Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Otokrasi Penopang Dinasti Jokowi

Jokowi menerapkan otokrasi untuk melanggengkan kekuasaan dan dinasti politik. Menggunakan hukum sebagai alat penekan.

28 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALIMAT-KALIMAT awal pada pengantar Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2017) dalam How Democracies Die menjadi sangat relevan perihal bagaimana pemimpin yang dipilih melalui proses demokrasi bersalin rupa menjadi pembunuh demokrasi. Bukan di Amerika Serikat saja, di Indonesia pun setali tiga uang dalam tesis hantaran Levitsky dan Ziblatt tersebut. Saya kira Presiden Jokowi yang awalnya terpilih melalui proses demokrasi membunuh demokrasi itu sendiri. Walau dengan gejala yang tak serupa dengan kejadian di Amerika, jejaknya mudah dilihat di Indonesia melalui pelbagai argumentasi terserak yang bisa dirangkai dan dijalin, untuk mengatakan demokrasi dimatikan dengan cara menghela politik dinasti yang ditopang otokrasi.

Otokrasi secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai pemerintahan yang ia pegang sendiri sehingga ia bisa meniadakan konstitusi dan hukum yang membatasi dan memandu kuasanya. Hukum dan konstitusi yang menjadi limitasi hanya akan dipandang jika perlu ada dan sesuai dengan keinginannya. Sedangkan ketika sang otokrat memilih jalannya sendiri, hukum dan konstitusi dapat ia kesampingkan, termasuk menghilangkan institusi independen yang seharusnya menegakkan hukum dan konstitusi. Itulah yang tampaknya Jokowi lakukan tatkala ingin menghela politik dinasti yang ia idam-idamkan. Otokrasi adalah “jalan ninja” Jokowi. Dia menjalaninya dengan berbagai cara.

Pertama, dia mengubah wajah hukum. Dewi keadilan, yang seharusnya ditutup matanya, menjadi melek pada kepentingan politik. Kita semua paham bagaimana bekerjanya lembaga-lembaga peradilan yang tak lagi melulu mempertimbangkan mens rea pelaku. Afiliasi politik pelaku pun menjadi alat takar. Bukan hanya dalam konteks belakangan, Jokowi memulainya dengan memasukkan unsur politik (bisa dibaca juga partai politik) dalam pemegang tampuk pimpinan aparat penegak hukum. Bisa jadi bukan politikus sebagai aktor langsung, tapi mungkin sebagai patron, sebagai pemegang kuasa di belakang. Kondisi itu makin mengental seiring dengan kontestasi politik yang mengetat.

Tak hanya menjadikan penegakan hukum tunduk pada kuasa politik, Jokowi pun merisak kelembagaan dan pelaku kuasa. Mungkin karena tak percaya diri bisa menguasai lembaga penegakan hukum secara politik selamanya, ia tak sekadar memasang orang sebagai “kuda tunggangan”, tapi juga ikut mendomestikasi lembaganya. Penjinakan kelembagaan pun dimulai dengan merusak aturannya. Lihat saja dalam kasus revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Cara yang sama ditempuh untuk “membeli” kepercayaan para hakim Mahkamah Konstitusi dengan gratifikasi masa jabatan yang tiba-tiba memanjang melalui revisi Undang-Undang MK. Dari masa jabatan 5 tahun menjadi hingga hakim berusia 70 tahun atau telah 15 tahun mengabdi di MK.

Cara ini mungkin dapat dibaca sebagai konsep autocratic legalism. Salah satu produknya adalah putusan MK pada Oktober 2023 yang meloloskan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden. Putusan itu jelas melanggar hukum dan konstitusi. Kita semua paham bagaimana rusaknya bangunan argumentasi di balik putusan tersebut. Nyaris tak ada satu pun teori hukum dan etika yang bisa dipakai untuk membenarkan putusan itu. Sayangnya, keinginan Sang Otokrat untuk melanggengkan dinasti politik tetap terwujud.

Kedua, ketika keseluruhan kelembagaan politik harus ditundukkan dan mengabdi pada kepentingan Sang Otokrat dan dinasti politiknya. Mungkin bisa kita baca secara lebih netral, sebagai tokoh yang lahir tanpa kekuatan politik yang memadai, Jokowi mencoba menancapkan pengaruh pada partai politik. Tapi ada takaran yang berlebihan. Entah sadar entah tidak, Jokowi menggeser demokrasi, yang membutuhkan partai dan kuasa parlemen sebagai checks and balances bagi pemerintahan, menjadi kuasa sendiri. Ia adalah otokrat sejati yang menghendaki kuasa di tangannya secara tunggal personal dan bukan pada partai ataupun kaukus. Tunggal personal berarti bisa diturunkan kuasa itu atas kehendaknya, termasuk ke hubungan darah yang ia kehendaki.

Karena itu, partai boleh menjadi pelaku kuasa, tapi bukan sebagai pemegang kuasa. Partai boleh menjadi pengaju usulan kepemimpinan, tapi pemegang kendalinya tetap Sang Otokrat. Partai politik beserta ketua umumnya bisa saja menentukan kebijakan, tapi arahnya diatur Jokowi. Nyaris semua partai hanya ndherek Sang Otokrat.

Partai yang berbeda pandangan dan menolak keinginan akan ditempatkan sebagai lawan yang harus dituntaskan. Bisa dengan mempengaruhi, memecah, mengkriminalisasi, atau apa pun yang mungkin untuk mengubah pola relasi dua arah menjadi satu arah, sesuai dengan keinginan dan kepentingan Otokrat. Alat utama yang dipakai tentu saja otoritas. Otoritas tentu dapat lahir secara legal-rasional (seperti pengesahan oleh aturan hukum), juga secara tradisional (legitimasi oleh tradisi) dan, yang tentu tak dapat ditolak, otoritas juga bisa lahir dari karisma. 

Tiga otoritas dalam pendekatan sosiologis tersebut dimainkan dalam kerangka politik dinasti. Sokongan hukum dan alat kekuasaan dipakai untuk memberi pengaruh ke partai-partai. Begitu pun penggunaan legitimasi tradisional melalui organisasi kemasyarakatan keagamaan ataupun adat. Juga pembangunan karisma dalam bentuk tingkat kepercayaan publik tinggi melalui politik gentong babi dan dibenarkan oleh survei. Hasilnya, politik dinasti yang ditawarkan Sang Otokrat tak mengalami penolakan, bahkan laku keras. Pragmatisme partai politik mengamplifikasinya. Tak mengherankan jika dalam rumpun keluarga, banyak kandidat yang harus pamer kedekatan/kekeluargaan, termasuk jualan ajudan istri dan relasi lain.

Ketiga, mereduksi pengawasan dengan meminjam istilah Theodor W. Adorno tentang kepribadian otoritarian (authoritarian personality). Ini sejenis kepribadian yang memasukkan persoalan otoritas ke semua wilayah sosial, termasuk mengubah pola perilaku kerja sama serta saling kontrol menjadi perintah dan kepatuhan. Alat kontrolnya, salah satunya, adalah dengan menggunakan hukum seperti yang dituliskan di atas. 

Itu yang mengakibatkan Dewan Perwakilan Rakyat sebagai parlemen yang asli malah menjadi mati kutu berhadapan dengan politik dinasti Jokowi. Berbagai pelanggaran hasil kepemimpinan otokrasi hanya dibiarkan tanpa mekanisme pengawasan di parlemen, kecuali jadi gerundelan di belakang satu-dua partai ataupun anggota DPR.

Begitu pun geliat masyarakat sipil dan parlemen jalanan yang hanya dihadapi sambil lalu tanpa diberi ruang partisipasi dan aspirasi yang memadai. Terserah Anda mau setuju atau tidak. Tetap saja ia akan mendukung politik dinasti dengan bersembunyi di balik idiom “bukan keinginan saya”, tapi keinginan anaknya saja yang berubah tiba-tiba. Dari yang awalnya gemar berbisnis lalu berubah menjadi gemar berpolitik. Ini barangkali yang bisa menjelaskan julukan the man of contradiction oleh Ben Bland (2020) yang di bagian kesimpulan menuliskan bahwa, “... he has lurched back toward Indonesia's authoritarian roots, eroding free speech and the right of minorities, undermining the all important fight against corruption and launching his own nascent political dynasty.”

Ketiga jalan itu tentu masih bisa dipanjangkan dan dikembangkan. Bahkan menerima ketiganya sebagai jalan pengorbanan Jokowi untuk mengawal proses Indonesia yang dilanda krisis menuju Indonesia Emas 2045 juga barangkali masih ada yang mau membenarkan.

Apa pun itu, mudah dibaca bahwa Jokowi bersetia pada kuasa dan bukan pada proses demokrasinya. Itulah yang membuat politik dinasti yang ditopang otokrasi telah menjadi ujian takdir dalam lanskap politik Indonesia. Ibarat takdir sebagai salah satu ujian demokrasi, terkadang ada tikungan tajam buat menguji kemampuan untuk melaju. Jokowi adalah ujian untuk demokrasi itu sendiri.

Tapi memilih untuk membenarkan Jokowi adalah kegagalan dalam ujian demokrasi. Pun memilih menyalahkan dia sepenuhnya menjadi semacam aksi melempar tanggung jawab yang seharusnya dilakukan secara kolektif. Itu sebabnya ada kewajiban menghidupkan kembali api oposisi, karena itulah yang akan jadi peredam sekaligus perlambang tanggung jawab kolektif kita semua. Ada ruang penghukuman dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada 2024. Tentu menarik untuk menantinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus