Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pamitan Terakhir Sang Pengebom

Kelompok peneror di Jalan M.H. Thamrin merancang serangannya dari rumah kos di kampung padat penduduk. Di kamar mereka tercecer dua telepon seluler, tiga multimeter, dan buku jihad.

25 Januari 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FATIMAH menyaksikan seorang lelaki yang baru tinggal sebelas hari di kamar sewaan miliknya berangkat lebih pagi daripada biasanya. Sebelumnya, perempuan 45 tahun ini selalu melihat lelaki itu dan dua temannya baru keluar dari kamar di atas pukul 08.30. Pada Kamis dua pekan lalu itu, penghuni bilik kos yang belakangan dia ketahui bernama Afif alias Sunakim tersebut meninggalkan kamarnya, di lantai dua, sekitar pukul tujuh pagi.

Sebelum Afif turun menjejakkan kaki di lantai dasar, Fatimah melihatnya mengenakan sepatu biru sembari duduk di anak tangga. Afif ketika itu sedang mengikat tali sepatu, dengan ransel di punggung, kaus hitam, celana jins biru, dan topi Nike yang sama persis dengan yang ia kenakan ketika gambarnya terekam foto dan beredar tak lama setelah melakukan serangan di Jalan M.H. Thamrin pada Kamis pagi dua pekan lalu. Afif tewas akibat bom yang ia gendong meledak di depan kafe Starbucks, ditambah tembusan peluru polisi di badannya.

Ketika hendak meninggalkan rumah di permukiman padat penduduk di Kampung Sanggrahan, Kembangan, Jakarta Barat, itu Afif menganggukkan kepala pamit kepada Fatimah. "Berangkat dulu, Bu," katanya, seperti ditirukan Fatimah pada Rabu pekan lalu. Di depan rumah tak berpagar itu, Muhammad Ali sudah berdiri menunggu. Ali pun bertopi dan mengenakan rompi. Seperti Afif, Ali, yang tinggal tak jauh dari rumah kos itu, menggendong ransel.

Belakangan, Fatimah tahu dua orang itu menyusul dua rekan mereka, Dian Juni Kurniadi dan Ahmad Muhazan, yang menyewa kamar kos yang sama. Ternyata Dian dan Muhazan berangkat lebih dulu. Setelah dipamiti Afif, Fatimah merasakan pagi itu berlalu seperti hari-hari biasanya. Menjelang tengah hari, Fatimah menjemput anaknya dari sekolah dan langsung pulang. Sedangkan Matsani, suami Fatimah, pengemudi ojek online, juga telah kembali ke rumah.

Sesampai di rumah, Fatimah menyaksikan tayangan berita televisi tentang teror bom di Jalan Thamrin, Jakarta. Ia menyusul Matsani, yang telah lebih awal berada di depan televisi menyaksikan siaran itu. Ketika menonton tayangan televisi tersebut, Fatimah menyatakan perasaannya tidak enak. Dia mengajak suaminya mengecek empat kamar kos yang berada di lantai dua bangunan rumahnya. Semua kamar berukuran 3 x 3,5 meter itu terkunci, kecuali kamar paling belakang, yang dihuni Afif, Dian, dan Muhazan. "Saya dan suami saya masuk ke kamar," ujar Fatimah.

Sesampai di dalam kamar kos, Fatimah dan Matsani melihat dua telepon seluler lawas merek Nokia, Al-Quran bersampul cokelat, sikat gigi dan siwak, serta kacamata hitam. Di lantai kamar, ada botol air minum ukuran satu liter yang isinya masih tersisa separuh, jaket yang belakangan diketahui milik Afif, dan karpet merah. Fatimah kemudian membuka tumpukan baju di dalam kardus. Dari tumpukan itu, dia menemukan buku yang sampulnya bertulisan "Jihad" dalam huruf Latin.

Selain itu, ada tiga benda yang dia temukan, tapi tak diketahui fungsinya. "Ayah, ini alat apa?" tanya Fatimah. Matsani terkejut melihat barang yang ditunjukkan istrinya itu: multimeter—alat pengukur tegangan listrik. "Saya langsung curiga ada alat multimeter sampai tiga biji. Jangan-jangan…," kata pria 40 tahun itu. Akhirnya, mereka menutup lagi kamar tersebut dan meninggalkannya dalam kondisi semula.

Kecurigaan Matsani terbukti. Sekitar pukul delapan malam Kamis itu, dua polisi datang ke rumahnya. Mereka menunjukkan empat foto wajah orang dan menanyakan apakah Matsani mengenalnya. Matsani melihat dua foto dengan wajah hancur yang sudah tak dikenali. Tapi dua foto lain yang memperlihatkan wajah masih utuh membuat Matsani terperanjat. "Itu foto Afif dan Ali," ujar Matsani. Karena bertetangga dan berkawan sejak kecil, Matsani sangat mengenali wajah Ali.

Hanya selang lima menit, puluhan anggota Detasemen Khusus 88 datang dan memeriksa kamar kos dan seluruh rumah Matsani hingga tengah malam. Polisi juga berjaga di sekitar rumah itu, yang kebanyakan rumah kontrakan, agar penghuninya tak ada yang keluar. Beberapa penghuni mengintip dari jendela kaca ingin tahu apa yang terjadi.

Menurut Matsani, masuknya tiga pelaku teror ke tempat kos miliknya berawal dari kedatangan Ali pada awal Januari lalu. Rumah Ali dan Matsani berjarak kurang dari 100 meter. Rumah kos itu punya tiga akses jalan untuk ke luar kampung, yakni gang sempit berliku-liku yang hanya bisa dilewati satu sepeda motor.

Kepada Matsani, Ali menyatakan sedang mencarikan tempat kos buat kawannya, tapi hanya untuk sepekan. Matsani mengiyakan. Hanya, dia bingung memberikan harga sewa untuk sepekan karena harga sewa kamar kosnya sebulan Rp 500 ribu. "Ali akhirnya setuju membayar Rp 300 ribu," kata Matsani. Pada siang bolong Senin pertama Januari lalu, Ali kembali tiba dengan menyerahkan uang sekaligus mengantarkan satu kawannya bernama Dian Juni Kurniadi.

Sedangkan Afif dan Muhazan menyusul masuk kamar kos pada malam harinya. Menurut Matsani, Ali memperkenalkan tiga orang tersebut sebagai buruh bangunan proyek. "Saat saya minta fotokopi KTP, Ali hanya menjawab, 'Ah, masak enggak kenal gue, Bang?'" ujar Matsani.

Menurut dia, tak ada yang mencurigakan pada kegiatan mereka. Ali, yang rumahnya dekat dengan rumah Matsani dan masih satu lingkungan rukun tetangga, menyambangi temannya pagi dan sore, kadang hingga larut malam. Sehari-hari mereka banyak membaca buku atau memegang telepon seluler di depan kamar. "Bahkan, saat salat Jumat pun, mereka tidak berangkat," kata Matsani.

Setelah melewati sepekan menghuni kamar kos, Fatimah datang menanyakan kepastian lama penyewaan kamar. Rencana semula hanya sepekan, tapi sudah lewat tenggat. Rabu malam, 13 Januari, sebelum teror bom Thamrin terjadi besoknya, Ali bertandang ke rumah Matsani. Dia memberikan uang tambahan Rp 500 ribu kepada Fatimah. "Ini saya bayar, jadi saya tidak punya utang lagi," ujar Ali seperti ditirukan Fatimah.

Muhammad Ali dikenal di lingkungannya sebagai sopir angkutan kota. Ketua Rukun Tetangga 002/03, Kampung Sanggrahan, Apendi, mengatakan Ali menjadi sopir angkot M24 rute Srengseng-Grogol selama 16 tahun. Dia juga sesekali menjadi juru parkir di Jalan Pesanggrahan. "Pernah menjadi anggota satpam di restoran, tapi tak sampai setahun restoran itu tutup, jadi narik angkot lagi," ujar Apendi.

Teman Ali yang bernama Dian berangkat ke Jakarta dari Pemalang, Jawa Tengah, sepuluh hari sebelum bom Thamrin. Dian sebenarnya berasal dari Tegal. Pemalang merupakan tempat tinggal Ali Mahmudin, kawan Dian, yang ditangkap Detasemen Khusus 88 sehari setelah bom Thamrin. Seorang pejabat kepolisian mengatakan Dian menggantikan Arif Hidayatullah sebagai komandan operasi pengeboman. Ini menyusul ditangkapnya Arif dua hari sebelum Natal lalu akibat terindikasi hendak melakukan teror.

Arif dan Dian sama-sama menjadi anggota Mujahidin Indonesia Barat yang mendukung Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Selanjutnya, menurut perwira polisi itu, Dian mengajak Afif, Muhammad Ali, dan Ahmad Muhazan, yang sudah saling kenal karena juga sesama anggota Mujahidin Indonesia Barat. Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti mengatakan sejumlah orang yang ditangkap merupakan jaringan Dian. Pada 2011, jaringan Mujahidin Indonesia Barat terlibat dalam pengeboman masjid di Markas Kepolisian Resor Kota Cirebon. "Ini baru jaringan Dian. Proses pengungkapan terus berjalan," ujar Badrodin.

Nur Haryanto, Abdul Azis, Avit Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus