Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Kursi-kursi Habibi

Faisal Habibi dan Octora memenangi sayembara kompetisi karya Trimatra Nasional 2013.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KURSI kayu bulat dengan empat kaki itu terlihat tak lazim. Posisi keempat kakinya tidak normal. Bila diletakkan dalam posisi berdiri, kursi berlubang itu akan jatuh. Di ruang pamer Galeri Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, di sebelah kursi itu ada kursi kayu lain. Bentuknya juga tak biasa, berkaki tiga dengan sandaran punggung diagonal.

Melihat karya itu, boleh jadi orang akan berpikir bagaimana cara duduk di kursi tersebut, karena bentuk dan posisi kakinya memang tak lazim. Sekali kita duduki, pasti kita akan terjengkang dan kursi ambruk, patah.

Kursi-kursi aneh karya Faisal Habibi, pematung lulusan Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung, itu menjadi pemenang pertama hasil kompetisi karya Trimatra Nasional 2013, yang diselenggarakan Komunitas Salihara serta Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Sebagai juara kedua, dewan juri—terdiri atas Anusapati, Jim Supangkat, Asikin Hasan, Hermawan Tanzil, dan Ridwan Kamil—memilih karya bertajuk Gadis Komando karya Octora.

Octora menampilkan sepatu perempuan berhak tinggi (high heel) yang bertumpu pada stiletto berupa pisau komando. Pisau ini biasa dipakai tentara. Karya itu terkesan seksi sekaligus garang. Di sebelahnya, Octora juga menyajikan karya sepasang korset besi berduri.

Karya Faisal dan Octora itu bersama 26 karya finalis lain dihadirkan di Galeri Salihara dalam pergelaran bertajuk In Bet­ween/Di Antara, yang diadakan sepanjang 9-28 Februari ini. Mengapa karya Faisal dan Octora menang? Dewan juri mengatakan karena di tangan mereka, kursi, sepatu, dan korset yang sehari-hari sudah jamak dalam kehidupan kita menjadi sesuatu problematik. "Karya Faisal dan Octora mengganggu persoalan yang sudah umum," ujar Asikin.

Octora mengemukakan di balik karyanya ada ide bagaimana kekuatan agresi dan kerapuhan bersanding. Menurut dia, pertahanan diri kini tidak hanya secara fisik, tapi juga psikis. Seperti mengenakan sepatu dengan stiletto, cukup menyakitkan tapi ada obsesi untuk memakai sesuatu yang tidak nyaman itu. "Survive bisa dari sosial atau diri sendiri, kompleksitasnya lebih kuat," ucapnya.

Agaknya, selain memilih bentuk yang tak lazim, dewan juri memberi perhatian pada karya-karya yang menggunakan medium alternatif. Misalnya karya Teguh Agus Priyanto, Half Dozen of Hand Grenade. Teguh di Bandung dikenal dengan panggilan Teguh Kancing, karena dia sering membuat karya dari bahan kancing. Karyanya yang menjadi finalis itu memang berupa enam buah bentuk granat tangan disusun dari rajutan kancing plastik.

Perupa lain yang dimasukkan sebagai finalis adalah yang membuat karya dari tas keresek hitam. Itulah karya Tisa Granicia. Ia membuat "pistol" dari rajutan tas keresek. Pistol itu adalah model Browning High Power 9 milimeter, yang banyak digunakan aparat kita. Berjudul I Don't Dream Violence, Tisa secara cermat mampu merajut kantong plastik itu menjadi seperti Browning asli.

Bagus Pandega lain lagi. Ia membuat karya berjudul City of Records dari potongan piringan hitam (vinyl). Ia mengumpulkan piringan hitam bekas. Vinyl itu dipotong satu demi satu pada ruasnya. Sampai ada 200 buah piringan hitam yang ia potong. Potongan vinyl itu kemudian disusun membentuk miniatur bangunan-bangunan pencakar langit metropolitan, dan diletakkan di atas turntable, pemutar piringan hitam.

Memang karya-karya trimatra yang dipamerkan di sini semakin jauh dari pengertian patung konvensional. Semua finalis rata-rata di bawah 35 tahun. Visi "patung" anak-anak muda ini semakin radikal. Sebuah bongkahan beton—dengan tulang baja yang tersembul puitis—bisa menjadi karya. Dewan juri agaknya terbuka selebar-lebarnya pada ide-ide liar dari pematung muda ini.

Meskipun demikian, yang dimenangkan bukan hal yang terbaru dari penciptanya. Bermain-main dengan ide kursi, memelesetkan bentuk kursi, misalnya, adalah kenakalan yang sudah lama dilakukan Faisal Habibi. Kursi yang menjadi juara ini, dibanding karya-karya Faisal sebelumnya, tak ada loncatan yang jauh. Juga korset besi Octora.

Dian Yuliastuti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus