Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI rerimbun semak, Kamaruddin menyaksikan satu demi satu kendaraan melintasi jalur Pegunungan Geureutee, Aceh Besar, pada JumÂat sore empat pekan lalu. Hingga konvoi belasan mobil itu menghilang, yang dicarinya tak terlihat: jip Wrangler Rubicon hijau lumut.
Pria yang biasa dipanggil Mayor itu menyimpulkan, Irwandi Yusuf, si empunya mobil, tak ikut dalam iring-iringan. Ketika menjabat Gubernur Aceh, Irwandi sendiri yang kerap menyetir jip itu.
Tak menemukan Rubicon pada Jumat sore itu, Kamaruddin urung memijit sakelar bom di tangannya. "Pak Irwandi memang tak ada dalam konvoi," kata Thamren Ananda, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh yang juga orang dekat Irwandi, Jumat pekan lalu.
Menurut Thamren, semula Irwandi berencana menghadiri pemakaman Tengku Abuya Muhibuddin Waly al-Khalidi di Labuhan Haji, Aceh Selatan. Sang ulama wafat dua hari sebelumnya.
Irwandi mendengar bakal ada yang mencelakainya di tengah jalan Meulaboh-Banda Aceh itu. Kepada orang-orang yang menanyainya, Irwandi bilang tetap akan pergi ke Labuhan Haji. "Tapi, ketika mau berangkat, Pak Irwandi malah pulang ke rumah," ujar Thamren.
Informasi itu tak sampai ke telinga Mayor. Bersama Mansur alias Mancuk, Rizal Mustaqim, Usria alias Us, Sulaiman alias Ulee Bara, dan Jamaluddin alias Dugok, ia tetap menunggu Irwandi di jalan itu. Selain menanam empat bom pipa, keenam orang itu menyiapkan dua AK-47. "Untuk menyiram konvoi setelah bom meledak," kata laki-laki 30 tahun itu ketika diperiksa, seperti ditirukan penyidik di Kepolisian Daerah Aceh.
Menurut sumber itu, setelah konvoi lewat, Kamaruddin dan kawan-kawan mendengar kabar baru: sebetulnya Irwandi ikut dalam rombongan, tapi menunggang mobil lain. Merutuki kekeliruannya, Kamaruddin berkukuh menjalankan rencana semula.
Bom akan diledakkan malam itu, ketika rombongan pulang dari Labuhan Haji. Mayor meminta Mansur dan Rizal Mustaqim menemaninya. Adapun Usria, Sulaiman, dan Jamaluddin, ia suruh pulang ke Aceh Utara, kampung mereka.
Ditunggu hingga lewat tengah malam, iring-iringan mobil yang tadi tak terlihat melintas lagi. "Rombongan pulang mengambil jalan lain," kata polisi. Gagal lagi, Kamaruddin mengubur dua senapan AK-47 tak jauh dari lokasi bom ditanam. Kamaruddin dan dua anaknya meluncur ke arah Banda Aceh dengan Daihatsu Terios hitam. Kamis pekan lalu, senjata itu baru ditemukan polisi.
Malam itu polisi bergerak cepat. Sekitar pukul 02.00, Sabtu dinihari, Terios hitam disergap di Desa Meunasah Lhok, Lhoong, Aceh Besar, tak jauh dari titik jalan yang ditanami bom. Dengan kedua tangan tergari ke belakang, Mayor kabur ketika hendak digiring ke mobil. Ia ditangkap warga Meunasah, yang menyangka ia pencuri yang kabur dari kantor polisi, tak lama kemudian.
Terpisah ratusan kilometer, subuh itu polisi juga menangkap Usria, Sulaiman, dan Jamaluddin, yang baru tiba di Aceh Utara. Dua hari kemudian, mereka berenam diterbangkan ke Jakarta. Polisi belum mau menyimpulkan hubungan bom dengan pemilihan Gubernur Aceh, yang akan digelar Senin pekan depan. "Masih dalam penyelidikan," kata juru bicara Markas Besar Kepolisian RI, Inspektur Jenderal Saud Usman Nasution.
Setelah insiden bom gagal itu, teror di Aceh sepanjang Desember-Januari lalu mulai terurai. Kepada polisi, kelompok Kamaruddin mengaku sebagai pelaku penembakan di mes Telkom, Bireuen, pada 31 Desember tahun lalu. Ketika itu sepuluh penggali kabel dihujani peluru oleh orang tak dikenal. Tiga tewas, sisanya harus menginap di rumah sakit karena luka tembak. Kelompok Kamaruddin juga mengaku terlibat dalam empat penembakan lainnya.
Menenteng AK-47, yang belakangan dikubur di Aceh Besar, Kamaruddin dan Jamaluddin menjadi eksekutor dalam setiap penembakan. Kepada polisi, mereka mengatakan senapan berasal dari zaman sebelum perjanjian Helsinki. Dia merencanakan dan memilih targetnya di sebuah rumah toko di Cot Matahe, Aceh Utara—lokasi penangkapan Usria, Sulaiman, dan Jamaluddin. Di sana pula pembunuhan Tengku Agam—panggilan Irwandi—direncanakan.
Dari sinilah muncul nama Vikram Hasbi alias Ayah Banta. Menurut polisi, Vikram otak pengeboman yang gagal di Aceh Besar. Pada akhir Februari hingga awal Maret, di rumah toko Cot Matahe, Vikram bersama Kamaruddin, Jamaluddin, Rizal, dan Mansur meracik empat bom pipa—panjang 50 sentimeter dan berdiameter 15 sentimeter—yang bisa diledakkan dari jarak jauh dengan sakelar yang dihubungkan kabel. Vikram pula yang menanggung biaya perakitan bom.
Vikram bukan orang baru. Ia sudah dipelototi polisi sejak 2003. Tahun itu, ada tiga bom yang meledak di Jakarta, yang diduga melibatkan Vikram. Bom pertama meletus di belakang kantor perwakilan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 24 April. Empat hari kemudian, bom meletus di Terminal II F Bandar Udara Soekarno-Hatta. Bom juga mengguncang gedung MPR/DPR pada 14 Juli tahun itu. Menilik jeroan bom, polisi menyimpulkan pelaku adalah kelompok yang sama: Gerakan Aceh Merdeka.
Setelah peristiwa itu, nama Vikram "harum" di antara pengikut Gerakan Aceh Merdeka. Apalagi ia tak ikut terseret masuk pengadilan. Ketika itu bukti-bukti yang mengaitkan Vikram dengan bom-bom tadi amat tipis. Meski efek ledakan di tiga tempat tadi tak besar, pria 45 tahun itu dianggap berhasil menembus Ibu Kota.
Di dalam GAM, Vikram disebut-sebut pernah menjabat komandan pasukan bom wilayah Pasee. Ilmu meracik bom ia peroleh dari Ahmad Kandang, pentolan Gerakan yang dikabarkan tewas di Paya Bakong, Aceh Utara, pada 2011. Sepeninggal Ahmad Kandang, Vikram mewarisi pasukan bom.
Pada 2007, Vikram membangun ratusan hektare kebun di kawasan Geureundong, Aceh Utara, yang digarap sejumlah bekas anggota pasukan GAM. Belakangan ia menjadi koordinator tim sukses Partai Aceh di sana.
Irwandi Yusuf mengatakan rencana pengeboman dan teror belakangan ini dilakukan musuh-musuh politiknya untuk menyingkirkannya dari pemilihan Gubernur Aceh. Di depan pendukungnya di Peusangan, Bireuen, pada Ahad dua pekan lalu, calon gubernur independen ini menyebut dirinya sebagai sasaran teror. "Mereka merencanakan pembunuhan terhadap saya," katanya.
Kini, setelah Kamaruddin dan kawan-kawan diringkus, Vikram seolah-olah ditelan bumi. Ia tak pernah terlihat lagi dalam acara-acara partai, termasuk kampanye calon gubernur Partai Aceh, Zaini Abdullah-Muzakir Manaf.
Polisi kini memburunya. Sejumlah anak buah Vikram yang dikontak Tempo bungkam soal keberadaan bosnya. Ketua Partai Aceh Wilayah Aceh Utara Tengku Zulkarnaini Hamzah irit bicara mengenai keterlibatan Vikram dalam sejumlah teror. "Saya tidak tahu soal itu," katanya singkat.
Pengurus pusat Partai Aceh yang juga wakil ketua fraksi partai itu di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh, Abdullah Saleh, menyangkal keberadaan Vikram di partainya. "Saya tak ingat orangnya yang mana," ujarnya. Ia mengatakan tak ada perintah partai untuk menakut-nakuti kontestan lain menjelang pemilihan gubernur.
Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo