Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Taufik Abdullah
28 Desember 1949.
Berjuta-juta orang membanjiri jalan-jalan. Mereka menangis, berteriak, memekik, ‘Hidup Bung Karno.... Merdeka’.” Bung Karno tak pernah bisa melupakan peristiwa yang dikisahkannya ini. Tanggal dan bahkan peristiwa ini mungkin telah terlupakan. Ketika itulah Bung Karno kembali ke Jakarta, setelah sekian lama ”mengungsi” di Yogyakarta. Ia kembali ke kota Proklamasi, tapi tidak ke rumahnya yang lama. Ia kembali untuk berdiam di bekas istana Gubernur Jenderal Belanda. Ia adalah Presiden Republik Indonesia Serikat, yang dilahirkan setelah empat setengah tahun revolusi yang keras harus dijalani bangsa. Di atas segala-galanya, di hari itu, Bung Karno adalah simbol kemenangan dan persatuan bangsa.
Negara federal yang berdaulat yang merupakan hasil kompromi ini bisa bertahan tak lama. Dalam waktu empat bulan, satu per satu negara bagian yang lahir ketika Republik Indonesia sedang dalam kepungan militer Belanda itu berjatuhan. Di akhir April hanyalah NIT dan NST yang masih bisa bertahan. Setelah perundingan yang berlarut-larut antara RIS (yang mewakili kedua negara bagian itu) dan RI, parlemen RIS akhirnya menerima Mosi Integral Mohammad Natsir. Pada 16 Agustus 1950, Presiden Soekarno mengumumkan pembubaran RIS. Indonesia kembali menjadi negara kesatuan. ”Di tahun 1950 nasionalisme menang,” kata Herbert Feith. ”Sebagai kekuatan yang mempersatukan seluruh kepulauan, nasionalisme sedang berada di puncak kekuasaannya.” Begitulah, NKRI pun memulai zaman demokrasi parlementernya.
Dengan UUD Sementara 1950 yang menjadikan presiden hanya sebagai kepala negara, NKRI mewujudkan cita-cita demokrasi dalam sistem pemerintahan. Meskipun presiden mempunyai hak prerogatif untuk menunjuk formatur kabinet, yang biasanya menjadi perdana menteri, pemerintah bertanggung jawab pada parlemen sementara. Idealisme mungkin alasan utama, tapi pengalaman di masa revolusi memberi landasan optimisme bagi sistem parlementer ini. Dalam UUD 1945, presiden memang kepala pemerintahan, tapi dalam suasana revolusi, sistem yang dijalankan bisa disebut semiparlementer. Presiden dan wakil presiden tampil dalam putusan yang menentukan arah perjuangan saja. Jadi pengalaman berdemokrasi parlementer telah dipunyai juga. Dengan begini, NKRI yang demokratis bisa menatap masa depan dengan penuh optimisme.
Betapapun berbagai masalah sosial-politik dan ekonomi dengan keras telah menghadang—Irian Barat masih dikuasai Belanda, utang yang ditentukan KMB cukup berat, ekonomi didominasi oleh the big five, situasi infrastruktur sangat parah, dan sebagainya—awal 1950-an ditandai oleh suasana ”antusiasme remaja”. Negara yang baru berdaulat ini memperlakukan warganya sebagai orang dewasa, yang memahami makna dan tanggung jawab bernegara, meskipun mayoritas rakyat masih buta huruf, sedangkan jumlah yang terpelajar beberapa ribu orang saja. Di waktu itu pulalah pandangan yang bersifat kosmopolitan memperkenalkan dirinya—”Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia,” kata Surat Kepercayaan Gelanggang. Berbagai perguruan tinggi mulai berdiri, sedangkan perdebatan publik menjadi hal biasa. Orientasi ideologis, visi masa depan, sikap kultural, dan entah apa lagi menjadi santapan publik meskipun surat kabar terbit dengan empat halaman saja. Sekian banyak jawab yang diajukan atas setiap pertanyaan yang dilontarkan dan sekian pula kelompok sosial-politik bermunculan ingin mewujudkannya dalam realitas kehidupan bangsa. Awal 1950-an seakan-akan menghidupkan kembali suasana pertengahan 1920-an dan 1930-an (”a decade of ideologies” dalam sejarah modern Indonesia), ketika berbagai corak ideologi diperkenalkan kepada masyarakat kota yang mulai menyadari makna kolonialisme. Tapi pada 1950-an perang besar dan revolusi telah dilalui dan kedudukan serta kekuasaan politik bisa jadi taruhan.
Walaupun dasar negara masih diperdebatkan, tujuan normatif akan terwujudnya Indonesia yang adil, makmur, integratif, dan kukuh adalah visi yang umum diterima. Tapi, sayang, negara tidak bisa hanya menghadapkan dirinya pada segala hal yang bersifat normatif. Betapa banyak masalah riil yang harus dihadapi. Peristiwa ”Ratu Adil” di Bandung, pembangkangan KNIL di Makassar, dan separatisme RMS mungkin bisa diatasi tanpa menimbulkan permasalahan internal. Semuanya bisa dianggap sebagai lanjutan tantangan kolonial saja. Tapi bekas pejuang yang terancam tersingkir dari angkatan perang negara yang pernah mereka pertahankan dengan jiwa raga, rencana modernisasi ketentaraan, dan kegelisahan daerah adalah masalah yang meninggalkan luka yang tak mudah disembuhkan.
Sistem demokrasi parlementer yang dijalankan di masa awal kedaulatan bangsa adalah wahana untuk merintis hari depan bangsa, tapi mengalami kekalutan ketika ingatan dan dendam masa lalu harus dihadapi dan tersandung di waktu tantangan aktual harus dijawab. Ketika inilah ironi sejarah terjadi—hasrat untuk membawa negara-bangsa ke masa sebelum bangsa diajukan sebagai resep bagi pemecahan masalah kontemporer bangsa. Tiba-tiba negara bukan lagi dilihat sebagai organisasi politik yang modern, melainkan wadah bagi terwujudnya keharusan kultural yang dianggap otentik. Ketika pandangan kultural terhadap kekuasaan negara telah dipakaikan, tradisi otoriter pun tanpa sengaja telah diletakkan.
Mitologisasi demokrasi parlementer sebagai sistem yang telah meninggalkan ”kepribadian nasional” dan ”kehilangan elan revolusi” pun dilakukan. Betapapun mungkin mitologisasi adalah demi kepentingan politik rezim yang ingin tampil, tanpa dukungan realitas empiris mitos tidak akan punya kredibilitas. Di sinilah masalahnya, demokrasi parlementer ditandai oleh ketidakstabilan politik. Kabinet koalisi yang datang bergantian hanya bertahan selama partai politik pendukungnya tidak merasa terganggu. Kehidupan demokrasi, kata Bung Hatta, sangat ditentukan oleh adanya rasa tanggung jawab. Pernyataan ini diterima, tapi dibiarkan lewat begitu saja. Kepentingan politik tak terlalu mudah untuk dikalahkan. Dan Bung Karno bisa ”bermimpi semua partai membubarkan dirinya”, tapi mimpinya ini tak lebih dari impian. Dalam suasana ketidakstabilan politik inilah tentara mulai menyadari bahwa sistem demokrasi parlementer bukanlah yang sesuai bagi aspirasi politiknya. Kegagalan pimpinan angkatan darat meminta presiden membubarkan parlemen dalam ”peristiwa 17 Oktober” (1952) memperkuat sikap ini.
Tahun 1950-an menggambarkan suasana kemenangan, ketika semua harapan yang selama ini dipupuk dan diperjuangkan ingin terpenuhi. Tapi sistem parlementer, yang bersifat egaliter, menjadi kikuk juga karena pemegang wibawa pribadi tertinggi, presiden dan wakil presiden, berada di luar pemerintahan. Ketika kemacetan politik dirasakan, ada juga penyesalan di kalangan tokoh partai, ”Mengapa dulu kemungkinan presiden untuk menunjuk wakil presiden sebagai formatur kabinet ditolak?” Mestikah diherankan kalau harapan semakin ditumpahkan pada pemilihan umum? Mudah-mudahan setelah parlemen pilihan rakyat terbentuk, kehidupan demokrasi yang sehat bisa tumbuh dan harapan bisa terpenuhi.
Pemilihan Umum 1955 berhasil, tapi sekaligus memperlihatkan unsur disintegratif dalam kehidupan bangsa. Partai-partai yang secara formal berlandaskan ideologi modern sering memberinya substansi dengan asumsi primordial. Pemilu tidak saja menunjukkan perbedaan orientasi antarwilayah pemilihan, tapi juga menonjolkan ketegangan internal. Hasilnya seakan-akan membenarkan pembagian kolonial atas ”Jawa” dan ”luar Jawa”. Sebuah partai besar lebih menampilkan diri sebagai partai ”luar Jawa”, sedangkan tiga partai besar lainnya mendapatkan dukungan terbanyak di wilayah kebudayaan Jawa. Ketika itu pulalah wilayah luar Jawa sedang mengalami keresahan politik yang serius. Hanya satu partai besar yang bisa menyuarakan keresahan ini di parlemen. Kemacetan juga dialami dalam Konstituante. Baik pendukung Pancasila maupun ”Islam” gagal mendapatkan dua pertiga suara. Maka krisis politik makin berlanjut. Pemberontakan DI belum teratasi, tapi PRRI/Permesta telah merebak di Sumatera dan Sulawesi. Pemegang tampuk kekuasaan pun semakin melihat perpecahan dan pengingkaran pada demokrasi parlementer.
Dalam suasana yang disuarakan sebagai ”the rediscovery of our revolution” yang telah diperkuat oleh pemberlakuan Undang-Undang Negara dalam Bahaya Perang, kabinet Djuanda, yang dibentuk Soekarno, ”sebagai warga negara”, menganjurkan Konstituante menjadikan saja UUD 1945 sebagai UUD permanen. Tapi Konstituante tidak bisa memutuskannya. Dengan dukungan tentara, Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dikeluarkan. Indonesia ”kembali ke UUD 1945” dan NKRI memasuki periode baru.
Soekarno sebagai simbol persatuan bangsa di awal 1950-an telah terlupakan. Kini ia adalah Pemimpin Besar Revolusi yang membagi anak bangsa atas kekuatan ”revolusioner” dan yang bukan. Nasionalisme pun telah dikuasai negara. Takdir kemudian menentukan ia terguling oleh kekuatan yang dibesarkannya. Ketika krisis politik serius melanda negeri tercinta ini, ”revolusi yang dibayangkan” itu pun memakan sang penciptanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo