Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Siapa Menggasak Surya-1

Ditekan dari pelbagai penjuru, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini hampir menyerah. Ia dipasangkan dengan wakil wali kota yang ditentukan PDI Perjuangan tanpa konsultasi dengan dirinya. Lebih dari sekadar tak cocok, ada kepentingan bisnis di balik penetapan itu. Salah satunya: rencana pembangunan jalan tol dalam kota.

17 Februari 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEMARI pakaian itu nyaris kosong. Terletak di kamar bagian dalam ruang kerja Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini, tadinya lemari ini penuh dengan baju formal dan busana ganti milik Risma—sebutan akrab Tri Rismaharini. Yang tersisa hanya satu tas kecil berisi mukena dan sehelai baju dinas berwarna hitam yang digantung.

Rak sepatu di ruang 5 x 5 meter itu tak digunakannya lagi. Meja rias mulai bersaput debu halus. Di atasnya tergeletak tiga topi model tentara, dibungkus plastik bening. "Semua sudah saya ringkesin," kata perempuan 52 tahun itu kepada Tempo, yang menemuinya Rabu sore pekan lalu. "Aku sudah siap meninggalkan ruangan ini," dia menambahkan.

Risma menyatakan sama sekali tidak jadi masalah jika harus mundur. "Saya sudah memberikan semuanya," ujar satu dari tujuh kepala daerah terbaik pilihan Tempo 2012 ini. "Capek saya ngurus mereka, yang hanya memikirkan fitnah, menang-­menangan, sikut-sikutan." Ketika ditanya siapa yang dimaksud dengan "mereka", ia tak menjawab.

Memimpin Kota Surabaya sejak Oktober 2010, Risma kini dilanda tekanan sejumlah kekuatan politik di ibu kota Jawa Timur itu. Tekanan pertama justru datang dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, yang mengajukannya sebagai calon wali kota tiga tahun silam. Partai ini menyorongkan Wisnu Sakti Buana, Ketua PDI Perjuangan Surabaya, sebagai wakil wali kota pengganti tanpa mendiskusikannya lebih dulu dengan Risma.

Wisnu menggantikan Bambang Dwi Hartono, politikus separtainya, yang mundur untuk menjadi calon gubernur pada Juni tahun lalu. Anggota Fraksi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan Partai Keadilan Sejahtera Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang menganggap proses pemilihan Wisnu menyalahi prosedur, menolak menghadiri pelantikan. "Kalau kami datang, berarti ikut merestui," kata Sudirjo dari PAN, mantan sekretaris panitia pemilihan.

Kisruh bermula ketika rapat Badan Musyawarah DPRD memajukan jadwal pemilihan menjadi 6 November 2013, hari yang sama dengan pembahasan Rancangan APBD 2014. Padahal panitia sebelumnya memutuskan pemilihan baru dilakukan pada 15 November. Sidang paripurna pada 6 November yang dipimpin Wisnu gagal mencapai kuorum, yaitu dihadiri tiga perempat dari total 50 anggota.

Esoknya, tiga partai tetap menolak hadir. Pada 8 November sore, Gubernur Soekarwo cawe-cawe. Ia mengirim surat yang menurunkan syarat kuorum, menjadi cukup 50 persen plus satu. Berbekal peraturan baru ini, sekitar pukul 18.10, pemilihan Wakil Wali Kota Surabaya digelar dengan 32 peserta.

Tapi korespondensi antara panitia pemilihan, Gubernur Jawa Timur, dan Kementerian Dalam Negeri menunjukkan ada sesuatu yang janggal. Dalam surat 23 Desember 2013, yang menjawab surat Gubernur dua pekan sebelumnya, Direktur Jenderal Otonomi Daerah Djohermansyah Djohan meminta prosedur pemilihan dikaji. Eddie Budi Prabowo, ketua panitia pemilihan Wakil Wali Kota Surabaya, menuduh ada pemalsuan dokumen dan tanda tangan dalam berkas yang diajukan ke Kementerian Dalam Negeri untuk keperluan pelantikan Wisnu.

Di luar soal prosedur pemilihan, dugaan politik uang muncul dalam pemilihan. Sejumlah saksi menyatakan Wisnu—anak tokoh PDI Perjuangan, Sutjipto Soedjono—mengumpulkan para anggota Dewan sehari sebelum sidang 8 November. Pertemuan dilakukan di Restoran Ria Galeria, Jalan Bangka, Surabaya. Seusai pertemuan, para anggota Dewan menenteng amplop cokelat yang—menurut seorang saksi mata—berisi masing-masing Rp 50 juta.

Ketua Partai Demokrat Surabaya Dadik Risdariyanto mengatakan hadir karena diundang koleganya dari PDI Perjuangan. Agendanya: konsolidasi mendukung Wisnu di sidang paripurna. Anggota Fraksi Partai Damai Sejahtera, Simon Lekatompessy, menyatakan tidak ada pembagian uang dalam pertemuan itu. Wisnu juga membantah membagikan duit. Yang jelas, sidang esok harinya berlangsung mulus. Wisnu dipilih secara aklamasi dalam rapat yang hanya berjalan sepuluh menit.

Risma menyatakan takut terkena imbas jika pengangkatan wakilnya bermasalah secara hukum. Ia pun meminta Kementerian Dalam Negeri menyelesaikan masalah ini. Toh, Kementerian tetap melapangkan jalan untuk pelantikan Wisnu. "Perbaikan berkas kelengkapan yang kami minta sudah dilakukan," kata Djohermansyah.

Melihat ada masalah, Risma memilih tak menghadiri pelantikan Wisnu oleh Gubernur Soekarwo di gedung Dewan pada 24 Januari. Alasan resminya: sakit. Kebetulan, dia terserang demam setelah kehujanan ketika menangani banjir pada malam sebelum pelantikan. "Tuhan memberi jalan agar saya tidak hadir pada acara itu," ujarnya. Selama sepekan setelahnya, ia pun "menghilang"—tak datang ke kantor dan absen dalam pelbagai acara. Sejak itu, luas beredar kabar Risma berniat mundur.

Dalam rentang waktu "raib" itulah Tempo menemuinya di suatu tempat di Surabaya pada 1 Februari lalu. Ia mengenakan jaket kargo dan jins hitam. Suaranya pelan dan serak. Sesekali ia menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Orang bilang saya pura-pura sakit, drama, agar tidak hadir ke pelantikan," katanya. "Padahal saya benar-benar sakit."

Meski begitu, ia tetap berkomunikasi dengan anak buahnya. Menggunakan handy talky, ia memberikan instruksi kepada petugas keamanan yang berjaga di sekitar Stadion Gelora Bung Tomo. Sore itu, Persebaya bertanding melawan Mitra Kukar, Kutai Kartanegara—yang berakhir dengan kemenangan tuan rumah. "Ini Surya-1. Tolong penonton dipecah di jalan sebelum menuju stadion agar tidak ada rombongan besar," ujarnya. Surya-1 adalah nama sandinya di radio komunikasi.

Beberapa waktu kemudian, ia melihat layar telepon seluler iPhone 5 miliknya dan terperenyak. "Komodonya mati lagi," ucapnya. Ia memencet nomor telepon, lalu memberi perintah kepada seseorang di Kebun Binatang Surabaya, tempat sejumlah binatang mati akibat konflik pengelolaan. "Laporkan ke polisi! Biar semua jelas penyebab kematiannya."

Ketika kabar Risma mundur semakin kencang, pemimpin pusat PDIP berusaha melunakkan dia. Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo dan wakilnya, Hasto Kristianto, serta Ketua PDIP Jawa Timur Sirmadji Tjondro Pragolo bertamu ke tempat tinggal Risma, rumah tipe 45, di kawasan barat Surabaya. Mereka meminta Risma menghin­dari konflik "paling tidak sampai September"—mungkin demi menjaga suara PDIP pada pemilihan anggota legislatif dan presiden.

Dimintai konfirmasi soal pertemuan, Sirmadji mengatakan bertamu ke rumah Risma hanya untuk membahas "persoalan kinerja". "Alhamdulillah, setelah bertemu, semua selesai," katanya.

Hampir dua pekan setelah pelantikan Wisnu, Risma akhirnya menerima wakilnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, pertemuan pertama mereka meruncingkan persoalan. Wisnu mulai membicarakan proyek: tukar guling lapangan Bogowonto di Surabaya utara. Menurut Sekretaris Kota Surabaya Hendro Gunawan, lapangan milik TNI Angkatan Laut itu telah dilepas ke swasta. Pemilik baru ingin membangun hotel di situ. "Padahal itu jalur hijau," ujarnya.

Wisnu mengakui menyampaikan soal itu kepada Risma. Tapi, menurut dia, hal itu dilakukan atas permintaan TNI Angkatan Laut. "Saya tidak tahu lapangan itu mau dijadikan apa, tapi mereka mau membangun. Untuk itu mereka ingin bertemu dengan Bu Risma," katanya. "Kalau Bu Risma enggak mau, ya sudah."

Risma cukup sensitif terhadap pembicaraan proyek. Sebab, persoalan ini pula yang terus dia hadapi sejak awal periode pemerintahannya.

n n n

ADALAH proyek jalan tol tengah kota Surabaya yang membayangi Risma hingga kini. Sejak awal, ia menolak rencana jalan bebas hambatan sepanjang 25 kilometer itu. Di antara alasannya, "Kalau masyarakat bisa memakai jalan gratis, mengapa harus membayar?" Ia memilih melebarkan jalan lingkar luar. Mulai tahun ini, Surabaya juga akan membangun trem dan monorel sebagai transportasi publik.

Proyek jalan tol yang dirancang sejak 2006 itu awalnya dimenangi PT Margaraya Jawa Tol. Karena kesulitan dana, perusahaan itu gagal memulai proyek senilai Rp 9,2 triliun ini. Pada pertengahan 2010, di ujung pemerintahan Wali Kota Bambang D.H., Margaraya menyatakan telah membentuk konsorsium pendanaan bersama PT Jasa Marga, PT Duta Graha Indah, PT Pembangunan Perumahan, dan PT Elnusa. Mereka menyatakan siap memulai pembangunan.

Risma, yang sejak Oktober 2010 memimpin Surabaya menggantikan Bambang, membuyarkan semuanya. Ia menolak proyek yang dianggapnya tak diperlukan warga Surabaya itu. Lobi-lobi oleh pengusaha segera digencarkan untuk melunakkan sikapnya. Di antaranya menggunakan "jalur ITS"—Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, tempat Risma dulu kuliah. Direktur PT Duta Graha Indah, Dudung Purwadi, yang juga lulusan perguruan tinggi itu, dikirim buat menemui Hendro Gunawan, alumnus Teknik Sipil ITS, yang dulu menduduki kursi Ketua Badan Pembangunan Daerah Surabaya.

Hendro menceritakan, Dudung datang untuk minta tolong agar proyek jalan tol dilanjutkan. Menurut dia, tamunya lalu menyorongkan amplop tebal sebagai "tanda persahabatan". Seorang saksi mengatakan, keduanya sampai saling dorong amplop di atas meja—Hendro menolak dan Dudung berusaha tetap memberikannya. Melalui jalur lain, konsorsium ini berusaha menemui Risma untuk menyerahkan Rp 8 miliar. "Tidak pernah saya izinkan dia masuk ruangan saya," Risma menegaskan kepada Tempo pada Selasa pekan lalu.

Melihat gawatnya persoalan, Risma dan Hendro melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi, yang segera menurunkan tim ke Surabaya. Menurut sejumlah informasi, komisi antikorupsi menyadap komunikasi mereka yang diduga terlibat usaha penyuapan. Penyelidik malah mendapat temuan yang lebih kakap: penyuapan dan korupsi proyek Wisma Atlet SEA Games XXVI Palembang, yang juga melibatkan Duta Graha Indah. Dari sinilah terbongkar jaringan Muhammad Nazaruddin, yang ketika itu Bendahara Umum Partai Demokrat.

Dudung Purwadi, yang kini menjabat Direktur Utama Duta Graha Indah, membantah berusaha menyuap Risma dan anggota stafnya. "Sepanjang yang saya ketahui, semuanya tidak benar," katanya melalui surat elektronik kepada Rusman Paraqbueq dari Tempo.

Belum selesai menghadapi lobi jalan tol, Risma dihadang politikus di DPRD pada Desember 2010. Penyebabnya, ia menaikkan pajak reklame. Ia beralasan, pajak dinaikkan agar perusahaan "tidak memasang papan reklame seenaknya". Enam dari tujuh fraksi—termasuk PDIP, yang dimotori Wisnu—meminta Risma, yang belum dua bulan memimpin Surabaya, diberhentikan. Hanya Partai Keadilan Sejahtera yang menolak usul ini.

Sikap partai-partai itu berubah total ketika media massa berpihak kepada sang Wali Kota. Pemimpin partai di Jakarta memerintahkan politikus mereka di DPRD Surabaya membatalkan pemakzulan. Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum bahkan datang ke Surabaya, bersama antara lain Munadi Herlambang dan Nazaruddin, guna "melindungi Risma".

Menurut sejumlah sumber, Anas dan kawan-kawan mengundang Risma setelah pemakzulan yang gagal itu. Tujuannya adalah menyampaikan dukungan sekaligus menyodorkan permintaan imbal balik, yakni Risma menyetujui atau minimal tidak menolak pembangunan jalan tol tengah kota. "Bu Risma pura-pura tidak tahu dengan permintaan itu," ujar seorang saksi mata pertemuan.

Risma berkukuh menolak pembangunan jalan tol tengah kota Surabaya bahkan setelah Gubernur Soekarwo, DPRD Jawa Timur, dan DPRD Surabaya terus menekan agar proyek ini dijalankan. Akibat peno­lakan itu, Rencana Tata Ruang Wilayah Surabaya—dasar hukum buat rencana pembangunan—tak kunjung disahkan pemerintah pusat.

Ketua Kamar Dagang dan Industri Kota Surabaya Jamhadi menuduh Risma menghambat investasi. Ia menganggap pelebaran jalan dan pembangunan jalan lingkar luar kota merupakan infrastruktur pengangkutan manusia. Adapun jalan tol tengah kota merupakan infrastruktur pengangkutan barang. "Jalan tol tengah kota penting karena akan menghubungkan Waru ke Pelabuhan Tanjung Perak," katanya.

Jamhadi berharap Wisnu bisa memberi solusi tentang jalan tol tengah kota. Ia menganggap, selama ini, Risma menutup komunikasi dengan para pengusaha, termasuk tak menghadiri acara-acara Kamar Dagang. Bukan kebetulan, Jamhadi adalah Direktur Utama PT Tata Bumi Raya, perusahaan kontraktor milik Sutjipto, ayah Wisnu. Pelaku usaha di wilayah itu menyebutkan Jamhadi merupakan operator bisnis PDIP di Surabaya.

Kepada Tempo, Wisnu menganggap jalan tol tengah kota tetap diperlukan. Alasannya, Surabaya telah ditetapkan menjadi kota niaga. "Terserah, mau dibuat di bawah tanah biar tidak kelihatan atau ditinggikan setinggi langit. Yang penting, tol harus ada," katanya. "Kalau enggak, ya, ubah Surabaya dari kota niaga menjadi kota wisata saja."

n n n

PERTARUNGAN politik di Kota Pahlawan itu belum akan berakhir. Jumat pekan lalu, panitia pemilihan wakil wali kota mengirim surat keberatan kepada Menteri Dalam Negeri. Dalam surat yang ditandatangani Ketua Eddie Budi Prabowo, Wakil Ketua Fatkur Rohman, Sekretaris Sudirjo, dan anggota Muhammad Syafei, mereka menyatakan pelantikan Wisnu Sakti memiliki banyak cacat hukum.

Kepala Biro Hukum Kementerian Dalam Negeri Sudan Arief mengatakan pengangkatan Wisnu bisa dibatalkan jika ditemukan pelanggaran administrasi, kesalahan prosedur, atau pelanggaran pidana selama proses pemilihan. "Prinsipnya, ketika ada kekeliruan, bisa dilakukan koreksi keputusan," katanya. Ia mengatakan memang ada masalah pada proses pemilihan Wisnu—yang baru diketahui setelah pelantikan.

Di luar gedung, pendukung Risma mulai turun ke jalan. Seratusan orang berdemonstrasi di kantor Wali Kota meminta Risma tidak mundur. Adros Ridwan, yang mengaku berasal dari Ikatan Masyarakat Madura, mengatakan akan membuat rusuh di Surabaya bila Risma mundur. Seorang ibu—perwakilan dari Fatayat NU—menegaskan, "Bu Risma harus bertahan, tidak boleh mundur."

Risma tak banyak bicara. Dia meminta pendukungnya tak bikin rusuh. Kata dia, "Insya Allah, saya bertahan. Sekarang mohon kembali ke aktivitas masing-masing. Tolong jangan repotkan Pak Polisi, ­kasihan." Dan Risma menambahkan, "Saya juga harus kembali bekerja. Terima kasih dukungan Bapak-Ibu."

Budi Setyarso, Khairul Anam (Jakarta), Agus Supriyanto, Dewi Suci Rahayu, Agita Sukma Listyanti, Edwin Fajerial, Kukuh S.W. (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus