Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MOLOR satu jam dari jadwal, pertemuan wakil partai koalisi di kantor Sekretariat Gabungan, Jalan Diponegoro, pada Senin pekan lalu dimulai pukul 20.00. Rapat dipimpin Sekretaris Sekretariat Gabungan Syariefuddin Hasan, politikus Partai Demokrat yang juga Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah. Ia ditemani koleganya, Jafar Hafsah, yang ketika itu masih ketua fraksi, Ignatius Moeljono, serta Teuku Rifki Pasha.
Ketua Fraksi Partai Golkar Setya Novanto datang bersama Rum Kono. Dari Partai Keadilan Sejahtera hadir Abdul Hakim dan Ecky Awal Mucharam. Partai Persatuan Pembangunan diwakili Muhamad Arwani Thomafi dan Achmad Farial. Sedangkan dari Partai Amanat Nasional datang Tjatur Sapto Edy. Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Marwan Ja'far datang membawa dua rekannya, Hanif Dhakiri dan Anna Muamanah.
Agenda penting dibahas malam itu, yakni rencana kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi. "Sampai bubar pukul 11 malam, tak ada penolakan eksplisit dari perwakilan partai, termasuk PKS," kata Syariefuddin Hasan, Kamis siang pekan lalu. "Karena itu, agak membingungkan melihat sikap PKS di luar."
Dua hari setelah rapat, Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq menyampaikan keputusan partainya soal harga bensin. Berpidato pada penutupan Musyawarah Kerja Nasional PKS di Medan, Luthfi mengisyaratkan partainya siap keluar dari koalisi bila pemerintah berkukuh menaikkan harga bensin pada 1 April. "Kami siap untuk tidak dalam perahu," ujarnya.
Rencana menaikkan harga bensin jelas tidak populer. Karena itu, Demokrat berharap usul pemerintah yang diajukan karena meroketnya harga minyak mentah dunia ini disokong koalisi. "Namanya koalisi, semestinya sehidup-semati," kata Syariefuddin. "Jangan mau hidupnya saja, tapi kalau ada risiko mati, mereka lari."
Sampai Kamis siang, Syariefuddin masih yakin pidato petinggi PKS tak lebih dari manuver politik. Ini bukan hal baru bagi Partai Demokrat, melihat langkah kuda partai itu. Tapi Demokrat tersengat lebih dalam setelah Partai Golkar juga balik kanan pada Kamis petang. Ketua Umum Aburizal Bakrie mengatakan harga bahan bakar belum perlu dinaikkan saat ini.
Alasan yang disampaikan "sepele". Golkar bilang mereka tersinggung berat oleh pernyataan Jafar Hafsah yang mengatakan Aburizal Bakrie pernah mengusulkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kenaikan harga bensin yang lebih tinggi daripada usul pemerintah. Aburizal marah dan menelepon Jafar. "Far, gimana itu? Bener kamu ngomong seperti itu?" kata Aburizal kepada Jafar seperti ditirukan sumber di Partai Demokrat.
Kabar kemarahan Aburizal cepat sampai ke pemimpin tertinggi Demokrat: Susilo Bambang Yudhoyono, yang baru pulang dari lawatan ke luar negeri. Bahkan Wakil Presiden Boediono pun bergegas menelepon Aburizal dan memberi klarifikasi. Tapi semuanya terlambat.
Golkar dengan cepat memanfaatkan situasi ini untuk dijadikan alasan bagi perubahan sikap mereka. "Sebenarnya kami harus menjaga keseimbangan sebagai partai koalisi," kata Bambang Soesatyo, anggota Badan Anggaran dari Golkar. "Pernyataan Jafar ini jadi pemantik dan semacam blessing, karena kami tak bisa juga mengabaikan suara publik di luar."
Semua perkembangan itu berakibat fatal bagi Jafar Hafsah. Setelah gagal menghubungi Yudhoyono untuk memberi penjelasan, ia dicopot dari posisi ketua fraksi. "Tugas ketua fraksi saya ambil langsung," kata Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum. Anas mengakui pernyataan Jafar telah menyebabkan kesalahpahaman antarpartai koalisi.
Seorang petinggi Demokrat mengatakan pencopotan Jafar penting dilakukan untuk memberi sinyal kuat kepada Golkar dan anggota koalisi bahwa Demokrat mengaku salah. "Kami tak bisa sendirian," katanya. "Keutuhan koalisi lebih penting saat ini dibanding menyelamatkan Jafar." Adapun Jafar mengaku rela disingkirkan, meskipun ia tetap menyangkal mengeluarkan pernyataan yang bikin blunder itu. "Saya tidak sakit hati."
UPAYA menanggulangi perpecahan dalam koalisi ini dilanjutkan melalui negosiasi dalam rapat Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat yang berlangsung Kamis hingga Jumat dinihari. Dalam rapat ini kemudian disepakati besaran subsidi energi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan menjadi Rp 225 triliun. Perinciannya, subsidi bahan bakar minyak Rp 137 triliun, subsidi listrik Rp 65 triliun, dan cadangan risiko fiskal energi Rp 23 triliun. Dari sini terbaca sudah rencana kenaikan harga bensin sebenarnya disetujui.
Juga disepakati paket kompensasi Rp 25,6 triliun. Perinciannya, bantuan langsung sementara masyarakat Rp 17,08 triliun, bantuan pembangunan infrastruktur pedesaan Rp 7,88 triliun, dan tambahan anggaran program Keluarga Harapan Rp 591,5 miliar.
Sejumlah sumber mengatakan partai-partai koalisi dibuat lunak dengan "imbalan" penyaluran paket kompensasi ini. Bantuan langsung tetap akan disalurkan melalui PT Pos, tapi dana pembangunan infrastruktur akan dibagi rata. PKS, yang menguasai Kementerian Sosial dan Kementerian Pertanian, kebagian jatah penyaluran conditional cash transfer dalam program Keluarga Harapan.
Ditanya soal bagi-bagi jatah dalam penyaluran dana kompensasi ini, Syariefuddin Hasan mengatakan, "Resminya saya tak pernah mendengar itu." Tapi, ia melanjutkan, soal penyaluran dana semestinya tak jadi bahan tawar-menawar. "PKS punya dua menteri yang berhubungan dengan rakyat, target bantuan langsung itu. Tak perlu khawatir," ujarnya.
Sampai Jumat pagi, Demokrat cukup optimistis koalisi tetap terkendali. Sebab, kesepakatan angka kompensasi itu memastikan satu hal: harga bensin harus naik. Walau begitu, di depan kamera televisi, PKS dan Golkar tetap berteriak lantang: "Kami menolak kenaikan harga bahan bakar minyak."
Rapat Badan Anggaran pada Kamis malam menelurkan kesepakatan baru. Kali ini, partai-partai membuka peluang bagi pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar. Alternatif ini dirumuskan dalam ayat baru, yang antara lain mengatur kewenangan pemerintah "melakukan penyesuaian harga" jika harga minyak mentah dunia naik atau turun lima persen dari angka asumsi awal.
Dengan rumusan baru, pada Jumat pagi semua partai koalisi kembali menggelar rapat. Ketua Umum PAN Hatta Rajasa mengumpulkan anggota Dewan di rumah dinasnya pukul 08.00 WIB. PKS juga berkonsolidasi di ruang rapat fraksi di DPR. Hal yang sama dilakukan PPP. Hasilnya, seperti halnya Golkar, mereka menyatakan saat ini kenaikan harga bahan bakar minyak belum perlu. Pada saat bersamaan, mereka melemparkan kembali urusan penetapan harga bensin ini kepada pemerintah.
Rapat paripurna yang berlangsung Jumat siang distop hingga malam, dan baru dibuka kembali sekitar pukul 22.00. Golkar dan PKS, seperti diduga, meneriakkan penolakan kenaikan harga bensin. Tapi politikus dari kedua partai ini juga terus mengikuti konsolidasi dengan para anggota koalisi. Empat fraksi sebenarnya sudah cukup bulat, yaitu Demokrat, PAN, PKB, dan PPP. Tapi lagi-lagi Golkar dan PKS masih mencoba menawar. Golkar minta kenaikan harga bahan bakar minyak baru bisa dilakukan bila kenaikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia naik 15 persen dalam kurun enam bulan. Sedangkan PKS mengusulkan angka 20 persen dalam kurun tiga bulan.
Strategi tarik-ulur yang dijalankan Golkar dan PKS ini membuat kesal partai-partai di luar koalisi, yang sejak mula tegas menolak semua peluang kenaikan harga bahan bakar minyak. "Di luar mereka bilang tak setuju harga BBM naik. Tapi dalam lobi mereka sepakat," kata Sekretaris Fraksi Partai Hanura Saleh Husin. Bersama PDI Perjuangan, Hanura memilih keluar dari sidang paripurna saat voting dilakukan untuk menyepakati ayat yang membuka peluang pemerintah menaikkan harga bensin ini.
Y. Tomi Aryanto, Pramono, Febriyan, Angga Sukma Wijaya, Rusman Paraqbueq
Terjerat Ayat Sisipan
Riuh rendah politik di Senayan dan protes di jalanan dalam sepekan lalu boleh dibilang berkutat pada satu ayat dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2011 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Ayat 6 pada pasal 7 undang-undang ini berbunyi, "Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan."
Ayat pendek inilah yang belakangan menjerat pemerintah. Ketentuan itu membuat pemerintah tidak bisa melakukan apa-apa saat harga minyak dunia meroket dalam beberapa bulan terakhir.
Keberadaan ayat ini sebenarnya dianggap janggal, mengingat tak pernah ada dalam undang-undang APBN sebelumnya. Dalam rancangan APBN 2012 yang diusulkan pemerintah, ayat ini pun tak tercantum. Dalam draf tersebut, pemerintah hanya mengusulkan lima ayat dalam pasal 7 rancangan undang-undang tersebut.
Pemimpin Badan Anggaran asal Partai Demokrat, Mirwan Amir, mengakui ayat keenam itu baru masuk pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat. "Itu usul teman-teman Golkar saat rapat kerja pembahasan draf APBN 2012," ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Anggota Badan Anggaran dari Fraksi Partai Amanat Nasional, Laurens Bahang Dama, juga menyebut Golkar sebagai pengusul ayat ini. "Alasannya untuk membatasi volume konsumsi BBM bersubsidi," katanya. "Golkar mengajukan agar dimunculkan pasal yang membatasi wewenang pemerintah untuk menaikkan harga."
Tudingan dari politikus sesama anggota koalisi pendukung pemerintah ini dibantah Bambang Soesatyo, anggota Badan Anggaran dari Fraksi Golkar. "Tidak benar. Ayat itu diusulkan bareng-bareng," ujarnya. "Tujuannya membuka ruang bagi pemerintah kalau ada kondisi darurat."
Yang terjadi kemudian justru berkebalikan dari tujuan yang disebut Bambang. Karena itu pula pemerintah minta ayat ini dicabut. "Jangan pemerintah diikat dengan pasal 7 ayat 6," kata Menteri Keuangan Agus Martowardojo dalam rapat dengan Badan Anggaran pada Ahad, 25 Maret lalu.
Y. Tomi Aryanto, M. Andi Perdana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo