Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ABDUL A’la tak pernah bermimpi menjejakkan kaki di ”tanah yang dijanjikan” itu. Tapi, Ahad dua pekan lalu, peristiwa itulah yang terjadi. Dosen Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya itu berangkat dari kampungnya di Surabaya ke Jakarta, lalu terbang ke Israel.
Lulusan Pondok Pesantren Annuqayah di Guluk-Guluk, Sumenep, Madura itu berkunjung ke sana bersama sejumlah akademisi. Mereka adalah Syafiq Mughni (dosen Institut Agama Islam Negeri Sunan Ampel), Abdul Kadir (Universitas Islam Negeri Makassar), Badrun Alaina (Universitas Islam Negeri Yogyakarta), dan Nuryadi (Universitas Muhammadiyah Prof Hamka Jakarta).
Kiai Indonesia berkunjung ke Israel? Sebetulnya tak ada yang salah. Tapi tudingan sebagai ”antek” Zionis telanjur membayang di wajah mereka yang berangkat. Maklum saja, bagi kebanyakan muslim Indonesia, Israel adalah musuh besar karena dianggap telah merebut tanah Palestina. Hingga saat ini Indonesia belum membuka hubungan diplomatik dengan negara itu.
A’la, misalnya, semula enggan menyebut siapa saja rekan seperjalanannya. Syafiq Mughni juga terkesan malu-malu. Katanya, ia tak mau banyak bicara tentang perjalanan itu karena dia adalah Ketua Pengurus Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. ”Saya datang ke sana sebagai individu,” katanya.
Sebenarnya, Ketua Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur Ali Maschan Musa juga diundang. Namun Ali mengaku sibuk. Selain itu, ”Saya takut jika perjalanan ke Israel itu akan menyulut polemik di kalangan umat Islam,” katanya.
Apa pun alasannya, berangkatlah rombongan itu pada 2 Desember lalu dan kembali ke Tanah Air enam hari kemudian. Karena Indonesia belum memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, perjalanan dilakukan memutar. Dari Jakarta mereka terbang ke Amerika Serikat. Dari Amerika baru mereka balik arah ke Timur Tengah.
Di negeri Abang Sam tetek-bengek administrasi para tamu diurus. Demi alasan keamanan dan kenyamanan para tamu, kata A’la, paspor mereka tak ditempeli visa Israel. Tidak ada pula stempel kedutaan negara itu. Yang diminta petugas hanyalah pas foto terbaru para undangan yang dilekatkan di salah satu halaman paspor mereka. Di bandara internasional Tel Aviv, lima sekawan itu keluar melalui jalur tersendiri. ”Kami mendapat pengawalan khusus,” kata A’la.
ADALAH LibForAll Foundation yang menggagas perjalanan ini. Bertujuan mempromosikan kebebasan dan toleransi ke seluruh dunia, lembaga ini didirikan setelah tragedi WTC New York, September 2001, dan bom Bali I, Oktober 2002.
Berpusat di Winston-Salem, Carolina Utara, Amerika Serikat, LibForAll (singkatan dari Liberty For All) didirikan oleh Charles Holland Taylor. Di Indonesia badan ini menjadikan bekas Ketua Nahdlatul Ulama Abdurrahman Wahid sebagai pelindung dan penasihat senior. Adapun pimpinan Pondok Pesantren Raudlatuh Tholibin Rembang Mustofa Bisri sebagai dewan penasihat. Anggota dewan lainnya adalah Abdul Munir Mulkhan dan Amin Abdullah, keduanya tokoh Muhammadiyah. Selain itu, ada pula bekas Rektor UIN Azyumardi Azra, Romo Magnis Suseno, dan penyanyi Ahmad Dhani.
Adapun Holland Taylor adalah bekas petinggi USA Global Link, perusahaan telekomunikasi multinasional Amerika yang pada 1990-an pernah menjalin kerja sama dengan Indosat. Perkenalan Taylor dengan Indonesia terjadi pada dekade itu, ketika ia banyak mengurus bisnis telekomunikasi.
Pada 1998, Taylor keluar dari USA Global Link dan pindah ke Indonesia setahun kemudian. Di sini ia bekelana ke Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta untuk belajar sinkretisme Islam, Hindu, dan Buddha. Taylor tertarik tasawuf Islam-Jawa. Ia sering bersemadi di Parang Kusumo, Yogyakarta, dan biasa berpuasa mutih—puasa dengan menu buka yang hanya nasi dan air putih. Ia menjalankan banyak ibadah yang dilakukan penghayat kejawen.
Lahir dalam keluarga Moravia-Jerman yang hijrah ke Amerika pada abad ke-18, Taylor menampik tudingan bahwa ia agen Yahudi. ”Saya bukan Yahudi. Bahkan baru pertama kali ini saya ke Israel,” katanya. Taylor adalah juru antar bagi lima tamu yang bertandang ke Israel itu.
Meski juga memiliki perwakilan di Timur Tengah, Eropa, dan Asia, Ketua LibFor All ini lebih banyak bermukim di Indonesia. Pada Rabu pekan lalu, Taylor menerima Tempo di ruang kerjanya di lantai 22 Hotel Hyatt Jakarta—satu lantai dengan sebuah klub eksekutif. Semua pegawai di klub itu mengenal Taylor. Untuk menjangkau lantai itu, Taylor punya kunci lift sendiri. Dalam wawancara dengan Tempo, Taylor ditemani Hodri Ariev, Direktur Program LibForAll Indonesia. Hodri lulusan Pondok Pesantren Annuqayah, Sumenep, Madura.
Siapa penyandang dana LibForAll? Holland Taylor menyebut salah satunya adalah F. Borden Hanes J.R., wakil Ketua Bowen Hanes and Company, sebuah perusahaan investasi asal Amerika. Taylor sendiri menyumbangkan uangnya untuk lembaga ini. Setidaknya telah US$ 250 ribu ia habiskan untuk LibForAll.
DI Yerusalem, lima kiai itu diantar bertemu pemimpin moderat Yahudi. Mereka antara lain kepala para rabbi Tel Aviv, Meir Lau, dan Tzfaniah Drori. Yang terakhir ini adalah kepala rabbi di Kiryat Shemonah dan Rosh Yeshivah—semacam pesantren untuk Yahudi—yang bermukim di punggung bukit perbatasan Israel-Libanon. Selain itu, mereka juga menjadi tamu Syekh Mohammed Sulaimen Dajani, ulama Islam moderat yang tidak pro-Hamas maupun Fatah—dua faksi Islam penting dalam konflik di Palestina.
Dari kelompok Kristen para tamu mengunjungi The Eyani Lutheran Church in Jordan and Holy Land serta Uskup Munib A. Younan di Betlehem. Tak lupa, lima ulama Indonesia itu berdialog dengan Presiden Israel Shimon Peres.
Presiden dari Partai Kadima yang terpilih pada Juni 2007 itu menerima mereka selama satu setengah jam di Istana Presiden. ”Kami mengingatkan Peres bahwa masyarakat ingin damai. Karena itu, Islam, Yahudi, dan Kristen harus mencari titik temu,” kata A’la.
Menurut Taylor, lawatan itu penting karena dari 1,3 miliar umat Islam dunia, 190 juta di antaranya ada di Indonesia. Muslim Arab hanya 20 persen populasi umat Islam dunia.
Di lain pihak, kata Taylor, Barat cenderung mempersepsikan Islam sebagai penjahat dan teroris. Padahal Islam Indonesia menawarkan wajah yang lebih teduh. Taylor percaya, hubungan antara kekuatan masyarakat sipil di Indonesia dan Israel-Palestina akan mampu menebarkan benih perdamaian. Ia percaya, semua agama membawa kebenaran dan tidak satu pun yang mengajarkan berbuat zalim.
Menurut A’la, kunjungannya bersama rombongan untuk mengenalkan Islam Indonesia yang toleran dan cinta damai. Menurut Taylor, lima orang tamu Israel-Palestina tadi dipilih karena memiliki pemahaman Islam yang baik. Mereka dinilai menjunjung spiritualitas Islam yang tinggi, toleran, dan menghormati perbedaan.
AZ/Sunudyantoro, Rohman Taufiq (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo