Sebuah sejarah telah dilayarputihkan, dan film itu memenangkan empat hadiah terbaik di Hollywood. Sejarah kekaisaran Cina terakhir menandai beralihnya zaman feodal ke zaman Cina baru. Jadi, perdebatan apakah Bertolucci, sutradara Last Tango in Paris, tak terjebak mempropagandakan komunisme? Ataukah ia bisa mengangkat tragedi seorang tokoh yang lahir sebagai kaisar dan mati sebagai tukang kebun? RIBUAN prajurit berdiri berjajar. Tombak-tombak, panji-panji kerajaan tegak menantang langit. Jubah dan topi gemerlapan berkelompok kelompok, sesuai dengan warnanya. Pemandangan di halaman istana jadi berwarna-warni. Kuning, merah, dan sedikit biru memenuhi pandangan mata -- meriah dan kolosal. Di tengah-tengah, di antara setangkup kelompok prajurit yang saling berhadapan, permadani menghampar memanjang menutupi lantai batu. Kuning cemerlang. Lalu sebuah tandu, juga kuning keemasan, gemerlap beringsut-ingsut merayapi permadani - seolah semut besar yang menyeberang dari sudut ke sudut pada warna-warna. Lalu muncullah seorang bocah, gundul, tenggelam dalam jubah kebesarannya yang, lagi-lagi, kuning. Kalung manik-manik mutiara serupa tasbih melingkar di leher bocah itu. Mahkota hitam, besar, menyembunyikan kepala gundulnya untuk tidak tampak mengkilap. Sementara itu sepatu hitamnya, yang tampak terlalu besar, menenggelamkan kakinya yang mungil. Tapi bocah yang belum lima tahun, yang tatapannya masih sangat naif, yang pakaiannya kedodoran itulah yang kata-katanya harus dilaksanakan, titahnya mesti dijalankan. Ia seorang kaisar, tak peduli bahwa bicara pun ia masih belum jelas. Persisnya, anak itulah kaisar kesepuluh dari dinasti Qing -- kaisar terakhir dari dinasti terakhir di Tiongkok, demikianlah sejarah mencatat. Lalu dunia pun tahu, dialah Kaisar Pu Yi. Sejarah, itulah yang dicoba dihidupkan lagi oleh seorang Bernardo Bertolucci, sutradara film Italia kaliber kakap. Seorang yang sabar menunggu sampai lima tahun, menunggu izin pemerintah Republik Rakyat Cina, untuk menggunakan peninggalan sejarah bagi lokasi filmnya. The Last Emperor, judul film itu, makan waktu dua tahun pembuatan untuk melukiskan runtuhnya sebuah dinasti dan tradisi kekaisaran Cina yang telah sambung-menyambung selama 2.000 tahun. Dan Bertolucci, 48 tahun kini, tak sia-sia -- ia sendiri membikin sejarah, paling tidak dalam dunia sejarah film. Akhir Januari The Last Emperor memenangkan empat hadiah terbaik dari semacam festival yang disebut Hollywood Golden Globe: film terbaik, sutradara terbaik, skenario terbaik, dan orisinalitas tertinggi. Ini bukan festival sembarangan. Diselenggarakan oleh persatuan wartawan asing di Hollywood, festival ini bisa dianggap sebagai pra-Oscar. Flm-film yang diperhitungkan, apalagi yang menang, dalam Hollywood Golden Globe biasanya yang masuk nominasi piala Oscar. The Last Emperor memang orisinil. Dibuat di tempat aslinya, didukung 19.000 figuran Cina asli. Di Istana Gerbang Kedamaian Akhirat, misalnya, yang berada di bagian yang disebut Kota Terlarang, Beijing, pusat ibu kota negeri semilyar jiwa, begitu banyak tenaga terkuras, begitu banyak perangkat terpakai. "Hollywood tak akan berani membikin film seperti ini," sumbar Jeremy Thomas, usahawan Inggris yang mencukongi Bertolucci. Itu tentu sekadar lagak Thomas untuk biaya yang ia keluarkan, yang cukup besar, US$ 22, juta, tapi belum yang terbesar. (Belum mengatasi rekor film tentang perang antarplanet, Sta Trek, yang menelan anggaran sebanyak US$ 46 juta). Tapi harus diakui, gema film ini memang besar. Sampai-sampai, tahun lalu, ketika pembuatannya baru separuh jalan, The Sunday Times Magazine meramalkan munculnya The Last Emperor fever, demam serba Cina yang feodalistis. Setelah film beredar, tulis majalah Inggris itu, boleh jadi orang-orang akan menjual cheongsam. Lalu para manajer rumah makan mungkin akan menyuguhkan menu raja-raja Cina seperti cakar beruang, puting susu kambing, empedu ular, atau kura-kura panggang. Lalu siapa tahu, di tahun baik kali ini, yakni Tahun Naga dunia mode pun akan terpengaruh oleh film kolosal yang awal peredarannya bersamaan dengan bergantinya tahun Cina. Kuning, itulah warna yang kemungkinan besar bakal jadi favorit. Bukan kuning sembarang kuning, tapi "Kuning Kerajaan Cemerlang", kuning yang paling kuning, warna pakaian yang cuma boleh dipakai oleh kaisar, yang dibuat dari serat 10 juta ulat sutera. Kemudian botol minuman dari pualam putih, gerak badan Tai Chi, dan pengobatan akupunktur, diramalkan akan semakin mewabah. Yang pasti, berpuluh ribu orang Cina, puluhan orang Barat - Italia, Inggris, Irlandia, dan Amerika - bersatu menyelesaikan The Last Emperor. Sebuah film dengan masa putar tiga jam kurang 1 menit, paling berwarna, dan barangkali paling kontroversial yang pernah dibikin mengenai kekaisaran Cina. Dan terpenting, inilah film pertama hasil kerja sama Barat dan pemerintah Cina komunis. Itu semua untuk melukiskan seorang kaisar yang naik takhta ketika baru berusia 3 tahun, dan kemudian mati sebagai orang biasa dengan jabatan tukang kebun. Sebuah biografi yang kaya, sebuah kisah yang oleh pihak pemerintah RRC dipuji sebagai hal yang menandai runtuhnya feodalisme. "Menyenangkan membaca kisah bagaimana seorang yang telah menjadi naga berubah menjadi manusia lagi. Selamat," bunyi telegram dari pemerintah Cina kepada Bertolucci. Itu artinya Bertolucci memperoleh izin pembuatan film ini di tempat aslinya, meski kedutaan Inggris di Beijing tak bisa dan tak mau membantu memperoleh izin untuk film yang diproduksi oleh produser Inggris ini. Alasan lain disetujuinya Bertolucci bekerja di bekas Istana Terlarang, misalnya, mungkin karena orang Italia itu dikenal mengagumi Cina modem. Baginya, revolusi Republik Rakyat Cina, "adalah sebuah skenario besar di tangan seorang sutradara yang mengagumkan, didukung ribuan pemeran." Dan mestinya, perubahan politik di Cina sendiri membantu kerja sama itu: kendurnya radikalisme komunis digantikan oleh sikap yang lebih terbuka. Hingga praktis Bertolucci tak mengalami kesulitan apa pun dengan pemerintah dan masyarakat dan orang-orang Cina. Bagaimanapun, ini memang sebuah kerja besar. Pemeran dan karyawan film itu tak hanya sekitar 20.000 manusia. Tapi juga sekumpulan hewan, mulai jangkrik, kuda, sampai unta. Properti tak cuma meja dan kursi, juga ribuan guci antik, yang harus dijaga satu per satu dengan hati-hati - maklum, mudah pecah. Untuk mengatur suasana di Kota Terlarang saja, makan biaya tak kurang dari US$ 50.000 per hari. Untuk memberi minum orang sebanyak itu, ribuan liter air mineral terpaksa diterbangkan dari Milano, Italia, seffap minggunya. Mengandalkan persediaan air di tempat lokasi ternyata tidak cukup. Setelah mengamati dalam waktu yang tak pendek, Bertolucci memilih sejumlah peran campuran. Untuk memerankan Pu Yi, dari awal hingga berakhirnya film, dibutuhkan empat aktor. Pada menit-menit awal adalah giliran Richard Vuu, aktor cilik berdarah Vietnam-Amerika yang dirias menjadi anak Cina. Masa-masa terakhir Pu Yi diperankan oleh John Loan. bintang film Amerika imigran dari Hong Kong mendapat nama setelah bisa mengimbangi permainan Michael Rourke sebagai si kepala mafia Cina dalam Year of the Dragon. Peran penting yang lain, R.F. Johnston, guru dan sekaligus penasihat Kaisar Pu Yi selagi remaja, diserahkan kepada Peter O'Toole - aktor Inggris yang menghabiskan waktu luangnya selama syuting dengan membidik unta-unta Mongolia yang mengunyah rumput kering dan teknikus Italia yang mengunyah pasta dengan kamera Videonya. Dua istri kesayangan Pu Yi, Wan Rong (artinya "wajah jelita") dan Wen Xiu diperankan oleh aktris RRC. Yakni Wo Funmei dan Joan Chen (aktris utama dalam Taipan). Bertolucci, penulis skenario dan penata artistik, memang tak begitu susah dalam merekonstruksi jalan hidup dan suasana zaman Pu Yi. Seperti diketahui, Pu Yi sebelum meninggal 21 tahun lalu, pada 1967, telah menulis otobiografi yang kemudian terbit dengan judul From Emperor to Citizen (1964). Ini sangat memudahkan Mark Peploe menulis skenario, terutama sekali menolongnya menyusun kronologis riwayat sang kaisar terakhir itu. Tentang suasana di masa kekaisaran Pu Yi dan sekitarnya, informasi juga diperoleh dari tangan pertama. Adik kandung Kaisar, Pu Jie namanya, masih hidup di Beijing. Pu Jie, kini 81 tahun, setahun lebih muda daripada abangnya, masih ingat benar suasana istana saat dinastinya runtuh. Ia tahu persis kehidupan abangnya di masa republik - setidaknya mereka pernah sama-sama ditahan oleh kaum nasionalis Cina. Bertolucci tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Pu Jie ditariknya sebagai penasihat. Dengan modal itu semua, syuting akhirnya memang berjalan lancar. Untuk memperoleh ribuan figuran, di Cina bukan persoalan. Murah pula. Misalnya, pemeran laskar dinasti Ching dilakukan oleh tentara rakyat Cina. Lalu latar belakang adegan (setting) tak membutuhkan istana tiruan, lantaran film dibuat di tempat aslinya. Sesudah itu semua adalah pertanyaan yang tak terjawab. Seberapa jauh The Last Emperor seirama dengan fakta sejarah. Sejumlah adegan sudah bisa dipastikan tentu tak sepersis kejadian sebenarnya - demi artistik, misalnya. Juga, penulis skenario tentu tak mengambil bahan secara mentah-mentah dari otobiografi Pu Yi. Sementara itu, From Emperor to Citizen sendiri otobiografi itu, tentunya sedikit banyak ada kemelesetannya dengan sejarah. Dari sudut penulisnya, ada kesangsian, ingatan seorang bekas Kaisar tentu bukan memori dalam komputer. Dari pihak luar, mudah ditebak, pemerintah RRC tentu tidak melepaskan begitu saja tulisan Pu Yi. Bagaimana bisa seorang bekas kaisar, dengan konsep hidup dan tatanan negara yang jauh berbeda dengan zaman Cina yang komunis, berterus terang tentang hidup dan mimpinya? Ada dugaan, buku itu hanya merupakan kerajinan tangan banyak orang, di antaranya disebut-sebut nama Lao She. Ia seorang penulis propaganda komunis yang menyusun buku teks Mao Rickshaw Boy. Tapi memang kontroversi buku itulah yang sebenarnya mendorong Bertolucci memfilmkannya. Ketika bab-bab terakhir buku itu sampai di meja sang sutradara, menjelang terbitnya, ada sealinea tulisan yang menarik perhatian orang Italia itu. "Manusia adalah kata pertama yang saya pelajari ketika saya balajar membaca pertama kalinya. Tapi baru sekarang ini saya mengerti makna kata yang luar biasa itu, dan merasa jadi manusia yang sebenarnya." Alinea itu menggerakkan Bertolucci terbang ke Beijing, mengajukan permohonan untuk membuat film tentang Pu Yi. Jika benar Bertolucci setia pada otobiografi (yang fommal) itu, bukankah sutradara Last Tango in Paris telah membuat sebuah film propaganda? Lalu bagaimana dengan Pu Jie, adik sang Kaisar? Orang ini kini hidup di barat laut Beijin. Di zaman kakaknya jadi kaisar boneka Jepang di Manchukuo, ia jadi pembantu kaisar. Tentu, tanpa kemerdekaan. Hingga Jepang, misalnya, enak saja memaksanya menikah dengan seorang wanita Jepang - dengan istrinya inilah ia kini hidup. Pu Jie kini selalu mengindentitaskan dirinya dengan rakyat banyak. "Anda bertemu dengan seseorang yang tak lebih daripada setetes air yang tersaring dari lautan luas," katanya, setiap ada wartawan asing yang mau mewawancarainya. Sampai kini tak jelas apakah yang dituturkan Pu Jie, adik Kaisar itu, kepada Bertolucci. Si adik itu sendiri selalu bilang bahwa ia dan kakaknya menerima Cina baru (Cina di bawah Mao) "secara sukarela". Lalu katanya berandai-andai. khas Cina, "Bila seekor kuda tak ingin minum, tak ada artinya kepalanya didorong ke dalam air." Dan bila percakapan mulai menjurus apakah itu berarti ia sebenamya tak menyetujui komunisme, dengan halus pembicaraan pun dialihkannya. Tapi Pu Jie biasanya selalu membubuhkan cap merah, bagaikan cap kaisar di zaman Tiongkok kuno. "Saya merasa masih kaisar kini cuma revolusi komunis menyebut saya keturunan kaisar. Mudah-mudahan, secuil kenangan ini akan berharga di kemudian hari." Kata-kata itu bisa ditafsirkan bahwa Pu Jie seperti ingin jadi saksi sejarah. Ia ingin memberikan penilaian terhadap revolusi yang oleh Bertolucci disebut "sebuah skenario besar". Tapi keberaniannya tak kunjung datang atau kesempatan belum memungkinkan. Adakah di sela-sela gemuruh dan gemerlapanya laskar kerajaan Qing ataukah jerit tangis penduduk Nanjing ketika diperkosa dan dibunuhi oleh tentara Jepang (tragedi pada 1937), Bertolucci sempat menyiratkan sikap ahli waris dinasti Qing yang kini mungkin tersimpan di benak Pu Jie? Atau The Last Emperor sekadar sebuah biografi fommal tanpa warna? Yang pasti, sebelum film ini selesai, sutradara itu pernah berkata bahwa filmnya merupakan drama kemanusiaan besar. Merupakan potret seorang kaisar yang tak terbatas kekuasaannya, yang berubah menjadi orang biasa. "Itulah tema sentral ilm ini, yakni proses yang membuat Pu Yi ffba-ffba merasa dirinya sebenamya sekadar pion dalam perubahan kekuasaan di Cina." Yang tak dikatakan Bertolucci, adakah kesadaran itu wajar datangnya ataukah itu hanya sikap lahir agar tetap hidup, meski tidak merdeka. Dalam kalimat lain, adakah Pu Yi (dan Pu Jie) bahagia hidup di Cina baru? Zaim Uchrowi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini