Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELASA pekan lalu seharusnya "sejuta orang" turun ke jalan. Paling tidak, itulah target Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan untuk menopang usaha politikusnya di Dewan Perwakilan Rakyat dalam menolak rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak. Awalnya semua bergairah.
Rencana itu luruh hanya beberapa jam sebelum demonstran turun ke jalan. Pada Senin malam, rapat Komite Aksi Nasional PDI Perjuangan se-Indonesia di kantor pengurus Jakarta, Jalan Raya Tebet, Jakarta Selatan, mendadak gaduh. Pertemuan dihadiri sejumlah pengurus pusat partai serta perwakilan dari Banten dan Jawa Barat.
Sejumlah peserta menanyakan kebenaran pesan Ketua Umum Megawati Soekarnoputri yang diedarkan lewat pesan BlackBerry. Ribka Tjiptaning, Ketua Komite Aksi, yang hadir dalam rapat, tak bisa menjawab pertanyaan itu. "Peserta rapat, yang semula bersemangat menyiapkan demonstran, sontak menjadi kendur," kata seorang peserta pertemuan itu.
Diedarkan berantai secara elektronik, surat itu bernomor resmi 1825/IN/DPP/III/2012. Dikirim dengan mencantumkan nama Ketua Umum Megawati dan Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo, surat tersebut berisi instruksi kepada semua pengurus daerah dan cabang tentang penolakan kenaikan harga bensin. Disebutkan, para kader dilarang menggunakan atribut partai dalam berdemonstrasi. Semua pengurus daerah dan cabang juga dilarang mengerahkan massa ke Jakarta. "Jika ada aksi penolakan dengan peserta besar, harus seizin pengurus pusat," tertulis dalam pesan itu.
Merasa tidak pernah menerima salinan, Ribka malam itu tetap meminta peserta pertemuan melakukan demonstrasi. Tapi pengurus-pengurus daerah lebih dulu menerima pesan berantai itu. Mereka juga sudah buru-buru membatalkan rencana turun ke jalan. "Akibatnya, target semula satu juta terpaksa diturunkan menjadi seratus ribu," ujar Ribka.
Surat ini bertolak belakang dengan pidato Megawati di Kupang, Nusa Tenggara Timur, pekan sebelumnya. Ketika itu, sang Ketua Umum mengatakan kader partainya "akan bersama-sama dengan rakyat menolak kenaikan harga bensin". Larangan menggunakan atribut partai dan keharusan meminta izin kepada pengurus pusat untuk pengerahan massa besar-besaran juga membuat kader bingung. "Tidak mungkin kader mau turun tanpa identitas partai," kata seorang politikus Partai Banteng.
Pada 15 Maret sebenarnya juga terbit surat yang dikeluarkan Sekretaris Jenderal Tjahjo Kumolo kepada semua anggota Dewan dari partainya. Ia berpesan agar semua bentuk aksi yang akan dilakukan berjalan tertib dan sesuai dengan undang-undang. Tapi di situ tetap disampaikan pesan agar dilakukan penggalangan massa untuk menolak kenaikan harga bensin.
Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Andreas Hugo Pareira mengatakan surat Ketua Umum Megawati diterbitkan untuk mencegah penyusupan dari pihak lain. Soal perbedaan dengan isi surat sebelumnya, menurut dia, itu hanya karena perkembangan situasi. "Itu antisipasi agar kader kami tidak dijadikan kambing hitam (kalau terjadi sesuatu)," ujarnya.
Rencana unjuk rasa Partai Banteng menolak kenaikan harga bensin juga gembos dari "rumah" sang Ketua Umum. Sejumlah politikus partai itu mengatakan Taufiq Kiemas, suami Megawati, yang juga menjabat ketua dewan pertimbangan pusat partai, menelepon sejumlah ketua pengurus daerah. Isinya melarang unjuk rasa penoÂlakan kenaikan harga bensin. "Ada yang ditelepon langsung, ada juga yang dikirimi pesan pendek," kata seorang petinggi partai. Yang ditelepon langsung oleh Taufiq antara lain Bambang D.H., Wakil Ketua PDI Perjuangan Jawa Timur.
Soal telepon dan pesan pendek Taufiq Kiemas, Andreas Pareira mengatakan tidak tahu. Tjahjo Kumolo juga membantahnya. Adapun Bambang D.H., yang juga menjabat Wakil Wali Kota Surabaya, menyatakan, "Tidak ada arahan sedikit pun dari Pak Taufiq." Taufiq sendiri pada Rabu pekan lalu meminta pemerintah "memaafkan demonstrasi penolakan kenaikan harga bensin yang dilakukan kader PDI Perjuangan".
Meski PDI Perjuangan urung mengerahkan massa besar-besaran, demonstrasi menolak kenaikan harga bensin marak di pelbagai kota. Di Makassar—seperti biasa—unjuk rasa berakhir dengan kekerasan. Demonstran beradu lempar dengan aparat keamanan. Mahasiswa, di antaranya dari Universitas Muhammadiyah Makassar, Universitas Islam Negeri Alauddin, Universitas Negeri Makassar, dan Universitas Hasanuddin, berdemonstrasi hingga malam hari.
Di Jakarta, demonstrasi berlangsung sejak Senin hingga Jumat malam, ketika Dewan Perwakilan Rakyat membahas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Demonstran terpusat di Senayan, berusaha menjebol pagar luar kompleks gedung Dewan. Ribuan aparat keamanan membubarkan dan mengusir mereka beberapa saat sebelum anggota Dewan mulai bersidang kembali pada Jumat malam.
Pengerahan massa terbesar dilakukan kelompok yang membawa bendera Konsolidasi Nasional Mahasiswa Indonesia (Konami). Grup ini menghimpun organisasi mahasiswa di 25 kampus di sejumlah kota. Konami menggunakan basis sejumlah kampus swasta di daerah Salemba, Jakarta Pusat, untuk bergerak. Pada setiap malam setelah unjuk rasa, himpunan ini baku lempar dengan aparat keamanan. Polisi juga menuduh mereka lebih dulu melempar bom molotov.
Para aktivis Konami memiliki hubungan dekat dengan Adian Napitupulu, aktivis gerakan mahasiswa 2000-an yang dikenal dekat dengan para politikus PDI Perjuangan. Menurut seorang aktivis, Adian sering menjalin komunikasi dengan mahasiswa sejumlah kampus itu. "Adian itu mentor anak-anak Konami," katanya.
Adian—pendiri Forum Kota (Forkot)—mendirikan LSM Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera). Pada Pemilihan Umum 2009, namanya tercatat sebagai anggota Badan Pemenangan Pemilu PDI Perjuangan yang diketuai Tjahjo Kumolo. Dihubungi pekan lalu, Adian membantah ikut membantu gerakan Konami. "Mereka mencari dana sendiri untuk membiayai aksi," ujarnya. Juru bicara Komite Aksi Nasional PDI Perjuangan se-Indonesia, Jeppri Silalahi, juga membantah keterlibatan partainya.
Muhamad Fhery, salah satu aktivis Konami, mengatakan kelompoknya tak berkaitan dengan organisasi politik. Menurut dia, berbagai cara dilakukan untuk memenuhi kebutuhan logistik demonstrasi. "Salah satunya dengan mengamen."
Setri Yasra, Febriyan, Gadi Makitan, Jobpie Sugiharto (Jakarta), Fatkhurrohman Taufiq (Surabaya), Abdul Rahman (Makassar)
Debat Satu Ayat
UNJUK rasa di depan gedung MPR/DPR surut Sabtu dinihari pekan lalu. Drama voting kenaikan harga bahan bakar minyak oleh para "wakil rakyat" pun usai. Keputusan akhir, pemerintah punya kewenangan menaikkan harga bensin, meski tidak sekarang.
Semua fraksi mempertahankan pasal 7 ayat 6 dalam Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Isinya: harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan. Perdebatan terjadi karena muncul pasal 7 ayat 6 (a), yang memungkinkan pemerintah menaikkan harga BBM jika harga rata-rata minyak mentah Indonesia dalam enam bulan naik atau turun lebih dari 15 persen.
Gradasi Suara
Setelah salat Jumat:
Tiga fraksi, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Gerakan Indonesia Raya, dan Partai Hati Nurani Rakyat, menolak kenaikan harga BBM. Fraksi lain menolak dengan variasi angka deviasi harga minyak mentah dunia. Demokrat setuju menaikkan harga BBM.
Jumat malam:
Voting dengan dua pilihan. Opsi I: tak ada kenaikan harga BBM. Opsi II: pemerintah bisa menaikkan harga BBM.
Kompensasi kenaikan harga BBM:
Perolehan suara:
Opsi I: 82 suara
Pendukung: Gerindra dan PKS
Opsi II: 356 suara
Pendukung: Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB
Walkout: 108 suara
(Hanura dan PDI Perjuangan)
Untung-Rugi | ||
Naik |   | Tidak Naik |
Rp 137 triliun | Subsidi | Rp 178 triliun |
Rp 25,6 triliun | Dana kompensasi | Tak ada |
5,8 persen | Pertumbuhan ekonomi | 6,5 persen |
7 persen | Inflasi | 4,4 persen |
40 juta kiloliter | Volume BBM bersubsidi | 47,8 kiloliter |
2,6 persen | Defisit belanja | 3 persen |
Naik 20 persen | Tarif angkutan umum | Tetap |
Diawasi | Konsumsi BBM bersubsidi | Agustus dibatasi |
Naskah: Pramono
Bahan: Evan (Pusat Data dan Analisa Tempo), diolah dari berbagai sumber
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo