Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NASKAH pidato itu beberapa kali dikoreksi Megawati Soekarnoputri. Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu merasa belum sreg dengan poin tentang gagasan menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara. Mega kemudian menambahkan kata demi kata untuk memperkaya gagasan tersebut. "Ide itu buah pikiran Ibu Mega sendiri," ucap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto, Kamis pekan lalu.
Sebelum menuangkannya ke dalam naskah pidato, Mega meminta gagasan itu dikaji tim Pusat Analisa dan Pengendali Situasi PDI Perjuangan, yang dipimpin putranya, Muhammad Prananda Prabowo. "Ibu juga membaca dokumen sejarah untuk mencari inspirasi," ujar Hasto.
Ahad pekan lalu, naskah pidato itu dibacakan Mega saat membuka Rapat Kerja Nasional PDI Perjuangan di Hall D Jakarta International Expo, Kemayoran. Di depan Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan sejumlah pemimpin lembaga negara, Mega menegaskan pentingnya Indonesia kembali ke GBHN sebagai arah pembangunan lima tahunan. Untuk jangka panjang, bahkan sampai 100 tahun, Mega mengusulkan arah pembangunan meniru pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana seperti era Presiden Sukarno. Tanpa itu, "Indonesia ini seperti sedang senam poco-poco. (Arah pembangunannya) maju-mundur begitu," kata Mega.
Gagasan ini langsung didukung sejumlah pemimpin lembaga negara, seperti Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Zulkifli Hasan dan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman. Jokowi sendiri tidak merespons tegas gagasan Mega itu. "Itu PR kita," ujarnya.
Forum Rakernas PDI Perjuangan bukan panggung pertama Mega menyampaikan gagasan kembali ke GBHN. Menurut Hasto, pada 2015 saja Mega sudah menyuarakan gagasan ini sedikitnya dalam dua forum terbuka, seperti saat Peringatan Hari Konstitusi di Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pertengahan Agustus 2015.
GBHN awalnya lahir melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik RI sebagai Garis-garis Besar daripada Haluan Negara. Landasannya adalah gagasan Sukarno tentang Rencana Pembangunan Semesta Berencana 1961-1969. GBHN baru benar-benar dipraktekkan ketika era Soeharto. Ketika itu, GBHN menjadi alat kontrol MPR dalam menilai kinerja presiden.
Setelah rezim Soeharto tumbang dan tuntutan reformasi bergulir, kedudukan MPR dibuat sejajar dengan presiden melalui amendemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam empat kali amendemen, sejak 1999 sampai 2002, MPR ditetapkan menjadi lembaga negara sejajar dengan presiden. Dengan posisi ini, sesuai dengan amendemen konstitusi, tugas dan fungsi MPR memilih dan mengangkat presiden dihapus. Presiden kemudian dipilih langsung oleh rakyat seperti diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003. Setahun berselang, lahir Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, pengganti GBHN.
Gagasan Mega ini tidak mudah dilaksanakan. Menurut guru besar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra, dihidupkannya kembali GBHN akan menempatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan kedudukannya di atas presiden. Saldi ragu GBHN bisa disusun dengan pola pemilihan presiden langsung. "Belum lagi ongkos politiknya yang tinggi karena harus kembali mengamendemen UUD 1945 dan mengubah undang-undang terkait," katanya.
Adapun Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yuda mencurigai gagasan GBHN dimunculkan Mega untuk menekan Jokowi. Sebab, banyak keinginan PDIP—sebagai partai pengusung utama dan pemimpin koalisi partai mayoritas di parlemen—yang tidak dipenuhi Jokowi. Misalnya desakan mencopot Menteri Badan Usaha Milik Negara Rini Soemarno. "Ada motif di balik wacana GBHN ini. PDIP sulit mengontrol Jokowi," ujar Hanta.
Mega menepis kekhawatiran itu. Menurut dia, gagasan GBHN ini konsepnya tidak mengubah sistem pemilihan presiden. Selain itu, gagasan ini baru sebatas tawaran partainya. "Jangan reaktif dulu."
Muhamad Rizki, Hussein Abri, Tika Primandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo