Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KALIMAT-KALIMAT awal pada pengantar Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt (2017) dalam How Democracies Die menjadi sangat relevan perihal bagaimana pemimpin yang dipilih melalui proses demokrasi bersalin rupa menjadi pembunuh demokrasi. Bukan di Amerika Serikat saja, di Indonesia pun setali tiga uang dalam tesis hantaran Levitsky dan Ziblatt tersebut. Saya kira Presiden Jokowi yang awalnya terpilih melalui proses demokrasi membunuh demokrasi itu sendiri. Walau dengan gejala yang tak serupa dengan kejadian di Amerika, jejaknya mudah dilihat di Indonesia melalui pelbagai argumentasi terserak yang bisa dirangkai dan dijalin, untuk mengatakan demokrasi dimatikan dengan cara menghela politik dinasti yang ditopang otokrasi.
Otokrasi secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai pemerintahan yang ia pegang sendiri sehingga ia bisa meniadakan konstitusi dan hukum yang membatasi dan memandu kuasanya. Hukum dan konstitusi yang menjadi limitasi hanya akan dipandang jika perlu ada dan sesuai dengan keinginannya. Sedangkan ketika sang otokrat memilih jalannya sendiri, hukum dan konstitusi dapat ia kesampingkan, termasuk menghilangkan institusi independen yang seharusnya menegakkan hukum dan konstitusi. Itulah yang tampaknya Jokowi lakukan tatkala ingin menghela politik dinasti yang ia idam-idamkan. Otokrasi adalah “jalan ninja” Jokowi. Dia menjalaninya dengan berbagai cara.
Pertama, dia mengubah wajah hukum. Dewi keadilan, yang seharusnya ditutup matanya, menjadi melek pada kepentingan politik. Kita semua paham bagaimana bekerjanya lembaga-lembaga peradilan yang tak lagi melulu mempertimbangkan mens rea pelaku. Afiliasi politik pelaku pun menjadi alat takar. Bukan hanya dalam konteks belakangan, Jokowi memulainya dengan memasukkan unsur politik (bisa dibaca juga partai politik) dalam pemegang tampuk pimpinan aparat penegak hukum. Bisa jadi bukan politikus sebagai aktor langsung, tapi mungkin sebagai patron, sebagai pemegang kuasa di belakang. Kondisi itu makin mengental seiring dengan kontestasi politik yang mengetat.
Tak hanya menjadikan penegakan hukum tunduk pada kuasa politik, Jokowi pun merisak kelembagaan dan pelaku kuasa. Mungkin karena tak percaya diri bisa menguasai lembaga penegakan hukum secara politik selamanya, ia tak sekadar memasang orang sebagai “kuda tunggangan”, tapi juga ikut mendomestikasi lembaganya. Penjinakan kelembagaan pun dimulai dengan merusak aturannya. Lihat saja dalam kasus revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Cara yang sama ditempuh untuk “membeli” kepercayaan para hakim Mahkamah Konstitusi dengan gratifikasi masa jabatan yang tiba-tiba memanjang melalui revisi Undang-Undang MK. Dari masa jabatan 5 tahun menjadi hingga hakim berusia 70 tahun atau telah 15 tahun mengabdi di MK.
Cara ini mungkin dapat dibaca sebagai konsep autocratic legalism. Salah satu produknya adalah putusan MK pada Oktober 2023 yang meloloskan putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka, sebagai calon wakil presiden. Putusan itu jelas melanggar hukum dan konstitusi. Kita semua paham bagaimana rusaknya bangunan argumentasi di balik putusan tersebut. Nyaris tak ada satu pun teori hukum dan etika yang bisa dipakai untuk membenarkan putusan itu. Sayangnya, keinginan Sang Otokrat untuk melanggengkan dinasti politik tetap terwujud.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo