Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HAMPIR tiap hari selama enam bulan sejak Oktober 2014, Ainun Na’im menginap di lantai 10 Gedung D Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi, di kawasan Senayan, Jakarta. Sekretaris Jenderal Kementerian Riset itu harus membaca ratusan ribu layang per-alihan status dosen yang menumpuk hingga lebih dari setengah meter. Dari meja Ainun, surat-surat itu dikirim ke ruang kerja Menteri Mohamad Nasir, yang kala itu juga sering bermalam di kantor. “Status dosen yang semula tercatat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus segera beralih ke kementerian kami,” kata Ainun, Kamis, 22 Agustus lalu.
Aktivitas Ainun menggambarkan kesibukan pegawai Kementerian Riset, yang menjadi salah satu lembaga dengan nomenklatur baru di kabinet Joko Widodo jilid pertama. Jokowi memisahkan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, lantas menggabungkannya ke Kementerian Riset dan Teknologi. Waktu itu, Presiden berharap penyatuan Ditjen Pendidikan Tinggi ke Kementerian Riset dan Teknologi bisa mendorong suburnya riset di universitas.
Alih-alih mengebut pengembangan riset, proses pemindahan status kepegawai-an saja memakan waktu hampir setahun. Menurut Ainun, lamanya proses itu terjadi karena jumlah aparat sipil negara yang bersalin status mencapai 117 ribu orang. Anggota staf sekretariat kementerian harus menginput data seratus ribu lebih pegawai itu ke sistem milik Badan Kepegawaian -Negara.
Belum lagi bila ada kasus data pegawai yang terselip atau luput diubah. Bila ini yang terjadi, akibatnya bisa merembet ke pencatatan penggajian dan pangkat. “Kami beruntung karena pada saat bersamaan BKN meluncurkan pendataan ulang pegawai negeri sipil secara elektronik,” ujar Ainun. Aplikasi tersebut memungkinkan aparat sipil negara memantau sendiri status kepegawaiannya secara online dan melapor bila ada data yang tak sesuai.
Di tengah peralihan status pegawai, Kementerian Riset harus mencari pejabat -eselon I untuk mengisi posisi direktur jenderal. Proses ini memakan waktu relatif lebih singkat. Kepala Biro Sumber Daya Manusia Kementerian Riset Ari Hendrarto Saleh mengatakan Menteri Nasir sejak awal merancang mekanisme seleksi direktur jenderal dengan sistem lelang jabatan terbuka. Selain cepat, model lelang terbuka ini dinilai adil dan bisa dipertanggungjawabkan. “Semua pos jabatan sudah terisi pada Desember 2014,” ujar Ari.
Beres urusan kepegawaian, Kementerian mesti menyelesaikan urusan anggaran. Ini bukan masalah sepele karena peresmian nomenklatur baru Kementerian Riset terjadi pada saat tahun anggaran sedang berjalan. Pemerintah harus segera mentransfer sekitar Rp 30 triliun yang telanjur diplot dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2014 untuk Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan yang telah digabungkan ke Kementerian Riset. Tapi belum ada lembaga baru yang memiliki program kerja. Kementerian akhirnya memutuskan memarkir duit di rekening Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan, yang memiliki program pemberian beasiswa.
Kesibukan pada awal pembentukan kementerian baru terkadang menyangkut hal remeh, seperti logo institusi. Seperti dice-ritakan Syamsul Hadi, Kepala Bagian Peraturan Perundang-undangan, selama dua bulan kop surat institusinya tak pernah dilengkapi logo resmi—hanya ada nama dan alamat resmi Kementerian. “Kami membuat sayembara logo karena itu menyangkut identitas lembaga,” kata Syamsul.
Setelah semua beres, barulah Kementerian berkonsentrasi mengejakan program. Ainun Na’im menjelaskan, lembaganya langsung mendorong peningkatan kualitas sektor pendidikan tinggi, seperti memperbanyak jumlah publikasi ilmiah dan lembaga pendidikan terakreditasi. Menurut Ainun, lebih dari 2.000 lembaga pendidikan baru sudah terakreditasi dan 32 ribu jurnal ilmiah terbit sejak Kementerian Riset mulai berdiri. “Angka publikasi jurnal itu merupakan yang tertinggi di Asia Tenggara,” ujar Ainun, yang juga guru besar Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada.
Kerumitan serupa dialami pejabat Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumah-an Rakyat. Sebelum berbentuk seperti sekarang, kementerian yang dipimpin Basoeki Hadimoeljono itu merupakan dua institusi terpisah: Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perumahan Rakyat.Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR 2014-2016, Taufik Widjoyono, menjelaskan, pada awal penggabungan, lembaganya harus menyusun ulang struktur organisasi. Sebab, ada fungsi organisasi yang serupa di Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan di Kementerian Perumahan Rakyat. Akhirnya, diputuskan Ditjen Cipta Karya tetap berdiri dan dibentuk Ditjen Penyediaan Perumahan.
Gedung Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat di Jakarta. Dok TEMPO/Aditia Noviansyah
Menurut Taufik, ada juga sebagian peran Kementerian PUPR pada waktu itu yang dialihkan ke Badan Pertanahan Nasional, yakni Direktorat Jenderal Penataan Ruang. Sebagai institusi yang bertugas membangun wilayah, direktorat ini penting bagi Kementerian PUPR karena menyangkut perencanaan pengembangan kawasan. Setelah direktorat tersebut melebur ke BPN, Kementerian PUPR membentuk institusi baru bernama Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah. “BPIW bertugas merencanakan pemanfaatan, bukan sekadar merencanakan pengembangan,” kata Taufik, yang kini menjabat Widyaiswara Kementerian PUPR.
Endra Saleh Atmawidjaja, Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR, merupakan salah satu pejabat yang terlibat dalam perombakan besar-besaran itu. Ia membantu mengurus daftar isian pelaksanaan anggaran (DIPA) untuk tiga institusi sekaligus: Ditjen Penataan Ruang yang baru dipindahkan ke BPN, Ditjen Cipta Karya, dan BPIW. Pekerjaan itu membuat Endra harus bolak-balik ke kantor Badan Pertanahan Nasional serta ke Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi untuk menyelaraskan program dan anggarannya.
Di tengah-tengah itu, Endra juga diminta membereskan draf rencana strategis kementerian dan rekrutmen personel di institusi yang mengalami kekurangan pegawai. Tugas itu masih ditambah kewajiban merumuskan tugas BPIW yang baru dibentuk menggantikan Ditjen Penataan Ruang. “Saya jadi sering tidur di kantor pada masa-masa itu,” ujar Endra.
Penataan struktur organisasi Kementerian PUPR beres pada pertengahan 2015. Saat itulah Kementerian baru bisa meluncurkan sejumlah program andalan berskala besar, seperti pembangunan sejuta rumah. Selama merapikan lembaga, Kementerian berfokus menjalankan program dasar yang dikerjakan satuan kerja, seperti pembangunan jalan raya.
Menurut Taufik, segala keripuhan itu hanya terjadi di awal penggabungan. Setelah Kementerian PUPR terbentuk dan organisasi berjalan stabil, eksekusi program menjadi lebih cepat karena tugas yang semula terpisah di dua kementerian menjadi di bawah satu komando.
Pembangunan Waduk Jatigede di Sume-dang, Jawa Barat, contohnya. Kementerian Pekerjaan Umum yang lama sebenar-nya sudah punya dana untuk membangun waduk tersebut. Tapi rencana itu tak bisa dieksekusi karena mereka tak punya kewe-nangan memindahkan dan membangun ulang permukiman penduduk yang terkena dampak proyek. Peran itu sebelumnya dimiliki Kementerian Perumahan. Setelah dua kementerian digabungkan, proyek Jatigede selesai pada 2016. “Kerja kami menjadi lebih sinergis,” kata Taufik.
RAYMUNDUS RIKANG
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo