Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGAMAT politik Indonesia dari Australia, Marcus Mietzner, menulis sebuah artikel yang mempertanyakan bagaimana demokrasi bisa bertahan di Indonesia yang telah mengalami tren otokratisasi konsisten dalam jangka waktu lama. Dalam deteksinya, pola otokratisasi dan kemerosotan demokrasi muncul dan meluas sejak akhir 2000-an. Namun, uniknya, tidak seperti beberapa negara tetangganya di Asia Tenggara, Indonesia hingga 2024 belum jatuh ke tangan rezim otokrasi secara penuh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mietzner berargumen ada dua faktor terkait yang menjelaskan kondisi ini: pertama, kekuasaan tersebar begitu luas pada awal transisi demokrasi sehingga monopoli kekuasaan akan sulit dicapai; dan, kedua, penyebaran kekuasaan telah mendasari persaingan antarelite yang intens yang memberikan basis sengketa terhadap segala upaya menancapkan pemerintahan otokrasi personal (Third World Quarterly, Maret 2024). Sepintas pandangan Mietzner ini melegakan. Namun, jika diselisik lebih jauh, kesimpulannya membahayakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kelemahan terbesar pandangan Mietzner adalah pemberian nuansa seakan-akan kompetisi elite kekuasaan di Indonesia telah tumbuh hingga menghasilkan semacam mekanisme otomatis baku yang membuat demokrasi tereservasi dengan sendirinya. Para elite merusak demokrasi Indonesia, tapi kompetisi yang ketat sebagai akibat fragmentasi kekuasaan yang luas akan senantiasa menghasilkan keseimbangan baru yang tidak memungkinkan satu rezim otokrat memonopoli kekuasaan secara permanen.
Kita bisa terlena dengan argumen itu dan membayangkan ada semacam mesin ajaib elite kekuasaan yang memproduksi kompetisi sekaligus menjaga agar kompetisi tidak merusak demokrasi. Di sini Mietzner mengandaikan fragmentasi dan elite yang bobrok akan secara inheren menyediakan obat untuk memulihkan demokrasi. Bagaimana mungkin?
Persoalan kedua dari pandangan Mietzner adalah ia melihat demokrasi semata dari ketiadaan monopoli otokrasi personal. Dengan melihatnya seperti itu, ia membayangkan demokrasi rusak apabila muncul figur semacam Soeharto yang berkuasa tanpa batas sebagai hasil akhir.
Mietzner mengabaikan satu hal bahwa demokrasi tidak dapat semata-mata dinilai dari ada-tidaknya diktator atau pemerintahan junta dalam konteks Thailand yang secara resmi memimpin. Kerusakan demokrasi yang fatal sering kali tidak dimulai dari perampokan kekuasaan rakyat secara terang-terangan.
Sebagian besar populis otokrat kontemporer tidak menghancurkan demokrasi melalui perebutan kekuasaan secara terbuka, sebagaimana self-coup-d’état (kudeta diri sendiri) Alberto Fujimori di Peru pada 1992. Sebaliknya, mereka menyalahgunakan atribusi institusional sebagai pemimpin eksekutif dan dukungan massa—baik yang disahkan oleh pemilihan umum demokratis maupun massa populis sejenis relawan—untuk menjungkirbalikkan prinsip-prinsip demokrasi secara legal formal atau semi-legal (Scheppele, 2018).
Di sini, karena otokrat populis bisa menyalahgunakan demokrasi untuk memenggal demokrasi, institusi demokrasi selalu bersifat rentan dan dalam perkembangannya bisa rusak. Ini yang terjadi di Indonesia. Reformasi dan demokratisasi Indonesia, yang dimulai pada 1998, mengandalkan adanya transisi institusional lembaga-lembaga demokrasi, selain pemangkasan dan pembatasan kekuasaan serta penegakan supremasi sipil.
Desain institusional multipartai dan sistem presidensialisme ditujukan untuk menghasilkan keseimbangan dan kontrol atas kekuasaan eksekutif. Mahkamah Konstitusi dibuat sebagai jalan deliberatif untuk memecahkan kebuntuan ketatanegaraan. Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, atau Komisi Yudisial didirikan untuk mengontrol kekuasaan agar tidak mengulangi sejarah korupsi dan kejahatan kemanusiaan Orde Baru. Institusi-institusi ini yang sekarang sedang dirusak atau terancam.
Penelitian Frank Feulner menemukan bahwa selama periode kedua pemerintahan Joko Widodo, Dewan Perwakilan Rakyat bukan hanya tak peduli pada laju kemerosotan demokrasi. Lebih dari itu, mereka justru menjadi aktor paling aktif dalam autocratic legalism. Legalisme otokratik terjadi ketika proses pembuatan undang-undang dilakukan secara kilat tanpa proses deliberatif yang sungguh-sungguh dan kesertaan partisipasi publik yang otentik, demi melayani kepentingan elite (The Theory and Practice of Legislation, Mei 2024).
Cara serupa dilakukan dalam pelbagai politik hukum dan perundangan yang menggerogoti institusi-institusi demokrasi lain: perubahan KPK dari lembaga independen menjadi lembaga kepanjangan tangan eksekutif dan penggunaan MK untuk membuka jalan pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat wakil presiden. Perubahan dalam setting kelembagaan demokrasi ini tidak sekadar mengakibatkan mereka menjadi kurang efektif. Lebih dari itu, karakter lembaga-lembaga tersebut berubah secara mendasar menjadi kantong-kantong dalam otoriterianisme (authoritarian enclaves) baru.
Kacamata Mietzner yang secara tautologis terpusat pada elite membuat dia gagal melihat perubahan-perubahan mendasar dalam pelembagaan demokrasi di Indonesia. Memang, dalam sepuluh tahun ini, tidak muncul seorang tiran atau sejenis junta di Indonesia. Namun authoritarian enclaves makin tumbuh dalam satu dasawarsa terakhir dan mereka mulai menggantikan kelembagaan demokrasi yang rusak. Selain itu, sekalipun elite berpengaruh besar dalam menentukan masa depan demokrasi, tanpa tekanan politik dari civil society, termasuk media, mustahil elite akan berjalan sendiri memelihara demokrasi.
Para ahli politik menunjukkan upaya seorang otokrat memanipulasi demokrasi dan mempromosikan otoritarianisme hanya berhasil dalam dua kondisi, yakni adanya kelemahan institusional yang memberi mereka keleluasaan untuk bermanuver sesukanya dan adanya limpahan sumber daya atas kesuksesan yang bombastis dalam mengatasi krisis akut, sehingga memberikan dukungan besar dan memungkinkan mereka menghilangkan hambatan-hambatan lain untuk mengkonsentrasikan kekuasaan. Hal pertama telah terjadi dan kita alami, hal kedua tampaknya muskil sekalipun dengan gampang bisa dicari-cari dan direkayasa.
Sejak awal Jokowi adalah seorang yang pragmatis yang digoda menjadi populis oleh para pengagum fanatiknya yang bungah sejak awal kekuasaannya. Pragmatisme Jokowi dikonfirmasi melalui pernyataan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka. Dalam sebuah wawancara, ia menceritakan bahwa “Kata Jokowi ideologi tidak penting”. Seorang yang pragmatis tidak mementingkan ideologi, pendasaran teoretis, dan institusi, yang penting adalah daya guna langsung.
Itu sebabnya Jokowi memulai dengan trilogi “kerja-kerja-kerja”, dengan akibat mudah terpesona oleh kemajuan-kemajuan superfisial dan meremehkan institusionalisasi demokrasi. Dia mungkin bisa mengambil sikap pluralis, tapi pluralismenya tidak didasari pandangan tentang hak, lebih didasarkan pada perlunya keadaan harmonis demi pembangunan.
Bagi politikus yang pragmatis, institusionalisme hanya bermanfaat apabila bisa diinstrumentasikan untuk keuntungan dan tujuannya. Jika tidak, ia harus diubah menjadi instrumental. Mereka akan memandang independensi dan deliberasi sebagai inefisiensi. Dalam kerangka ini, politikus yang pragmatis sering dengan gampang menggunakan sumber daya, orang, dan alat yang paling mudah ditemukan di sekitarnya. Ini yang tampak dengan jelas dalam pendekatan pembangunan ekonomi Jokowi: bergantung pada badan usaha milik negara dan kelompok-kelompok pemodal terdekat. Juga dari cara dia mendayagunakan partai politik dan kelompok-kelompok ekstra-parlementer yang sepenuhnya klientelistik.
Pragmatisme pembangunan pada akhirnya membuat Presiden Joko Widodo melakukan kesalahan serupa dengan Soeharto di masa Orde Baru, yakni memisahkan pembangunan ekonomi dari demokrasi dan hak asasi. Akibatnya, periodenya ditandai dengan meluasnya problem lingkungan dan kemunduran dalam ruang civic di kalangan civil society. Bedanya, di masa Soeharto pragmatisme dipilih sebagai jalan untuk memastikan kestabilan politik demi pertumbuhan ekonomi, sementara pragmatisme Jokowi akibat keterbatasan wawasan di awal pemerintahannya dan keinginan segera membedakan diri dengan pemerintahan-pemerintahan sebelumnya.
Walhasil, dia kini meninggalkan warisan yang centang perenang. Para pengagumnya dulu membanggakan pluralisme dan otentisitasnya untuk melindungi kaum minoritas, tapi pluralisme tanpa basis hak asasi dengan gampang terpeleset menjadi pluralisme otoritarian ala Orde Baru. Ia menancapkan tonggak pembangunan infrastruktur, tapi banyak yang bersifat superfisial: IKN, bukit algoritma, kereta cepat.
Dalam soal nepotisme, ia barangkali mengambil pembenaran dari kebiasaan yang juga banyak menghinggapi elite-elite kita. Bedanya, ia melakukannya dalam cara dan tingkat yang tak terduga. Pada akhirnya, ia sama sekali tidak meninggalkan warisan yang cukup jelas untuk dijadikan pijakan supaya Indonesia berjalan selamat dan lebih tenang ke masa depan.