Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Presiden Jokowi menggelar pertemuan membahas proyek kereta cepat Whoosh.
Biaya proyek Whoosh sudah membengkak hingga di atas Rp 100 triliun.
KCIC berupaya mencari sumber pendapatan di luar tiket.
RABU, 24 Juli 2024. Menjelang tengah hari, tiga pejabat yang menangani proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh menghadap Presiden Joko Widodo di Istana Negara. Mereka adalah Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan, Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara Kartika Wirjoatmodjo, dan Direktur Utama PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) Dwiyana Slamet Riyadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan selama satu jam itu, menurut Dwiyana, membahas perkembangan operasi Whoosh, kereta berkecepatan 350 kilometer per jam yang pembangunannya menelan dana US$ 7,2 miliar atau sekitar Rp 108 triliun. Materi pembahasan antara lain tren penumpang, kebutuhan dukungan pemerintah, dan rencana kerja sama dengan pihak Cina di masa mendatang. “Evaluasi atas kinerja sekarang,” kata Dwiyana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Whoosh kembali menjadi perhatian setelah disinggung Direktur Utama PT Wijaya Karya (Persero) Tbk atau WIKA, Agung Budi Waskito, dalam rapat bersama Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang antara lain membidangi industri dan investasi pada 8 Juli 2024. Dalam rapat tersebut, Agung mengatakan Whoosh turut membebani keuangan perusahaan, yang tahun lalu membukukan kerugian Rp 7,12 triliun. Kerugian WIKA membengkak berkali-kali lipat dari 2022 yang mencapai Rp 59,59 miliar.
Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi (kiri) dan Sekretaris Perusahaan KCIC Eva Chairunisa, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Januari 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Ada dua persoalan yang menggerogoti keuangan WIKA. Pertama, beban utang Rp 56 triliun pada 2023 dengan bunga tinggi. WIKA juga mulai mencatatkan kerugian dari PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia atau PSBI selaku pemegang 60 persen saham KCIC. WIKA menggenggam 38 persen saham PSBI. Selain menjadi pemegang saham konsorsium PSBI, WIKA berperan sebagai kontraktor dalam pembangunan Whoosh.
Untuk proyek Whoosh, WIKA menggelontorkan Rp 6,1 triliun dalam bentuk penyertaan modal. Perusahaan konstruksi ini juga memiliki piutang pembayaran sebagai kontraktor Rp 5,5 triliun. Artinya, duit WIKA di proyek tersebut mencapai Rp 12 triliun. “Mau tidak mau WIKA juga harus mencari pinjaman melalui obligasi,” tutur Agung. Karena itu pula WIKA mengajukan permohonan penyertaan modal negara Rp 2 triliun pada 2025.
Pernyataan Agung dalam rapat DPR itu lantas ditanggapi para pejabat pemerintah. Kartika Wirjoatmodjo mengatakan persoalan yang dikeluhkan WIKA tersebut terjadi ketika perusahaan konstruksi pelat merah itu bertindak sebagai kontraktor proyek. Hal serupa disampaikan Dwiyana yang menyatakan, ketika WIKA berperan sebagai kontraktor, semua penagihan—termasuk klaim piutang pembayaran sebesar Rp 5 triliun—harus mengikuti klausul dalam kontrak rekayasa-pengadaan-konstruksi (EPC).
Sekretaris Perusahaan KCIC Eva Chairunisa menyatakan, dalam pembangunan, proyek kereta cepat Whoosh sudah mempertimbangkan banyak hal yang telah dikoordinasikan dengan semua pemangku kepentingan. Sedangkan staf khusus Menteri BUMN, Arya Sinulingga, mengklaim Whoosh terus menunjukkan peningkatan kinerja secara bertahap. Ia pun mengatakan proyek ini terus berjalan dan tidak mangkrak di tengah jalan sehingga tidak tepat jika disebut menyumbang kerugian. "Bukan menyumbang kerugian, di mana-mana kan ada investasi dulu," ujarnya pada Senin, 15 Juli 2024, seperti dilansir Antara.
•••
KONTROVERSI menyertai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sedari awal. Prahara muncul tatkala pemerintah memilih mitra kerja sama yang menggarap proyek ini. Ketika itu ada cerita salip-menyalip antara Jepang dan Cina selaku penyedia pembiayaan dan pengembang kereta cepat.
Pada 2011, pemerintah Jepang melalui Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) memulai studi pembangunan sepur kilat di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Jepang pun menghibahkan US$ 500 ribu kepada pemerintah untuk melakukan pra-studi kelayakan selama April-November 2012. Studi kelayakan tahap pertama lantas berlangsung pada Januari 2014-Mei 2015 dengan biaya dana hibah Jepang sebesar US$ 3,5 juta.
Dari studi tersebut, Jepang memperkirakan nilai investasi untuk membangun kereta cepat mencapai US$ 6,2 miliar. Sebanyak 75 persen dari nilai tersebut akan dibiayai melalui pinjaman dari Jepang dengan tenor 40 tahun dan bunga 0,1 persen per tahun. Rencana kerja sama Jepang dalam proyek ini pun ditawarkan menggunakan skema bantuan antarpemerintah dengan syarat adanya jaminan dari anggaran pemerintah Indonesia.
Kondisi berubah ketika Joko Widodo naik takhta ke kursi presiden. Pada akhir Maret 2015, dalam serangkaian kunjungan ke Cina, Jokowi dan Menteri BUMN kala itu, Rini Soemarno, menyepakati nota kesepahaman proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung dengan Kepala Komisi Nasional Pembangunan dan Reformasi Cina Xu Shaoshi. Cina rupanya menawarkan dana untuk proyek ini dengan nilai investasi US$ 5,5 miliar. Langkah ini mengagetkan pemerintah Jepang.
Pada September 2015, Jokowi sempat menolak proposal baik dari Cina maupun Jepang, antara lain karena mereka masih menuntut anggaran negara untuk membiayai proyek ini. Jokowi menginginkan proyek kereta cepat memenuhi tiga prinsip: dilakukan dengan mekanisme bisnis antarkorporasi atau business-to-business, tidak membebani anggaran negara, dan tak memerlukan jaminan pemerintah. Sebulan berselang, pemerintah menetapkan Cina sebagai pemenang proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Rini Soemarno pada Oktober 2015 mengatakan proposal Jepang tidak diterima karena mengharuskan adanya jaminan pemerintah, sementara Cina menyanggupi skema antarkorporasi.
Proyek itu akhirnya digarap dengan skema patungan, yaitu 40 persen modal dari Cina dan 60 persen dari Indonesia. Sebanyak 25 persen kebutuhan investasi akan dipenuhi dari modal bersama dan sisanya melalui pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 2 persen per tahun. Cina tidak meminta alokasi anggaran dan jaminan negara. Pada 2015, Cina sesumbar bisa merampungkan proyek tersebut dalam tiga tahun. Kereta cepat pun masuk daftar proyek strategis nasional pada Januari 2016 dan direncanakan beroperasi pada 2019.
Toh, pada akhirnya berbagai rencana tersebut bubar. Biaya investasi membengkak menjadi US$ 6,071 miliar pada 2018. Manajemen KCIC saat itu mengatakan melarnya nilai investasi disebabkan oleh perubahan konstruksi di beberapa lokasi proyek. Pada Mei 2019, proyek kereta cepat masih jauh dari selesai dengan tingkat kemajuan 17,38 persen. Dua tahun berselang, hasil evaluasi proyek menemukan pembengkakan biaya 23 persen. Hingga proyek rampung pada 2023, pihak Cina dan Indonesia menyepakati pembengkakan biaya proyek US$ 1,2 miliar atau menjadi US$ 7,2 miliar (Rp 117 triliun dengan kurs terakhir).
Pemerintah Indonesia dan Cina menyepakati 75 persen pembengkakan biaya akan ditanggung dengan pinjaman baru Bank Pembangunan Cina (CDB) dan 25 persen dari ekuitas KCIC. Akibat pembengkakan biaya ini, angan-angan Jokowi tak mengucurkan anggaran negara pupus sudah. Pemerintah akhirnya memberikan penyertaan modal negara sebesar Rp 7,5 triliun kepada PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang kemudian menjadi pemimpin konsorsium Indonesia di KCIC. Suntikan duit negara diberikan dalam dua tahap, yakni pada 2022 dan 2023.
Foto udara pembangunan stasiun kereta cepat di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, awal 2023. kcic.co.id
Bukan cuma soal duit negara, pemerintah juga memberikan penjaminan kepada PT Kereta Api Indonesia untuk menarik utang baru dari CDB guna menutup kebutuhan biaya yang membengkak. Bank milik pemerintah Cina itu akhirnya sepakat menurunkan pinjaman US$ 542,7 juta yang diberikan dalam dua mata uang. Kredit senilai US$ 325,6 juta diberikan dalam denominasi dolar dan US$ 217 juta dalam renminbi. Utang dalam dolar dikenai bunga 3,2 persen, sementara utang dalam renminbi disertai bunga 3,1 persen.
Dalam rapat bersama DPR pada November 2022, Direktur Utama KCIC Dwiyana Slamet Riyadi mengatakan ada beberapa penyebab membengkaknya biaya proyek kereta cepat. Di antaranya pembebasan lahan yang sebelumnya tak diperhitungkan, pandemi Covid-19 yang menyebabkan biaya konstruksi naik, masalah geologis seperti tanah lempung yang menghambat pembangunan terowongan, dan perubahan desain. Ada pula ongkos untuk sejumlah kegiatan yang tidak dianggarkan sejak awal, seperti eskalasi harga, penyediaan sistem persinyalan, listrik, hingga relokasi fasilitas sosial dan fasilitas umum.
Dua pejabat pemerintah yang mengikuti perjalanan proyek ini mengatakan persoalan muncul lantaran studi yang tidak mendalam, termasuk dalam penetapan trase yang pada akhirnya membelah kawasan industri. Akibatnya, pembebasan lahan pun bermasalah. Penetapan titik stasiun di kawasan Walini, Kabupaten Bandung Barat, juga menjadi persoalan lantaran lokasinya mencapai 7 kilometer dari jalan raya. Pemerintah lantas membatalkan rencana tersebut dan memindahkannya ke Padalarang, yang pembangunan stasiunnya dikebut selama satu tahun atau hingga 2023.
Kini, setelah Whoosh beroperasi, masalah masih belum usai. Angka keterisian penumpang harian kereta cepat itu masih di bawah target 31 ribu orang per hari, yang diproyeksikan Pusat Pengujian, Pengukuran, Pelatihan, Observasi, dan Layanan Rekayasa Universitas Indonesia. Harga jual tiket juga di bawah rencana awal Rp 300 ribu per orang. KCIC membanderol tiket Whoosh dengan skema harga dinamis, dari Rp 150 ribu hingga Rp 250 ribu, tergantung waktu perjalanan.
Sekretaris Perusahaan KCIC Eva Chairunisa mengatakan tingkat keterisian rata-rata Whoosh masih di kisaran 16-18 ribu penumpang per hari pada hari kerja dan 18-22 ribu penumpang per hari pada akhir pekan. Salah satu penyebabnya, dia menjelaskan, adalah KCIC baru mengoperasikan 48 perjalanan sepur per hari.
KCIC juga berencana menambah jumlah perjalanan menjadi 62 perjalanan reguler per hari pada 2025. Pemenuhan target itu bersamaan dengan rencana operasional Stasiun Karawang, Jawa Barat, yang sampai hingga kini masih dibangun jalan aksesnya. “Stasiun Karawang saat ini dioperasikan untuk pengaturan layanan perjalanan kereta, seperti langsiran kereta kerja pemeriksaan prasarana dan persilangan,” tutur Eva.
Selain ada perkara operasional, rencana pengembangan wilayah berorientasi transit yang menjadi salah satu rencana bisnis perusahaan pada awal perencanaan proyek kereta cepat masih jauh dari realisasi. Eva berujar, KCIC saat ini sedang berupaya bekerja sama dengan mitra yang sesuai dengan kebutuhan dan konsep yang akan dikembangkan. “Kami menjalin komunikasi dengan berbagai pengembang kawasan baik di dalam maupun di luar negeri yang berminat mengembangkan kawasan berorientasi transit di sekitar stasiun Whoosh.”
Guru besar transportasi dari Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sutanto Soehodho, mengatakan pemerintah harus mengembangkan kereta cepat Jakarta-Bandung untuk bisa memenuhi nilai ekonomi yang berkelanjutan. Pengembangan itu antara lain dilakukan dengan mengoptimalkan jaringan transportasi untuk menciptakan keterhubungan. Langkah lain untuk memastikan keberlanjutan keuangan perusahaan adalah menggenjot penerimaan di luar penjualan karcis, misalnya dengan mengembangkan kawasan berbasis transit ataupun layanan komersial lain.
Sutanto mengingatkan bahwa peningkatan jumlah penumpang pasti akan dibarengi peningkatan frekuensi operasi, yang berdampak kenaikan biaya operasi dan perawatan. Dengan demikian, ia menambahkan, penerimaan dan biaya operasional serta perawatan Whoosh harus seimbang. “Jangan sampai terjadi subsidi yang berlebihan karena Whoosh juga dimiliki perusahaan asing.”
Senada dengan Sutanto, Direktur Next Policy Yusuf Wibisono menyoroti melesetnya berbagai poin dalam studi kelayakan yang akan membuat pendapatan KCIC lebih rendah dari proyeksi awal. Padahal KCIC harus membayar cicilan utang dengan bunganya kepada pihak Cina.
Karena itu, Yusuf khawatir persoalan ini akan membebani anggaran negara lagi di masa depan jika KCIC gagal membayar kewajibannya. “Whoosh menjadi pelajaran yang sangat mahal bagaimana ambisi politik untuk membangun proyek-proyek mercusuar tanpa perencanaan yang matang hanya akan menghasilkan kerugian bagi publik dan menjadi beban anggaran negara dalam jangka panjang."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pelajaran Mahal Hasrat Sepur Kilat"