Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPANGAN BANTENG, suatu siang yang lembab pada September 1955. Juru kampanye Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah sedari tadi ”membakar” pengikutnya di alun-alun Jakarta Pusat itu. Saatnya untuk menyerang partai lawan. ”Jika Masyumi menang, Lapangan Banteng ini akan diubah jadi Lapangan Onta,” ujar dia.
Siang yang lain, di alun-alun yang sama, Partai Masyumi yang berhaluan Islam membalas ejekan PKI. ”Jika PKI menang, Lapangan Banteng akan diubah jadi Lapangan Merah, Kremlin, di Moskow,” ujar juru kampanye Masyumi. Masyumi juga meledek Partai Nahdlatul Ulama. ”Mereka meledek nama partai itu jadi Partai Nasi Uduk,” ujar Alwi Shahab, pengamat budaya Betawi, kepada Tempo.
Alwi, 71 tahun, masih menyimpan ingatan itu: nukilan peristiwa ketika Indonesia, yang baru berumur 10 tahun lewat sebulan, menggelar pemilihan umum pertama. Ini bukan kenangan buruk. ”Saling cerca itu tak lebih dari perang kata-kata di panggung,” ujar Alwi, yang kala itu berumur 19 tahun. ”Suasananya aman dan meriah,” katanya.
Hajatan negara itu memang sukses besar. Berlangsung damai, tingkat partisipasi warga pada pemilihan itu begitu tinggi. Suara sah pada pemilu ini sekitar 88 persen dari jumlah pemilih sebanyak 43 juta orang. Padahal, menggelar kenduri besar dengan biaya Rp 500 juta ini tidaklah enteng.
Pemungutan suara dilakukan di 16 wilayah pemilihan di seantero Tanah Air. Ini mencakup 208 kabupaten, 3.141 kecamatan, serta 42.092 desa. Dan ini bukan pesta sekali rampung. Ada dua pemilihan yang harus dilakukan: untuk memilih 260 anggota DPR pada 29 September yang diikuti 118 partai politik, gabungan organisasi, serta perorangan, plus memilih 520 anggota Dewan Konstituante pada 15 Desember yang diikuti 91 peserta.
Bukan berarti tak ada kekhawatiran. Pemilu yang disiapkan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo dan dilaksanakan pada saat pemerintahan Burhanuddin Harahap ini sempat dicemaskan bakal berakhir rusuh. Pasalnya, partai yang ikut pemilu kala itu memiliki haluan politik yang berlawanan. Lihat saja, ada nasionalis, kaum agamis dan komunis—ketiganya bak air dan minyak.
Di beberapa daerah, pesta bahkan terancam serangan pemberontak. Di Jawa Barat, misalnya. Bambang Hidayat—kini anggota Majelis Guru Besar Institut Teknologi Bandung—melukiskan bahwa saat itu tentara Darul Islam masih berkeliaran di ibu kota provinsi, Bandung, dan daerah sekitarnya. Gara-gara ini, mahasiswa yang indekos di Jalan Teratai itu ketar-ketir.
Eh, pemilu ternyata berlangsung mulus. Dunia terkagum-kagum. Kisah sukses itu pun ”dibedah” para ahli. Salah satunya oleh warga Australia, Herbert Feith. Dalam buku bertajuk The Indonesian Elections of 1955, Indonesianis ini menyimpulkan sukses coblosan karena lima faktor. Perbedaan, kompetisi, sirkulasi kekuasaan—siap menjadi pemenang dan pecundang—kemampuan mengelola konflik dan kompromi, serta kematangan menyikapi haluan politik, semuanya sudah menjadi tradisi.
Toh, ini bukan pemilu yang steril dari kecurangan. Alwi—waktu itu kelas 2 SMA—ingat benar betapa partai menguasai media massa. Halaman depan koran menjadi palagan partai yang sengit. Harian Rakyat, misalnya, selalu menulis kemenangan PKI di halaman satu. Harian Suluh Indonesia menuliskan kejayaan PNI. Masyumi selalu unggul di koran Abadi. ”Partai kecil seperti Murba menguasai Berita Indonesia dan Baperki ’mengendalikan’ Sin Po,” ujar wartawan Antara dan kini Republika itu.
Gesekan ”fisik” antarpartai juga terjadi. Masyumi pernah dibikin gerah PKI saat mereka berkampanye di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Pengeras suara mereka beberapa kali mati, konon, karena disabotase pendukung PKI. ”Priok memang dikuasai PKI, musuh besar Masyumi,” kata Alwi.
Rebutan pengaruh juga terjadi. Bambang ingat, keluarga pamong praja ketika itu dianjurkan mencoblos Partai Nasional Indonesia (PNI), yang disebut-sebut sebagai partainya pemerintah dan Bung Karno. Ini, ujarnya, persis seperti Golkar di era Orde Baru. ”Tapi itu cuma anjuran, tanpa sanksi,” ungkap Bambang. PNI akhirnya keluar sebagai pemenang.
Bagaimanapun, tradisi menghormati perbedaan sikap politik sudah terasa hingga ke rumah-rumah. Sebut saja kisah Alwi. Siswa kelas 2 SMA itu pendukung Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibentuk Sutan Sjahrir pada Februari 1948. Ayahnya pengikut NU. ”Ibu saya mungkin NU juga dan entah apa pilihan saudara-saudara saya,” ujar anak Kwitang ini.
Di Kwitang, Jakarta Pusat, guru dan murid pun tak perlu sehaluan dalam berpolitik. Ketika Habib Ali, ulama yang sangat dihormati di Kwitang, berkampanye untuk Nahdlatul Ulama, pada hari yang sama, muridnya, Abdullah Syafei, berkeliling Jakarta untuk Masyumi.
Golongan putih atawa golput? Tak jadi soal. Muhamad Sunjaya, 70 tahun, pendiri teater Actor Unlimited Bandung dan golput abadi, mengaku tetap leluasa menyaksikan kampanye partai-partai di lapangan Lodaya dekat rumahnya. ”Saya sih mau cari makanan pas kampanye, karena banyak tukang makanan,” ujarnya. ”Tapi, memang, semangat demokrasinya sudah kentara. Buktinya saya yang golput tidak diutak-atik.”
Ada kisah lain disampaikan Djoeni Adisoetjipto, 81 tahun. Pensiunan polisi ini menuturkan, kenalannya, seorang modin Desa Sambireo, Trenggalek, Jawa Timur, adalah pengagum Soekarno. Walhasil, modin itu memilih PNI. Sementara itu, sang istri tidak mencoblos PNI, melainkan Masyumi. ”Karena ia bermimpi menguliti pisang bergambar bintang dan bulan, lambang partai itu,” ujar Djoeni kepada Tempo.
Djoeni waktu itu adalah polisi berpangkat agen polisi lulusan Sekolah Polisi Negara di Sukabumi, Jawa Barat. Setahun jadi polisi, ia ditugaskan mengamankan pemilu di Trenggalek. Ia bersyukur pemilu waktu itu berlangsung aman. Padahal, kontrolnya hanya sambil lalu. Maklum, jumlah polisi segelintir. Pula, mereka cuma bersepeda ontel—perlu seharian mengayuh untuk mengontrol seluruh wilayah.
Suasana adem juga terjadi di Surabaya, Jawa Timur. Srihono Darmodiningrat, kini staf majalah Panjebar Semangat di Surabaya, masih ingat, kala itu, selepas subuh, ia sudah bersiap-siap di TPS 12, Jalan Legundi, Genteng, Surabaya. Meskipun ia masih siswa kelas 3 SMA, lurah mendapuknya sebagai sekretaris panitia pemungutan karena ia sering terlibat dalam kegiatan pemuda setempat. Pemegang hak pilih yang berjumlah 100 orang ternyata hadir semua. Penghitungan suara selesai pukul satu siang. ”Tidak ada laporan kerusuhan apa pun,” katanya.
Kendala teknis bukannya tak ada. Bayangkan, warga harus memilih satu dari 100 tanda gambar partai untuk DPR dan 82 tanda untuk Konstituante; termasuk tujuh nama serta tanda gambar PSI yang berlainan di beberapa daerah. Bayangkan, betapa sulitnya mereka mencoblos. Apalagi di Jakarta Raya, hampir 80 persen warganya masih buta huruf. Maka, saat pencoblosan, kerap terdengar teriakan minta tolong dari dalam bilik suara, seperti: ”Gambar Masyumi yang mana nih?” Begitu cerita Alwi, mengutip salah satu kejadian itu.
Di seluruh Surabaya, penghitungan suara kelar seiring terbenamnya matahari. Demikian pula di banyak wilayah lainnya di Indonesia. ”Hasil-hasil penghitungan suara saat itu disampaikan melalui telepon ke kantor pusat,” ujar Bambang. Tak ada protes. Djoeni membenarkan. ”Mereka sangat percaya kepada panitia pemilu, pokoknya tidak ada yang berbuat curang,” kata dia.
Akhirnya, seluruh suara terkumpul di Jakarta. Tercatat, lima besar pemenang pemilu ini, berturut-turut: PNI, Masyumi, Nahdlatul Ulama, PKI, dan Partai Syarikat Islam Indonesia. Hajatan itu juga, mengutip Suara Merdeka, menyisakan dana pemilu Rp 5 juta, yang kemudian dipakai membiayai pembangunan gedung Panitia Pemilihan Indonesia di Jalan Matraman Raya 40, Jakarta Pusat.
Di Jakarta Raya, Masyumi keluar sebagai pemenang. Apa kabar Lapangan Banteng? Lapangan itu ternyata tidak berubah menjadi Lapangan Onta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo