DI tengah laskar Qing yang berjubah warna-warni, seorang berkemeja, membawa corong suara, berteriak-teriak: "Perfavore, Silenzio" atau "Motore". Itu bahasa Italia. Ia memang Benardo Bertolucci, sutradara, penyair, dan konon seorang Marxis, yang tengah berada di Beijing, membikin The Last Emperor. Oleh teman-temannya ia disebut "seorang humanis dan sensualis". Orang yang melahirkan film-film yang memotret pahitnya nasib manusia, tapi juga yang bisa menyutradarai aktor mahal Marlon Brando untuk berseks di Last Tango in Paris (Ultimo Tangi a Parigi, 1972). Anak seorang penyair dan kritikus film yang juga guru kesenian ini percaya bahwa, "Film adalah bahasa puisi yang sebenarnya." Bertolucci lahir di Parma, Italia Utara, pada 16 Maret 1940, sebagai anak tertua dari dua bersaudara. Ia menghabiskan masa kecilnya di alam pedesaan Parma, sampai ayahnya membawanya ke Roma. Sebuah masa kecil yang menurut dia adalah "zaman keemasan". Masa yang digambarkannya sebagai, "sebuah rumah besar yang menyenangkan, pembantu-pembantu, orangtua yang penuh pengertian, dan pelajaran nilai-nilai intelektual." Dari ayahnya ia mewarisi bakat bersyair-syair dan membuat film. Lebih dari itu, "Dia membikin kami tahu kenyataan, mana yang buruk, mana yang indah," katanya tentang Atitilio Bertolucci, ayahnya. Sementara itu, dari ibunya, Bertolucci menyimpan semangat berpolitik. Pada kenyataan, atau kongkretnya pada dunia sekitar, remaja yang kemudian jadi sutradara ternama itu sangat peka. Pada usia 15 tahun ia memainkan kamera 16 mm, merekam adiknya sendiri dan dua saudara misannya. Itulah kisah anak-anak pedesaan, katanya suatu ketika. Pada usia belasan tahun itu pula ia rajin menulis puisi, kebanyakan tentang dunia kanak-kanak pedesaan. Enam tahun kemudian barulah ia terjun dalam pembuatan film sungguh-sungguh. Ia meninggalkan bangku kuliah, untuk menjadi asisten sutradara film Pier Paolo Pasolini, kawan ayahnya. Hasilnya, Accatone (1961) - sebuah film muram yang mengisahkan kehidupan dunia penjahat di Roma apa adanya. Sejak itu Bertolucci makin tergila-gila pada dunia film. Ia sempat ke Paris, mengunjungi Cinematheque Francaise belajar teknik pembuatan film, dari film sutradara besar Francois Truffaut dan Jean-Luc Godard. Namanya mulai dicatat setelah pada 1962 ia membikin film La commare seca (Malaikat Maut). Ini kisah pembunuhan pelacur di sebuah bank. Tapi Festival Film Venesia hanya mau mengulasnya sekilas, sementara filmnya itu sendiri tak juga mampu menangguk uang penonton. Baru film Bertolucci pada 1964, Prima della Revoluzione (Sebelum Revolusi) benar-benar menjadikan namanya kukuh di dunia film internasional. Festival Film Cannes, Prancis, memberi penghargaan film itu, dan disebut-sebut sebagai "seorang berbakat baru yang menjanjikan". Ketika itulah filmnya mulai mampu menembus Benua Amerika. Namun, tetap saja film bikinan Bertolucci membuat produsernya rugi. Bahkan kemudian ia kesulitan mendapatkan produser. Sebagai seorang yang realistis, Bertolucci lalu tak segan-segan mengerjakan film pesanan tentang penambangan minyak Iran oleh suatu perusahaan tambang Italia. Sebuah film dokumentasi yang diberinya judul La uia del petrolio. Ia juga terpaksa bekerja membantu kawan-kawannya. Di antaranya ikut menyusun skenario film Amerika, Once upon a Time in the West. Pada 1970, Bertolucci benar-benar maraih nama. The Conformist, sebuah film yang diangkat dari novel sastrawan besar Italia, Alberto Moravia, menjadikannya terpilih sebagai sutradara terbaik dari Fesffval Film New York. Lewat film itu pula Bertolucci lalu masuk nominasi sebagai peraih hadiah Oscar, walaupun tidak meraih kemenangan apa pun. Surat. kabar The New York Times waktu itu memuji film Bertolucci "sangat kaya, puitis, dan besar." Baru pada 1972, Last Tango in Paris tak cuma disebut-sebut sebagai film kontroversial, tapi juga mendatangkan uang. Inilah filmnya yang benar-benar meledak, yang menyerap biaya US$ 1,1 juta, dibintangi oleh bintang besar pula, Marlon Brando. Tentang film larisnya itu, kata Bertolucci suatu ketika, "Aku ingin membikin film masa kini. Semua filmku terdahulu selera masa lampau. Erotislah yang kebanyakan tampil dalam kehidupan sekarang." Itu memang sebuah film yang menggambarkan kehidupan erotis. Tapi beberapa pengamat film menyebut-nyebut bahwa sebenamya Bertolucci tak cuma menggambarkan kehidupan, tapi juga menyindir. Menyindir bahwa di zaman serba maju justru orang memuja libido tanpa reserve. Ultimo Tango mungkin saja sekadar intermeso. Empat tahun kemudian sebuah film yang benar-benar kolosal dibuatnya. Judulnya, 1900, sebuah reportase kehidupan di Emilia, sebuah daerah di Italia, selama 70 tahun. Maka, tak tanggung-tanggung masa putar film itu di festival film mencapai lima setengah jam penuh. Bertolucci seorang Marxis? Ia memang peka pada masalah sosial dan bersemangat mengkritik korupsi. Di Italia pada 1960-an, partai yang dianggapnya mewakili pemikirannya adalah partai komunis. Maka, ia pun bergabung. Hanya, ia tidak setuju dengan pandangan bahwa "lewat film kamu bisa membuat revolusi". Bertolucci bilang: mencampuradukkan film dan politik adalah "perbuatan haram jadah". Maka itu, sutradara bertubuh 180-an cm, tegap, ganteng, dan memiliki "rasa humor yang menyenangkan" ini marah ketika importir Jepang mencoba memotong The Last Emperor. Yakni di bagian ketika tentara Jepang menyerbu Cina dan melakukan tindakan gila di Nanjing pada 1937: membunuh dan memperkosa penduduk. Pada catatan sejarawan Barat, korban peristiwa itu sekitar 200.000 orang. Suara Bertolucci rupanya didengar, dan sebelum film diedarkan di bioskop, pihak importir menyambung kembali adegan yang cuma 20 detik itu. Bila orang bijaksana adalah mereka yang nenyadari sendiri kelemahannya, Bertolucci, Jang konon banyak membuat skandal dengan wanita, termasuk yang arif itu. Katanya tentang dirinya, "Aku memiliki kepribadian ganda. Dan pertentangan terberat dalam diriku adalah bahwa ku tak bisa menyelaraskan hatiku dan otakku." Z.U.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini