Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Terpisah samudra ribuan kilometer, dua pejabat Departemen Keuangan itu tetap terhubung oleh persoalan gawat di Jakarta. Sekretaris Jenderal Mulya Nasution di Peru dan Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution di Guangzhou, Cina, mengikuti rapat jarak jauh dengan Menteri Sri Mulyani dan para pejabat eselon I departemen itu di Tanah Air, Rabu pagi dua pekan lalu.
Rapat yang tak diagendakan sebelumnya itu juga dihadiri Kepala Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan Fuad Rahmany serta Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Erry Firmansyah. Setelah memberikan penjelasan panjang-lebar, Sri Mulyani mengambil keputusan yang mengejutkan bawahannya. ”Ibu Menteri menyatakan hendak mundur,” kata sumber Tempo, ”dia merasa kredibilitasnya dipertaruhkan.”
Semua terenyak. Para pejabat itu meminta Ibu Menteri tidak bertindak emosional. Mereka meminta bos mereka memikirkan untung-rugi sebelum mengambil keputusan. Krisis keuangan dijadikan alasan untuk menahan keinginan Ani, begitu Bu Menteri dipanggil. ”Tapi jajaran eselon satu memahami persoalan yang dihadapi Bu Menteri,” ujar sumber yang sama. Menjelang tengah hari, rapat distop untuk diteruskan sore harinya.
”Gempa kabinet” ini berawal dari runtuhnya harga saham PT Bumi Resources Tbk. (BUMI), perusahaan tambang batu bara milik keluarga Bakrie. Sempat menjulang di harga Rp 8.500-an per lembar pada pertengahan tahun, saham perusahaan itu melorot hingga kisaran Rp 3.000-an pada awal Oktober. Perdagangan saham Bumi distop pada 7 Oktober, karena harganya melorot 32,03 persen dalam sehari. Hal yang sama diberlakukan pada saham lima perusahaan lain di bawah Grup Bakrie.
Loyonya saham Bakrie dipicu kabar bahwa kelompok usaha itu kesulitan membayar utang berjaminan saham. Nilainya luar biasa: Rp 11 triliun. Kabar ini semakin kencang karena pada saat yang sama grup itu juga bergerilya menjual 35 persen saham Bumi kepada sejumlah pengusaha. Sementara perdagangan tiga perusahaan lain dibuka kembali beberapa hari kemudian, jual-beli saham Bumi tetap dibekukan nyaris sebulan.
Setelah sempat bernegosiasi dengan sejumlah pihak, pada Sabtu tiga pekan lalu, keluarga Bakrie akhirnya meneken perjanjian transaksi 35 persen saham Bumi dengan PT Northstar Pacific. Pada hari yang sama, menurut sumber, Nirwan Bakrie, pengendali Grup Bakrie, menemui Menteri Keuangan yang ditemani Darmin Nasution dan Fuad Rahmany. Adik kandung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie ini melaporkan kesepakatan transaksi dengan Northstar.
Menerima laporan itu, Sri Mulyani kabarnya kemudian menyatakan per-dagangan saham Bumi harus segera dibuka pada pekan berikutnya. Namun Nirwan meminta waktu untuk melakukan berbagai konsolidasi, sebelum saham Bumi kembali diperdagangkan di lantai Bursa. Sri Mulyani menolak permintaan itu.
Masalah kelompok Bakrie bertambah karena pada pertemuan itu, menurut sumber yang lain, Direktur Jenderal Pajak Darmin Nasution juga menagih utang royalti batu bara dan pajak Bumi yang belum dibayar. Jumlahnya pun tidak sedikit, sekitar US$ 500 juta. Masalah ini sempat membuat para petinggi Bumi dilarang ke luar negeri. ”Nirwan pada pertemuan itu berjanji membayar pajak pada akhir tahun,” kata sumber itu.
Menteri Keuangan meminta perdagangan saham Bumi dibuka Rabu pekan berikutnya. Namun, menurut sumber, pada Selasa pekan itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memerintahkan Sri Mulyani bertemu dengan Aburizal lebih dulu sebelum perdagangan dibuka. Sri menolak permintaan ini karena ia menganggap perdagangan saham Bumi bukan urusan koleganya di Kabinet Indonesia Bersatu itu.
Satu pengumuman pun ditayangkan situs Internet Bursa Efek Indonesia pada Rabu, 5 November, pukul 08.00. Isinya: otoritas Bursa akan membuka kembali perdagangan saham Bumi Resources mulai sesi pertama pukul 09.30 waktu Jakarta Automatic Trading System atau jam bursa efek, hari itu juga.
Pada saat yang hampir sama, menurut sumber yang lain, selarik pesan dikirimkan Presiden Yudhoyono ke telepon seluler Sri Mulyani. Isinya, teguran tak langsung kepada menterinya itu. Mungkin karena perdagangan hendak dibuka sebelum Sri Mulyani bertemu dengan Aburizal. ”Intinya, Presiden menyatakan, kalau dalam organisasi ada yang tidak sepaham dengan perintah atasan, itu berarti tidak disiplin,” sumber itu menuturkan.
Menerima pesan ini, Sri Mulyani berusaha menelepon bosnya. Namun telepon ini tak kunjung diangkat—padahal ia biasanya memiliki hotline dengan sang Presiden. Pelaksana Menteri Koordinator Perekenomian ini pun akhirnya meminta Bursa Efek Indonesia membatalkan pembukaan perdagangan saham Bumi.
Satu seperempat jam setelah pengumuman pembukaan perdagangan saham Bumi ditayangkan, muncul pengumuman baru. ”Mengingat adanya permintaan dari pemerintah, Bursa memutuskan untuk menunda pembukaan suspensi perdagangan efek BUMI hingga pengumuman lebih lanjut,” demikian tertulis dalam pengumuman. Segera setelah itu, Menteri Keuangan memanggil para pejabat eselon I rapat di kantornya.
Sore setelah lanjutan rapat ini dibuka, Sri Mulyani menyatakan tetap pada keputusannya untuk mundur. Mulya Nasution di Peru dan Darmin Nasution di Guangzhou pun kembali terhubung ke rapat di Jakarta melalui telepon internasional. Mereka dan pejabat lainnya rupanya tak mampu mengubah keputusan Ibu Menteri.
Seusai rapat, sumber bercerita, Sri Mulyani meminta waktu untuk bertemu dengan Presiden. Tapi Kepala Negara punya acara menjamu Presiden Madagaskar Marc Ravalomanana petang itu. Sri menunggu jamuan itu selesai di Lapangan Banteng, kantornya. Ia baru ke Istana sekitar pukul 21.00. Di situ ia menyampaikan permintaannya untuk mundur dari kabinet ke Presiden. Permintaan ini ditolak Yudhoyono.
Juru bicara kepresidenan Andi Mallarangeng menepis informasi tersebut. ”Saya tidak pernah mendengar hal semacam itu. Sekarang pun Ibu Sri Mulyani sedang mendampingi Presiden SBY dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Washington,” katanya kepada reporter Ismi Wahid. Adapun Sri Mulyani ketika dimintai konfirmasi hanya berujar pendek: ”Ah, yang benar...?”
Kepada para pembantunya, menurut sumber Tempo, Yudhoyono berpendapat saham Bumi harus diselamatkan. Jika harganya terus mengempis dan kekayaan keluarga Bakrie tergerus, ia khawatir mereka tak sanggup membayar ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur. Pada awal lumpur itu menyembur, keluarga Bakrie kabarnya menyatakan sanggup membayar kerugian korban hingga Rp 3 triliun.
Pendapat Yudhoyono itu bukannya tanpa dasar. Pada akhir Oktober lalu, PT Minarak Lapindo Jaya, perusahaan yang dibentuk Bakrie untuk mengurus persoalan luapan lumpur, mengirim surat ke Ketua dan Wakil Ketua Dewan Pengarah Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo—Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto dan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah. Isinya, Minarak mengakui mengalami masalah keuangan. Untuk itu, mereka meminta Badan Penanggulangan ”memberikan kebijaksanaan sementara” menggantikan fungsi Minarak.
Namun sebenarnya krisis global itu tidak bisa dianggap sebagai penyebab seretnya pembayaran ganti rugi untuk korban lumpur Lapindo. Keluarga Bakrie toh tetap saja tak kunjung menyelesaikan pembayaran ketika harga saham Bumi masih digdaya dan Aburizal ditetapkan sebagai orang terkaya se-Indonesia oleh majalah Forbes. Karena itu, kalangan politikus yakin ”perlindungan” Istana untuk kelompok usaha Bakrie jauh lebih dalam daripada itu. Apalagi pemerintah juga terkesan lemah dalam kasus Lapindo.
Syahdan, pada 2004, Aburizal serta pengusaha Surya Paloh dan Jusuf Kalla berpacu menjadi calon presiden dari Partai Golkar melalui jalur konvensi. Mereka juga bersaing dengan, antara lain, mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia Wiranto dan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung. Di tengah jalan, Kalla meninggalkan gelanggang dan berduet dengan Yudhoyono. Wiranto pada akhirnya memenangi konvensi. Alih-alih menyokong Wiranto, segera setelah konvensi ini, Aburizal dan Surya merapat ke pasangan Yudhoyono-Kalla.
Sumber Tempo mengatakan jasa Aburizal dalam menopang kebutuhan dana kampanye Yudhoyono-Jusuf Kalla cukup besar. Ia kabarnya selalu memasok dana dalam jumlah dua kali lipat dibanding dana yang disetor Surya Paloh. Itu sebabnya, begitu pasangan yang mengusung slogan ”Bersama Kita Bisa” ini memenangi pemilihan presiden, dengan dukungan yang sangat kuat dari Jusuf Kalla, Aburizal langsung dijatah pos strategis: Menteri Koordinator Perekonomian.
Kepada Sahala Lumban Raja dan Cornila Desyana dari Tempo, Aburizal membantah informasi itu. ”Kalau menulis seperti itu, berarti Anda menulis informasi yang salah,” katanya ketika ditemui pada Malam Apresiasi Olahraga di Jakarta, Jumat malam pekan lalu.
Adapun Andi Mallarangeng mengatakan daftar penyumbang dana kampanye 2004 untuk Yudhoyono-Kalla ada di Komisi Pemilihan Umum. Dalam daftar itu, Aburizal memang tak tercantum sebagai daftar penyumbang. Namun sumber tersebut yakin Aburizal termasuk salah satu donatur.
Aburizal, kata sumber itu, juga berperan penting memuluskan Jusuf Kalla merebut posisi Ketua Umum Partai Golkar dalam Musyawarah Nasional di Bali. Ini misi yang direstui Yudhoyono. Hanya diusung Partai Demokrat, Partai Bulan Bintang, serta Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, ia perlu tambahan dukungan di Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan menempatkan Kalla di Beringin, tujuan itu bisa diraih.
Di arena Musyawarah Nasional, Hotel Westin, Nusa Dua, akhir 2004, Aburizal kembali berkolaborasi dengan Surya Paloh. Sementara Aburizal memasok ”gizi” buat menggaet dukungan dari pengurus daerah, kata seorang peserta, Surya bertugas menaklukkan beberapa pengurus yang masih setia kepada Akbar Tandjung. Walhasil, Jusuf Kalla mulus menuju puncak Beringin, mengalahkan Akbar yang beraliansi dengan Wiranto.
Surya Paloh yang kemudian ditunjuk menjadi Ketua Dewan Penasihat Golkar, ketika dimintai konfirmasi mengaku tidak ingat dengan peristiwa empat tahun lalu itu. ”Untuk apa cerita-cerita lama dijadikan konsumsi publik lagi?” ujarnya. Adapun Aburizal mengatakan Yudhoyono tak pernah meminta bantuannya menyokong Jusuf Kalla merebut kursi Ketua Umum Golkar.
Mungkin karena ”jasa” itulah, posisi Aburizal di kabinet hanya digeser walau kinerjanya sebagai Menteri Koordinator Perekonomian dianggap tak moncer. Pada perombakan pertama kabinet, tiga tahun lalu, ia hanya digeser ke Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat. Padahal menteri lain yang dinilai gagal, langsung dicopot.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan pemerintah tidak pernah mengistimewakan keluarga Bakrie. Tapi, menurut dia, ”Pemerintah memang berkewajiban menjaga kelangsungan hidup pengusaha nasional.” Ia mengakui sempat bertemu dengan Nirwan Bakrie buat membicarakan masalah suspensi saham Bumi. ”Apa salahnya saya bertemu Nirwan?” ujarnya. ”Saya tersinggung, pengusaha nasional ketemu Wapres Anda pertanyakan. Dia sah ketemu saya. Jangan terlalu curiga.”
Mengomentari permintaan kelompok Bakrie agar penjualan saham Bumi tetap ditutup, Jusuf Kalla mengatakan, ”Kalau Bakrie (minta) tolong diliatin supaya jangan jatuh, masak itu salah? Zaman dulu Astra dibantu, BII dibantu, Danamon dibantu. Semua konglomerat dibantu habis-habisan. Masak Bakrie hanya sedikit minta tolong satu-dua hari tidak boleh?”
Pada akhirnya, campur tangan petinggi Republik ini di lantai bursa menjadi tak ada artinya. Kekuasaan tak mampu menahan kekuatan pasar. Ketika kemudian dibuka pada 6 November, harga saham Bumi langsung terempas. Dari hari ke hari nilainya terus menukik, hingga kini.
Budi Setyarso, Yandhrie Arvian, Padjar Iswara, Gabriel Yoga
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo