Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TAHUN 2007 akan segera berlalu. Kondisi makroekonomi sepanjang tahun ini sudah menunjukkan banyak perbaikan. Target pertumbuhan ekonomi 6,3 persen tercapai. Inflasi dan nilai tukar rupiah cenderung stabil. Suku bunga acuan (BI Rate) bisa terus diturunkan dan ini mendorong perbankan menurunkan tingkat bunganya. Investasi meningkat. Kinerja ekspor yang bagus membuat cadangan devisa Indonesia relatif kuat. Situasi politik juga cukup stabil. Gangguan keamanan tidak banyak terjadi.
Gangguan justru lebih banyak datang dari luar. Harga minyak mentah di pasar dunia terus menanjak, terutama ketika mulai memasuki triwulan keempat. Selisih yang tipis antara pasokan dan permintaan, ditambah berbagai faktor geopolitik di sejumlah negara produsen yang masih memanas serta badai di Amerika, membuat harga minyak hampir menembus US$ 100 per barel. Ini angka tertinggi kedua sepanjang sejarah, di bawah harga pasca-Revolusi Iran pada awal 1980-an.
Sejauh ini, efek kenaikan harga minyak dunia itu masih bisa diatasi pemerintah. Anggaran memang terganggu karena naiknya subsidi bahan bakar minyak dan listrik lumayan drastis. Tapi, sebaliknya, kenaikan harga minyak juga membuat pendapatan pemerintah naik. Di kertas, dampak meroketnya harga minyak dunia itu akan bisa terkendali jika pemerintah mampu melakukan efisiensi di segala lini sekaligus menggenjot penerimaan negara.
Dunia usaha pun punya cara tersendiri untuk mengatasi masalah tersebut. Para pengusaha masih belum menaikkan harga. Mereka memilih memotong margin keuntungan meskipun dampak kenaikan harga minyak itu begitu terasa, terutama bagi industri yang banyak menggunakan energi seperti semen. Sebagian yang lain memilih mematikan genset dan mengalihkan listriknya ke PLN. Itu langkah cerdik untuk mendapatkan subsidi terselubung dari pemerintah, karena mereka harus mengeluarkan biaya tiga kali lebih besar ketimbang jika mereka membeli listrik dari PLN.
Namun, kita tidak tahu apa yang akan terjadi tahun depan. Sampai pertengahan Desember ini, harga minyak mentah dunia tetap berada di atas US$ 90 per barel dan tidak ada tanda-tanda bakal turun. Belahan utara dunia kini sedang memasuki musim dingin sampai triwulan pertama tahun depan. Dengan begitu, konsumsi minyak akan tetap tinggi dan harga kemungkinan belum akan turun. Artinya, kita berharap-harap cemas apakah pemerintah akan mampu bertahan menghadapi situasi buruk ini.
Memang, ada sejumlah langkah antisipatif yang sudah dilakukan. Pemerintah mulai memangkas permintaan BBM, antara lain dengan mengalihkan minyak tanah ke elpiji. Beberapa langkah lain sedang disiapkan, seperti membangun pembangkit listrik batu bara dan tenaga panas bumi, atau merancang program pembatasan premium bersubsidi. Di sisi produksi minyak, kini makin banyak perusahaan swasta yang ikut mengangkat sisa-sisa minyak di pertambangan bekas. Sederet langkah ini diharapkan mampu mengurangi beban tambahan akibat pengaruh eksternal tadi.
Masalahnya, sejauh manakah dunia usaha mampu mengatasi situasi serba sulit ini.
Sanggupkah mereka bertahan tanpa menaikkan harga? Sangat mungkin daya tahan dan cadangan napas mereka akan berakhir bersamaan dengan tutup tahun 2007. Artinya, ada kemungkinan mereka menaikkan harga barang atau mengurangi produksi untuk menekan biaya. Dua-duanya bakal menimbulkan efek yang sama: angka inflasi kemungkinan naik.
Jika itu yang terjadi, langkah Bank Indonesia boleh jadi akan sesuai dengan textbook: menaikkan suku bunga. Paling tidak, BI akan mengerem penurunan laju bunga acuan yang kini 8 persen. Kebijakan bank sentral tentu akan diikuti dunia perbankan. Ujungnya pun sudah bisa diperkirakan. Investasi akan tertahan, pembelian barang juga menurun, dan pada akhirnya perekonomian akan melambat.
Sesungguhnya, perlambatan inilah yang paling menakutkan. Perlambatan ekonomi berarti menurunnya kemampuan dunia usaha untuk menyerap tenaga kerja. Target pemerintah untuk menurunkan tingkat pengangguran menjadi 8-9 persen pada 2008 terancam tidak tercapai. Memang, Badan Pusat Statistik mencatat ada penurunan tingkat pengangguran pada 2007 menjadi 9,75 persen. Tapi jumlah penganggurnya tetap saja besar, yakni 10,55 juta orang.
Begitu pula dengan kemiskinan. Jika pengangguran tidak juga berkurang, kemiskinan akan sulit diturunkan. Penduduk miskin pada Februari 2007 memang turun hampir dua juta menjadi 37,2 juta keluarga (16,6 persen). Tapi, dalam situasi serba bergejolak di luaran tadi, berat bagi pemerintah jika tahun depan menargetkan bisa menurunkan tingkat kemiskinan sampai 15 persen.
Menilik pada 2007, sangat terlihat bahwa indikator ekonomi yang membaik ternyata tidak secara langsung bisa berimbas secara nyata dan mampu menekan angka pengangguran dan kemiskinan. Penurunan yang terjadi tidak terlalu signifikan. Pasalnya, sektor yang tumbuh adalah sektor jasa dan perdagangan yang tidak banyak menyerap tenaga kerja.
Industri manufaktur yang menyerap banyak tenaga kerja memang tumbuh. Hal itu bisa dilihat dari naiknya permintaan di sejumlah sektor seperti otomotif, elektronik, semen, dan juga konstruksi. Tapi permintaan pada tahun lalu toh belum bisa menyamai tahun 2005. Karena itulah, para penganggur yang bisa diserap juga tidak terlalu besar.
Maka, pemerintah harus mendorong sektor swasta agar mengambil porsi lebih besar dalam mempercepat laju perekonomian. Salah satu caranya adalah memacu perbankan untuk lebih banyak mengucurkan pinjaman ke dunia usaha. Tapi, dalam soal ini pun perbankan sebetulnya tak bisa sepenuhnya disalahkan. Pada kenyataannya, pinjaman yang tidak direalisasikan (undisbursed loan) makin besar. Pada tahun lalu, jumlahnya mencapai hampir Rp 190 triliun atau sekitar 25 persen dari total kredit.
Artinya, perbankan sebetulnya sudah berupaya mengucurkan kredit ke dunia usaha. Pertanyaannya, mengapa dunia usaha enggan memanfaatkan pinjaman yang diharapkan mampu menggerakkan roda perekonomian tersebut. Pemerintah mestinya mencari tahu apa yang sebetulnya terjadi dan mencarikan solusinya. Janganlah pemerintah cuma mencari kesalahan perbankan dan memaksa-maksa mereka mengucurkan kredit.
Peristiwa serupa juga terjadi di sejumlah daerah. Beberapa kali dinyatakan oleh para pejabat pemerintah soal besarnya dana pemerintah daerah yang disimpan di sertifikat Bank Indonesia (SBI). Jumlahnya diperkirakan sampai Rp 46,5 triliun. Angka ini setara dengan dua pertiga belanja modal pemerintah. Ini akibat para pejabat daerah yang maunya "main aman". Mending enak tidur dan duitnya disimpan di SBI yang sudah jelas untungnya ketimbang diputar lewat proyek tapi berisiko dijerat pasal korupsi.
Sikap mental seperti ini harus segera diubah. Pemerintah pusat harus mampu memotivasi daerah agar tak dilanda rasa takut berlebihan. Proyek pembangunan di daerah harus tetap berjalan, digerakkan serentak dengan pembenahan sistem administrasi dan kontrol yang profesional-sehingga tak selalu harus bermuara pada tindak pidana korupsi. Jumlah duit yang mandek itu lumayan besar. Jika digabungkan dengan pinjaman bank yang tak dicairkan sektor swasta tadi, jumlah itu niscaya lebih dari cukup untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi.
Selain itu, tahun ini juga memunculkan optimisme dalam soal investasi. Realisasi investasi, baik penanaman modal dalam negeri maupun asing, mencapai titik tertinggi dalam lima tahun terakhir. Paling tidak, hal ini menunjukkan mulai pulihnya kepercayaan investor terhadap pemerintah. Ada harapan-dan ini bukan mustahil terjadi-bahwa investasi bakal lebih tinggi lagi pada 2008.
Kabar baik ini sebetulnya bisa menjadi modal untuk menggenjot pertumbuhan tahun depan. Apalagi jika pemerintah bisa mendorong investasi tersebut ke sektor yang bisa menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar. Ditambah dengan proyek infrastruktur pemerintah di pusat dan daerah, paling tidak berbagai proyek baru atau perluasan milik swasta ini bisa menambah tingkat penyerapan tenaga kerja.
Tapi semua itu baru bisa terwujud jika pemerintah mampu mengelola dampak kenaikan harga minyak, tidak hanya dalam anggaran tapi juga dalam konteks perekonomian nasional. Jangan sampai anggaran negara saja yang aman dan kondisi makroekonominya bagus, tapi dunia usahanya, sektor mikronya, babak-belur. Masyarakat pun menderita. Kita bisa mengambil pelajaran pada 2005.
Situasi sekarang memang persis dengan dua tahun lalu. Ketika itu harga minyak naik sampai di kisaran US$ 60 per barel dan menyebabkan tekanan yang luar biasa terhadap anggaran. Ongkos subsidi naik sampai dua kali lipat. Pilihan kebijakan yang diambil adalah menaikkan harga BBM secara drastis. Dampaknya ternyata luar biasa. Perekonomian mandek. Kemiskinan dan pengangguran meningkat. Dan semua itu baru pulih tahun ini.
Tentu saja, kita tidak boleh mengulang kesalahan yang sama. Subsidi memang harus dihapus, terutama jika kebijakan itu hanya menguntungkan yang kaya. Tapi solusi ini tak bisa diterapkan secara drastis. Produksi minyak harus digenjot dan peluang untuk itu terbuka dengan adanya Blok Cepu di Jawa Tengah, misalnya. Tapi, yang lebih penting adalah mengelola sisi permintaan. Ini bisa dilakukan dengan dua cara: memangkas konsumsi BBM dan meningkatkan penggunaan energi alternatif.
Cara itu bukanlah satu-satunya obat yang cespleng, memang. Pembenahan struktural ini efeknya baru terasa dalam jangka panjang. Dan itu akan jauh lebih bermakna bagi kita sendiri serta anak cucu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo