SUATU malam di tahun 1978, sutradara dan aktor Woody Allen
menghabiskan waktunya meniup klarinet dalam suatu acara jazz di
Michael's Pub, New York. Hari Senin itu seolah hari biasa saja
baginya. Padahal, beberapa ratus kilometer jauhnya -- di Los
Angeles -- filmnya, Annie Hall, dinyatakan memenangkan Oscar,
mengalahkan film laris Star Wars.
Sikap Allen menunjukkan satu contoh: seorang seniman film serius
Pada umumnya menganggap enteng hadiah yang disebut Academy
Awards dan dijuluki "Oscar" itu. Lebih keras lagi ialah sikap
George C. Scott. Ia orang pertama yang menolak pencalonan di
tahun 1961, sebagai Aktor Pembantu terbaik dalam film The
Hustler. Di tahun 1970, aktor besar ini juga menolak dicalonkan
karena perannya dalam Patton. Ia menganggap Oscar sebagai
"parade daging".
Di tahun 1974, aktor Dustin Hoffmann yang waktu itu dicalonkan
untuk perannya dalam Lenny juga mengutuk Oscar sebagai "buruk"
dan "grotesk". Hoffmann, yang memenangkan hadiah itu dalam
Kramer vs. Kramer (untuk tahun 1980), memang kemudian lebih
lunak. Ia terima penghargaan itu, tapi tentang patung pria yang
jadi piala keemasan itu ia mengatakan: "Ia tak punya alat
kelamin, dan ia memegang pedang. "
Marlon Brando juga bukan penerima Oscar yang bersemangat. Di
tahun 1972, ia mendapatkan Oscar untuk perannya dalam The
Godfather yang tersohor itu. Ini adalah kemenangannya yang
kedua, setelah di tahun 1954 ia memikat dengan film hitam-putih
tentang buruh pelabuhan dan Mafia, On The Waterfront. TaPi ii ka
di tahun 1954 tak ada heboh -- Brando baru saja terkenal waktu
itu -- maka di tahun 1972 itu ia bikin keributan. Ia tak hadir
dalam upacara yang penuh kemeriahan itu. Ia menolak.
Tapi bukan penolakannya yang menarik. Sebagai wakilnya, muncul
seorang gadis manis yan eksotis yang menyebut diri Sacheen
Little feather atau "Sacheen Si Bulu Kecil". Perempuan yang
mengesankan diri sebagai gadis Indian itu naik ke pentas dan
menyatakan, bahwa ia adalah utusar Marlon Brando. Sang aktor
menolak Oscar sebagai protes atas perlakuan Hollywood terhadap
bangsa Indian, yang umumnya "mati tertembak" dalam film-film
yang dibikin di sana.
Banyak orang tak menganggap tingkan Brando simpatik. Bintang
film koboi Clint Eastwood, misalnya, yang malam itu bertugas
membacakan nama film yang dianggap terbaik, bicara: "Saya tak
tahu, apakah saya harus menyerahkan hadiah ini atas nama semua
koboi yang tertembak dalam semua film-film John Ford." Ejekan
kepada Marlon Brando kian beringas, ketika kemudian terbukti
bahwa Sacheen Lightfeather, si "gadis Indian ", sebenarnya
adalah seorang aktris tak terkenal bernama Maria Cruz. Debutnya:
ia pernah menang kontes sebagai Miss Vampir Amerika.
Tapi Oscar memang bisa menimbulkan kontroversi -- dan tak jarang
dengan warna politik. Di tahun 1978 bintang film Inggris,
Vanessa Redgrave, yang memaklumkan diri sebagai pembela hak
orang Palestina, menyatakan pujiannya kepada para anggota
Akademi yang memberikan sebuah Oscar baginya buat film Julio.
Akademi, kata Vanessa Redgrave, tak mau menyerah kepada tekanan
"brandal-brandal Zionis yang militan". (Rupanya dia salah: tahun
berikutnya, Vanessa tak diundang ke Hollywood).
Di tahun 1979 film The Deer Hunter memenangkan Oscar sebagai
film terbaik. Tapi 13 orang demonstran ditahan polisi di luar
Pavillion Dorothy Chandler, tempat upacara berlangsung. Mereka
mencoba memprotes keras film yang bagi mereka sangat tidak adil
dalam melukiskan perang Vietnam itu. Dan aktris Jane Fonda,
pemain dalam film Coming Home yang melukiskan kisah Vietnam dari
segi lain, memihak para demonstran. Ia menganggap The Deer
Hunter "rasialis". Jane Fonda memang tersohor penentang galak
terhadap keterlibatan Amerika dalam perang itu, dan sikapnya
bisa diharapkan. Yang menarik: ia sendiri belum pernah menonton
The Deer Huner . . .
Tapi benarkah Oscar diberikan tanpa penilaian yang matang --
hingga kontroversi dan cemooh timbul?
The Academy of Motion Picture Artsond Sciences (nah, sebuah nama
yang sangat keren) didirikan di tahun 1927 oleh orang-orang
besar Hollywood. Mereka, Douglas Fairbanks, Mary Pickford, Louis
B. Mayer, dan lain-lain, suatu hari berkumpul di Hotel
Ambassador. Mereka bermaksud membentuk sebuah organisasi yang
akan memberikan prestise bagi industri film yang tengah
membubung itu. Dan tak lama kemudian, organisasi yang bernama
hebat dan sering disingkat "Akademi" itu memutuskan memberikan
hadiah tahunan bagi prestasi tertinggi di bidang gambar hidup.
Hadiah pertama diberikan 16 Mei 1929. Apa filmnya tak begitu
penting waktu itu. Yang layak dikenang adalah uasananya. Sangat
sederhana. Hidangan hanya seadanya, zaitun untuk nyamikan, dan
roti panggang + ayam sebagai menu utama. Bandingkanlah dengan
upacara Oscar tahun-tahun belakangan: para tamu makan lobster
dan kaviar, minum Stolichnaya yang sudah didinginkan, lalu
berdansa hingga fajar tiba dalam ballroom Hotel Beverly Hilton,
di mana ruang telah diubah jadi hutan tropis yang rimbun.
Tapi kenapa piala sepanjang hampir 30 senti dan seberat tiga
kilo itu disebut "Oscar"? Entahlah. Ada yang mengatakan, nama
itu berasal dari nama kepala perpustakaan Akademi. Ada pula yang
berteori bahwa nama itu berasal dari nama suami Bette Davis
waktu itu, Harmon Oscar Nelson, Jr.
Peraturan juga berubah-ubah selama dasawarsa pertama -- seperti
halnya Piala Citra. Sejumlah kategori ditambahkan atau
dihilangkan, tapi akhirnya 14 di antaranya tetap: termasuk
pemeranan, penyutradaraan, penulisan skenario, sinematografi,
pengarah artistik, kostum, musik, suara dan pemaduan gambar
(editing). Untuk tiap Oscar dicalonkan lima nama. Caranya: para
aktor anggota Akademi mencalonkan aktor, sutradara mencalonkan
sutradara, dan seterusnya. Pada pemungutan suara terakhir, semua
anggota Akademi (jumlahnya kini 4.325 orang) boleh memberikan
suara buat calon-calon untuk tiap kategori.
SUDAH pasti agak sukar menyuap para "juri" yang sekian banyak
itu. Tapi usaha mempengaruhi keputusan mereka bukan tak ada
--bahkan cukup ramai. Seperti terlihat menjelang pemilihan Oscar
tahun ini -- dengan pemenang sebagai film terbaik Ordinary
People -- para anggota Akademi dihujani undangan resepsi, jamuan
makan tak resmi dan bahan-bahan publisitas yang serba gemilang.
Ratusan ribu dollar dihabiskan oleh studio-studio buat menggaet
simpati. Tahun ini, misalnya, anggota Akademi yang bersedia
menonton pertunjukan khusus Flash Gordon dijamu oleh Universal
dengan makan malam mewah: US$ 30 per piring.
Bisa dimengerti. Kemenangan dengan tdnda Oscar dipastikan akan
menghasilkan jutaan dollar untung. Annie Hall, misalnya, sebuah
film bagus dengan budget murah, setelah dapat Oscar menghasilkan
uang tambahan sampai sebesar US$ 5,5 juta. Yang agak merepotkan
studio ialah: bahwa aktor atau sutradara yang memperoleh Oscar
juga bisa minta bayar tambahan, dan tarifnya lebih tinggi . . .
Niat komersial, dan bukan artistik, memang telah menyebabkan
Oscar kurang punya reputasi baik di mata para kritikus film.
Film yang paling banyak memenangkan Oscar dalam sejarah adalah
Ben-Hur: ia menyambar 11 piala di tahun 1959. Padahal jika kita
nonton sekarang, film itu -- kecuali adegan lomba kereta yang
seru - hanya sedikit di atas taraf sandiwara untuk penyebaran
agama Kristen.
Sejak tahun 1930 orang curiga akan motif pemberian Oscar. Ketika
itu yang menang adalah bintang film Mary Pickford. Oscar-nya
dianggap kurang jujur karena Pickford adalah anggota Akademi. Di
tahun 1961, Elizabeth Taylor memenangkan Oscar untuk Butterfield
8. Orang curiga bahwa piala itu diberikan kepadanya karena ia
baru lepas bahaya mau akibat sakit pneumonia. Tentang
Butterfield 8 sendiri Elizabeth Taylor belakangan ini pernah
bicara. "Saya masih tetap merasa bahwa film itu bau," katanya.
Alasan sentimental memang mungkin ada di kalangan para anggota
Akademi. John Wayne, Ethel Barrymore, Margaret Rutherfold,
adalah bintang-bintang tua yang kemudian diberi Oscar -- seraya
mengingat bahwa mereka ini kaum veteran yang belum beruntung.
Tapi toh sejumlah nama besar atau tenar tetap luput. Greta
Garbo, Henry Fonda, Montgomery Clift, Barbara Stanwyck dan Paul
Newman misalnya belum pernah dapat piala yang beken itu --
meskipun kemudian mereka ada juga memperoleh tanda-tanda
penghargaan. Richard Burton, setelah 7 kali dicalonkan, tetap
tak pernah dapat. Film klasik yang indah seperti Citizen Kane
juga tak dihargai sebagai film terbaik. Hanya skenarionya yang
beruntung. Dan sutradara Alfred Hitchcock: apakah yang diberikan
oleh Akademi untuk film-filmnya - meskipun sutradara serius dari
Prancis seperti Truffaut sangat mengaguminya?
Mendengar banyak kritik kepada Akademi itulah di tahun 1970
Ketua Akademi, bintang film Gregory Peck, mencoba mengubah
gambaran bahwa Oscar menghargai doku lebih di atas mutu. Peck
mencoret hak suara dari sejumlah anggota Akademi yang tak pernah
aktif. Anggota baru direkrut. Setiap orang film yang paling
sedikit punya dua kredit film, dan diusulkan oleh dua orang
dalam tiap sektor, memang dapat dipilih jadi anggota Akademi.
Perlahan-lahan, perbaikan nampak. Budget raksasa, laba berjuta,
kampanye yang tak putus-putusnya tak dengan sendirinya
menyebabkan sebuah film bisa dicalonkan. Di tahun 1974, The
Towering Inferno memang berhasil dicalonkan untuk Film Terbaik.
Tapi itulah agaknya "permainan" terakhir Akademi dengan film
gemuruh tapi kosong.
Meskipun demikian, pilihan Film Terbaik tahun ini, Orclinary
People, toh tetap belum mengesankan para kritisi. Banyak yang
masih lebih memilih film hitam-putih The Elephant Man. Betapa
pun, Oscar memang bisa meleset untuk menilai daya tahan
keindahan sebuah film. Film superpatriotik gaya John Wayne The
Alamo, misalnya, pernah dicalonkan untuk Film Terbaik, tapi kita
tahu bahwa film itu hanya kegairahan John Wayne sendiri dengan
ide-ide cinta-Amerikanya. Sedang film Chaplin, Modern Time, tak
menang apa pun tapi siapa yang bisa melupakannya? Dan juga 2001:
A Space Odyssey karya Stanley Kubrick ?
Sementara itu, bintang Luise Raine menunjukkan pula betapa Oscar
tak selalu menjamin prestasi yang panjang. Dua kali
berturut-turut ia memenangkan Oscar untuk permainannya dalam The
Great Ziegfeld ( 1936) dan The Good Earth (1937). Tak ayal lagi,
MGM meluncurkannya untuk lima buah film lagi. Hasilnya: brengsek
dan bangkrut. Lima tahun kemudian Rainer balik mudik ke Austria.
Punah.
Itu tak berarti Oscar hanya "parade daging". Paling sedikit
hura-hura di Hollywood itu melibatkan banyak orang -- yang
mengikutinya dari seluruh penjuru dunia. Rasa permusuhan tak
jarang terjadi, juga rasa solidaritas dan keharuan.
Contoh permusuhan terbesar terjadi justru antara dua bersaudara:
Joan Fontaine dan Olivia de Havilland. Keduanya dicalonkan untuk
Aktris Terbaik tahun 1942. Sejak itu kedua mereka tak saling
berbicara. Ketika Academy Awards dirayakan pada usianya yang
setengah abad, permusuhan antara Joan dan Olivia belum reda.
Keduanya dipisah duduknya -- meskipun berada di satu panggung.
Dan tentang solidaritas? Ingrid Bergman memenangkan Oscar di
tahun 1976 untuk filmnya Murder on the Orlent Express, sebuah
kisah Agatha Christie yang tersohor. Tapi Bergman, bintang yang
pernah dikucilkan Hollywood di tahun 50-an karena ia melahirkan
anak tanpa menikah, menunjukkan kebesaran hatinya. Ia maju, tapi
untuk menyatakan bahwa Valentina Cortse, calon Aktris Terbaik
dalam film Day for Night, sebenarnya lebih layak menerima piala.
Di tahun 1971 Charlie Chaplin mendapatkan penghargaan khusus.
Tokoh sejarah film ini pernah disingkirkan Hollywood karena film
dan sikapnya dicurigai bernapaskan "merah". Tapi pada umur 83 ia
dimohon kembali untuk upacara yang mengharukan itu. Air matanya
membasah. Kata-katanya gugup. "Anda sekalian . . . orang-orang
yang manis budi."
Hadiah Oscar tak pernah diperolehnya. Tapi ia merasa, Hollywood
pun bisa mengoreksi dirinya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini