Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Operasi Senyap Memindah Ibu Kota

Sultan Hamengku Buwono IX berperan besar selama masa awal kemerdekaan Indonesia. Menyelamatkan Republik dengan memindahkan ibu kota ke Yogyakarta.

17 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kereta itu berjalan mundur dari Stasiun Cikini, Jakarta Pusat. Didorong sebuah lokomotif, kereta parkir tepat di belakang rumah di Jalan Pegangsaan Timur 56 pada sore 4 Januari 1946. Setelah kereta terparkir, masinis mematikan mesin serta semua lampu di gerbong.

Tak lama kemudian, sore berganti malam. Di tengah keremangan Jakarta, sejumlah orang ke luar rumah, lalu mengendap-endap masuk ke kereta. Mereka adalah Presiden Sukarno-Wakil Presiden Mohammad Hatta beserta istri dan sejumlah menteri. Sejak sore, mereka telah berkumpul di rumah Sukarno. "Mereka pergi diam-diam agar tak diketahui Belanda," kata sejarawan Universitas Gadjah Mada, Djoko Suryo.

Waktu menunjukkan pukul 18.00 ketika kereta mulai berderak. Perlahan tapi pasti, lokomotif dan gerbong-yang kini tersimpan di museum transportasi Taman Mini Indonesia Indah-meninggalkan Jakarta. Hanya bercahayakan temaram bulan, kereta yang kemudian dikenal sebagai Kereta Luar Biasa itu melaju ke Yogyakarta.

Keberangkatan diam-diam Sukarno dan para menterinya merupakan bagian dari cerita perpindahan ibu kota Indonesia ke Yogyakarta. Kala itu kondisi Jakarta memang sedang genting. Serdadu Belanda terus memburu petinggi Republik. Perdana Menteri Sutan Sjahrir, misalnya, hampir tewas ketika mobilnya diberondong peluru. Sukarno dan Hatta pun sampai berpindah-pindah tempat untuk menghindari kejaran tentara Belanda.

Mendengar kabar genting di Jakarta, Sultan Hamengku Buwono IX mengirim sepucuk surat kepada Bung Karno lewat seorang kurir. Sultan menawarkan agar ibu kota dipindahkan ke Yogyakarta. "Bapak saya yang meminta ibu kota dipindahkan ke Yogya," ujar Arumanta, anak kedua Sultan yang bergelar Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo.

Bung Karno segera merespons surat Sultan. Sehari sebelum berangkat ke Yogya, Presiden menggelar sidang kabinet membahas tawaran Sultan. Bung Karno menilai perpindahan ke Yogya sebagai langkah strategis. Alasannya, antara lain, Sultan memiliki hubungan baik dengan Ratu Wilhelmina dan Ratu Juliana, yang berkuasa di Belanda. Dengan begitu, tentara Belanda diharapkan segan menyerang Yogyakarta. Di samping lebih aman, Yogyakarta memiliki pemerintahan yang rapi.

Di Stasiun Tugu, Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono IX beserta Sri Paku Alam VIII menyambut Bung Karno dan petinggi Republik lainnya. Sultan bahkan langsung menaiki gerbong untuk menyelamati Bung Karno dan kawan-kawan yang sukses menyelinap ke Yogyakarta.

Sultan rupanya sudah menyiapkan Yogyakarta sebagai ibu kota dengan matang. Beberapa gedung bekas peninggalan Belanda disulap menjadi kantor pemerintah Republik. Gedung Agung, yang berjarak sekitar 300 meter sebelah utara Keraton, dijadikan Istana Presiden.

Selama Yogyakarta menjadi ibu kota Indonesia, Sultan yang lahir dengan nama Bendoro Raden Mas Dorodjatun itu memainkan peran sentral. Dialah yang menyokong seluruh pembiayaan pemerintahan Republik. Sultan juga mempersilakan para cendekiawan membangun perguruan tinggi. Salah satunya Akademi Ilmu Pemerintahan, yang didirikan untuk mendidik calon pegawai Republik, pada Mei 1948.

Kelak, setelah Belanda hengkang dari Yogyakarta pada pertengahan 1949, Sultan juga berandil besar dalam pendirian universitas pertama di Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Awalnya, tempat perkuliahan UGM menempati sebagian area keraton, seperti Pagelaran, Siti Hinggil, dan Mangkubumen. Sultan juga menghibahkan lahan di Bulaksumur, yang kini menjadi kampus UGM. "Sultan tahu saat itu Indonesia membutuhkan perguruan tinggi yang berkualitas," ujar Prabukusumo.

Peristiwa Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948 kembali mencatatkan peran penting Sultan. Enam bulan sebelum agresi, Sultan mencium gelagat Belanda akan menyerang Yogyakarta. Kala itu Sultan mengadakan pertemuan dengan Sukarno, Hatta, dan Jenderal Soedirman. Mereka membahas langkah yang perlu diambil pemerintah Republik jika Belanda benar-benar menyerang Yogya. "Disepakati pemerintah akan keluar dari Yogya. Sedangkan Sultan akan tetap di sini," ujar asisten pribadi Hamengku Buwono IX, Kanjeng Raden Tumenggung H. Jatiningrat, yang akrab disapa Romo Tirun.

Ternyata serangan Belanda itu berlangsung begitu cepat. Dalam hitungan jam, Gedung Agung sudah terkepung pasukan Jenderal Spoor. Akhirnya Sukarno dkk ditawan, lalu diasingkan ke Pulau Bangka, Sumatera Selatan. Adapun pusat pemerintahan Indonesia berpindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat, dan dipimpin Sjafruddin Prawiranegara.

Sewaktu Sukarno dkk berada di pengasingan, Sultan Hamengku Buwono IX tetap memainkan peran penting. Misalnya, ia menjadi salah satu anggota delegasi Indonesia dalam Perundingan Roem-Royen, setelah Serangan Umum 1 Maret 1949.

Sultan juga berinisiatif mengembalikan ibu kota ke Yogyakarta dengan menemui Sukarno di Bangka. Dalam pertemuan itu, Sultan meminta Sukarno menandatangani mandat pemberian kekuasaan penuh untuk menjalankan pemerintahan kepada dirinya, setelah Belanda pergi dari Yogya. Sukarno menuruti permintaan Sultan dengan menuliskan surat mandat tanggal 1 Mei 1949. Dalam surat itu, sebagai presiden dan panglima perang tertinggi, Sukarno memberikan kekuasaan penuh kepada Hamengku Buwono IX, yang saat itu menjabat Menteri Koordinator Pertahanan atau Koordinator Keamanan Dalam Negeri.

Untuk mencegah kekacauan akibat kekosongan pemerintahan, Sultan mengumumkan pemberian mandat itu melalui siaran radio pada 30 Juni 1949, dua hari setelah pasukan Belanda angkat kaki dari Yogyakarta. "Beliau memberi nama pengumuman itu proklamasi," ujar Romo Turin. Namun Sultan tak berlama-lama memegang mandat tersebut. Pada 6 Juli 1949, Hamengku Buwono IX mengembalikan kekuasaan pemerintahan kepada Sukarno dan Hatta setelah proklamator kemerdekaan Indonesia itu kembali dari Bangka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus