Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berharap Cemas Minyak Loyo di 2008

Perekonomian tahun depan diyakini tumbuh lebih baik dari tahun ini. Tapi semuanya bergantung pada harga minyak dunia.

17 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat maraton berulang kali digelar di tempat berbeda selama sebulan terakhir. Kadang di Departemen Keuangan, di Departemen Energi, dan di kantor Wakil Presiden Jusuf Kalla. Agendanya jelas: menyiapkan berbagai langkah darurat jika harga minyak mentah di pasar dunia terus bertengger di atas US$ 80 per barel.

Pada kenyataannya harga minyak saat ini sudah jauh di atas angka tersebut. Pada Rabu lalu, harga minyak Light dan Brent untuk pengiriman Januari 2008 sudah di atas US$ 94. Dampaknya sudah pasti. Subsidi bahan bakar minyak (BBM) pada 2007 yang dianggarkan dalam APBN-P 2007 sebesar Rp 56,4 triliun bakal membengkak sampai di atas Rp 90 triliun. Target subsidi BBM tahun depan sebesar Rp 45,8 triliun kemungkinan juga akan terlewati.

Bukan hanya membebani subsidi, lonjakan harga minyak juga mengancam pencapaian target makroekonomi pemerintah, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan suku bunga. Padahal target-target itu ditujukan untuk memerangi pengangguran dan kemiskinan. Misalnya, ekonomi diharapkan tumbuh 6,8 persen, di atas 6,3 persen pada tahun ini, agar bisa menyerap tenaga kerja lebih banyak. Tapi, gara-gara harga minyak, bisa saja target itu meleset. Apalagi kalau tingginya harga minyak terus bertahan sepanjang 2008.

PERTUMBUHAN EKONOMI

SEMULA pemerintah optimistis melihat prospek pertumbuhan ekonomi 2008. Pemerintah mencanangkan pertumbuhan 6,8 persen. Sejumlah upaya disiapkan untuk menopang harapan tersebut. Mereka akan menggerojok puluhan triliun rupiah untuk proyek infrastruktur, menekan suku bunga, dan memperbaiki iklim investasi untuk memacu penanaman modal swasta, mendongkrak konsumsi domestik, serta menggenjot ekspor.

Namun berbagai lembaga riset dan keuangan rupanya tak seoptimistis pemerintah. Bank Pembangunan Asia (ADB), Standard Chartered Bank (SCB), dan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), juga Bank Negara Indonesia (BNI), memproyeksikan ekonomi hanya akan tumbuh 6,3 persen. Bahkan Credit Suisse First Boston (CSFB) lebih rendah lagi, yakni enam persen.

Menurut ADB, memang ada perbaikan dari sisi konsumsi domestik. Penurunan suku bunga hingga ke level 8 persen awal Desember serta perbaikan iklim investasi diyakini akan mendongkrak penanaman modal swasta. Apalagi ekspansi kredit perbankan 2008 ditargetkan 26 persen. Tapi ekonom Bank Dunia, William Wallace, memperingatkan sejumlah kendala siap menghadang ekonomi negeri ini tahun depan, yakni harga minyak dan melambatnya ekonomi global.

Jika harga minyak terus berada di level US$ 100 per barel, pemerintah sudah menyiapkan skenario kedua: pertumbuhan ekonomi dipangkas menjadi 6,4-6,7 persen. Artinya, kemampuan perekonomian menyerap tenaga kerja juga berkurang.

INFLASI

GEJOLAK harga minyak dunia sepertinya cuma ramai di media massa, pejabat, dan pakar. Di masyarakat kebanyakan, mereka tetap anteng-anteng saja. Tidak ada keresahan yang muncul akibat dari gonjang-ganjing emas hitam.

Hasil survei bulanan soal inflasi oleh Badan Pusat Statistik tidak merekam adanya gejolak di masyarakat. Sejauh ini, mereka tak merasakan adanya dampak lanjutan akibat kenaikan harga minyak dunia. "Itu hanya euforia," kata Kepala BPS Rusman Heriawan.

Harga solar industri memang melonjak hampir dua kali lipat dalam setahun ini menjadi Rp 8.000 per liter. Tapi Rusman memperkirakan dampaknya baru terasa tahun depan. Pengaruhnya terhadap inflasi pun sedikit karena ribuan usaha kecil tak memakai solar. "Yang berbahaya jika pemerintah menaikkan harga BBM serentak seperti pada 2005."

Sepanjang risiko subsidi ditanggung anggaran, ia melihat tak perlu ada kekhawatiran inflasi pada tahun depan. Ada yang dilupakan Rusman. Dunia usahalah yang sejauh ini mensubsidi masyarakat dengan tidak menaikkan harga dan sedikit menurunkan margin keuntungan. Selain itu, makin banyak perusahaan yang mematikan genset dan beralih ke PLN untuk meminimalkan dampak kenaikan harga minyak. Buntutnya, pemerintah juga yang akhirnya memberikan subsidi secara tidak langsung.

Tapi, jika dunia usaha sudah tak sanggup lagi, bukan tidak mungkin harga akan naik. Kondisi itulah yang dikhawatirkan Bank Indonesia. Bank sentral melihat kenaikan harga itu bakal memberikan tekanan terhadap inflasi tahun depan. Selain itu, masih ada faktor lain, yakni persepsi negatif pelaku ekonomi atas kesinambungan keuangan pemerintah serta gangguan pasokan dan distribusi barang kebutuhan pokok. Meski begitu, bank sentral masih yakin bisa mengendalikan inflasi di kisaran 5 persen + 1 persen.

SUKU BUNGA (BI RATE)

SINYAL baik meluncur dari kantor Bank Indonesia menjelang tutup tahun ini. Setelah empat bulan bertahan di level 8,25 persen, awal Desember lalu, Dewan Gubernur akhirnya menurunkan suku bunga acuan atau BI Rate menjadi 8 persen. Inilah kabar yang ditunggu-tunggu kalangan dunia usaha, juga pemerintah yang berambisi menggenjot ekspansi kredit perbankan 2008.

Tak bisa dimungkiri, penurunan BI Rate secara gradual sejak 17 bulan lalu telah memaksa suku bunga pinjaman turun. Kini level suku bunga cukup memikat kalangan bisnis dan perorangan, sehingga kredit investasi serta modal kerja dan konsumer melonjak drastis. Bayangkan, tahun ini kredit tumbuh 23 persen. Investasi swasta pun meningkat.

Tahun depan, pemerintah memasang target ambisius, BI Rate turun di kisaran 7,5 persen agar kredit bisa digenjot secara besar-besaran, sehingga target makroekonomi tercapai dengan bantuan swasta. "Suku bunga rendah akan mendorong investasi dan konsumsi domestik," kata Kepala Ekonom CSFB Mirza Adityaswara.

Sayangnya, perkembangan harga minyak membuat pemerintah sedikit kalang-kabut. Jika kondisi memburuk, Menteri Keuangan Sri Mulyani siap mengembalikan asumsi BI Rate ke level 8,5 persen. CSFB malah sudah menaikkan proyeksi BI Rate dari semula 7,5 persen menjadi 8 persen.

KURS RUPIAH

PASAR valuta asing kini bukan lagi jadi sasaran empuk spekulan. Mereka lebih banyak minggir dari transaksi valas karena kurs rupiah cenderung stabil dan memberi margin tipis. Para hedge fund juga tak lagi ngotot berburu rupiah lantaran suku bunganya tak jauh beda dengan mata uang lain.

Transaksi harian dolar AS memang masih cukup besar, rata-rata US$ 500 juta. Tapi, menurut praktisi pasar valas Pardi Kendy, itu lebih banyak dilakukan oleh kalangan perbankan, hedge fund, dan pengelola reksa dana. Selain ada yang bertujuan mencari margin jangka pendek, kebanyakan untuk kepentingan ekspor-impor atau pembayaran utang.

Tahun depan, kurs rupiah diperkirakan tak banyak bergejolak. Pemerintah dan BI memasang target kurs rata-rata di kisaran Rp 9.100 per dolar AS. Proyeksi ini mengacu pada perkiraan ekspor, aliran modal masuk, surplus neraca pembayaran, serta lonjakan cadangan devisa yang bisa mencapai US$ 72 miliar tahun depan.

Namun, jika gonjang-ganjing minyak berlanjut, Menteri Keuangan Sri Mulyani ancang-ancang merevisi proyeksi kurs menjadi Rp 9.200 per dolar AS. Sejumlah lembaga keuangan dan pemikir malah memproyeksikan kurs rupiah lebih buruk. CSFB memperkirakan kurs rupiah bisa tembus Rp 9.600 tahun depan. Sedangkan kurs rata-rata pada 2007 di angka Rp 9.100 dengan kencenderungan melemah di akhir tahun.

HARGA MINYAK

MINYAK adalah sumber energi paling dicari di muka bumi. Tak peduli di padang pasir yang gersang atau di tengah laut dalam, para pemburu siap mengeksplorasinya. Tak terkecuali di Indonesia, puluhan pebisnis terjun ke bisnis hulu migas tergiur oleh harganya yang membubung tinggi.

Pada pertengahan November lalu, harganya sempat mendekati US$ 100 per barel. Namun belakangan menurun kembali. Pada tahun depan, proyeksi harga rata-rata begitu beragam dari yang rendah di kisaran US$ 60 hingga yang paling berani di US$ 90 per barel.

Bank investasi dunia, Goldman Sachs, memperkirakan harga minyak tahun depan rata-rata US$ 85 per barel. Departemen Energi memproyeksikan US$ 80 per barel. Sedangkan CSFB lebih rendah lagi, US$ 70 per barel. Namun, kata ekonom BNI, Tony Prasetiantono, tak seorang pun yang berani meramalkan harga tak akan menembus US$ 100 per barel.

Kekhawatiran bahwa harga bisa menembus angka tersebut tak lepas dari lonjakan permintaan dunia. International Energy Agency (IEA) memperkirakan konsumsi minyak dunia tahun depan akan naik 1,4 juta barel dari posisi sekarang 85 juta barel per hari.

Meskipun produksi minyak juga bertambah, sulit meyakini harga akan turun pada tahun depan. Lihat saja pasar New York Rabu lalu ketika harga minyak tiba-tiba melonjak menjadi US$ 94. Pemicunya tak lain adalah informasi tentang turunnya cadangan bahan bakar minyak AS. Tipisnya margin produksi dan konsumsi minyak membuat harganya rentan bergejolak. n

Pertumbuhan Ekonomi (%)Harga Minyak (US$ per barel)Kurs Rupiah (Rp per US$)Inflasi (%)BI Rate (%)
APBN6,8609.10067,5
Bank Dunia6,472-6-
Indef6,3-9.3176,4-
SCB6,370--7,75
CSFB6,0709.6006,58,0
BNI6,3909.000-9.4006,57,5

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus