidak lagi menjadi menteri," ujar Didit. Ditanya soal rangkap jabatan ini, Yuddy menegaskan tidak akan nonaktif sebagai guru besar. "Saya tetap menjalankan dua tugas ini," katanya.
Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir memastikan Yuddy tidak mendapat tunjangan guru besar. Dan itu berlaku pula pada guru besar lain yang menjadi menteri dan pejabat negara.
Keberhasilan Yuddy masuk ke kabinet pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla tentu tak lepas dari perannya sebagai anggota tim pemenangan pasangan itu pada pemilihan presiden 2014. Pria kelahiran Bandung, 29 Mei 1968, ini menjadi juru bicara bersama Anies Baswedan, Khofifah Indar Parawansa, dan Hasto Kristiyanto. "Saya pendukung setia Presiden Jokowi," ujarnya.
Sejarah berpolitik lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung, ini berliku. Yuddy berseberangan dengan Jokowi ketika berlangsung pemilihan Gubernur DKI Jakarta pada 2012. Posisi Yuddy saat itu mendukung pasangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli, yang bersaing dengan pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama. Menanggapi ini, Yuddy menyatakan ketika itu secara pribadi mendukung Jokowi. "Cuma, partai saya (Hanura) mendukung Fauzi dan saya harus loyal kepada partai," katanya.
Kedekatan politik dengan Jusuf Kalla terbina sejak Yuddy aktif di Partai Golkar pada 1992. Yuddy juga menjadi anggota tim sukses Kalla, yang saat itu menjabat Ketua Umum Partai Golkar, yang berpasangan dengan Wiranto pada pemilihan presiden 2009.
Dalam Musyawarah Nasional Golkar di Riau pada 2009, ia sempat mencalonkan diri sebagai ketua umum. Upayanya bersaing dengan Aburizal Bakrie dan Surya Paloh, dua calon kuat ketua umum, kandas karena minimnya dukungan daerah.
Yuddy memilih mundur dari Golkar beberapa hari setelah Munas Golkar memilih Aburizal sebagai ketua umum. Ia lompat ke Partai Hanura. Selain karena alasan idealisme, Yuddy mengaku hal itu dilakukannya lantaran dia punya kedekatan psikologis dan historis dengan Wiranto, sang ketua umum partai.
Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo