Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bandung, 2 Juni 1959. Ketegangan menjalar di Gedung Merdeka di Jalan Asia Afrika. Siang itu, para anggota Konstituante riuh berdebat. Mereka beradu urat saraf tentang nasib Undang-Undang Dasar (UUD) baru yang tengah disusun. Sudah tiga kali Konstituante mengadakan pemungutan suara untuk kembali ke UUD 1945 atau tidak. Tiga kali voting, semuanya gagal, karena tidak memenuhi kuorum seperti tertera dalam UUD Sementara 1950 Pasal 37.
Dalam perdebatan, sebagian anggota Konstituante meminta sidang membahas usulan pemerintah untuk kembali menggunakan UUD 1945. Yang lain menyerukan pembubaran Konstituante. ”Tak ada jalan lain karena kita memang sudah gagal,” demikian Anwar Sanusi dari Partai Komunis Indonesia berseru-seru di ruang sidang.
Voting dilakukan untuk merespons pidato Presiden Soekarno di depan anggota Konstituante. Berjudul ”Res Publica! Sekali Lagi Res Publica!” pidato itu disampaikan Soekarno pada 22 April 1959. Di situ Presiden mengusulkan agar negara kembali ke UUD 1945. Usul ini muncul setelah Konstituante yang bekerja sejak 10 November 1956 belum juga berhasil membakukan UUD baru untuk menggantikan UUD 1945, yang disebut Soekarno sebagai ”UUD Kilat” atau revolutie grondwet.
Pangkal perdebatan dan perselisihan dalam Konstituante yang membuat pembahasan UUD baru berlarut-larut adalah Piagam Jakarta. Dua kubu besar, yaitu blok Pancasila dan blok Islam, berbeda pendapat. Kubu Islam yang terdiri atas Masyumi, NU, PSII, dan partai lain berasaskan Islam ingin memasukkan kalimat, ”... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Blok Pancasila yang terdiri atas PNI, PKI, Murba, Partindo, Partai Katolik dengan kutub Islam menolaknya.
Nah, dalam sidang sehari sebelum reses pada 3 Juni 1959, sebenarnya masih ada dua kesempatan voting. Namun, menimbang keadaan ketika itu, pemungutan suara menemui jalan buntu. ”Saudara-saudara, sudahlah, sekarang kurang bermanfaat melanjutkan permusyawaratan. Sebaiknya sidang pleno kita akhiri saja,” kata Ketua Konstituante Wilopo, seperti yang tertulis dalam Risalah Konstituante. Dia mengusulkan kompromi, yakni berunding dengan pemerintah untuk meninjau usaha Konstituante menyusun rancangan UUD baru, termasuk usul pemerintah kembali ke UUD 1945. Semua anggota setuju. ”Dok, dok, dok!” Wilopo mengayunkan palu, menutup sidang.
Sidang benar-benar ditutup. Esok harinya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal A.H. Nasution mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) yang isinya larangan kegiatan berpolitik yang mengebiri aktivitas partai-partai politik. Perpu itu jelas-jelas mengekang kegiatan lanjutan Konstituante, lembaga yang terdiri atas banyak parpol. Sekitar 18 partai kecil langsung bereaksi. Mereka mengeluarkan resolusi tak akan menghadiri sidang Konstituante setelah reses. PNI dan PKI bergabung dalam gerakan ini.
Vonis kematian Konstituante, lembaga yang dibentuk untuk menyusun UUD baru sesuai dengan amanat UUDS 1950, diumumkan Presiden Soekarno di Istana Merdeka, Jakarta, pada 5 Juni 1959. Dengan Dekrit Presiden, Soekarno membubarkan Konstituante dan pemberlakuan kembali UUD 1945. ”Semua jadwal ke depan yang diagendakan sebelum reses bubar,” ujar Usep Ranawidjaja, 84 tahun, mantan Sekretaris Jenderal Konstituante, kepada Tempo.
Tak ada upacara perpisahan. ”Ya bubar begitu saja di pelataran. Kami bahkan belum sempat berucap salam,” kenang Sri Soemantri Martosoewignjo, 81 tahun, mantan anggota Konstituante dari PNI. Honor untuk anggota juga berhenti. ”Barangkali pemerintah marah karena Konstituante dianggap tak menghasilkan apa-apa,” kata Soemantri yang kini masih menjadi Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Padjadjaran, Bandung.
Padahal, di luar materi dasar negara, menurut Soemantri, Konstituante berhasil menyepakati sejumlah materi perubahan UUD, seperti bentuk negara, sistem pemerintahan, sistem perwakilan, dan hak asasi manusia. Sebagai Wakil Ketua Subkomisi HAM, Soemantri masih ingat bahwa hampir semua fraksi menginginkan hak asasi manusia masuk dalam konstitusi baru. ”Berbeda dengan perdebatan soal dasar negara, pembahasan soal HAM lebih cepat mencapai konsensus,” ujarnya.
Benar kata Soemantri, perdebatan paling sengit dalam Konstituante adalah soal dasar negara. Hal itu terjadi karena perbedaan tajam ideologi partai-partai. Namun, isme yang beda tak berarti gontok-gontokan. Usep menggambarkan para tokoh politik menyampaikan materi di atas mimbar dengan sopan santun. ”Tak ada tunjuk-tunjuk tangan, sabotase mikrofon, atau gebrak meja,” ujarnya. Menurut dia, tokoh-tokoh seperti Muhammad Natsir, SutanTakdir Alisyahbana, Buya Hamka, Isa Anshari, D.N. Aidit, dan beberapa nama lain adalah orator, sehingga perbedaan visi di antara mereka juga bisa ”dinikmati”.
Adnan Buyung Nasution, pengacara yang pernah meriset Risalah Konstituante untuk disertasi doktor, menggambarkan bagaimana para tokoh itu berdebat dengan kalimat kaya metafora. Natsir, misalnya, dalam pidato 13 November 1957 berujar, ”Singkap daun, tampak buah.” Ini untuk menyindir PKI yang getol menyokong Pancasila.
Atau, Buya Hamka yang mengatakan pada sidang April 1959, ”Membuat UUD bukan seperti pekerjaan menggosok-gosok lampu Aladin.” Hamka mengecam Soekarno yang giat mengkampanyekan kembali ke UUD 1945 dengan menggelar rapat raksasa di berbagai tempat.
Menurut Samsir Muhammad, seorang anggota Konstituante dari Fraksi Proklamasi, para tokoh Islam pada saat itu adalah lawan debat yang tangguh sekaligus kawan nongkrong yang mengasyikkan. ”Di dalam ruang kami saling serang seperti mau perang. Di luar sidang kami ngopi, ngobrol, dan tertawa bersama,” katanya. Kerap terlihat Ketua Umum Masyumi, Mohammad Natsir, ngopi dengan D.N. Aidit, Ketua CC PKI, di Kafe Konstituante. Isa Anshari yang antikomunis akrab di luar sidang dengan Aidit. Samsir pun mengaku suka bergaul dengan Isa. ”Kami kadang jalan bareng di Jalan Braga,” kata Samsir.
”Kedekatan mereka di luar sidang cukup menyita perhatian wartawan saat itu,” tutur Soemantri. Mereka berdebat di ruang sidang seperti orang berkelahi, tapi begitu keluar, mereka tertawa-tawa seperti tidak ada apa-apa. ”Berbeda dengan sekarang. Waktu itu kami merasa pekerjaan politik adalah pekerjaan terhormat, jadi harus dilakukan secara terhormat pula,” ujar Samsir.
Suatu ketika mereka membahas lambang negara, Garuda Pancasila. Ketika itu, Partai Murba minta burung garuda pada lambang negara menoleh ke kiri, bukan ke kanan—seperti sekarang ini. Nah, untuk mempertahankan bahwa yang benar adalah garuda menoleh ke kanan, Soemantri harus keluar-masuk museum dan perpustakaan demi mendapatkan referensi soal mitos garuda. Karena tidak menemukan jawaban yang ”ilmiah”, akhirnya Soemantri bilang, ”Kalau menghadap ke kiri itu dalam bahasa Jawa artinya pakiwan atau jumbleng (WC). Masak, tempat yang jorok-jorok jadi lambang, kan ndak mungkin.”
Namun, panggung politik Konstituante yang dipuji-puji sebagai cara berpolitik yang dewasa sama sekali tidak steril dari gesekan dari luar. Sejak pendiriannya, Konstituante tak pernah bebas dari berbagai tekanan terhadap eksistensinya. Bahkan Soekarno sudah menyampaikan sinyal untuk kembali ke UUD 1945 sejak pelantikan anggota Konstituante. Hal itu makin kuat ketika Soekarno bertemu pimpinan partai pada 19 Februari 1957. Saat itu Soekarno melontarkan konsep kabinet kaki empat yang terdiri dari Masyumi, PNI, NU, dan PKI. Konsep ini ditolak para pemimpin partai.
Selain itu, Soekarno juga membentuk Dewan Nasional (Denas) yang dia pimpin sendiri dengan wakil Roeslan Abdulgani. Anggotanya adalah empat kepala staf angkatan bersenjata, wakil-wakil golongan fungsional dan daerah. Dewan ini kemudian berubah menjadi Golongan Karya. Namun, di masa itu, Dewan Nasional, menurut Adnan Buyung dalam bukunya, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Studi atas Konstituante 1956–1959, tugasnya mengganjal kerja Konstituante. ”Posisi Dewan Nasional tak ubahnya Konstituante tandingan yang ditawarkan Soekarno,” ujar Buyung.
Pemerintah pun menganggap kerja Konstituante lamban. Perdana Menteri Juanda menyampaikan pesan pemerintah agar kerja mereka menyusun UUD yang baru dipercepat. Pesan itu dianggap sebagai manifestasi ketegangan yang menajam antara presiden, kabinet, serta angkatan bersenjata di satu pihak dan partai dan Konstituante di lain pihak.
Meskipun gagal memenuhi misinya, Konstituante dipandang sebagai ajang yang baik untuk belajar berpolitik dan bernegara. Soemantri mencontohkan, dia tetap setia belajar hukum tata negara karena pernah menjadi anggota lembaga tersebut. Jadi, meski Konstituante gagal membuat konstitusi yang Res Publica, seperti kata Soekarno, biarlah dia mati dalam damai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo