Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran tunggal Nesar Ahmad Eesar, perupa muda asal Afganistan.
Pameran lukisan yang menyoroti nasib pengungsi Afganistan di Indonesia.
Menggabungkan gaya lukisan realis dan miniatur.
SESOSOK tubuh berbaring dengan tangan terlipat di atas perut. Ia dikelilingi empat sosok yang seorang di antaranya terlihat menyuapi sesuatu dengan sendok. Semua sosok itu relatif sama dengan wajah samar, berwujud siluet atau bayangan hitam, dan memakai pelampung berwarna jingga. Di kepala, tangan, serta kaki muncul titik-titik api berwarna kuning yang menyala tanpa asap. Mereka diawasi oleh sesosok jin hitam raksasa yang terlihat di balik gunung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lukisan cat minyak di atas kanvas berukuran 90 x 120 sentimeter berjudul Eternal Waiting #8 itu mengisahkan satu fragmen kondisi para pengungsi Afganistan di Indonesia yang lari keluar dari negaranya akibat perang atau konflik bersenjata. Nesar Ahmad Eesar, 32 tahun, perupa asal Afganistan, melukiskan nasib para pengungsi dari negerinya itu dalam pameran tunggalnya yang berjudul “The Eternal Waiting” di Galeri Orbital Dago, Bandung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pameran seni yang berlangsung pada 24 Februari-6 Maret 2022 itu, Nesar menampilkan sembilan lukisan dan enam sketsa yang kebanyakan ia buat pada 2021. Lewat pameran itu, Nesar menyoroti berbagai masalah keseharian para pengungsi Afganistan di Indonesia selama menunggu kepastian tentang keberangkatan ke negara tujuan, seperti Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Kanada.
Menurut Nesar, dari informasi yang ia peroleh, setiap tahun hanya 400-500 dari ribuan pengungsi Afganistan yang diterima negara tujuan. Selebihnya harus menunggu giliran dan ketidakpastian berangkat. Dari pengungsi yang dikenalnya, mereka harus menunggu 5-12 tahun di Indonesia sebagai negara transit. Dan mereka menolak kembali ke negaranya dengan alasan terancam.
Nesar menggambarkan ancaman terhadap para pengungsi itu dalam lukisan-lukisannya. Dari kanvas ke kanvas, ia melatari lukisannya dengan situasi perang di negaranya. Dimulai dengan kehadiran tank, tentara asing, helikopter, kemudian beralih ke sosok bayangan tentara lokal, Nesar menampilkan wujud korban konflik. Di antaranya, para perempuan yang diancam todongan senjata tentara berturban.
Nesar Ahmad Eesar pada pameran tunggalnyadi Orbital, Bandung, Jawa Barat, 24 Februari . TEMPO/Prima Mulia
Nesar menyebutkan ide pameran “The Eternal Waiting” boleh dibilang tak lepas dari perjalanan hidupnya yang kerap bersinggungan dengan para pengungsi. Besar di tengah kancah perang di Afganistan, isu pengungsian mulai dikenal Nesar sejak ia berusia 8 tahun ketika temannya mengajaknya hengkang ke Pakistan akibat perang. Beberapa pamannya juga ada yang menjadi pengungsi di Pakistan.
Pada 2012, Nesar mulai mengenal lebih dekat kehidupan para pengungsi dari negerinya yang berada di Indonesia. Saat itu ia mendapat beasiswa kuliah di Jurusan Seni Murni Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Nesar berkenalan dengan penghuni tempat pengungsian di daerah Pantai Parangtritis. Hingga 2014, ia masih bertemu langsung dengan para pengungsi yang ketika itu berjumlah sekitar 100 orang. Kamp itu kemudian dipindahkan ke utara Yogyakarta.
Walau begitu, kata Nesar, beberapa pengungsi kenalannya yang telah dipindahkan itu masih suka datang ke tempat kosnya. Nesar juga masih mengikuti kabar mereka dari media sosial. Dari pengungsi yang ditemuinya di Yogyakarta pada 2012 itu, ternyata masih ada yang tertahan. “Dari situlah muncul ide membuat karya dengan tema eternal waiting (penantian abadi),” tuturnya.
Dalam pamerannya di Orbital Dago ini, seri lukisan naratifnya, Eternal Waiting #1 hingga #8, menuturkan kisah yang dialami para pengungsi yang juga saudara-saudara senegaranya itu. Setiap karya dalam seri lukisan itu bisa diceritakan satu per satu secara terpisah ataupun berkaitan menjadi sebuah cerita utuh.
Tapi Nesar tidak secara gamblang menampilkan kisah-kisah itu dalam lukisannya. Ia menyamarkan beberapa obyek lukisannya dengan siluet atau warna blok. Nesar juga banyak menggunakan metafora, terutama ikon api pada latar dan figur pengungsi. Lalu kaligrafi, figur perempuan, dan sosok jin yang perlahan-lahan menampakkan dirinya.
Ihwal penggambaran sosok jin tersebut, Nesar terinspirasi dari karya Siyah Qalam yang menampilkan 80 lukisan jin berdasarkan cerita rakyat Arab. Dalam lukisan Qalam, jin direpresentasikan sebagai makhluk yang memiliki sifat-sifat seperti manusia. Gaya penggambarannya dipengaruhi oleh tradisi artistik Cina, Persia, Turki, atau Mongol.
Menurut kurator pameran, Diaz Ramadhansyah, rangkaian karya Nesar itu menggabungkan gaya lukisan realis dan miniatur dari dua seniman Afganistan, yaitu Ghiasud-Din Siah Qalam dan Kamaludin Behzad. Penerapan gaya miniatur itu terlihat dari peniadaan bayangan pada setiap obyek gambarnya, tanpa perspektif, dan peniadaan penanda waktu. Penggunaan warnanya bervariasi. “Mengulang lukisan hingga delapan kali pun Nesar tetap menghasilkan warna yang sama,” ujar Diaz dalam catatan kuratorialnya.
Salah satu lukisan dari seri The eternal Waiting karya Nesar Ahmad Eesar pada pameran tunggal bertajuk The Eternal Waiting di Orbital, Bandung, Jawa Barat, 24 Februari 2022. Seniman asal Afganistan ini menetap di Bandung setelah 5 tahun menimba ilmu di Yogyakarta dan kini menyelesaikan studi S2 di FSRD- ITB. Tema karyanya banyak mengupas permasalahan konflik dan pengungsi. TEMPO/Prima Mulia
Gaya itu, kata Diaz, kemudian dikombinasikan dengan kemahiran Nesar pada gaya realis, sebagaimana terlihat pada wajah figur-figur manusia dan jin. Pada beberapa bagian, Nesar juga sengaja mengeruk karyanya dengan sisir untuk memberi kesan dramatis. Menurut Diaz, ide penggabungan gaya itu menunjukkan kepiawaian Nesar berkat latar belakang pendidikannya.
Lahir di Zabul, Afganistan, pada 1990, Nesar mulai mengenal dunia seni rupa ketika ia masuk sekolah seni kaligrafi dan seni lukis miniatur di Kota Kabul. Pada 2009 dan 2010, dia meraih predikat The Best Student of Art School Kabul dan Sanaye, Afganistan. Semasa di sekolah itu pula dia menjadi kartunis di harian SorGhar, kemudian koran Walwala, selain membuka kursus kaligrafi.
Ketertarikan Nesar merantau berawal dari cerita beberapa pamannya tentang muslim Indonesia. Minatnya kian besar setelah ia membaca literatur tentang keanekaragaman budaya, suku, bahasa daerah, agama, dan seni yang menarik di Indonesia. Gayung pun bersambut. Pada 2012-2017, ia mendapat beasiswa untuk kuliah di Institut Seni Indonesia, Yogyakarta. Sewaktu ia kuliah di Yogya, karyanya menyabet gelar lukisan terbaik dalam Djoko Pekik Art Award 2016. Dia juga meraih gelar juara kedua Lomba Lukis Semarak Borobudur 2017.
Selain itu, selama di Yogyakarta, Nesar beberapa kali menggelar pameran tunggal dan ikut pameran bersama seniman lain. Setelah wisuda sarjana, ia pulang ke Kabul, tempat ibu dan keluarga besarnya tinggal. Dia kembali ke Indonesia pada 2019 dan melanjutkan studi S-2 di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung.
Mulai kuliah sejak 2020, kini dia tengah menyusun tesis karena studinya akan rampung tiga bulan lagi. Dosennya yang juga perupa, Tisna Sanjaya, yang mendorong Nesar untuk menampilkan karya kelas studio dalam pameran tunggal keduanya kali ini. Lewat pameran “The Eternal Waiting”, Nesar ingin menggaet perhatian banyak pihak terhadap nasib pengungsi yang hendak mencari kehidupan baru di tanah asing.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo