Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pabrik wajah numpang lewat

Industri film nasional melahirkan beberapa kelom- pok pemasok figuran. ada yang punya stok figuran- figuran adegan panas atau gembel. padahal di mata orang film mereka merupakan strata terendah.

13 Juli 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PABRIK WAJAH "NUMPANG LEWAT" Produksi film nasional melahirkan profesi baru: sebagai pemasok figuran. Kelompok "wajah numpang lewat" berserak di Ibu Kota dengan omset sampai puluhan ribu figuran. Mulai bersaing dengan keistimewaan masing-masing. Ada yang menjadi spesialis figuran kelas bawah. Ada yang punya stok figuran-figuran adegan panas. Benarkah ladang itu bergulir jadi pelacuran terselubung? Laporan ini dikeroyok ramai-ramai oleh Sandra Hamid, Sri Raharti Hadiningrum, Ivan Haris, Reza Rohadian, Moh. Faried Cahyono (Yogyakarta), Zed Abidien (Surabaya), dan Ida Farida (Bandung). SABTU pukul 17.00, di daerah Grogol Empang, Jakarta. Budianto mengenakan sarung kotak-kotak berwarna merah tua dengan kemeja abu-abu yang kancingnya dibiarkan terbuka. Lelaki berbuntut lima itu tampak santai. "Maaf, saya nggak rapi, soalnya, saya baru bangun tidur dan belum mandi sore," kata bos figuran itu kepada Sri Raharti Hadiningrum dari TEMPO. Ruang tamunya dijejali barang-barang suvenir dari Bali. Mulai dari garuda berwarna merah sampai pada barisan bebek serta bunga kamboja putih dari kayu. Di meja, ada bunga anggrek. Cita rasa kelas menengah dalam rumah yang tampaknya rezeki cukup-cukupan saja. Dari teras rumahnya, terdengar gedebur musik rok yang disetel keras oleh Hengky Tornado -- bintang film laga -- dari dalam mobil. Sanggar figuran milik Budianto lahir tak sengaja. Sebenarnya, suami bintang film Lina Budiarti itu adalah seorang komikus. Dua buah karyanya, "Prabu Anglingdarma" dan "Cinta yang Berlabuh", sudah sempat dilayarperakkan. Di samping itu, ia lebih cenderung pada modeling. Tetapi banyak produser atau sutradara yang suka menghubunginya bila mereka memerlukan figuran. Akhirnya keterusan. Kelompok figurannya pun berdiri. Sanggar itu berkembang tanpa banyak aturan. Tidak ada uang pangkal. Tidak ada latihan-latihan. "Paling-paling, mereka saya suruh belajar di tempat syuting. Saya suruh mendengarkan dan mematuhi apa yang diminta sutradara. Cuma itu," katanya. Yang ingin bergabung tinggal datang unjuk muka. Budi akan memberikan penilaian, apakah calon itu layak diterima atau tidak. "Terus terang, saya selalu memilih yang punya muka dan bodi yang oke, kalau nggak itu pasti saya tolak." Menurut Budi, sekarang ini, banyak yang tertarik terjun ke dunia film tanpa "ngaca" dulu. Maksudnya, meskipun tampang nggak enak dilihat, masih ngotot. Padahal figuran, di mata orang-orang film, umumnya rendah. Mereka merupakan lapisan terbawah dari dunia penuh gebyar-gebyar. "Tapi, sebenarnya, kalau nggak ada figuran, film itu nggak bakalan jadi." Menurut Budi, ada tiga motivasi yang mendorong seseorang terjun ke dunia film. Ingin uang, ingin terkenal, atau ingin komersial. Yang pertama adalah calon artis," Budi menjelaskan. "Mereka itu memang benar-benar ingin menekuni dunia film secara profesional, dia merasa dunia film adalah dunianya. Dia meniti karier dengan tekun dari bawah hingga kemudian jadi terkenal. Kedua, ingin terkenal alias beken. Honor adalah soal kedua. Keterkenalannya ini dia pakai untuk memperlancar bisnisnya. Orang terkenal, kata orang, gampang dipercayai orang." "Nah, yang ketiga," kata Budi, "buat naikin tarif kalau si calon artis itu wanita tunasusila atau pria tunasusila." Apa iya, sih? "Jangankan di dunia figuran, bintang film terkenal pun banyak yang nyambi kata Budi," sambil tertawa. Terus terang, Budi sendiri sering diminta orang menyediakan figuran-figuran yang dwifungsi. Sementara itu, banyak juga figuran itu sendiri yang meminta Budi menawarkan dirinya. Nah, klop kan, saya tinggal menghubungkan mereka. Lalu, saya mendapat komisi. Tapi, saya nggak mungkin kan memberi makan anak-anak saya dari uang panas seperti itu. Dahulu -- sewaktu aktif-aktifnya -- Budi siap menyediakan figuran untuk segala jenis adegan. Tentunya, tarifnya berbeda, katanya. Misalnya, ada produser yang meminta menyediakan figuran yang siap "diperkosa". "Lantas saya tanya dulu, terbukanya sampai mana, kalau hanya paha yang terlihat, tarifnya Rp 200 ribu. Lalu, kalau buah dadanya terlihat, Rp 600 ribu. Setelah terjalin kontrak, Budi tinggal mencari salah seorang model yang menyanggupi peran tersebut. "Hanya, saya punya pantangan: tidak boleh telanjang bulat," pria kelahiran Banjarnegara ini menegaskan. Untuk setiap order, Budi mendapat bagian sekitar 20%. Itu termasuk ongkos konsumsi dan transportasi ke lokasi. Tapi sekarang, Budi sudah nonaktif memasok figuran untuk film karena menganggap ladang itu tidak subur. "Sekarang, honor buat mereka hanya Rp 10 ribu-Rp 15 ribu per hari, termasuk konsumsi, transpor, serta kostum. Jelas, nggak cukup, dong," katanya. Tapi tak berarti Budi mengubur bisnis tak sengajanya itu. Ia hanya tukar sudut. Kini ia mengarahkan hidungnya memasok figuran untuk film-film iklan. Bisnis ini, menurut Budi, lebih basah. Sampai sekarang, "omset"-nya lumayan. Ia sanggup menyediakan sampai 150 orang figuran, bila diperlukan. "Pekerjaan itu paling-paling hanya satu hari, dan honornya cukup-besar, Rp 25 ribu-Rp 50 ribu per orang." Demikianlah, dunia figuran tidak hanya menyediakan sumber hidup bagi para seniman pelakon. Ia juga telah memberikan inspirasi berkembangnya sebuah profesi baru: pemasok figuran. Mula-mula, hanya iseng karena senang. Ada yang tak sengaja. Tapi jasa itu ternyata memberikan penghasilan tambahan. Mula-mula memang hanya semacam uang kecil. Tetapi ketika jumlah yang harus dipasok sampai mencapai ribuan -- untuk film-film kolosal, seperti Pemberontakan G30S-PKI, Saur Sepuh, Tjoet Nja' Dhien -- yang menghujankan rupiah, masalahnya menjadi serius. Ini bukan kerja sambilan lagi, tapi sebuah bisnis yang punya prospek. Pada awal tahun '70 an, pemasok figuran masih tampak sebagai kerja bergerilya perorangan yang lebih mendekati petualangan. Seorang wartawan iseng-iseng mengumpulkan potret-potret dan menunjukkannya kepada sutradara atau produser kenalannya. Ada juga mulai dari seorang figuran yang secara kebetulan diminta mengerahkan rekan-rekannya. Mereka mulai membuat kartu nama yang mengiklankan jasanya. Tanda-tanda kehidupan baru itu berkembang pesat mengikuti laju produksi film nasional. Sosok luntang-lantung bermodal album kecil dalam tas gendong yang lusuh, apak, lalu tumbuh menjadi sanggar-sanggar. Kelompok dengan pangkalan tetap yang sewaktu-waktu bisa dihubungi. Ada yang punya telepon, administrasi kecil-kecilan yang kemudian diperlengkapi data-data anggota. Ada kemampuan khusus setiap kelompok. Ada pertemuan-pertemuan dan latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan anggota. Standar harga dan aturan main mulai digelar. Kelompok pemasok, seperti Mirama, Darwin, Pisces, Fariz, dan Nanang Group mulai merupakan bagian dari industri film nasional. Mereka tidak hanya menunggu permintaan, tetapi terus memburu. Gudang-gudang figuran itu bersaing. Mereka muncul dengan keistimewaan masing-masing. Ada yang khusus menyediakan figuran-figuran untuk adegan kelas bawah, seperti pengemis, gelandangan. Lengkap dengan kostumnya. Ada yang mengunggulkan diri untuk adegan-adegan laga atau pesta dengan sosok-sosok lebih wah. Ada juga yang terkenal karena anggotanya cantik-cantik, bahenol, dan berani. Jatuh Satu Tumbuh Seribu. Pada suatu hari, di tahun 1985, Nyoman Ayu Miarthi tampil dengan kelompok senamnya di Gelanggang Olahraga Bulungan. Peragaannya sukses hingga sebuah perusahaan film tertarik. Nyonya yang suaminya meninggal pada 1982 itu kemudian ditawari untuk membantu mendukung film Remaja Pulang Pagi pada tahun 1986. Sejak itu, banyak perusahaan film merangkulnya untuk menyediakan figuran. Ayu bersama 20 orang anggota sanggar senamnya pun tak menolak. Maka, di Jalan Manggarai Selatan I/88, Jakarta Selatan, telepon sanggar Mirama -- didirikan pada 1973 -- mulai berdering bukan untuk urusan senam lagi. Janda beranak lima itu memulai lembaran sejarah baru sebagai pemasok figuran. Sampai sekarang, Mirama sudah terlibat dalam 500 buah film. Anggota kelompoknya, menurut catatan, lebih dari 3.000 orang. "Figuran itu saya ambil dari murid-murid senam, plus ibu-ibu murid saya itu," janda berusia 48 tahun itu menjelaskan kepada Reza Rohadian dari TEMPO. Ia sendiri sempat ikut main sebagai wanita gosip dalam film Telaga Air Mata tiga tahun lalu. Setiap hari, di kantor perusahaan Ayu -- baik oleh asisten maupun anak buahnya dipanggil Mami -- menerima puluhan orang pelamar. Mereka terdiri dari ibu-ibu dan remaja. Tidak setiap peminat dapat diterima. "Hobi, tinggi, berat badan, dan wajah selalu kami perhatikan," kata Mami. Selain itu, keterampilan, seperti menyanyi, menari, dan main musik selalu ditanyakan meskipun bukan merupakan persyaratan mutlak. Ayu menyelenggarakan latihan dua kali setiap minggu di bawah bimbingan orang-orang film. Baik pendaftaran maupun untuk mengikuti latihan, tak dipungut bayaran. Namun, bagi mereka yang sudah produktif, Mirama memotong honor mereka 20% untuk pembayaran pelatih dan uang kas. Honor tersebut ditentukan setelah melalui proses tawar-menawar antara Mirama dan perusahaan film. Untuk figuran masal -- wajah-wajah yang numpang lewat dan yang hanya kecipratan satu atau dua dialog, diberikan honor 10.000-15.000 rupiah. "Kalau dapat dialog atau scene yang cukup bagus, bisa lebih," tuturnya. Selain menyediakan figuran masal, Ayu mengakui, Mirama menyediakan juga artis-artis untuk peran yang "berani". "Tapi, itu tidak banyak. Hanya, orang-orang tertentu saja," katanya, sambil menolak menyebutkan nama-nama. Honor keberanian mereka sekitar 100.000-200.000 rupiah. Artis-artis yang menapak dari Mirama antara lain Suzi Ardila dan Nina Kartika. Nina sekarang jadi bintang sinetron dan penyanyi dangdut yang cukup beken. Setelah mereka beken, Mirama melepas anggotanya untuk melakukan kontrak sendiri. Dalam memimpin kelompok Mirama, Nyonya Nyoman Ayu Miarthi mengaku banyak dukanya. "Kadang-kadang, kami menghadapi anggota yang bandel," katanya kepada Reza Rohadian dari TEMPO. Ada yang wajahnya cantik, tapi kelakuan nol. "Ada juga yang maunya hanya pacaran saja. Itu kan sulit, bagaimana membatasi mereka," keluh nyonya itu lebih lanjut. Ia jadi tak mungkin hanya bersikap sebagai "pedagang" tok. Ia mesti jadi pemimpin dan ngemong. Suatu ketika, Ayu pernah didatangi seorang wanita yang protes. Gara-garanya, suaminya selalu pulang malam setelah terjun ke dunia film. Ini memang masalah pribadi, tetapi mau tak mau jadi urusannya. Akhirnya, Ayu terpaksa turun tangan. Ia menyelidiki dan melakukan negosiasi pada suami yang lupa daratan itu, agar mau kembali pada istrinya. "Memang, itu risiko orang yang berkecimpung dalam dunia film. Tapi, dia kan harus bisa membatasi," kata wanita mandiri karena suaminya meninggal tahun 1982 itu. Ayu juga terus terang mengakui seorang anggotanya sempat "sambil menyelam minum air". Bukan hanya main dalam adegan yang dibuat sutradara, tetapi menciptakan adegan sendiri. Sudah diberi pengarahan, tapi ternyata mentalnya memang sudah rusak. Akhirnya ia terjerumus. "Itu menjatuhkan 'Mirama'," kata Ayu. Kalau memang bisa diperbaiki, diarahkan. Ia tak segan memberi kesempatan, bagi yang sudah tobat, karena sadar mungkin hal itu dilakukan karena desakan ekonomi. Tapi kalau sudah tak bisa diperbaiki, terpaksa dipecat. Ayu mengakui tak mungkin benar-benar dapat mengontrol apa yang dilakukan anak buahnya di lapangan meskipun dalam kegiatan syuting mereka berada di bawah kekuasaannya. Ia hanya bisa wanti-wanti, kalau mau "praktek" yang lebih dari akting, harus dilakukan di luar jam-jam syuting. Agar kelompok tidak kecipratan lumpurnya. Selanjutnya ia selalu berusaha di samping mencari obyekan, mendidik anggotanya, "biarlah, jatuh satu, tapi kan tumbuh seribu," ujarnya tersenyum. "Beginning is difficult," kata Ayu mengenangkan bagaimana ia dahulu mendatangi perusahaan-perusahaan film untuk menawarkan anggotanya. "Sekarang sih saya duduk saja di kantor, menunggu," katanya dengan bangga. Kini Mirama telah memiliki empat cabang di seluruh Jakarta, masing-masing di As-Syafiiyah, Saharjo, Kebon Pala, dan Tanjungpriok. Film-film yang banyak dipasoknya adalah film-film remaja dan drama keluarga. Dalam satu hari Mami mampu melayani dua film plus sinetron di TPI, TVRI, sampai karaoke. Penghasilan bersih dalam sebulan -- menurut pengakuannya yang pasti tidak perlu dipercaya -- berkisar antara 250.000 dan 500.000 rupiah. "Kadang-kadang -- bisa sampai sebulan, kami tak menerima order," tutur Mami sambil senyum. Pendapatan sebulan "enggak tentu, lagi pula relatif sekali," kata Mustafa Ashar kelompok figuran Pisces. Lelaki berewok yang sempat memegang rubrik hiburan dan TVRI majalah Variasi pada tahun '70-an ini mengaku sudah memasok sekitar 400 buah film. Ia juragan "Yayasan Pisces Group Press" yang terletak di Jalan Pramuka Jati No. 5 Jakarta Pusat. Seperti Mirama, kelompok yang berdiri pada tanggal 17 Maret 1971 itu awalnya adalah kelompok yang bergerak di bidang seni dan olahraga. Mustafa, 37 tahun, mengklaim kelompoknya telah berhasil mengorbitkan Yati Surachman, Henky Tornado, Winda Salatin, Gitty Srinita, Jaja Miharja, Donny Artha, dan Fujiyanti. Pisces mula-mula bernama "Resi" -- Remaja Simpatik -- yang bergerak di bidang sosial. Namun, karena mereka lama-kelamaan semakin membutuhkan dana, Mustafa mengalihkan kemudi ke bidang fotografi dan jurnalistik. Kakak ipar Mustafa kebetulan banyak berkecimpung dalam dunia film. "Dia tahu saya punya massa banyak," ujar Mustafa. Kakak iparnya itulah yang mengenalkan dia pada sutradara Ketut Suwita dan Panangean Hutagalung. Agak beda dengan Mirama, untuk menjadi anggota Pisces cukup sulit. Calon harus berwajah menarik, tinggi badan yang cukup (untuk laki-laki minimal 170 cm, sedangkan wanita 160 cm). Mereka wajib setor foto ukuran kartu pos sebanyak 10 lembar. Melunasi biaya pendaftaran 50.000 rupiah, dan iuran untuk latihan akting -- seminggu sekali -- Rp 1.000. Mustafa tak menutup kemungkinan para calon anggota yang tak memenuhi syarat fisik. "Sulit mengatakan orang tak punya bakat kalau kita belum mencobanya," katanya. Memang diakuinya, seseorang yang wajahnya cantik atau ganteng lebih mempunyai prospek untuk terjun ke dunia film. Tapi, itu bukanlah syarat utama. "Yang penting adalah disiplin. Biar cantik kayak apa, tapi tak disiplin, ya tak berguna," kata Mustafa. Dalam melatih akting anggotanya, Mustafa terjun langsung dengan bantuan dua asistennya -- Basri dan Hamid Hidayat -- yang juga anggota Parfi. Setiap hari Minggu di ruang berukuran 6 X 6 lantai dua kantor Pisces -- ditemani seperangkat alat band dan sebuah papan tulis tua -- para anggota digodok. Di tembok yang berwarna hijau bertempelan enam buah poster film. Antara lain Makelar Kodok, Pengantin, Pedang Naga Pasa. Dari judul-judul itu boleh dibayangkan film jenis apa yang dirangkul Mustafa. Dari 10.000 orang anggota, "95% sudah pernah main film," kata Mustafa bangga. Ia sendiri pada tahun 1978 menunjukkan giginya dalam film Tarzan Pensiunan dan Koboi Cilik -- mendampingi Eddy Sud dan Adi Bing Slamet. Pisces memotong 20% dari honor anggotanya yang jumlahnya minimal 15.000 rupiah -- untuk yang "numpang lewat" -- sampai Rp 50 ribu -- untuk peran tokoh elite. "Pemotongan itu karena tanggung jawab saya terhadap seorang artis, juga biaya yang kami keluarkan untuk mengorbitkan mereka jauh lebih mahal. Kadang-kadang, waktu dia belum beken, saya harus menjemputnya dari rumah ke lokasi syuting. Berapa biaya yang harus saya keluarkan, coba?!" Selain figuran pribumi, Pisces juga memasok figuran "bule". "Untuk film Ratu Pantai Selatan, saya memasok seratus orang bule", ujar Mus bangga. Bule-bule itu tak sulit dijaring karena kebetulan salah seorang di antaranya bekas anggota Pisces, Santi Cameron, yang menikah dengar seorang warga negara Kanada. Dalam daftar nama anggota Pisces bahkan ada seorang guru bahasa Inggris di Eloquence Practical English Institute, Raymond De Graaf. Mustafa mengaku pernah dicemarkan oleh salah seorang bekas anggotanya. Artis peran "panas" itu selalu mencampuradukkan pekerjaan. "Wajahnya cantik, tapi mentalnya bobrok," kata Mustafa. "Pagi syuting, malamnya pacaran, ke disko sampai pagi bersama sang pemeran utama. Giliran siap kerja, dia masih tidur di kamar hotelnya. Orang-orang film sampai menanyakan pada kami, 'bagaimana tuh anak asuhan Anda'. Itu memalukan!" Padahal, seingat Mustafa, orangtuanyalah yang menitipkan anak itu pada kelompoknya. Ia didik mulai dari nol. Suatu saat, misalnya, ia dapat kontrak untuk syuting karaoke. Biasanya anak asuhannya kerja dahulu baru terima honor. Tapi anggotanya ini belum sempat kerja kabur mengantongi honornya yang Rp 200 ribu. "Uang sih enggak seberapa bagi kami. Tapi, cara dia itu picisan sekali. Saya paling benci manusia begitu," ujar Mustafa geram. Cerita Mustafa langsung dibantah yang bersangkutan. Kepada Ivan Haris dari TEMPO, ia mengatakan bahwa dia tidak pernah kabur. "Saya tiga hari datang!" katanya berapi-api. "Tapi syutingnya nggak jadi-jadi. Katanya, cuacanya jelek. Saya jadi kesal. Biasanya, satu hari bisa satu atau dua syuting selesai. Ini sudah tiga hari, setengah juga belum ada. Honornya sama -- dua ratus ribu rupiah -- jadi buat apa saya teruskan. Janjinya, cuma satu hari!" Cerita tentang kebinalan dan tentang soal pacaran juga serta merta dibantah. Ia malah menyerang balik bos Pisces dan mengaku tak pernah menjadi anak asuhannya. "Saya ini nggak pernah jadi anggota Pisces, atau apa segala grupnya. Dulu, dia minta saya untuk ikut syuting film. Nggak pakai kontrak-kontrakan segala sama dia. Memang kami mau berhubungan sama dia karena tadinya kita kira dia orang baik. Sekarang ini, sih, nggak ada, deh. Dia dia, saya saya. Nggak ada hubungan. Dulu juga karena kita kenal saja!" Di samping yang jadi musuh, Pisces pun punya anggota yang dibanggakan. Namanya Retno Pujianti, mampu main film di Hollywood -- sejak 1986. Sebelumnya, Retno sempat tampil sebagai anggota Gerwani dalam film Petualangan G30S-PKI. "Dia termasuk figuran yang kemampuan aktingnya paling bagus," kata Mustafa. Anak asuhannya itu menembus Hollywood karena kebetulan saja. "Kakaknya memang tinggal dekat Hollywood, di samping kemampuan bahasa Inggrisnya memang lumayan untuk berdialog dengan orang-orang film di sana, sehingga ditarik untuk figuran," kecap Mustafa. Mustafa mengaku banyak mendapat dukungan dari Arifin C. Noer. "Dia memberi kesempatan enggak tanggung-tanggung," katanya. "Dalam film G30S-PKI, figurannya hampir semua dari saya." Kebetulan pada masa pembuatan film itu, kelompok pemasok masih langka. Sekarang ini, Pisces merupakan pemasok tetap PT Rapi Film. Kelompok ini tidak hanya memasok, tapi juga sempat membuat film sendiri. Judulnya Memburu Makelar Mayat yang dibintangi oleh Lidya Kandou, pelawak Komar, Us Us, Kusye, dan Yan Asmi. Di tembok ruang kerja Mustafa yang acak-acakan tampak beberapa poster film, artis dangdut, dan foto-foto Mustafa bersama anak asuhnya. Meja kerjanya yang tak seberapa besar itu ditongkrongi oleh dua buah pesawat telepon dan setumpuk berkas maupun album yang berisikan daftar dan foto-foto anggota. Di jendelanya tertulis: "Menerima Pembuatan Paspor, SIM, Perpanjangan STNK, Kursus Kewartawanan dan Fotografi", dan sejumlah "iklan" pelayanan jasa lainnya. Apakah ini semacam "tanda-tanda zaman" bahwa bisnis memasok figuran masih belum bisa dijadikan andalan periuk nasi? Spesialis Figuran Kelas Bawah Nanang Durachman bos, "N.D. Figuran Group", dengan jujur mengakui penghasilannya sebagai juragan figuran tidak cukup. Untuk tambahan ia terpaksa masih membuat cergam, dan mengelola "warisan" di kampung. Sampai sekarang, ia sendiri masih tetap ikut ambil rezeki sebagai figuran. Rumah yang jadi markasnya di Jalan Kawi-Kawi Bawah, Percetakan Negara, masih kontrakan. Jalan di muka rumah sempit. Pagar kayu tipis, yang membatasi rumah Pak Nanang dengan jalan, hanya setengah meter dari pintu masuk ke rumahnya. Bau busuk got di depan rumah melimpah masuk. Ruang tamunya juga adalah tempat parkir motor. Di depan rumah itulah papan nama "N.D. Figuran Group" tergantung sejak tahun 1977. Nanang, awalnya, adalah pembuat buku cerita bergambar untuk anak-anak. Secara berkala, naskah dan gambar itu ia antar dari Garut ke Jakarta. Suatu saat, anak Nanang mengirim surat pada pos Calon Bintang di salah satu harian Ibu Kota. Nasib baik, ada perusahaan film yang mau syuting di Garut. Mainlah anak Pak Nanang dalam film Dikejar Dosa. Dari pengalaman pertama menemani anaknya itulah Pak Nanang jatuh cinta pada film. Kemudian sebuah order untuk membuat poster film Raja Copet jatuh ke tangannya. Nanang pun memboyong keluarganya ke Jakarta. Selesai order poster, tahun 1977, datang tawaran untuk mencari figuran, dari produksi film Cacat dalam Kandungan. Yang diminta 20 orang. Seluruh keluarga, termasuk Pak Nanang dan istri, dikerahkan. Menyusul permintaan dari film Rhoma Irama, Begadang, yang meminta 50 orang, waktu itulah Nanang merasa perlu memberi nama untuk kelompok figurannya. Tidak jauh-jauh, ia mengambil namanya sendiri. Sekarang, orang film mengenalnya sebagai Nanang Group. "Saya bukan yang pertama, waktu itu sudah ada Pisces dan Ambisi Group," kata Nanang. Kelompok ini spesialis pemasok figuran kelas bawah. Di petinya, tersimpan 100 pasang baju gembel. Adegan masal adalah adegan kesukaannya. "Kalau adegan seperti itu, orangnya tidak usah cakep, tidak usah punya uang. Saya senang mengajak mereka untuk ikut main film," katanya, memberi alasan. Ia mengaku tidak pernah menyediakan figuran untuk film-film "panas". "Saya minta maaf, itu sebenarnya terserah mereka (para pemasok yang lain) ... kalau saya ... belum sampai hati. Maaf." "Soal uang, bukan saya tidak perlu uang, tapi itu bisa diatur," sambung lelaki yang tampak selalu tenang itu. Nanang tidak suka banyak cingcong merepotkan pelanggannya. Mungkin karena itu, para kru film suka memakai jasanya. Banyak sutradara sudah mempercayai penilaiannya untuk memilih figuran mana yang bisa diberi dialog. Ia termasuk pakar dalam hal figuran. Kini, 500 orang anggota kelompok Nanang -- syaratnya: berminat dan berjanji akan disiplin. Sebagian besar adalah tetangga-tetangganya sendiri. Karena itu, walaupun sudah tiga kali pindah rumah, Nanang tak bisa pergi jauh-jauh dari tetangga yang sekaligus merupakan sumbernya itu. Karena itulah, ia bisa kerja cepat dan mendadak. Tak jarang, ia mendapat permintaan untuk mengumpulkan 200 figuran. Order datang pukul 7 malam, dan esoknya, pukul 9 sudah harus ada di lokasi. Nanang tak pernah kelabakan. Ia menghubungi jalur-jalurnya dan besoknya semuanya beres. Film yang memegang rekor penggunaan jasanya adalah Jakarta 66, yang mengerahkan kira-kira 2.300 orang. "Alhamdulillah," kata lelaki berusia 56 tapi tampak 40 tahun itu, "kami tidak pernah kekurangan tawaran." Selalu ada saja yang meng-calling. Bila order tidak datang-datang, ia mengunjungi beberapa perusahaan film yang dikenalnya. "Memang saya sebenarnya sering malu karena saya kan sudah tua, kok masih mengerjakan yang seperti ini. Yang lain muda-muda semua," sambungnya. Kalau begitu, mengapa masih terus ditancap? "Ya, karena saya senang sekali bisa membantu yang bikin film, dan memberi kesempatan pada yang ingin main." Anggota Parfi itu merasa bahagia berada di tengah-tengah pembuatan film. Wajahnya memancarkan hati yang baik. Tuturnya sederhana dan sangat rendah hati. Ia pun ikut bergerak ke DPR ketika para karyawan film ramai-ramai mengadukan masalah monopoli dan MPEAA kepada para wakil rakyat itu. Nanang Durachman mengaku tidak pernah mendapat masalah dalam menjalankan profesinya sebagai pemasok figuran. Bisnisnya, sampai kini, masih bisnis keluarga. Tidak ada organisasi resmi, tapi nama beken. Di Yogyakarta, para pemasok figuran seperti Nanang juga. Tidak ada organisasi. Tidak pakai latihan-latihan. Menurut Azwar AN, Ketua Parfi DIY, kepada Faried Cahyono dari TEMPO, itu bisa berakibat buruk pada produksi. "Mutu film, bagaimanapun, jadi tidak bagus," katanya, menandaskan. "Habis, tawaran syuting dari Jakarta paling banter hanya setahun sekali," sambut seorang pemasok. Dapat dimaklumi kemudian, para figuran seperti "kurang pergaulan". Mereka suka ngambek. "Hanya karena dimarahi sutradara, mereka minggat, padahal sudah menerima uang muka," kata Azwar membedah perilaku orang-orang yang berlatar belakang teater dan ketoprak itu. "Karena latar belakangnya itu, mutu mereka lebih baik, meskipun Yogya hanya menjadi pabrik pemain pembantu." Yati Sumaryo, 39 tahun, adalah contoh figuran dari Yogya yang berhasil naik kelas. Sekarang, ia berstatus pemain pembantu dengan nama pop Yati Pesek. Wanita yang hanya lulusan SD ini mengaku, sekarang, honor mainnya satu hari sama dengan gaji pegawai negeri Golongan III -- sekitar Rp 150 ribu. Sri Sadono, 48 tahun, seorang sutradara teater dan pemasok, mengatakan bahwa tarif figuran sekitar Rp 10 ribu. Mereka biasanya diberi pesangon Rp 2.500. Kalau syuting ditunda atau melewati pukul 24.00, harus ada biaya tambahan uang saku 50%. "Sebagai penanggung jawab figuran, saya biasanya mendapat jumlah tertentu dari produser," kata guru SMKI itu. Artinya, berbeda dengan di Jakarta, ia tidak menggunting honor figuran. Ketiga wajah Kota Gudeg itu sama-sama menolak gosip yang mengatakan bahwa dunia figuran adalah ladang pelacur kelas tinggi. "Kalau di Jakarta atau Bandung, barangkali ada. Di Yogya, jadi figuran hanya sambilan," kata bos Teater Alam itu dengan nada tinggi. Di Bandung, Tisna S. Brata, bos figuran "Sanggar Devimir", merasa prihatin bila ladangnya jadi arena pelacuran. "Di sanggar kami, yang diutamakan adalah kualitas dan disiplin, bukan secara gampangan," katanya kepada Ida Farida dari TEMPO. Ira Mambo, 21 tahun, salah seorang anggota sanggarnya, tak menyangkal bahwa dunia figuran kecipratan bisnis lampu merah. "Biasanya, mereka yang terjerumus itu disebabkan boker-boker -- maksudnya pemasok figuran -- yang tidak bertanggung jawab di samping juga orangnya tak bisa jaga diri," kata Ira. "Saya tahu, ada beberapa teman saya yang begitu. Karena tak punya bekal terjun ke film, mereka mau diperlakukan apa saja untuk menarik perhatian. Yang penting, dipakai lagi dalam film berikutnya." "Sanggar Devimir" (Uang pangkal anggotanya Rp 12.500, uang bulanan Rp 2.000 per kepala) dipimpin oleh Tisna bersama istrinya Tuytuy S. Brata. Sanggar yang lahir dari 15 figuran itu kini sudah mempunyai 150 orang asal Cimahi, Garut, dan Cianjur. Di samping Ira, kelompok ini sudah melahirkan bintang film laga seperti: Lela Monica, Betty Amelia, dan Nur Lela. Kelompok ini sudah pula terdaftar di Depdikbud. Tisna, 50 tahun, Ketua II Parfi Jawa Barat, punya jadwal berlatih empat kali seminggu mulai pukul 14.00 sampai 17.30. Isinya: olah tubuh, latihan dialog, akting, seni laga, dan doa. "Khusus untuk adegan fighting, kami mendatangkan seorang instruktur dari Jakarta," kata Tisna. Mereka Bagaikan Pentil Ban Di samping kelompok-kelompok pemasok yang menghimpun figuran untuk disalurkan, ada kelompok figuran yang lain sasaran. Mereka khusus memberikan pendidikan. Di antaranya Studio Fariz dan Studio II. Keduanya di Jakarta. "Tempat kursus kami adalah yang pertama terdaftar di Depdikbud," kata bos Studio Fariz dengan bangga. Kantor studio ini berada di sebuah jalan sempit di daerah Pisangan Baru, Jatinegara. Lumayan luas, ada dua ruang tamu dan satu kelas yang sekaligus berfungsi sebagai tempat latihan. Tapi terasa kusam. Karpet tipisnya sudah apek. Sofa empuk "kulit" di ruang tamu sudah banyak yang robek. Di atas meja kerja yang besar, dipajang kayu berukir nama lengkap Farri's: A.F. Suherman M.BA (dilihat sepintas seperti MBA, padahal M.BA. BA-nya hasil sekolah tiga tahun di ABA Jurusan Bahasa Inggris). Di belakang meja, terpampang foto Presiden Soeharto dan wakilnya. Garuda kayu bercat emas yang tipis ringkih tergantung di kedua foto. Kesimpulan: kantor maunya keren, tapi dekil. Tapi tak apa. Karena dari sinilah beratus figuran sudah berangkat ke layar perak. Di Studio Fariz, ada peserta yang dapat kursus seni peran, ada yang dinamakan simpatisan. Bayarannya berbeda. Untuk kursus tiga bulan, biayanya Rp 250 ribu. Untuk simpatisan, Rp 80 ribu. Nama mereka akan terdaftar di Studio Fariz -- dan akan dipanggil begitu ada job dari produser. Di luar kedua jenis ini, ada figuran cabutan: diambil dari mana-mana kalau di antara anggota studio tidak ada yang sesuai dengan permintaan -- misalnya tokoh kakek-kakek. Studio Fariz berdiri pada 1986. Kegiatannya sebetulnya sudah mulai satu tahun sebelumnya, tapi waktu itu belum terdaftar resmi. "Program kami tiga bulan," kata Farri's -- dua tahun di IKJ -- yang bertindak juga sebagai pengajar. "Yang dilatihkan adalah olah tubuh dan olah vokal, juga konsentrasi. Satu tahun, kami punya tiga program, tapi saya belum bisa menentukan waktunya. Masih lihat-lihatlah." Kursusnya pasang iklan di koran. Peminatnya rata-rata 50 orang. Disaring pengetahuan umumnya lewat tes tertulis. Peminatnya datang dari daerah, seperti Tangerang dan Bogor. Jumlah "murid" Farri's sekitar 15 orang Anggota yang terdaftar sekarang sekitar 300. Walaupun tujuan utamanya melatih, program Farri's juga berusaha menyalurkan anak didiknya pada produksi. Ia kirim foto foto anggotanya ke produser film dan sutradara. Ada juga yang ke TV. Dahulu, banyak anggota yang ikut episode-episode Jendela Rumah Kita. "Kami berikan pada mereka semua alamat produser film di sini. Mereka bebas kalau mau usaha cari sendiri," kata Farri's. "Masa saya menghalangi kalau ada orang mau usaha. Hanya, kami minta mereka selalu memberi alamat terakhir. Soalnya, kalau dari foto-foto itu ada yang terpilih, kan kami harus menghubungi mereka." Permintaan figuran-figuran yang "maju tak gentar" diakuinya meningkat. "Tapi kami tidak memaksa," sambung Farri's. Sejak pertama, waktu mendaftar, ia sudah bertanya-tanya pada peserta, "berani nggak kalau diminta main adegan berani?" Ia juga dari awal minta persetujuan dari orangtua atau wali. "Kalau sudah menikah, harus ada izin suami. Setelah itu, kami pisahkan. Kalau ada yang meminta figuran yang berani, ya kami kasih mereka." Dari pengalamannya, tidak semua yang mengaku berani itu benar-benar berani. Ada yang mengalami perang sabil di hati masing-masing ketika sampai di lokasi. Ada yang mundur juga. Ada yang lamban, tapi akhirnya mau. Bayaran mereka lebih mahal. Sekitar 100 sampai 200 ribu, sehari. Pendidikan mereka, "tidak ada, tidak, yang begitu tidak usah dilatih," kata Farri's sambil tertawa. Perbandingan permintaan yang berani dengan yang biasa ya.... kira-kira.... 70 persen minta yang berani. Farri's mengaku tidak menyediakan pemain film X. "Kalau saya menyediakan, bisa kaya cepat sekali. Tapi saya tidak mau, kan saya ini yayasan yang terdaftar, jadi tidak bisa yang begitu." Untuk setiap job, Farri's memangkas 25% dari honor. Menurut pengakuannya, dengan cara itu, penghasilan bersih satu juta satu bulan. Tak jarang pemain-pemainnya tidak peduli dengan pembayaran, asal bisa main film. "Ada anggota kami yang tadinya cuma mau dipakai sehari, tahu-tahu jadi tujuh hari. Kalau kamu sukses, figuran harus kreatif -- bisa merancang blocking, misalnya," kata Farri's yang mirip Herman Felani itu. Seperti Farri's, Dono (Warkop) mau menyumbangkan sesuatu untuk perfilman nasional. Ia pun membentuk kursus bagi calon artis. Namanya Studio II. Pelatihnya Adi Kurdi, aktor panggung jempolan dari Bengkel Teater. Tapi setelah dua tahun, ia mundur pelan-pelan. "Capek," kata si "Bemo". Mengapa? "Habis, yang diminta (oleh dunia film) tidak sinkron dengan orang-orang yang kita punya." Dono ingin, sekolahnya menyediakan stok artis tingkat pemeran pembantu dan, kalau bisa, pemeran utama -- bukan untuk figuran. Tapi ternyata jalur untuk mendapat peran utama dan peran pembantu tidak bisa lewat sekolah-sekolah seperti yang dirancang Dono. "Film Indonesia kan maunya yang cantik, sementara yang datang ke sekolah itu enggak segitu cantiknya," kata pelawak yang sekarang jadi produser itu. "Malah yang ketemu di jalan, asal cantik, bisa jadi bintang. Kalau lagi di toko, misalnya, saya lihat ada yang cantik, tanya aja ... mau main film enggak? Kalau mau ... dan biasanya mau ... ya udah main film, deh. Tidak pakai sekolah dan tekad bunder untuk jadi pemain film dari awal." Figuran itu, seperti pentil ban. Kecil, tapi perlu," kata Farri's. Tapi kenyataannya sering disepelekan. Disuruh nunggu sehari-harian. Sama bintang-bintang disepelekan. Kerja keras, tapi sering sia-sia. "Mereka strata yang paling bawah dari dunia film," kata Dono. "Mereka kalau lagi syuting, biasa..ya ngumpul, nunggu dipanggil, di pojok. Minggir kaya kelompok coco-meo. Nanti mereka dipanggil ... eh kamu jalan dari sini ke sana, terus nyebur. Yang lain, ayo jalan di belakangnya. Ya udah mereka jalan, tak tik tak tik ... terus nyebur ... yang lain jalan saja di belakangnya dengan kepala kosong. Mereka nggak dikasih tahu apa-apa. Tahunya cuman bagian yang disuruh. Kasihan!" Marno Mochtar, orang Surabaya, sekarang 55 tahun. Ia pernah jadi figuran di dalam film Si Buta dari Gua Hantu, pada 1971. Karena jalannya gagah, ia dipilih sutradara jadi komandan tentara Persia. Marno meledak gembira karena seumur-umur ia hanya tenaga dekorasi yang bertugas mengangkat-angkat barang. Maka, ketika dishoot, lelaki berkumis itu menekuk mukanya keras-keras supaya kelihatan bengis. Belum pernah ia sekejam itu. Setelah syuting, ia masih sering ingat pada mimiknya sambil meraba-raba muka. Tapi giliran film diputar, ia kaget. Wajahnya yang tertekuk itu sama sekali tak ada di layar dari awal sampai film selesai. "Saya jadi lemas," kata Mochtar pada Zed Abidien dari TEMPO. Sutradara lalu menghibur. Peran Marno hanya tentara. Film itu hanya membutuhkan sosoknya yang sedang jalan. Wajahnya tidak penting. PWI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus