Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA akhir 2010, tak lama setelah dilantik menjadi Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini memutasikan pegawai dalam jumlah besar. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang mencalonkan perempuan itu, mengajukan daftar berisi 80-an nama. Mereka adalah sekretaris kelurahan, lurah, dan camat yang dianggap berjasa kepada partai dan diusulkan memperoleh promosi.
Ada juga daftar nama birokrat yang dinilai mengganggu partai dan diusulkan dipindahkan dari posisinya. Adalah Wisnu Sakti Buana, Ketua PDI Perjuangan Surabaya, yang mengirimkan daftar itu. Alih-alih memenuhinya, Risma menyimpan daftar panjang itu di laci. "Kalau yang diusulkan jelek, kan, enggak mungkin diambil," kata Sekretaris Kota Surabaya Hendro Gunawan kepada Tempo, Kamis pekan lalu.
Sejumlah sumber menyebutkan sebagian besar nama dalam daftar tidak memenuhi standar kebutuhan yang diinginkan Risma. Sebagian bahkan menyetorkan dana agar bisa masuk daftar—jumlahnya tergantung posisi yang diinginkan. Walhasil, setelah Risma menolak hampir semua nama, hubungannya dengan PDIP segera memburuk. Apalagi sejumlah pejabat yang dinilai berjasa bagi partai itu malah digeser ke tempat lain. Kabar adanya intervensi pada mutasi itu rupanya sampai ke Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. Wisnu Sakti pun dipanggil ke Jakarta.
Wisnu, yang bulan lalu dilantik menjadi wakil wali kota, mengakui mengirimkan usul nama-nama calon pejabat. Namun, menurut dia, hal itu dilakukan atas permintaan Risma. Menurut anak bungsu tokoh PDIP Sutjipto Soedjono ini, Risma meminta usul PDIP sebagai satu-satunya partai pengusung dia, yang ketika itu berpasangan dengan Bambang D.H.
Ia menuturkan, tawaran disampaikan Risma seusai pelantikannya di gedung DPRD Surabaya. Wisnu, yang juga menjabat Wakil Ketua DPRD Surabaya, segera menggelar rapat pengurus PDIP untuk menyusun masukan. Tak butuh waktu lama, deretan nama birokrat yang dekat dengan partai berlambang banteng moncong putih itu diserahkan kepada Risma.
Setelah daftar diserahkan, kata Wisnu, tak kunjung datang undangan pembahasan dari Risma. "Tahu-tahu para pejabat baru sudah dilantik," ujarnya. Pria 40 tahun ini tambah kesal karena panggilan telepon tak dijawab, begitu pula kiriman pesan pendek. Penjelasan tentang alasan sebagian usul ditolak dan beberapa pejabat dimutasikan ke posisi yang tak dikehenÂdaki pun tak diperoleh.
Seorang pejabat Kota Surabaya menceritakan, setengah dari daftar usul PDIP Surabaya dicoret Risma. Ia menjelaskan, partai memang diminta memberi usul tentang para pejabat yang layak dipromosikan. Namun keputusan akhir tetap di tangan Risma.
Menurut sumber Tempo yang lain, Wisnu diduga "menanam" kaki tangan di kantor Wali Kota Risma. Pernah suatu ketika orang itu ketahuan memalsukan dokumen perizinan gara-gara sistem administrasi berjalan dengan baik. Pada saat itu, Wisnu masih menjabat Wakil Ketua DPRD. "Bagaimana setelah menjadi wakil wali kota?" kata si sumber, awal Februari lalu.
Risma tak mau mengungkapkan konflik seputar usul mutasi pejabat. Ia tak mau menjelaskan tekanan petinggi PDIP Surabaya untuk mengegolkan keinginannya. "Capek ngurusi orang-orang kayak gitu. Mikir-nya cuma fitnah, menang-menangan, nyikut orang lain," ujarnya kepada Tempo di Balai Kota, Kamis pekan lalu. Sebelumnya, ia menyatakan hanya ingin mengurusi masyarakat Surabaya dan tak mau larut ke persoalan tekanan elite partai.
Menurut Wisnu, konflik Risma dengan PDIP akibat kebuntuan komunikasi. Ia juga mengakui ketidakharmonisan itu mendorong usul hak interpelasi DPRD kepada Risma tentang peraturan pajak reklame. Hak interpelasi menjelma menjadi tuntutan pemakzulan Risma pada awal pemerintahannya.
Gerilya menggergaji Risma itu dilakukan Wisnu Sakti dengan menggandeng Ketua DPRD Wisnu Wardana, yang juga Ketua Partai Demokrat Surabaya. Keduanya bekerja sama menggalang pemakzulan Risma. Pada hari-hari terakhir, setelah media massa berpihak kepada Risma, petinggi-petinggi partai di Jakarta ternyata berubah pikiran.
Pada waktu itu, pengurus pusat PDIP memanggil para pengurus cabang Surabaya. Risma dan Bambang juga hadir dalam pertemuan yang dipimpin Megawati dan Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo. Kedua pihak diminta menghentikan konflik. Setelah pertemuan itu, tensi hubungan Risma dan PDIP Surabaya turun. Begitu juga hubungan Balai Kota dengan DPRD. "Sekarang hubungan kami juga sudah baik," kata Wisnu.
Ketua PDIP Djarot Saiful Hidayat menjamin Wisnu, yang menduduki posisi baru, tak akan menggerus kewenangan Risma, termasuk dalam penempatan dan promosi pejabat. "Semua keputusan tetap berada di tangan Bu Risma," tuturnya.
Politikus Partai Banteng ternyata juga mengeluhkan Risma yang dianggap tidak mau memenuhi permintaan pembangunan dari konstituen mereka. Seorang pejabat partai mencontohkan, pada waktu kampanye, kader-kader PDIP melempar janji-janji untuk membangun wilayah itu. Tujuannya agar mereka mau memilih Risma-Bambang.
Kenyataannya, menurut anggota Dewan itu, Risma tak kunjung memenuhi janji tersebut. Akibatnya, kata dia, banyak konstituen melampiaskan kemarahan dengan memaki-maki pejabat partai. Misalnya, pengurus anak cabang ditagih masyarakat agar menyediakan paving block, membangun penerangan jalan umum, membuat bak sampah, atau mengadakan gerobak. Permintaan PDIP agar dibantu Balai Kota tak ditanggapi maksimal. "Kami sendirian menghadapi tagihan-tagihan itu," kata politikus ini.
Dimintai komentar soal itu, Risma mengatakan tidak pernah melempar janji-janji proyek selama kampanye. Sejak awal, ia mengaku tidak akan membayar pemilih. "Mereka juga tahu saya tidak punya uang," ujarnya. Meski begitu, ia mengatakan pemerintahannya telah banyak membantu masyarakat kecil, basis utama PDIP.
Jobpie Sugiharto, Khairul Anam (Jakarta), Agus Supriyanto, Agita Sukma Listyanti, Edwin Fajerial, Dewi Suci Rahayu, Endri Kurniawati (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo