Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
BI menguasai surat utang pemerintah dengan porsi terbesar.
Burden sharing kini membebani anggaran BI.
Hilangnya independensi BI merusak kepercayaan investor.
BANK besar ataupun kecil kian ramai menempatkan dananya pada surat utang negara atau obligasi pemerintah. Imbal hasil yang menggiurkan dan risiko yang relatif minim dibanding instrumen lain menjadi alternatif bagi bank untuk mencetak profit selain menyalurkan kredit. Apalagi pemerintahan Presiden Joko Widodo atau Jokowi gemar menerbitkan surat berharga negara (SBN) untuk membiayai belanja pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Bank Oke Indonesia Tbk atau OKE Bank, misalnya, menempatkan dana di SBN hingga Rp 1,3 triliun dan pada Sekuritas Rupiah Bank Indonesia atau SRBI Rp 200 miliar. Menurut Direktur Kepatuhan OKE Bank Efdinal Alamsyah, jumlah dana yang ditempatkan di SBN dan SRBI pada paruh pertama tahun ini naik 25,8 persen jika dibanding pada periode yang sama tahun lalu. “Sangat logis memilih menempatkan dana di surat berharga dengan kupon yang cukup tinggi dan risiko kredit rendah,” katanya kepada Tempo, Selasa, 23 Juli 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski begitu, Efdinal menambahkan, OKE Bank tak mengesampingkan penyaluran kredit ke sektor riil yang juga masih menjanjikan keuntungan. “Dengan pemberian kredit, bank dapat melakukan cross selling produk-produk lain kepada debitor,” dia mengungkapkan alasannya. Di sisi lain, upaya penarikan dana lebih kompleks karena bank berebut likuiditas. Efdinal mengatakan bunga deposito yang saat ini berkisar 3-4 persen per tahun harus bersaing dengan instrumen SBN retail pemerintah yang menawarkan imbal hasil 6-7 persen per tahun. “Untuk bank kecil, dana pihak ketiga yang dihimpun sebagian besar dari dana mahal,” ucapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bersama Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengikuti rapat kerja bersama Badan Anggaran DPR membahas laporan realisasi semester I dan prognosis semester II pelaksanaan APBN TA 2024, di kompleks Parlemen, Senayan, 8 Juli 2024. Antara/Rivan Awal Lingga
Bukan hanya OKE Bank yang masuk kategori kelompok bank berdasarkan modal inti (KBMI) I atau bank dengan modal Rp 6 triliun. Bank KBMI IV, yang bermodal di atas Rp 70 triliun, mengalami hal yang sama. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengakui perebutan dana yang kian ketat, termasuk dengan pangsa pasar surat utang pemerintah, menyebabkan bank tak punya pilihan selain menaikkan bunga deposito. “Kami melakukan penyesuaian, ada kenaikan,” ujarnya. Rata-rata suku bunga deposito BCA saat ini mencapai 3,25 persen.
Jumlah SBN berdenominasi rupiah yang dapat diperdagangkan memang melonjak dalam sepuluh tahun terakhir. Sebagai perbandingan, pada 31 Desember 2015, nilainya Rp 1.461,85 triliun. Adapun pada 22 Juli 2024 nilainya melonjak hingga Rp 5.787,48 triliun. Bank nasional menggenggam kepemilikan SBN hingga 21,08 persen dari total yang beredar. Kelompok bank kecil, menengah, hingga jumbo nyaman memarkir likuiditas pada obligasi pemerintah untuk kebutuhan jangka menengah. Sedangkan untuk jangka pendek, bank mengincar SRBI dengan tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan, hingga 12 bulan.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance, Abdul Manap Pulungan, mengatakan tarik-menarik dana antara sektor publik dan swasta melalui adu suku bunga membawa dampak lanjutan. Suku bunga tinggi itu pun tecermin pada kredit sehingga masyarakat dan dunia usaha sulit mendapatkan pinjaman murah. “Koordinasi fiskal dan moneter selama ini perlu dievaluasi karena ujungnya sektor riil yang jadi korban,” tuturnya.
•••
BUKAN hanya bank nasional, bank sentral pun menguasai surat utang negara. Per 22 Juli 2024, Bank Indonesia menggenggam surat berharga negara hingga 23,75 persen dari outstanding obligasi negara di pasar dengan nilai Rp 1.374,61 triliun. Angka itu mengalahkan nilai kepemilikan SBN oleh perbankan, asuransi, dana pensiun, dan manajer investasi yang berkisar 21-22 persen.
Nilai kepemilikan bank sentral atas SBN memang melambung jauh. Sebelum masa pandemi Covid-19, pada 31 Desember 2019, nilai SBN yang dipegang BI hanya Rp 262,49 triliun atau 9,54 persen dari total outstanding obligasi negara di pasar. Posisinya jauh di bawah bank nasional dengan nilai kepemilikan 21,12 persen serta industri asuransi, dana pensiun, dan manajer investasi yang memegang 21,88 persen.
Penguasaan BI atas obligasi pemerintah tak lepas dari kebijakan di masa pagebluk. Kala itu, BI dan pemerintah bersepakat menjalankan skema berbagi beban atau burden sharing guna menutup defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang melebar. Sederhananya, pemerintah meminta BI "mencetak uang" dengan cara membeli obligasi. Dana yang terhimpun kemudian digunakan negara untuk membiayai penanganan pandemi serta keperluan lain demi menjaga roda ekonomi tetap berputar.
Keputusan burden sharing diwarnai tarik-ulur lantaran mempertaruhkan independensi bank sentral. Idealnya, dalam setiap pengambilan keputusan dan arah kebijakan, BI bebas dari intervensi pihak mana pun, termasuk pemerintah. Tapi ketika itu pemerintah menilai otoritas moneter ini lamban menangani situasi genting.
Hal ini pun sempat memicu kejengkelan Presiden Jokowi. Dia menganggap BI kurang mendukung pemerintah dalam urusan pembiayaan anggaran karena tak cepat merealisasi rencana pembelian SBN di pasar perdana. Bahkan sempat mencuat rencana mengembalikan kendali bank sentral ke tangan pemerintah, seperti pada masa Orde Baru. “Kami mendorong berbagai lembaga negara melakukan sharing the pain, menghadapi pandemi dengan semangat kebersamaan, seperti burden sharing yang dilakukan pemerintah bersama BI,” ujar Jokowi.
Langkah burden sharing kemudian tertuang dalam surat keputusan bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI serta perjanjian kerja sama Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan dengan Deputi Gubernur BI. Menteri Keuangan Sri Mulyani saat itu mengatakan negara membutuhkan anggaran jumbo untuk penanganan Covid-19 yang mencakup bidang kesehatan, perlindungan sosial, dan dukungan bagi dunia usaha. “Skema ini disepakati untuk dapat dipertanggungjawabkan secara baik dari berbagai sisi,” katanya pada 6 Juli 2020.
Menurut Sri, pemerintah tak punya pilihan. Pemerintah memperkirakan defisit anggaran mencapai Rp 1.039,22 triliun atau 6,34 persen dari produk domestik bruto (PDB), melampaui batas 3 persen yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Karena itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara di masa pandemi, yang mengecualikan batas defisit 3 persen dari PDB paling lama hingga 2023.
Ketika menempuh cara penuh risiko tersebut, Sri Mulyani berupaya meyakinkan semua pihak bahwa mekanisme burden sharing dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan kredibilitas dan integritas pengelolaan fiskal serta moneter, juga kondisi perekonomian. “Burden sharing dilakukan dengan menjaga stabilitas nilai tukar, suku bunga, serta inflasi agar tetap terkendali,” ucapnya kala itu.
Walhasil, sepanjang 2020-2022, BI menggelontorkan dana via skema burden sharing hingga Rp 1.104,85 triliun. Dana dari kebijakan berbagi beban itu digunakan untuk membiayai bidang kesehatan, perlindungan sosial, kementerian/lembaga, dan pemerintah daerah. Dana ini mengucur melalui pembelian SBN di pasar primer atau private placement, dengan tingkat kupon sebesar suku bunga acuan alias BI Reverse Repo Rate. BI akan mengembalikan imbal hasil yang diperoleh kepada pemerintah secara penuh atau serupa dengan skema zero coupon bond.
Adapun dana dari pemerintah dipakai untuk pembiayaan non-barang publik atau non-public goods yang menyangkut upaya pemulihan ekonomi dan dunia usaha. Caranya adalah menjual SBN ke pasar dan BI tetap berkontribusi sebesar selisih bunga pasar dengan BI Reverse Repo Rate tiga bulan dikurangi 1 persen. Pembiayaan non-public goods lain ditanggung seluruhnya oleh pemerintah dengan imbal hasil sesuai dengan suku bunga dan mekanisme pasar.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat peluncuran Sukuk Tabungan Seri ST-001 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Agustus 2016. Tempo/Tony Hartawan
Untuk menepis tudingan mengganggu independensi bank sentral, Sri Mulyani mengatakan banyak negara yang melakukan hal serupa, seperti India, Korea Selatan, Meksiko, Filipina, Turki, Thailand, dan Afrika Selatan. “Kami melakukan secara hati-hati karena kami paham situasi yang dihadapi oleh pasar negara berkembang berbeda dengan negara yang sangat maju seperti Amerika Serikat, Eropa, ataupun Jepang,” dia beralasan.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo pun pernah merespons kekhawatiran akan dominasi bank sentral dalam kepemilikan SBN sebagai dampak skema burden sharing. Dia mengatakan pembelian SBN merupakan kebijakan yang telah dikoordinasikan dengan pemerintah dan dilakukan dengan tujuan spesifik. Di luar masa pagebluk, bank sentral berperan sebagai pembeli siaga ketika terjadi aliran modal asing keluar dari pasar keuangan domestik. “Biasanya kami beli saat ada outflow besar-besaran, jika tidak akan berdampak pada kenaikan imbal hasil yang berlebihan,” ucapnya pada 22 Mei 2024.
Apa pun alasannya, keputusan burden sharing berbuntut panjang. Neraca bank sentral tersandera gunungan surat utang pemerintah yang berisiko menggerus keleluasaan pengelolaan moneter hingga mengancam independensi kebijakan. Mengutip Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia 2023, terjadi peningkatan beban sebesar Rp 50,13 triliun, dari Rp 92,83 triliun menjadi Rp 142,96 triliun.
Lonjakan beban itu antara lain berasal dari skema burden sharing kelompok penggunaan public goods yang sejalan dengan peningkatan suku bunga acuan BI. Beban yang ditanggung BI dari hubungan keuangan dengan pemerintah pun meningkat, dari Rp 36,86 triliun menjadi Rp 59,67 triliun. Ini terjadi karena skema burden sharing yang mendekati zero coupon bond membebani neraca keuangan bank sentral. Jumlah beban meningkat karena BI harus menyerap surat utang pemerintah tapi tak ada imbal hasil karena kuponnya 0 persen.
Dampak burden sharing terhadap neraca keuangan BI tertuang dalam laporan Dana Moneter Internasional (IMF) pada Maret 2022. Kajian IMF menyebutkan, berdasarkan skenario kebijakan moneter yang ketat atau hawkish, total biaya yang harus dikeluarkan BI mencapai Rp 164 triliun pada 2023-2025. Skenario itu berdasarkan pada hitungan jika terjadi kenaikan suku bunga acuan hingga 6 persen pada akhir 2025.
BI pun tidak bisa serta-merta mengurangi beban dengan melepas porsi SBN. Sebab, Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara mengungkapkan, pelepasan SBN oleh BI berpotensi mengakibatkan gejolak di pasar keuangan, termasuk memukul rupiah. “Maju kena mundur kena. Kalau mau dilepas, harus hati-hati dan perlahan,” katanya.
Langkah taktis tak bisa ditempuh karena setelah pandemi berlalu pemulihan ekonomi tak berjalan sesuai dengan harapan. Tingkat pertumbuhan ekonomi masih stagnan di kisaran batas bawah 5 persen dan kurs rupiah kini melemah. BI pun terpaksa mempertahankan bunga di level 6,25 persen. Karena itu, kata Bhima, burden sharing sangat merusak independensi bank sentral. "BI seperti berada di bawah ketiak Kementerian Keuangan," ujarnya. Dampaknya adalah kepercayaan investor yang menurun terhadap kebijakan moneter BI, ditandai dengan rupiah yang terus melemah meski bunganya tinggi. Dalam tiga tahun terakhir, nilai tukar rupiah merosot 12 persen terhadap dolar Amerika Serikat.
Menurut Bhima, skema burden sharing bagai jalan pintas, bukan jalan terakhir atau solusi tunggal. Dia mengatakan pemerintah ketika itu sebenarnya bisa memangkas belanja kementerian/lembaga lebih besar, di antaranya dengan mengurangi tunjangan pejabat. "Tapi itu semua tidak dilakukan. Cetak uang jalan paling gampang saat itu dan daya rusaknya permanen.”
Tak cukup sampai di situ, bom waktu efek burden sharing adalah meningkatnya jumlah uang beredar yang berujung kenaikan tingkat inflasi. Bhima mengatakan kenaikan jumlah uang beredar menyebabkan penurunan nilai mata uang dan mendorong kenaikan harga barang. Walhasil, pemerintah terpaksa terus mengucurkan anggaran subsidi agar angka inflasi tak melambung ke level 6-7 persen. Ruang fiskal yang dimiliki pemerintah pun makin sempit. “Konsekuensinya untuk pemerintahan selanjutnya tidak punya kemewahan anggaran lebih untuk menjalankan program prioritas,” tutur Bhima.
Meski begitu, Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede menilai, dari sisi instrumen dan portofolio aset, risiko kepemilikan BI terhadap SBN relatif kecil. Sebab, SBN dijamin oleh negara sehingga potensi gagal bayarnya relatif kecil. Di sisi lain, bank sentral membutuhkan SBN sebagai underlying atau alas aset penerbitan SRBI.
Josua mengatakan, untuk menjaga independensi, BI wajib mengambil langkah terukur dan berhati-hati dalam membuat keputusan dan kebijakan. Begitu juga ketika melakukan koordinasi dengan pemerintah selaku otoritas fiskal, BI harus mengedepankan keseimbangan dengan kebijakan moneter yang pro-stabilitas dan kebijakan makroprudensial yang akomodatif. “BI harus selalu hadir di pasar dan melakukan intervensi jika dibutuhkan.”
Sementara itu, anggota Badan Supervisi Bank Indonesia, Piter Abdullah Redjalam, mengatakan konsep independensi BI harus dipahami dengan makna lain. Menurut dia, bank sentral memang tidak boleh diintervensi oleh pihak mana pun dalam penetapan kebijakan. “Tapi bukan berarti jalan sendiri. BI ambil kebijakan untuk bangsa dan negara, jadi prosesnya harus mempertimbangkan kondisi perekonomian secara keseluruhan,” kata Piter, yang juga menjabat Direktur Eksekutif Segara Institute.
Menurut Piter, burden sharing adalah bentuk koordinasi antara otoritas fiskal dan moneter guna menyelamatkan perekonomian nasional saat terjadi pandemi. Dia pun tak sependapat jika burden sharing dianggap membebani neraca keuangan BI karena ada SBN yang memiliki imbal hasil dan dicatatkan sebagai pendapatan. “Bukan berarti menjadikan neraca BI defisit, hanya berkurang surplusnya, jadi tidak ada kerugian bank sentral di sini," katanya. Piter mengimbuhkan, kalaupun ada kerugian, "Berdasarkan undang-undang, pemerintah yang bertanggung jawab menambal kerugian tersebut."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Pada edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terperosok Jalan Pintas".