Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Oscar, oscar, apa salah mu !

Bintang-bintang film yang pernah mendapat hadiah oscar, dan aktor-aktor yang menolak atau mencemooh dan kontraversi terhadap pemberian hadiah tersebut. (sel)

2 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU malam di tahun 1978, sutradara dan aktor Woody Allen menghabiskan waktunya meniup klarinet dalam suatu acara jazz di Michael's Pub, New York. Hari Senin itu seolah hari biasa saja baginya. Padahal, beberapa ratus kilometer jauhnya -- di Los Angeles -- filmnya, Annie Hall, dinyatakan memenangkan Oscar, mengalahkan film laris Star Wars. Sikap Allen menunjukkan satu contoh: seorang seniman film serius Pada umumnya menganggap enteng hadiah yang disebut Academy Awards dan dijuluki "Oscar" itu. Lebih keras lagi ialah sikap George C. Scott. Ia orang pertama yang menolak pencalonan di tahun 1961, sebagai Aktor Pembantu terbaik dalam film The Hustler. Di tahun 1970, aktor besar ini juga menolak dicalonkan karena perannya dalam Patton. Ia menganggap Oscar sebagai "parade daging". Di tahun 1974, aktor Dustin Hoffmann yang waktu itu dicalonkan untuk perannya dalam Lenny juga mengutuk Oscar sebagai "buruk" dan "grotesk". Hoffmann, yang memenangkan hadiah itu dalam Kramer vs. Kramer (untuk tahun 1980), memang kemudian lebih lunak. Ia terima penghargaan itu, tapi tentang patung pria yang jadi piala keemasan itu ia mengatakan: "Ia tak punya alat kelamin, dan ia memegang pedang. " Marlon Brando juga bukan penerima Oscar yang bersemangat. Di tahun 1972, ia mendapatkan Oscar untuk perannya dalam The Godfather yang tersohor itu. Ini adalah kemenangannya yang kedua, setelah di tahun 1954 ia memikat dengan film hitam-putih tentang buruh pelabuhan dan Mafia, On The Waterfront. TaPi ii ka di tahun 1954 tak ada heboh -- Brando baru saja terkenal waktu itu -- maka di tahun 1972 itu ia bikin keributan. Ia tak hadir dalam upacara yang penuh kemeriahan itu. Ia menolak. Tapi bukan penolakannya yang menarik. Sebagai wakilnya, muncul seorang gadis manis yan eksotis yang menyebut diri Sacheen Little feather atau "Sacheen Si Bulu Kecil". Perempuan yang mengesankan diri sebagai gadis Indian itu naik ke pentas dan menyatakan, bahwa ia adalah utusar Marlon Brando. Sang aktor menolak Oscar sebagai protes atas perlakuan Hollywood terhadap bangsa Indian, yang umumnya "mati tertembak" dalam film-film yang dibikin di sana. Banyak orang tak menganggap tingkan Brando simpatik. Bintang film koboi Clint Eastwood, misalnya, yang malam itu bertugas membacakan nama film yang dianggap terbaik, bicara: "Saya tak tahu, apakah saya harus menyerahkan hadiah ini atas nama semua koboi yang tertembak dalam semua film-film John Ford." Ejekan kepada Marlon Brando kian beringas, ketika kemudian terbukti bahwa Sacheen Lightfeather, si "gadis Indian ", sebenarnya adalah seorang aktris tak terkenal bernama Maria Cruz. Debutnya: ia pernah menang kontes sebagai Miss Vampir Amerika. Tapi Oscar memang bisa menimbulkan kontroversi -- dan tak jarang dengan warna politik. Di tahun 1978 bintang film Inggris, Vanessa Redgrave, yang memaklumkan diri sebagai pembela hak orang Palestina, menyatakan pujiannya kepada para anggota Akademi yang memberikan sebuah Oscar baginya buat film Julio. Akademi, kata Vanessa Redgrave, tak mau menyerah kepada tekanan "brandal-brandal Zionis yang militan". (Rupanya dia salah: tahun berikutnya, Vanessa tak diundang ke Hollywood). Di tahun 1979 film The Deer Hunter memenangkan Oscar sebagai film terbaik. Tapi 13 orang demonstran ditahan polisi di luar Pavillion Dorothy Chandler, tempat upacara berlangsung. Mereka mencoba memprotes keras film yang bagi mereka sangat tidak adil dalam melukiskan perang Vietnam itu. Dan aktris Jane Fonda, pemain dalam film Coming Home yang melukiskan kisah Vietnam dari segi lain, memihak para demonstran. Ia menganggap The Deer Hunter "rasialis". Jane Fonda memang tersohor penentang galak terhadap keterlibatan Amerika dalam perang itu, dan sikapnya bisa diharapkan. Yang menarik: ia sendiri belum pernah menonton The Deer Huner . . . Tapi benarkah Oscar diberikan tanpa penilaian yang matang -- hingga kontroversi dan cemooh timbul? The Academy of Motion Picture Artsond Sciences (nah, sebuah nama yang sangat keren) didirikan di tahun 1927 oleh orang-orang besar Hollywood. Mereka, Douglas Fairbanks, Mary Pickford, Louis B. Mayer, dan lain-lain, suatu hari berkumpul di Hotel Ambassador. Mereka bermaksud membentuk sebuah organisasi yang akan memberikan prestise bagi industri film yang tengah membubung itu. Dan tak lama kemudian, organisasi yang bernama hebat dan sering disingkat "Akademi" itu memutuskan memberikan hadiah tahunan bagi prestasi tertinggi di bidang gambar hidup. Hadiah pertama diberikan 16 Mei 1929. Apa filmnya tak begitu penting waktu itu. Yang layak dikenang adalah uasananya. Sangat sederhana. Hidangan hanya seadanya, zaitun untuk nyamikan, dan roti panggang + ayam sebagai menu utama. Bandingkanlah dengan upacara Oscar tahun-tahun belakangan: para tamu makan lobster dan kaviar, minum Stolichnaya yang sudah didinginkan, lalu berdansa hingga fajar tiba dalam ballroom Hotel Beverly Hilton, di mana ruang telah diubah jadi hutan tropis yang rimbun. Tapi kenapa piala sepanjang hampir 30 senti dan seberat tiga kilo itu disebut "Oscar"? Entahlah. Ada yang mengatakan, nama itu berasal dari nama kepala perpustakaan Akademi. Ada pula yang berteori bahwa nama itu berasal dari nama suami Bette Davis waktu itu, Harmon Oscar Nelson, Jr. Peraturan juga berubah-ubah selama dasawarsa pertama -- seperti halnya Piala Citra. Sejumlah kategori ditambahkan atau dihilangkan, tapi akhirnya 14 di antaranya tetap: termasuk pemeranan, penyutradaraan, penulisan skenario, sinematografi, pengarah artistik, kostum, musik, suara dan pemaduan gambar (editing). Untuk tiap Oscar dicalonkan lima nama. Caranya: para aktor anggota Akademi mencalonkan aktor, sutradara mencalonkan sutradara, dan seterusnya. Pada pemungutan suara terakhir, semua anggota Akademi (jumlahnya kini 4.325 orang) boleh memberikan suara buat calon-calon untuk tiap kategori. SUDAH pasti agak sukar menyuap para "juri" yang sekian banyak itu. Tapi usaha mempengaruhi keputusan mereka bukan tak ada --bahkan cukup ramai. Seperti terlihat menjelang pemilihan Oscar tahun ini -- dengan pemenang sebagai film terbaik Ordinary People -- para anggota Akademi dihujani undangan resepsi, jamuan makan tak resmi dan bahan-bahan publisitas yang serba gemilang. Ratusan ribu dollar dihabiskan oleh studio-studio buat menggaet simpati. Tahun ini, misalnya, anggota Akademi yang bersedia menonton pertunjukan khusus Flash Gordon dijamu oleh Universal dengan makan malam mewah: US$ 30 per piring. Bisa dimengerti. Kemenangan dengan tdnda Oscar dipastikan akan menghasilkan jutaan dollar untung. Annie Hall, misalnya, sebuah film bagus dengan budget murah, setelah dapat Oscar menghasilkan uang tambahan sampai sebesar US$ 5,5 juta. Yang agak merepotkan studio ialah: bahwa aktor atau sutradara yang memperoleh Oscar juga bisa minta bayar tambahan, dan tarifnya lebih tinggi . . . Niat komersial, dan bukan artistik, memang telah menyebabkan Oscar kurang punya reputasi baik di mata para kritikus film. Film yang paling banyak memenangkan Oscar dalam sejarah adalah Ben-Hur: ia menyambar 11 piala di tahun 1959. Padahal jika kita nonton sekarang, film itu -- kecuali adegan lomba kereta yang seru - hanya sedikit di atas taraf sandiwara untuk penyebaran agama Kristen. Sejak tahun 1930 orang curiga akan motif pemberian Oscar. Ketika itu yang menang adalah bintang film Mary Pickford. Oscar-nya dianggap kurang jujur karena Pickford adalah anggota Akademi. Di tahun 1961, Elizabeth Taylor memenangkan Oscar untuk Butterfield 8. Orang curiga bahwa piala itu diberikan kepadanya karena ia baru lepas bahaya mau akibat sakit pneumonia. Tentang Butterfield 8 sendiri Elizabeth Taylor belakangan ini pernah bicara. "Saya masih tetap merasa bahwa film itu bau," katanya. Alasan sentimental memang mungkin ada di kalangan para anggota Akademi. John Wayne, Ethel Barrymore, Margaret Rutherfold, adalah bintang-bintang tua yang kemudian diberi Oscar -- seraya mengingat bahwa mereka ini kaum veteran yang belum beruntung. Tapi toh sejumlah nama besar atau tenar tetap luput. Greta Garbo, Henry Fonda, Montgomery Clift, Barbara Stanwyck dan Paul Newman misalnya belum pernah dapat piala yang beken itu -- meskipun kemudian mereka ada juga memperoleh tanda-tanda penghargaan. Richard Burton, setelah 7 kali dicalonkan, tetap tak pernah dapat. Film klasik yang indah seperti Citizen Kane juga tak dihargai sebagai film terbaik. Hanya skenarionya yang beruntung. Dan sutradara Alfred Hitchcock: apakah yang diberikan oleh Akademi untuk film-filmnya - meskipun sutradara serius dari Prancis seperti Truffaut sangat mengaguminya? Mendengar banyak kritik kepada Akademi itulah di tahun 1970 Ketua Akademi, bintang film Gregory Peck, mencoba mengubah gambaran bahwa Oscar menghargai doku lebih di atas mutu. Peck mencoret hak suara dari sejumlah anggota Akademi yang tak pernah aktif. Anggota baru direkrut. Setiap orang film yang paling sedikit punya dua kredit film, dan diusulkan oleh dua orang dalam tiap sektor, memang dapat dipilih jadi anggota Akademi. Perlahan-lahan, perbaikan nampak. Budget raksasa, laba berjuta, kampanye yang tak putus-putusnya tak dengan sendirinya menyebabkan sebuah film bisa dicalonkan. Di tahun 1974, The Towering Inferno memang berhasil dicalonkan untuk Film Terbaik. Tapi itulah agaknya "permainan" terakhir Akademi dengan film gemuruh tapi kosong. Meskipun demikian, pilihan Film Terbaik tahun ini, Orclinary People, toh tetap belum mengesankan para kritisi. Banyak yang masih lebih memilih film hitam-putih The Elephant Man. Betapa pun, Oscar memang bisa meleset untuk menilai daya tahan keindahan sebuah film. Film superpatriotik gaya John Wayne The Alamo, misalnya, pernah dicalonkan untuk Film Terbaik, tapi kita tahu bahwa film itu hanya kegairahan John Wayne sendiri dengan ide-ide cinta-Amerikanya. Sedang film Chaplin, Modern Time, tak menang apa pun tapi siapa yang bisa melupakannya? Dan juga 2001: A Space Odyssey karya Stanley Kubrick ? Sementara itu, bintang Luise Raine menunjukkan pula betapa Oscar tak selalu menjamin prestasi yang panjang. Dua kali berturut-turut ia memenangkan Oscar untuk permainannya dalam The Great Ziegfeld ( 1936) dan The Good Earth (1937). Tak ayal lagi, MGM meluncurkannya untuk lima buah film lagi. Hasilnya: brengsek dan bangkrut. Lima tahun kemudian Rainer balik mudik ke Austria. Punah. Itu tak berarti Oscar hanya "parade daging". Paling sedikit hura-hura di Hollywood itu melibatkan banyak orang -- yang mengikutinya dari seluruh penjuru dunia. Rasa permusuhan tak jarang terjadi, juga rasa solidaritas dan keharuan. Contoh permusuhan terbesar terjadi justru antara dua bersaudara: Joan Fontaine dan Olivia de Havilland. Keduanya dicalonkan untuk Aktris Terbaik tahun 1942. Sejak itu kedua mereka tak saling berbicara. Ketika Academy Awards dirayakan pada usianya yang setengah abad, permusuhan antara Joan dan Olivia belum reda. Keduanya dipisah duduknya -- meskipun berada di satu panggung. Dan tentang solidaritas? Ingrid Bergman memenangkan Oscar di tahun 1976 untuk filmnya Murder on the Orlent Express, sebuah kisah Agatha Christie yang tersohor. Tapi Bergman, bintang yang pernah dikucilkan Hollywood di tahun 50-an karena ia melahirkan anak tanpa menikah, menunjukkan kebesaran hatinya. Ia maju, tapi untuk menyatakan bahwa Valentina Cortse, calon Aktris Terbaik dalam film Day for Night, sebenarnya lebih layak menerima piala. Di tahun 1971 Charlie Chaplin mendapatkan penghargaan khusus. Tokoh sejarah film ini pernah disingkirkan Hollywood karena film dan sikapnya dicurigai bernapaskan "merah". Tapi pada umur 83 ia dimohon kembali untuk upacara yang mengharukan itu. Air matanya membasah. Kata-katanya gugup. "Anda sekalian . . . orang-orang yang manis budi." Hadiah Oscar tak pernah diperolehnya. Tapi ia merasa, Hollywood pun bisa mengoreksi dirinya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus