WANITA bukan saja makhluk lemah, tetapi sering juga berada di posisi lemah secara hukum. Adalah Hadijah Diana, 29 tahun, yang hari-hari ini harus bolak-balik ke kantor polisi. Wanita ini mengadukan bekas suaminya, Tadjuddin Ibrahim, 60 tahun, anggota DPRD Tingkat I Sulawesi Selatan dan Ketua PPP Ujungpandang, dengan sangkaan penganiayaan, penipuan data otentik, dan pemalsuan tanda tangan. Ini buntut dari perkawinan bawah tangan (kawin secara agama tanpa didaftarkan ke KUA), yang terjadi tiga tahun silam. Menurut Diana, ia mau menikah diam-diam karena sebelumnya Tadjuddin mengaku duda. Jadi, urusan pendaftaran ke KUA diselesaikan belakangan. Tapi prakteknya tak pernah didaftarkan. Diana baru tahu sebabnya karena ternyata pengusaha alat tulis itu masih punya istri sah dengan 13 anak. Meski ia akhirnya bersedia menjadi istri kedua, bahtera rumah tangga Diana sering oleng. Hampir tiap hari ia cekcok dengan suaminya. Ternyata Tadjuddin, menurut Diana, kesandung cewek lagi. ''Lebih muda dan cantik,'' kata ibu satu anak itu terus terang. Masih kata Diana, suaminya membawa cewek barunya itu menginap di rumahnya. ''Ketika saya protes, saya malah dipukul dan diusir,'' ujar alumni Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ujungpandang ini. Juni lampau Diana menuntut cerai. Dikabulkan. Tadjuddin menyerahkan kertas bersegel berisi pernyataan talak satu yang diam-diam sudah disiapkan sejak bulan April. Tentu saja Diana tersinggung. Diana menuntut harta gono-gini berupa rumah dan mobil. Tapi Tadjuddin berkata, ''Jangan harap dia bisa memperoleh tuntutannya. Rumah ini atas nama istri pertama.'' Lagi pula, ia tidak menikahi Diana menurut hukum positif. Kasus ini memang kemudian menjadi bahan diskusi hangat di kalangan praktisi hukum. Bisakah seorang istri yang dinikahi secara agama menuntut hak-haknya seperti halnya istri yang dinikahi menurut aturan UU Perkawinan? ''UU Perkawinan tidak mengenal istilah menikah di bawah tangan,'' kata pengacara senior Ujungpandang, Ilyas Amin. Jadi? ''Ya, karena perkawinannya saja dianggap tidak sah alias tidak ada, apanya yang mau dicerai?'' ujarnya lagi. Alhasil, tuntutan pembagian harta pun tak bakal kesampaian, sebab harta gono-gini hanya diatur dalam UU Perkawinan. Dalam Islam, kata Dekan Fakultas Syariah IAIN Alauddin Ujungpandang, Dr. Abdul Muin Salim, perkawinan sah apabila dilakukan orang tua mempelai wanita sebagai wali, ada pengantin laki-laki, dan dihadiri dua saksi. Bahkan jika tak ada izin dari istri pertama, asal persyaratan di atas dipenuhi, juga diakui. Yang jadi masalah, kata Muin, perkawinan semacam itu (bawah tangan) tidak mempunyai kekuatan hukum positif. Karena itulah, posisi wanita dalam perkawinan semacam ini amat lemah. Jadi, apa yang harus dilakukan untuk menuntut harta? ''Diana bisa mempidanakan dahulu bekas suaminya,'' kata Ilyas. Yakni, dengan dakwaan perzinaan dan pemalsuan data otentik. Bagaimana membuktikan perzinaan? Kata Ilyas, apabila selama bersebadan tidak terjadi transaksi pembayaran. Sehingga jelas yang ada di sini hanyalah janji-janji. Pemalsuan data otentik itu karena si suami mengaku duda mati tetapi sebetulnya masih beristri. Apabila dalam sidang terbukti dakwaan tersebut telah merusak harkat dan martabat si wanita, ia bisa masuk ke langkah berikutnya, yakni gugatan perdata. Karena itulah Diana kini sibuk untuk membuat pengaduan. Sri Pudyastuti R. (Ujungpandang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini