Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyokong Kaum Republiken

Lima tahun setelah meneken pernyataan ketaatan kepada penjajah Belanda, Sultan Hamengku Buwono IX memunculkan jati diri dia sebagai nasionalis radikal. Sokongannya kepada Republik Indonesia tak sebatas pengakuan-dia berkukuh dari meja-meja perundingan hingga pelimpahan kedaulatan. Dua kali ibu kota negara pindah ke Yogyakarta demi keamanan para pemimpin. Harta kerajaan dia gelontorkan untuk menjamin pemerintahan yang masih orok. Semua ini dia lakukan tanpa gembar-gembor.

17 Agustus 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setia Di Belakang Dwitunggal

Hamengku Buwono IX hanya perlu tiga hari untuk menyatakan bergabungnya Yogyakarta ke Republik Indonesia. Bersandar pada ramalan Jayabaya.


Api kemerdekaan menjalar cepat ke Yogyakarta. Dua jam setelah Sukarno memaklumkan proklamasi-dan bendera Merah Putih berkibar di langit Pegangsaan Timur, Jakarta Pusat-Masjid Besar Yogyakarta mengumumkan kabar itu kepada jemaah salat Jumat. Petang harinya, Ki Hajar Dewantara mengerahkan guru dan murid Taman Siswa berpawai sepeda keliling kota seraya memekikkan "merdeka".

"Nah, ini yang kutunggu-tunggu," ujar Sultan Hamengku Buwono IX seperti tertulis di buku Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Sang Raja bergerak cepat. Telegram cepat dari Yogyakarta meluncur ke Jakarta. Melalui kawat itu, Sultan mengucapkan selamat atas terbentuknya Republik Indonesia kepada Sukarno, Mohammad Hatta, serta Ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Dr Radjiman Wedyodiningrat. Dua hari kemudian, datang telegram susulan yang menegaskan: Yogyakarta "sanggup berdiri di belakang pimpinan" mereka. Paku Alam VIII dari Yogyakarta pun mengikuti jejak sang Raja.

Guru besar sosiologi Universitas Indonesia Selo Soemardjan mengatakan itulah pertama kali kerajaan di Indonesia menerbitkan sikap politik bergabung dengan Republik Indonesia. Sebagai perbandingan, Sunan Pakubuwono XII dan Mangkunegara dari Surakarta, tetangga Yogyakarta, baru menyatakan bergabung pada 1 September 1945. Lalu, Sultan Hamid II dari Kesultanan Kadriyah Pontianak, sahabat Sultan, baru menyatakan taat pada Republik pada 27 Desember 1949.

Untuk seorang raja yang masih di bawah pemerintah jajahan, pernyataan Sri Sultan itu mengejutkan. John Monfries mencatat dalam A Prince in a Republic bahwa meski keok di Perang Dunia II, ancaman penjajah belumlah beres. Sisa-sisa pasukan Jepang masih tersebar. Dan Belanda, sebagai sekutu pemenang perang, bisa datang kapan saja lalu menagih kesetiaan Keraton yang diparaf Sultan saat dia dilantik lima tahun sebelumnya.

Sultan pada dasarnya tak banyak berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Indonesia masa awal. Dia cuma sekali bertemu Sukarno, ketika Bung Besar berkeliling Jawa-dengan sponsor Jepang. "Kalau Sultan mau mbalelo, misalnya dengan mendirikan negara sendiri, bisa saja," ujar sejarawan Rushdy Hoesein.

Apa yang membuat HB IX begitu cepat bergabung dengan Republik yang masih muda belia? Jawabannya, wisik alias bisikan batin. "Wisik adalah sumber dasar bagi saya," ujar Sultan dalam Tahta untuk Rakyat. "Saya percaya petunjuk nenek moyang itu benar dan harus saya ikuti."

Suara itu, menurut Sultan, membimbing dia menandatangani perjanjian dengan Belanda sebagai syarat pelantikannya pada 1940. Sultan meyakini ramalan Jayabaya itulah saatnya Indonesia merdeka. Prabu Jayabaya, Raja Kediri abad XII, menyatakan Nusantara akan dikuasai bangsa berkulit kuning dan berkaki pendek. Hanya seumur jagung, sesudah itu bebas. Deskripsi tersebut persis dengan keberadaan Jepang di bumi Nusantara, 1942-1945. "Maka orang akan mengerti sikap saya selama zaman Jepang dan lahirnya Republik Indonesia," ujar Sultan.

Dia menyelaraskan wisik tersebut dengan pemikiran dan persiapan.

Profesor Djoko Suryo, pakar sejarah Universitas Gadjah Mada, mengatakan keputusan bergabung itu tidak ujuk-ujuk diambil. Sultan menjalin komunikasi dengan Bendoro Pangeran Harya Purboyo dan BPH Bintoro, dua dari enam wakil Ngayogyakarta Hadiningrat di BPUPKI. "Saat kedua pangeran itu pulang, Sultan bersama semua abdi dalem mendengarkan kabar terkini sebagai oleh-oleh dari Jakarta," ujar Djoko. "Ada surat edarannya."

Pertemuan itu terjadi sekitar April 1945 di Bangsal Kesatrian Keraton. Seperti ditulis Sutaryo, guru besar Universitas Gadjah Mada, dalam Hamengku Buwono IX: Inspiring Prophetic Leader, para abdi dalem juga memberi masukan ke Jakarta lewat dua wakilnya mengenai bentuk, susunan, batas wilayah, perekonomian, dan pertahanan negara. "Jadi antisipasi menyongsong lahirnya Indonesia sudah disiapkan," Djoko menambahkan.

Pada 19 Agustus 1945, sekitar pukul 10.00, Sultan, waktu itu 33 tahun, menemui sekitar 100 wakil pemuda-dari kalangan agama, nasionalis, kepanduan, juga Cina-di Bangsal Kepatihan. Sutrisno Kutoyo melukiskan tampilan Raja Yogya itu lewat tulisan Sri Sultan Hamengku Buwono IX: Riwayat Hidup dan Perjuangan: mengenakan busana kejawen. Sultan mengabarkan soal proklamasi dan perubahan politik setelah 17 Agustus.

Sultan juga menyampaikan analisisnya tentang keamanan. Menurut dia, sebagai bangsa yang beratus-ratus tahun dijajah, akan ada luapan emosi saat merdeka. "Tetapi jangan nyerempet-nyerempet yang tidak perlu, yang bisa menimbulkan kerugian," katanya. Dia meminta para pemuda menjaga keamanan lingkungan masing-masing. "Jangan sampai terjadi kerusuhan." Setelah itu, di Yogyakarta bermunculan pos milisi. Semua bendera Jepang diturunkan dan diganti Merah Putih.

Pada 5 September, Sultan mengeluarkan amanat posisi Yogyakarta. Pertama, Ngayogyakarta Hadiningrat adalah kerajaan berwujud daerah istimewa Republik Indonesia. Kedua, Sultan adalah kepala daerah Yogyakarta. Ketiga, Sultan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Pada hari yang sama, Paku Alam VIII mengeluarkan pernyataan yang sama untuk kerajaannya. "Sejak hari itu, Kerajaan Yogyakarta dan Pakualaman sudah jadi satu, Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan Sultan sebagai kepala dan Pangeran Pakualam sebagai wakilnya," kata Selo Soemardjan dalam Perubahan Sosial di Yogyakarta.

Namun Selo, yang mendampingi Sultan sejak 1942 sampai akhir 1970-an, mengatakan tak semua perubahan di Yogyakarta berlangsung di bawah kendali Sang Raja. Misalnya peran Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah sebagai perpanjangan Komite Nasional Indonesia Pusat, yang terbentuk pada 29 Agustus 1945. Selo mengatakan KNI Yogyakarta dengan ketua Muhammad Saleh bergerak di luar komando Keraton. Padahal tugasnya amat vital, yaitu merebut kekuasaan militer dan politik dari Jepang. "Sehingga sikap tradisional 'tunggu perintah Sultan' sempat berubah jadi 'tunggu keputusan KNI'," ujarnya.

Sayang, waktu tunggu sering kelamaan. Hanya dalam dua bulan, personel KNI Yogyakarta menggemuk dari 32 jadi 83 orang, sehingga kehilangan kelincahan dalam mengambil keputusan. Maka, pada 29 Oktober, Sultan, bersama Pangeran Pakualam dan M. Saleh, memilih 19 anggota untuk membentuk badan pekerja yang kemudian menjadi legislatif.

Sehari kemudian Sultan menerbitkan pernyataan strategis: "Semua kekuasaan kolonial terdahulu-zaman Belanda dipegang gubernur dan zaman Jepang oleh gubernur militer-telah direbut rakyat dan diserahkan kepada saya."

Bendera Jepang terakhir berkibar di Yogyakarta pada 7 Oktober 1945. Pungkaslah sudah dua abad kekuasaan asing yang mencengkeram Kesultanan Yogyakarta-ataupun wilayah lain di Tanah Air-yang akhirnya berhasil menemukan identitas baru sebagai wilayah Republik Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus