SEKITAR 30 ribu kaum Gypsy berkumpul di Broyes-les-Pesemes, Perancis, 26 sampai 28 Agustus lalu. Acaranya: doa bersama. Berkumpulnya kaum Gypsy itu diprakarsai oleh Gereja Evangelis Tzigane. Itu bisa terlaksana setelah pihak militer Perancis meminjamkan areal seluas 70 hektar sebagai tempat kegiatan maupun untuk parkir puluhan ribu karavan. Bahkan militer juga membangun sarana pendukung seperti kantor pos, rumah sakit, air ledeng, dan pemadam kebakaran. Menurut Pastor Joseph Charpentier, pimpinan Gereja Evangelis Tzigane, orang Gypsy itu berkumpul untuk berdoa bersama agar memperoleh ''hidup'' dan ''terang''. Selain berdoa, juga dilakukan pembaptisan kudus pada orang-orang Gypsy yang selama ini belum beragama. Usai acara doa dan pembaptisan itu, perkampungan darurat itu dibuka untuk umum. ''Agar orang lain bisa melihat kami sebagaimana adanya,'' kata Charpentier. Mereka yang berkumpul itu bukan lagi Gypsy yang berkelana dengan kereta kuda maupun yang masih percaya pada kekuatan arwah nenek moyangnya. Sementara awal Agustus lalu, di Sibiu, Rumania, berlangsung penobatan Raja Gypsy. Yang dinobatkan adalah Iulian Radulescu. Penobatan itu memang tidak jadi berita besar di dunia internasional. Hanya ada berita setengah kolom di majalah Time, dengan foto Radulescu mengenakan mahkota yang terbuat dari 40 koin emas. ''Itu penobatan tidak resmi,'' kata Ion Buzatu, konsuler di Kedutaan Besar Rumania, Jakarta. Penobatan berlangsung di luar Katedral Ortodoks setelah pemberkatan perkawinan Radulescu dengan Veroleana, ibu dari empat anak Radulescu. Dan ia, rupanya, bukan satu-satunya Raja Gypsy. Sebelumnya sudah ada Ion Cioaba yang menyatakan diri sebagai Raja dari Semua Gypsy. Tetapi memang semua orang Gypsy bisa saja menjadi Raja Gypsy asalkan ia punya pengikut dan diangkat oleh pengikutnya. Dalam sejarah kehidupan Gypsy memang tidak pernah ada Raja Gypsy yang diterima oleh semua orang Gypsy. Kongres Internasional Gypsy yang diselenggarakan selama ini, antara lain, di London, Munich, Moskow, Bukarest, Sofia, Rowne, Roma, hanya sekadar membahas nasib orang Gypsy di seluruh dunia. Bukan memilih pemimpin ''umat'' Gypsy. Di akhir abad XX ini, nasib orang Gypsy masih belum jelas. Orang tetap menempatkan mereka sebagai masyarakat terbelakang yang hidup nomaden, yang hak-haknya tidak bisa dijamin. Padahal, sejak Perang Dunia II usai, Gypsy di daratan Eropa sudah memperjuangkan adanya suatu pengakuan Gypsy sebagai bangsa minoritas. Pengakuan itu perlu agar mereka tidak mendapat perlakuan sebagai manusia kelas dua lagi, yang bisa dihina seenaknya. Itu jelas tuntutan yang tidak mudah. Gypsy memang tidak pernah punya wilayah pendudukan karena tradisi nomaden yang sampai saat ini masih dipertahankan oleh sebagian besar Gypsy. Padahal suatu bangsa jelas perlu diikat oleh suatu batas-batas wilayah. Itu sebabnya mereka mulai maju dengan tuntutan baru yang lebih realistis. Konferensi Internasional Gypsy di Roma tahun 1992 menuntut pengakuan Gypsy sebagai minoritas etnik yang internasional. Artinya, mereka menjadi sebuah bangsa yang tak punya batas-batas wilayah. Jadi, mereka boleh saja tinggal di suatu daerah tanpa terikat pada peraturan di wilayah itu, dan boleh melintas batas negara tanpa aturan imigrasi. Gagasan itu -- yang terasa aneh untuk masyarakat modern -- rupanya menguap begitu saja, tanpa pernah jadi perhatian dunia internasional. Agaknya, sudah jadi nasib kaum Gypsy untuk tetap dianggap sebagai orang yang memilih hidup sebagai gelandangan karena kemalasannya dan sebab-sebab lain. Bahkan, pada Perang Dunia II, Hitler sempat membasmi Gypsy yang dianggap tak punya hak untuk hidup karena tak punya wilayah. Ia lancarkan program pembersihan Gypsy seperti yang dilakukan pada orang Yahudi. Diperkirakan Nazi berhasil membantai 500.000 orang Gypsy yang berada di Rumania, Hungaria, Polandia, dan Cekoslavakia. Sayangnya, berbeda dengan orang Yahudi yang segera mendapat simpati dunia internasional, Gypsy justru tetap terpuruk sebagai kelompok masyarakat kelas bawah. Usai Perang Dunia II, hampir semua negara di Eropa mencoba mengusir Gypsy dari wilayah mereka. Namun, karakternya yang berpindah-pindah membuat orang Gypsy selalu datang lagi karena mereka hanya bisa berputar-putar saja dari satu negara ke negara lain di daratan Eropa. Pemerintah di negara Eropa pun tak bisa berkutik dan hanya mampu memberlakukan aturan-aturan khusus bagi orang Gypsy. Di Perancis, misalnya, orang Gypsy dilarang mendirikan tenda- tenda di sembarang tempat. Di mana pun mereka tinggal untuk sementara waktu, selalu berada di bawah pengawasan polisi. Belakangan, walaupun Gypsy tak mempunyai hak seperti warga negara lainnya, pemerintah Perancis juga mengenakan pajak dan wajib militer bagi orang Gypsy. Beberapa negara di Eropa Timur mencoba melaksanakan program pemukiman Gypsy, tetapi mereka masih dianggap kaum paria yang jadi beban negara saja. Orang Gypsy praktis hanya bisa diterima di Wales dan Spanyol walaupun tetap saja belum bisa berasimilasi secara penuh. Nasib orang Gypsy di daratan Eropa memang cukup menyedihkan. Dan hancurnya komunisme di Eropa Timur membuat tekanan pada orang Gypsy semakin besar saja. Kesulitan ekonomi di blok Timur membuat Gypsy, sebagai kelompok masyarakat yang paling miskin, jadi kelompok yang paling mudah diserang atau jadi sasaran kemarahan orang. Mereka pun berbondong-bondong menyeberang ke blok Barat, khususnya ke Jerman yang membuka pintu bagi pengungsi. Tahun 1992 yang lalu, diperkirakan 350.000 pengungsi Gypsy dari Rumania masuk ke Jerman. Padahal Rumania sebenarnya bisa dikategorikan sebagai negara yang paling memperhatikan Gypsy. Di Rumania, menurut Ion Buzatu, ada Dewan Minoritas di bawah Departemen Luar Negeri yang melancarkan program pemukiman Gypsy. Namun, kekacauan di Rumania telah membuat orang-orang Gypsy, yang jumlahnya mencapai dua juta jiwa, bukan lagi sahabat lama. Bulan April 1992, misalnya, sekitar 45 rumah orang Gypsy yang sudah tinggal menetap di Bukarest dibakar oleh penduduk setempat. Di daerah pedesaan, orang-orang Gypsy kembali diusir dari satu tempat ke tempat lain. Selama empat dekade, pemerintah komunis Rumania rupanya tidak banyak melakukan program yang mengangkat harkat martabat orang Gypsy. Yang dilakukan pemerintah komunis Rumania hanya sebatas pemaksaan untuk bermukim tetap, tetapi bahasa dan kesenian mereka dilarang oleh Ceausescu. Itu adalah bagian dari program nasionalisme Rumania yang menentang kehadiran kelompok minoritas. Jadi, walaupun sudah bermukim tetap, Gypsy tetap saja ribut karena ingin mempertahankan identitas mereka, yang akhirnya menimbulkan konflik dengan penguasa setempat. Para pemimpin Gypsy berharap pengganti Ceausescu, Ion Iliescu, akan memberi perhatian lebih besar, dan mereka mendukung Iliescu dalam pemilihan presiden. Tetapi hanya dalam beberapa bulan setelah pemilihan umum, Gypsy sudah jadi sasaran serangan buruh-buruh tambang pendukung Iliescu yang sengaja dipanggil ke Bukarest untuk mengamankan demonstrasi Gypsy. Negara tetangga Rumania, Bulgaria, memiliki Gypsy yang lebih sedikit, tetapi dengan tekanan ekonomi dan politik yang sama saja. Di sana perampokan pada kaum Gypsy sering membuat ratusan orang Gypsy kehilangan tempat tinggal. Kesan bahwa orang Gypsy hanya mencuri hak-hak warga setempat memang sudah sempat berkembang. Di utara Polandia, bulan Juli 1992, penduduk kampung Mlawa menjarah gedung komunitas Gypsy. Di Ceko, pada musim panas 1992, sekelompok pemuda Skin Heads menyerang rumah orang Gypsy dan jatuh 12 korban jiwa. Pada bulan Oktober, sekitar 150 orang berkumpul di Istana di Praha dan berhasil membuat Penasihat Senior Presiden berjanji membentuk komisi untuk menyelidiki kasus itu. Namun, ternyata tak ada tindak lanjut dari komisi itu. Tekanan atas kaum Gypsy makin kuat ketika gelombang Gypsy dari Rumania dan Bulgaria mengungsi ke Eropa Barat dengan melintasi Polandia, Hungaria, Ceko untuk masuk ke Jerman. Ketika perbatasan dibuka, penduduk Warsawa dan Cracow, yang tidak terlalu makmur, terkejut melihat kemiskinan para pendatang ini. Namun, perasaan terharu dengan cepat berubah jadi kejengkelan. Orang Gypsy bukan mendapat bantuan, tapi malah diusir secepatnya. Di Hungaria dan Ceko, kriminalitas makin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah orang Gypsy yang datang. Keadaan itu memperkuat tradisi lama bahwa Gypsy adalah pencuri, pengemis, dan pengganggu. Perang di Yugoslavia juga membuat gelombang pengungsi Gypsy makin meningkat mengingat ada sekitar satu juta orang Gypsy tinggal di Yugoslavia. Sekitar 150.000 sampai 200.000 orang Gypsy asal Yugoslavia mengungsi ke Italia. Dan, seperti biasanya, makin besar jumlah mereka, makin besar pula kebencian terhadap mereka. Budaya Hungaria dan Spanyol, khususnya musik, yang sangat dipengaruhi oleh Gypsy tak menolong nasib orang Gypsy. Di dua negara itu, Gypsy adalah kelompok yang nasibnya paling jelek, dengan tingkat buta huruf yang paling tinggi dan tingkat kematian bayi yang tinggi pula. Walaupun banyak orang Gypsy di Spanyol yang sekarang sudah tinggal menetap, mereka masih saja punya kecenderungan untuk terperangkap kembali ke lingkaran kemiskinan dan kriminalitas yang akhirnya menimbulkan kekejaman dari masyarakat setempat. Hal yang sama juga terjadi pada sekitar 800.000 Gypsy di Hungaria. *** Tak ada perkiraan yang pasti berapa jumlah orang Gypsy yang saat ini tersebar di seluruh dunia. Sifat migrasi Gypsy, dan tak adanya sensus resmi, serta penggolongan mereka yang masuk ke dalam masyrakat nomaden lainnya bersama-sama dengan etnis nomaden lain, membuat penghitungan tentang orang Gypsy tidak mudah. Namun, diperkirakan jumlah orang Gypsy di dunia ini sekitar tiga juta. Gypsy biasanya menyebut diri mereka sebagai rom, yang artinya laki-laki atau suami. Mereka berasal dari daratan India, yang menyeberang ke Persia pada abad XI. Dari sana mereka mulai menyebar ke daratan Eropa lainnya, dan diperkirakan pada abad XIV sudah banyak ditemui di Eropa Tenggara. Pada abad XV mereka mulai memasuki Eropa Barat, dan pada abad XX Gypsy sudah mulai terlihat di Amerika Utara, Amerika Selatan, maupun Australia. Penyebaran itu karena tradisi nomaden Gypsy yang tak mengenal batas-batas. Sebagai kelompok yang tidak punya tempat tinggal menetap, Gypsy biasanya selalu jadi kambing hitam sebagai masyarakat pencuri. Sebaliknya, orang Gypsy pun menyebut orang lain dengan gadje, yang artinya orang kampung dengan konotasi merendahkan. Memang ada pandangan di antara orang Gypsy bahwa mereka adalah kelompok masyarakat yang paling menikmati kebebasan serta menjalani hari-harinya dengan senang dan penuh gairah. Tak ada pekerjaan tetap, tapi tak pernah kelaparan. Itu kata mereka. Bagaimanapun, bagi masyarakat yang sudah mapan, Gypsy tetap dianggap sebagai gelandangan. Perbedaan pandangan itu yang membuat kontak orang Gypsy dengan orang lain sering menimbulkan konflik. Gypsy tak mau mengikuti aturan yang dibuat gadje, sebaliknya orang juga tak mau hidup berdampingan dengan rom. Biasanya Gypsy hidup dalam kelompok sepuluh sampai ratusan keluarga. Kelompok itu selalu punya seorang pemimpin atau disebut voivode, yang bertugas menentukan tujuan perjalanan, bendahara kelompok, maupun sebagai wakil kelompok untuk berhubungan dengan para gadje. Bagi Gypsy diperlukan wakil untuk melakukan hubungan dengan orang lain karena bahasa Romani orang Gypsy adalah bahasa kuno yang sangat eksklusif, yang hanya digunakan di kalangan orang Gypsy. Dalam mengambil putusan-putusan penting, pemimpin minta nasihat dari orang-orang tua di kelompok. Ada sebuah lembaga yang mereka sebut dengan nama kris, yang merupakan badan pengadilan bagi orang-orang Gypsy yang dianggap melakukan kesalahan. Biasanya hukuman yang jatuh pada orang Gypsy berupa denda makanan dan minuman. Untuk putusan yang berhubungan dengan wanita dan anak-anak, pemimpin berkonsultasi dengan phuri dai, yakni wanita yang paling tua dalam kelompok. Untuk mencari nafkah di tempat tinggal sementaranya, orang Gypsy menjual ternak, atau sebagai pelatih binatang, tukang patri, dan pemusik. Sebelum pengobatan hewan berkembang, banyak orang yang minta petunjuk kepada Gypsy untuk mengobati hewan yang sakit. Dahulu orang Gypsy terkenal sebagai pengumpul panci-panci maupun barang-barang logam lain yang sudah rusak untuk diperbaiki kembali. Di samping pekerjaan yang butuh keterampilan di atas, Gypsy juga sering menyewakan kudanya kepada orang lain untuk hiburan dengan bayaran beberapa keping uang. Dalam perjalanan menyusuri pantai, mereka juga sering menyewakan caravan untuk tempat ganti atau mengubahnya sedikit sehingga bisa disewakan sebagai kamar mandi bagi pengunjung pantai. Belakangan, tak sedikit pula orang Gypsy yang mengemis, selain lantaran malas karena memang tak ada yang dikerjakan. Menurut Silvester Gordon Boswell, orang Gypsy yang menulis buku The Book of Boswell, Autobiography of a Gypsy, pekerjaan mengemis pertama kali dilakukan oleh orang Gypsy secara tidak sengaja. Waktu itu, kata Boswell, tahun 1889 di pantai dekat Liverpool, Inggris, ia, yang masih berusia empat tahun, sedang bermain-main dengan adiknya yang patah kaki di atas sebilah papan beroda. Ternyata, banyak orang yang memberi beberapa penny pada mereka. Sejak saat itu mereka tahu bahwa kaki yang patah ternyata bisa memancing simpati orang lain, dan menghasilkan beberapa penny. Wanita Gypsy terkenal sebagai juru ramal, penjual obat-obatan, dan sebagai penghibur di acara-acara keramaian. Tak ada alasan kuat yang bisa menjelaskan mengapa wanita Gypsy punya kemampuan meramal. Agaknya, itu bersumber dari kepercayaan terhadap arwah pendahulu yang sudah mati. Walaupun mengakui adanya satu Tuhan atau Del, mereka menempatkan Tuhan di alam kosmis yang tidak berhubungan dengan dunia. Untuk urusan dunia, mereka lebih percaya pada arwah nenek moyang yang sudah tidak terikat pada ruang dan waktu lagi. Bagi orang Gypsy, orang-orang yang sudah meninggal tetap bisa menjalin hubungan dengan dunia nyata. Mereka percaya, arwah orang Gypsy bisa memberi hukuman pada orang hidup yang melakukan kesalahan dengan menurunkan penyakit tertentu atau lewat serangan ular berbisa. Namun, sebaliknya, arwah itu juga bisa membantu mereka melawan para gadje, antara lain, dengan melihat masa depan lewat mata arwah. Mungkin karena itu banyak orang Gypsy dipercaya sebagai peramal. *** Ada tiga kelompok besar di Gypsy, yang ditentukan atas perbedaan budaya dan dialek masing-masing. Yang pertama adalah Kalderash, yang berasal dari bahasa Rumania caldera berarti ceret. Kelompok ini, sesuai dengan namanya, terkenal sebagai pembuat ceret. Kelompok ini sekarang banyak ditemukan di daerah Balkan maupun Eropa Tengah. Lalu ada kelompok Gitanos, yang ditemukan di Perancis, Spanyol, Portugal, dan Afrika Utara. Orang-orang Gitanos, bahasa Spanyol yang artinya Gypsy, terkenal dengan seni dan hiburannya. Mereka inilah ''pemilik asli'' tarian flamengo yang kemudian diserap oleh tarian Spanyol. Lalu kelompok Manush atau Sinti, banyak terdapat di Perancis, Alsace, dan Jerman. Kelompok ini sering berpindah-pindah sebagai orang sirkus. Nama Sinti diduga berasal dari Zind, sebuah sungai yang terletak di India Utara, yang konon merupakan daerah asal Gypsy. Masing-masing dari kelompok besar ini terbagi lagi dalam dua atau lebih sub-kelompok atas dasar keahliannya yang lebih spesifik atau asal daerah, atau kedua-duanya. Dan akhirnya kelompok-kelompok itu terbagi-bagi lagi dalam unit-unit kecil yang biasanya paling banyak terdiri dari 10 keluarga. Saat ini memang tak banyak lagi Gypsy yang bergerak dalam kelompok ratusan keluarga. Keluarga Gypsy terdiri dari pasangan suami-istri, anak-anak mereka yang belum kawin, dan paling sedikit satu anak laki-laki yang sudah kawin bersama istri dan anaknya. Biasanya setelah perkawinan, pasangan Gypsy tinggal bersama keluarga suami dengan tujuan istri bisa belajar cara hidup kelompok suaminya, dan meneruskan cara hidup itu di keluarganya nanti setelah hidup terpisah. Pada saat anak yang tertua meninggalkan keluarga orang tua, anak yang lebih muda sudah siap untuk kawin dan membawa istrinya ke dalam keluarga. Perkawinan orang Gypsy adalah perkawinan yang direncanakan oleh orang yang lebih tua walaupun tradisi itu sudah mulai kendur pada akhir abad XX ini. Tujuannya adalah memperkuat hubungan antarkeluarga, antarkelompok, ataupun antarsuku. Namun, mereka tak menginginkan perkawinan dalam suatu keluarga yang masih punya hubungan darah. Tiap perkawinan, sampai sekarang, masih membutuhkan pembayaran maskawin dari orang tua pengantin pria kepada orang tua pengantin wanita. Konon, tradisi nomaden orang Gypsy berhubungan dengan perkawinan anak-anak mereka juga. Para orang tua berkeliling untuk mencari pasangan bagi anak-anaknya. Tapi sebenarnya tak jelas betul apa yang membuat banyak orang Gyspy masih tetap bertahan pada tradisi nomaden hingga saat ini. Tradisi nomaden itu tak lepas juga walaupun kehidupan modern sudah mulai melanda orang Gypsy. Bedanya, perjalanan sudah mulai menggunakan mobil penumpang, truk, dan trailer, bukan lagi dengan kuda dan kereta kayu. Karena masih banyak orang Gypsy yang hidup nomaden, banyak pula nilai dan budaya yang masih dipertahankan sampai sekarang. Perkawinan, misalnya, tak selalu diberkati di gereja walupun banyak orang Gypsy yang sudah dibaptiskan sebagai pengikut agama Pentakosta maupun Katolik. Budaya lain yang masih bertahan adalah bahasa Romani. Namun, ada gejala bahasa itu mulai hilang karena memang bukan merupakan bahasa tulisan. Tentu saja mereka tak bisa bertahan menentang kompromi melawan gaya hidup para gadje. Adanya produk-produk modern dengan bahan stainless steel jelas membuat para tukang patri Gypsy tidak terpakai lagi, sehingga banyak orang Gypsy yang menemukan pekerjaan baru di bengkel-bengkel mobil. Selain itu, mereka juga mulai terbuka untuk pekerjaan yang selama ini dianggap hanya untuk gadje seperti operator telepon, petugas pembersih, dan pekerjaan lain yang tidak membutuhkan banyak keterampilan. Wanita Gypsy juga makin sering terlihat di acara-acara keramaian, menawarkan keahlian meramalnya. *** (Berikut ini adalah kutipan dari The Book of Boswell, Autobiography of a Gypsy.) Namaku adalah Silvester Gordon Boswell, putra Trafalgar Boswell. Ayah meninggal di Spalding, Lincolnshire, Inggris, pada umur 94 tahun dan dikuburkan di samping makam Ibu, Athaliah, yang meninggal Agustus 1920. Aku adalah cucu Silvester Boswell, yang lebih dikenal dengan panggilan Wester, yang disebut berulang-ulang oleh penulis buku tentang Romani dan bahasa Romani. Ayah memberiku medali yang diberikan pada Wester Boswell pada Tahun Baru 1875. Di sebelahnya terbaca ''Wester Boswell, Ahli Tata Bahasa Kuno Gypsy'' dan di sisi yang lain ada tulisan dalam bahasa Romani yang artinya sama: Westarus Boshanok, Jinomeskro, Trustal o Poorokono Romanes. Kakek buyutku adalah Tyso Noname (maksudnya ''tidak bernama'') Boswell. Ketika masih bayi, ia dibawa ibunya untuk dibaptis di gereja, dan pendeta bertanya nama apa yang ingin diberikan pada putranya itu. Ia menjawab Tyso Yesus Boswell. Setelah dijelaskan bahwa nama itu tak boleh digunakan sembarangan, ia menjawab ''sebaiknya tidak ada nama lain, Tyso Noname Boswell''. Pada zaman nenek moyangku hidup, satu-satunya transportasi yang tersedia adalah keledai dan kuda. Mereka hidup di tenda-tenda, dan kalau mereka kembali berkelana tenda-tenda itu diikat dan diletakkan ke punggung keledai dan kuda. Barang-barang kecil lainnya ditaruh di atas kepalanya. Pada waktu itu cara hidup mereka adalah sebagai tukang besi, pemukul tembaga, pembuat keranjang, maupun sebagai tukang gerinda. Ketika Tyso sudah kawin dan punya keluarga sendiri ia berkelana keliling Portsmouth, Inggris. Ia bersama Edward Heron kemudian diwajibkan bergabung dengan militer. Aku tak tahu apakah mereka tinggal di barak pada waktu pendidikan atau tidak, tetapi istri dan anak-anak mereka diizinkan tinggal di sekitar barak dengan tenda dan kuda-kuda mereka. Waktu itu pemerintah bertanggung jawab untuk memelihara keluarga wajib militer. Saat itulah kakekku, Silvester Boswell, menerima pelajaran pertamanya. Ia adalah orang Gypsy pertama yang mendapat pendidikan. Dan rupanya pendidikan itu sangat menarik perhatiannya hingga ia akhirnya bisa disebut sebagai ahli tata bahasa kuno Romani. Pada waktu itu ada dua kali terjadi pencurian kuda dan dua orang yang dituduh diasingkan ke Australia dan Amerika. Pencuri pertama, yang baru saja kawin, kembali ke Inggris ketika sudah tua dan berkelana di seluruh daratan Inggris untuk mencari istrinya. Ia berhasil menemukan istrinya di South Shore, Blackpool, tempat perhentian orang Gypsy yang terkenal. Pasangan itu kemudian tinggal untuk menghabiskan sisa hidup mereka. Rupanya, istrinya tetap setia menunggu selama suaminya menjalani hukuman bertahun-tahun di Australia. Orang yang dikirim ke Amerika malah bertemu dengan abangku yang pergi ke Kanada pada tahun 1902. Waktu itu dari Kanada, abangku menyeberang ke Amerika. Menurut cerita ayah dan kakekku, kami percaya bahwa ketika Yesus Kristus disalib bersama-sama dengan dua orang pencuri, adalah orang Gypsy yang diminta membuat paku untuk menyalib Yesus dan dua pencuri itu. Kemudian orang Gypsy sadar bahwa paku yang mereka buat itu akan digunakan untuk menyalib Yesus, dan mereka hanya menyerahkan tiga paku. Salah satu dari orang Gypsy berhasil melarikan paku yang mestinya dipukulkan ke jantung Yesus Kristus. Orang Yahudi mencari-cari paku yang satu itu, dan menyiksa semua orang Gypsy yang ditemukan. Dan ketika orang Yahudi berhasil menemukan paku itu, mereka sudah sadar bahwa itu merupakan tindakan yang baik. Itulah cerita yang aku dengar. *** (Berikut ini adalah kehidupan Gypsy, yang sudah modern dan kaya tetapi tetap mempertahankan budaya mereka, di tengah-tengah lingkungan masyarakat biasa). Roh nenek moyang memberi peringatan pada Tina Marks. Ketika bangun, ia pun segera memanggil ayahnya, Jimmy Marks, dan menceritakan mimpi dipatuk ular. Itu merupakan pertanda buruk: ada bahaya besar. Peristiwa itu terjadi tujuh tahun yang lalu, tepatnya tanggal 18 Juni 1986, yang disebut sebagai Hari Kesusahan. Polisi menyerbu kediaman keluarga Marks di Spokane yang disebut sebagai biang pencuri, dan menemukan emas, intan, dan uang tunai sebanyak US$ 1,6 juta. Untuk pertama kalinya orang Gypsy tidak berdiam diri. Keluarga Mark menggugat lewat pemerintah federal dengan tuntutan sebesar US$ 40 juta. ''Kami adalah orang Amerika yang tersembunyi. Kami tidak dilihat, air mata kami tidak terlihat, tangisan kami tidak didengar. Ini merupakan sejarah bagi orang Gypsy, kami harus berjuang,'' kata Jimmy Marks pada majalah Life. Orang Gypsy pertama kali datang ke Amerika pada tahun 1860, dan kini diperkirakan jumlahnya sudah mencapai sekitar satu juta orang. Nenek moyang orang Gypsy di Amerika berasal dari budak yang lari dari daerah Balkan. Konon, orang-orang Amerika menyebut nenek moyang Jimmy dengan sebutan Marks karena ada luka di punggungnya. Tiba di Amerika mereka berkeliling mengikuti arus orang yang mencari emas. Ketika zaman pencarian emas sudah lewat, orang Gypsy tetap saja berkeliling melanglang buana. Baru pada tahun 1962, Grover Marks, ayah Jimmy, mulai tinggal menetap setelah membeli sebuah peternakan di Thor Road, Spokane. Setelah itu semakin banyak orang Gypsy yang bergabung di dekat rumah keluarga Marks. Tahun 1986 saja sudah ada 50 keluarga Gypsy di tempat Marks. Serangan atas rumah Marks berawal dari seorang anak yang mencoba menjual barang-barang perak pada Leppie Marks, seorang wanita tua Gypsy berusia 75 tahun. Anak kecil itu sudah berusaha sebanyak tiga kali untuk menjual barang-barang perak itu dengan harga US$ 10. Leppie menolak karena ia sebenarnya mengetahui barang perak itu adalah hasil curian. Namun, toh polisi masuk menyerbu rumah keluarga Marks tanpa surat perintah karena diduga di situ tersimpan benda-benda hasil curian. Tiga belas anggota keluarga Marks ikut digeledah. Hasilnya uang tunai dan sekitar 600 permata dari emas maupun intan yang beberapa di antaranya menurut polisi adalah hasil curian walaupun tidak ada bukti-bukti yang kuat. Belakangan, semua milik keluarga Marks yang sempat disita dikembalikan. Keluarga Marks tetap protes karena ada uang sebesar US$ 337.000 raib, tetapi yang lebih penting, seperti kata Jimmy, ''Ketika mereka mengambil permata kami, mereka juga mengambil keberuntungan kami.'' Maka, keluarga Marks segera mengajukan tuntutan yang sampai tahun 1992 lalu sudah berusia tujuh tahun dan mengorek kantong Marks perlahan-lahan sampai US$ satu juta. Sayang, tuntutan mereka digugurkan hakim, bahkan Leppie dan Jimmy terkena tindak pidana ringan, memiliki beberapa barang curian. Leppie kena denda US$ 50 dan Jimmy diganjar US$ 500. Itu membuat keluarga Marks sedih. Soalnya, kedatangan polisi yang tak diundang ke rumah mereka sudah mempermalukan keluarga Marks, apalagi polisi menggeledah tubuh mereka. Dalam keluarga Gypsy, tubuh telanjang tak boleh diperlihatkan secara terang- terangan, pada suami sekalipun. Bahkan handuk laki-laki dan wanita, yang langsung mengenai tubuh, dicuci secara terpisah. Karena itu, mereka jadi marah melihat polisi, yang menurut mereka adalah gadje yang menggerayangi tubuh mereka, makan dan minum dengan piring serta gelas mereka. Leppie sudah membuang semua piring dan gelas yang sempat digunakan polisi, tetapi mereka tetap merasa tercemar. Berdasarkan tradisi Gypsy, keluarga Marks akhirnya sudah jadi keluarga buangan. Walaupun merupakan keluarga pemimpin, masyarakat Gypsy mulai mengasingkan keluarga Marks. Mereka sudah tidak punya keberuntungan lagi karena sudah berhubungan fisik dengan gadje dan anak keluarga Marks tak bisa lagi kawin dengan anak Gypsy. Bukan hanya orang tua yang diasingkan, tapi juga anak-anak Jimmy jadi ejekan anak-anak Gypsy lainnya. Teman bermain dulu malah sekarang mengejek mereka sebagai Gypsy yang kotor. ''Mereka tidak pernah bertanya apa yang kami lakukan dan apa yang kami rasakan, tapi hanya berteriak supaya kami tinggal di rumah saja,'' kata anak Jimmy, Mikey, 16 tahun, yang selama enam tahun ini hidup dalam pengasingan. ''Aku berkembang seperti rumput liar,'' katanya. Mickey dan seorang saudara laki-laki lainnya tak bisa lagi memimpikan pesta perkawinan ala Gypsy yang meriah. Kalaupun mereka nanti berhasil merayu seorang wanita Gypsy, mereka harus kawin lari. Tak akan ada yang datang dalam pesta perkawinan bagi orang yang sudah terbuang. Bahkan, jika ada keluarga Marks yang meninggal, mereka terpaksa menyewa pengusung jenazah karena tak akan ada orang Gypsy mau terlibat dalam upacara penguburan orang ternista. Yang menyedihkan, Jimmy malah menderita tekanan mental yang hebat dan sudah dua kali mendapat perawatan di rumah sakit. ''Aku bisa saja menghadapi kematian, tapi tidak bisa menerima pengasingan ini,'' kata Jimmy. Suatu waktu empat mobil patroli polisi parkir di dekat rumah mereka, Jimmy segera panik memerintahkan semua anak masuk ke dalam rumah dan menelepon 911. Ia melaporkan anak-anaknya diculik. Padahal kehadiran mobil patroli itu sekadar untuk memperlancar lalu lintas yang kebetulan hari itu sedang ramai-ramainya. Kebencian terhadap polisi, rupanya, menyebar juga ke keluarga Gypsy lainnya setelah melihat pengalaman yang dialami keluarga Marks. Artinya, suatu waktu polisi bisa saja menyerbu masuk ke rumah mereka. Kecurigaan ini membuat polisi pun sulit berhubungan dengan orang Gypsy. ''Setiap kali kami ke sana, orang-orang Gypsy langsung menelepon kantor wali kota dan mengatakan kami mengganggu mereka,'' kata Kepala Polisi Spokane, Terrece Magnan. Namun, kini Jimmy sudah lebih tenang karena ia bermimpi didatangi nenek moyangnya. ''Mereka berkumpul di sekeliling api unggun dan kakekku mengatakan, 'Mari pergi ke Spokane. Keturunan kita di sana masih diganggu','' kata Jimmy. Air mata menetes di matanya ketika mengingat peristiwa tujuh tahun lalu. Memang, akhir 1992 lalu, Dewan Kota sudah mulai melakukan dengar pendapat untuk meninjau kasus itu. Paling tidak membicarakan ganti rugi kepada keluarga Marks. Jimmy berdoa agar keluarganya bisa hidup kembali dengan tenang. ''Kami percaya pada angka tiga dan enam -- Bapa, dan Putra, dan Roh Kudus,'' katanya. ''Dan enam tahun pertama sudah lewat sejak Hari Kesusahan.'' Liston P. Siregar, dari berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini