Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Berita Tempo Plus

Pu yi, atau kaisar yang dilorot

Sekilas tentang kaisar puyi dari cina. jadi kaisar pada usia 3 tahun dan kemudian nasibnya terseret oleh jaman yang berubah. sempat jadi kaisar didukung jepang di manchukuo dan ditawan uni soviet.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Pu yi, atau kaisar yang dilorot
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
"BILA aku mengenang masa kanak-kanakku," begitu Pu Yi menulis, "kepalaku penuh dengan bayang-bayang kuning. Ubin kaca kuning, jok sedanku kuning, bantalan kursiku kuning, mantel dan topiku kuning, perangkat makan dan minumku, tutup tempat nasi, sampul bukuku, tirai jendela, tali kekang kudaku . . . semuanya serba kuning." Kuning cemerlang memang simbol kaisar. Sampai-sampai Pu Yi selagi kecil, ketika bermain-main dengan adiknya, pernah suatu hari membentak-bentak hanya lantaran adiknya memakai baju yang lapisan dalamnya berwarna kuning menyala. "Pu Jie! Berani betul kamu memakai warna itu." Pu Yi, disebut juga Xuan Tung, memang tak bisa menghindar dari tradisi. Seperti juga keluarganya yang tak bisa menolak ketika tiba-tiba ia dipilih oleh Ibu Suri Cu Xi sebagai kaisar. Kaisar terakhir dari dinasti Qing dari Manzhu itu lahir pada 7 Februari 1906. Jadi, seandainya ia masih hidup minggu pekan ini ia genap berusia 82 tahun. Ayahnya, Pangeran Zhun II, adalah anak Pangeran Zhun I. Kakek itu putra Kaisar Guang dan adik Kaisar Xian Feng. Karena Xian Feng tak punya putra mahkota, tidak menentulah pewarisn kekaisaran dinasti Qing ketika itu. Adalah gundik Xian Feng bernama Yehonala, hamil. Maka, gundik tersebut berhasil membujuk Xian Feng agar menjadikannya sebagai permaisuri. Ini berarti anaknya kelak berhak atas takhta. Benar, ketika Xian Feng meninggal, anak Yehonala, laki-laki dan diberi nama Tong Zhi, diangkat menjadi kaisar walau masih kecil. Karena usianya itu, maka yang sebenarnya memerintah kekaisaran kala itu bukan dia, melainkan ibunya. Si permaisuri janda inilah yang kemudian dicatat sejarah sebagai Ibu Suri Cu Xi yang kejam. Pu Yi menggambarkan Cu Xi sebagai seorang yang "tidak bisa melihat orang lain senang. Siapa pun, entah ia pelayan, pejabat istana, atau anaknya sendiri, kalau tak berkenan padanya akan dibuatnya menderita." Tong Zhi mati muda. Sebagai gantinya, Cu Xi mengangkat kemanakannya, paman Pu Yi, Guang Xu. Mengapa ia dipilih, tentunya karena paman itu memang seorang yang lemah, yang praktis menjadi burung dalam sangkar istana. Kendali kerajaan tetap dipegang Cu Xi. Ketika ternyata Guang Xu tak punya keturunan, Cu Xi pun menyiapkan Pu Yi untuk calon kaisar berikutnya. Bisa ditebak, Pu Yi terpilih bukan karena ia keturunan Pangeran Zhun. Tapi karena ia masih tiga tahun, hingga Cu Xi tetap bisa memerintah dan merajalela. Itulah mengapa ketika istri Pangeran Zhun I, nenek Pu Yi, mendengar berita cucunya bakal diangkat menjadi kaisar, ia malah pingsan. Lantaran ia tahu, menjadi kaisar sama halnya menjadi tawanan Cu Xi. Pu Yi sendiri, yang mestinya kala itu ia belum tahu apa-apa, menangis ketika sejumlah pejabat tinggi istana datang menjemput, "Saya meronta-ronta, menendang-nendang dan memukuli para kasim." Pada 2 Desember 1908, Pu Yi yang belum genap tiga tahun itu dinobatkan menjadi kaisar dengan sebutan Kaisar Xuan Tung. Sewaktu ditandu ia malah berontak dan berteriak keras-keras, minta pulang: "Pulang! Pulang!" Peristiwa itulah, oleh orang Cina yang percaya pada bintang dan shio, diyakini sebagai isyarat runtuhnya dinasti Qing. Kaisar kecil itu beruntung, tak sampai merasakan kekejaman Ibu Suri Cu Xi. Dua hari setelah ia berada di istana, Ibu Suri meninggal. Kekuasaan lalu diwalikan pada Long Yu, janda Kaisar Guang Xu, atau bibi Pu Yi. Istana masih saja sibuk dengan kekaisarannya, ketika gerakan kaum republik yang dipimpin oleh Sun Yat-sen makin kuat. Untuk melawan arus itu, di awal 1909 muncul pemyataan bahwa kerajaan akan membentuk pemerintahan berkonstitusi. Mereka yang menentang pemyataan itu dikucilkan, bahkan dibunuh. Dan guna mempersiapkan pemerintahan modem, Zai Xun, salah seorang paman Pu Yi, dikirim ke Inggris guna mempelajari angkatan laut. Paman yang lain, Zai Tao, dikirim ke Jemman guna menyontek sistem militer di negeri Eropa itu. Tapi, "Kedua misi yang makan ongkos mahal itu tak ada gunanya, " tulis R.F Johnston, seorang Inggris yang menjadi mentor dan guru Pu Yi, yang kemudian menulis buku Twilight in the Forbidden City (cetakan pertama 1934). Sebab administrasi kekaisaran tak dipersiapkan mendukung modernisasi itu. Sementara itu, berbagai petisi sampai ke Beijing dari berbagai daerah. Semuanya saja menuntut dibentuknya parlemen dan kabinet yang bertangung jawab. Jelas, itu semua adalah pengaruh pikiran-pikiran Sun Yat-sen -- yang kemudian memang disebut Bapak Modernisasi Cina. Di saat-saat suasana makin kritis, Pu Yi ingat bahwa suatu hari Ibu Suri Long Yu dan seorang pejabat tinggi kekaisaran yang kemudian menjadi Presiden Sementara Republik Cina, Yuan Shikai, tersedu-sedu menangis. "Saya bingung, mengapa dua orang tua itu menangis." Temyata, saat itu Yuan mendesak Long Yu agar kekaisaran dibubarkan, sebab kelompok republik sudah sangat kuat. Yuan menekankan, bila kekaisaran itu tak segera dibubarkan, nasib mereka bisa seperti Louis XVI yang terpancung oleh Revolusi Prancis, Pada 1910 dan 1911, desas-desus pemberontakan makin santer. Beberapa insiden pun terjadi. Seorang bernama Wang Qing-wei, konon murid Sun Yat-sen, mencoba membunuh Pangeran Zhun II, ayah Pu Yi. Gagal. Tapi Pangeran Zhun sempat berbuat baik hati: mengubah hukuman mati orang itu menjadi hukuman seumur hidup. Jalan damai pun dicoba ditempuh. Pada akhir 1911 dan awal 1912 dibuka perundingan antara kaum republik dan pihak kekaisaran di Shanghai. Gagal, bahkan wakil kekaisaran ternyata berpihak pada kaum republik -- di tengah perundingan ia mengundurkan diri. Maka, revolusi pun tak terbendung. Muncul pemberontakan di selatan, antara lain di Kanton. Makin banyak pula daerah melepaskan diri dari pemerintahan Beijing. Maka, atas desakan Yuan Shikai - jenderal Manzhu yang berkhianat terhadap Kaisar -- pada 12 Februari 1912, resmilah dinasti Qing dibubarkan. Berakhirlah dinasti Manzhu yang selama 268 tahun memerintah Tiongkok. Kaisar Xuan Tung kembali jadi kanak-kanak biasa bernama Pu Yi. Ini tentu menyulitkan dia. Sebab, "Pada masa itu saya sudah pandai memaksakan kehendak saya, yang masuk akal ataupun tidak. Soalnya, orang dewasa yang umurnya berlipat kali dari saya pun biasa berlutut di hadapan saya...." Untunglah, kaum republik pun tetap menghormati Pu Yi. Walau tetap tak memperkenankannya tinggal di Istana Kota Terlarang, mantan kaisar itu tetap saja disebut "kaisar". Bahkan bila Pu Yi bepergian, orang-orang republik masih melakukan pengamanan daerah yang akan dilewati, dan mengawalnya dengan berpuluh kendaraan. Pu Yi juga mendapat tunjangan US$ 4 juta setahun, yang membuatnya mampu menggaji 300 orang karyawan dan hidup berfoya-foya dengan dua istrinya. Ia ke mana-mana mengenakan setelan Barat, memakai perhiasan intan, kaca mata Zeiss, wewangian, dan ditemani oleh dua anjing Alsaffan. Tapi revolusi terus menggelinding, masyarakat Cina terus bergolak. Pada 4 November 1924, tentara nasional memberontak. Para pengawal istana dilucuti, Presiden Zao Kun ditahan. Istana-istana diserbu. Ketika Pu Yi sedang berada di Istana Chu Xiu Kong, 20 tentara datang menyerbu. Tentara itu memaksa mereka meninggalkan istana. Komandan pasukan mengantarkan Pu Yi pergi, dan kemudian (menurut Pu Yi) orang itu menjabat tangan "kaisar"-nya sembari berkata, "Tuan Pu Yi, apakah Anda bermaksud menjadi kaisar di kemudian hari atau menjadi penduduk biasa?" Pu Yi mengaku memilih jawaban yang terakhir, dan ia selamat. Penguasa Cina membatalkan persetujuannya bahwa kaisar boleh memakai gelar kehormatan selamanya, dan sejak itu bekas kaisar pun mendapat hak dan perlakuan yang sama dengan penduduk lainnya. Kala itu Pu Yi sempat menghindar dan berlindung di kedutaan Jepang di Tientsin. Jepang melindunginya, menjamin hidupnya tetap senang. Memang ada maksud di balik itu semua. Ketika Jepang menyerbu Manchuria pada 1931, didirikanlah negara boneka Manchukuo. Pu Yi diangkat sebagai kaisar, bergelar Kaisar Kang Te, pada 1934 - meski tentu saja kaisar boneka Jepang. Istananya di Changzhun dilengkapi dengan segala perangkat kebesarannya. Vatikan, Costa Rica, dan San Salvador disebut sebut telah mengakui negara muda itu. Pu Yi melanjutkan masa kekaisarannya di lain wilayah sampai sebelas tahun. Sampai pada 1945, ketika Manchukuo diserbu dan diduduki tentara Rusia dari Tibet. Sang kaisar terjungkal lagi. Pu Yi dan juga adiknya, Pu Jie, ditangkap lalu dipenjarakan di daerah bersalju yang terpencil di Siberia. Setelah Mao menegakkan pemerintahan Republik Rakyat Cina pada 1949, kaisar yang ditawan itu dikirim kembali ke Cina. Pu Yi tampak bersemangat ketika naik kereta api dari Siberia menuju stasiun di perbatasan Manchuria - adegan yang diambil Bertolucci sebagai intro The Last Emperor. Cina sudah sangat berubah, bukan lagi kaum republik yang berkuasa, apalagi dinasti Qing. Diberlakukan keputusan Partai bahwa warga dinasti Qing mesti "dididik kembali". Selama 10 tahun Pu Yi dan Pu Jie mendekam di penjara buat tawanan perang di Fushin, untuk mempertanggungjawabkan "kejahatan"-nya. Di situlah mereka "dicuci" dan "dibantu" untuk menjadi rakyat biasa, seperti yang lain-lain. Pada 1959 Pu Yi bebas dan menjadi seorang jelata di antara semilyar penduduk Cina. Ia mendapat pekerjaan sebagai karyawan Kebun Raya Beijing. Mao - yang suka menyebut Pu Yi dengan "pendahuluku" - kemudian membebaskan dan memberinya kerja "seringan mungkin", yaitu menyirami kebun mawar dan peoni. Pu Jie, adiknya, pun diperlakukan sama. Pu Jie, hingga kini menjadi guru kaligrafi. Ia sendiri sering menjual kaligrafi karyanya - orang Manzhu memang terkenal dalam seni tulis ini kepada turis. Selain itu Pu Jie pun didudukkan sebagai wakil Manzhu dalam Kongres Rakyat Nasional. Ini boleh dikata merupakan sukses pihak RRC, khususnya Perdana Manteri Zhou Enlai, yang melakukan negosiasi dengan Soviet buat pembebasan Pu Yi. Sebenarnya, ini semua bukan karena Pu Yi demikian dihargai di mata komunis. Banyak perhitungan politik dalam hal ini. Tampaknya, pihak komunis ingin menunjukkan bahwa mereka siap menolong siapa saja yang menjadi musuh pihak Republik. Dan lebih daripada itu RRC rupanya ingin pula menunjukkan "jiwa besar", terutama terhadap pihak'Soviet khususnya dan dunia umumnya. Dalam hal rehabilitasi nama Pu Yi, Zhou Enlai ingin menepuk dada bahwa komunis RRC lebih besar daripada Soviet. Bila revolusi Bolshevik praktiss membasmi habis keluarga dan pengikut Tsar, RRC bersikap lain. Pu Yi, keluarga, dan pengikutnya justru dirangkul, diberi "pendidikan", dan akhirnya menjadi komunis. Kemungkinan besar Pu Yi sendiri tak tahu menahu tentang rencana itu. Sejak ia dinaikkan kereta api dari wilayah Soviet menuju perbatasan RRC, ia tak diberi tahu mengapa ia dikirim kembali ke Cina bersama-sama beberapa kemanakannya dan bekas pelayannya, Big Li. Semua perlakuan baik yang diterima sejak ia naik kereta dianggapnya sebagai hadiah buat si terhukum dalam perjalanan kematiannya. Baru setelah sampai di Cina, Pu Yi bertemu dengan anak bekas perdana menteri negara boneka Manchukuo, bekas kaisar itu bisa tersenyum. Si anak mengatakan bahwa mereka dikirim ke penjara Fushin. Baru ia yakin bahwa mereka bukan dikirim ke hadapan regu tembak. Toh, malamnya, di Fushin, lagi-lagi keyakinan bahwa ia akan dihukum mati muncul. Soalnya, sepele saja: makan malam begitu baik bagi seorang pesakitan. Bahkan semua pengawal bersikap sopan, menyebabkan salah seorang kemanakan Pu Yi menawarkan hadiah arloji kepada salah seorang di antaranya--tapi ditolak. Baru di hari berikutnya, semuanya jelas. Mereka diminta mempelajari doktrin komunis. Pada 1967, kaisar terakhir itu, yang dijuluki "Paduka Sepuluh Ribu Tahun", meninggal sebagai tukang kebun. Tubuhnya digeragoti kanker. Sebuah otobiografi sempat ditinggalkannya -- tapi diragukan keotentikannya. Buku yang sempat dilarang di zaman Revolusi Kebudayaan, bukan karena tak memuji-muji Mao Zedong, tapi semata karena buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Benar berubahkah bekas kaisar itu, yang sempat menikah untuk kelima kalinya pada 1962 dengan seorang juru rawat? Big Li, kini 78 tahun, yang sejak usia 14 tahun menjadi pelayan Pu Yi, menceritakan pertemuannya dengan bekas majikannya setelah dibebaskan dari Fushin. "Ia membersihkan mantel saya, seolah-olah hendak menyatakan bahwa ia sudah jadi orang biasa. Tapi terkesan itu cuma akting." Memang, tampaknya Pu Yi cuma sekadar catatan laki dalam sejarah perubahan kekuasaan di Cina. Tapi dari segi kemanusiaan, ia adalah sebuah drama yang menarik. Seorang yang terlempar dan dipaksa menyesuaikan diri dengan banyak hal baru yang bertentangan dengan keyakinan moral semulanya. Mengapa Pu Yi tak bunuh diri? Adakah ia hidup bahagia? Z.U.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus