Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ALDI Tardiansyah terbaring lemah di atas kasur. Di Ruang Kirana Nomor 111 Rumah Sakit Abdi Waluyo Menteng, Jakarta, Jumat pekan lalu, petugas keamanan di kafe Starbucks gedung Skyline ini tampak tengah ditemani tiga rekan kerja dan satu orang kerabat yang tengah membesuk. Di luar ruangan yang hanya menampung satu pasien, empat petugas polisi tengah berjaga.
Percakapan di ruang rawat inap itu didominasi rekan kerja Aldi. Ketiganya masih mengenakan seragam kerja. Mereka duduk di rangkaian sofa yang menghadap langsung ke tempat tidur pasien. Aldi menyambut obrolan dengan sedikit menolehkan kepala ke arah teman-temannya. Sesekali, pria 18 tahun itu tersenyum. "Masih susah bicara," kata Didi, rekan kerja Aldi yang ikut membesuk.
Menurut Didi, terbatasnya komunikasi temannya adalah efek dari syok yang dialami Aldi akibat ledakan yang terjadi di kawasan Sarinah, Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis pekan lalu. Pada pagi yang nahas itu, Aldi tengah berjaga di kafe Starbucks. Didi mengaku tak tahu persis posisi rekan kerjanya itu. Saat bom meledak di dalam kafe, ia terkena serpihan bom di telinga kiri.
Korban lain yang sempat dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Mira Puspita, 21 tahun, mengaku sudah punya firasat buruk saat ia hendak berangkat kerja dari rumahnya di Tangerang, Banten, menuju kantor di kawasan Kembangan, Jakarta Barat. Karyawan marketing di PT Pasifik Cipta Mandiri ini merasa malas berangkat kerja karena kantor menugasinya bertemu dengan klien di Starbucks gedung Skyline. "Waktu itu saya maunya di kantor saja."
Mengendarai sepeda motor, perempuan berjilbab ini meluncur dari rumah menuju kantor. Dari kantor, ia memesan layanan ojek online yang akan mengantarkannya menuju Starbucks. Pukul 08.45, Mira tiba di Starbucks. Di sana, Mira sudah ditunggu dua rekannya dari divisi yang sama, yaitu Sari dan Novi. Mira memilih duduk di sofa. Ia membelakangi counter pemesanan, toilet, dan ruang karyawan Starbucks. Rapat bersama 21 klien pun dimulai.
Saat rapat berlangsung, Mira sempat melihat seorang pria yang bertingkah mencurigakan. Seingat Mira, pria berbaju hitam itu masuk ke Starbucks sekitar pukul 10.15. Ia mengenakan tas ransel merah dan beberapa kali terlihat mondar-mandir di dalam ruangan kedai kopi itu. "Tasnya menggelembung. Isinya sepertinya banyak," ujar Mira, yang mengaku merasa trauma atas peristiwa itu.
Ketika meeting bersama kliennya hampir selesai, Mira mendengar ledakan. Duar! Ledakan terjadi dari arah belakang Mira, sesaat setelah pria beransel ke luar ruangan. Bau bensin tiba-tiba menyerbak dan asap terlihat mengepul. Mira terjatuh ke lantai. Telinganya pekak dan jilbabnya terbakar. Beruntung, seorang klien membantunya memadamkan api yang hampir merambat ke kepalanya. Mira juga sempat melihat Sari, temannya, sudah bercucuran darah di pelipis sebelah kanan.
Dari situ, Mira dan Sari segera menyelamatkan diri ke Hotel Sari Pan Pacific. "Sempat dirawat di kliniknya," ucap Mira. Keduanya lalu dilarikan petugas polisi ke RSCM. "Mungkin ada keajaiban yang bikin luka saya hanya sedikit."
Nasib Raiskarna lebih nahas. Office boy berusia 37 tahun ini menjadi korban penembakan. Peristiwa ini bermula ketika Raiskarna bersama dua rekannya, Rozi dan Agus—sopir dan office boy Bangkok Bank—mendengar ledakan bom dari arah Jalan M.H. Thamrin. Mereka berupaya mendekati lokasi ledakan yang diketahui terjadi di pos polisi itu.
Ketiganya berlari menuju pos polisi. Rozi di depan, Raiskarna di tengah, Agus di belakang. Puluhan orang juga sudah mengerumuni lokasi. Menggunakan telepon seluler, Rozi sempat merekam suasana setelah ledakan, termasuk gambar korban. Saat inilah muncul suara tembakan yang mengarah ke kerumunan. Rozi menoleh dan terkejut melihat tembakan itu menghantam Raiskarna. Ia tumbang seketika dan dilarikan ke Rumah Sakit Abdi Waluyo. "Raiskarna masih kritis," kata Rozi, Jumat pekan lalu.
Prihandoko, Muhammad Kurnianto (Tangerang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo